Kamis, 12 Oktober 2023

KAJIAN TENTANG HUKUM PENETAPAN NASAB BERDASARKAN TES DNA (Deoxyrebose Nucleic Acid)

Islam sangat memelihara masalah keturunan, karena itu Islam mengajarkan agar hubungan tetap terjaga murni sehingga orang tua dapat mengetahui dengan benar siapa anaknya. Dalam hukum Islam asal-usul seorang anak (nasab) dapat diketahui dari salah satu diantara tiga sebab, yaitu al-firasy, iqrar dan bayyinah. Dalam bidang kedokteran untuk mengetahui masalah nasab dapat melalui tes DNA.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتِ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِيْ وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِيْ غُلاَمٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللهِ ابْنُ أَخِيْ عُتْبَةَ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِيْ يَا رَسُولَ اللهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِيْ مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللهِ  :  إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِيْ مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ فَلَمْ تَرَهُ سَوْدَةُ قَطُّ

(رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

“Dari Aisyah rah. ia berkata, “Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abd bin Zam’ah berselisih tentang seorang anak lelaki. Kata Sa’ad, “Ya Rasulallah, ini anak saudara laki-laki saya ‘Utbah bin Abi Waqqash. Ia telah berpesan kepadaku bahwa bocah tersebut adalah anaknya. Lihatlah kemiripan bocah ini. Akan tetapi Abd bin Zam’ah berkata, “Bocah ini saudara laki-laki saya wahai Rasulallah, ia dilahirkan dari hubungan badan ayahku dengan budak wanitanya.” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meneliti kemiripannya, maka beliau melihat anak itu sangat mirip dengan ‘Utbah, lalu beliau bersabda, “Anak ini saudaramu wahai Abd bin Zam’ah, seorang anak adalah milik orang yang berhubungan badan di tempat tidur, sedangkan bagi orang yang berzina mendapat kerugian, dan pakailah tirai darinya wahai Saudah binti Zam’ah. Sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak itu lagi.” (HR. Bukhari)  

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ : دَخَلَ عَلَيْهَا مَسْرُورًا تَبْرُقُ أَسَارِيرُ وَجْهِهِ فَقَالَ أَلَمْ تَرَىْ أَنَّ مُجَزِّزًا نَظَرَ آنِفًا إِلَى زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ فَقَالَ هَذِهِ اْلأَقْدَامُ بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ قَالَ أَبُوْ عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَى ابْنُ عُيَيْنَةَ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ وَزَادَ فِيهِ أَلَمْ تَرَ أَنَّ مُجَزِّزًا مَرَّ عَلَى زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَدْ غَطَّيَا رُءُوسَهُمَا وَبَدَتْ أَقْدَامُهُمَا فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ اْلأَقْدَامَ بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ وَهَكَذَا حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَغَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدِ احْتَجَّ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ بِهَذَا الْحَدِيثِ فِي إِقَامَةِ أَمْرِ الْقَافَةِ

(رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ)

Dari A’isyah rah. ia berkata, “Sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengunjunginya dengan keadaan suka cita, guratan kegembiraan nampak di wajah beliau. Lalu beliau bersabda, “Tidakkah kamu tadi melihat Mujazzir (seorang ahli nasab) memandang  Zaid bin Haritsah dan Usamah bin Zaid, lalu berkata: “Kaki-kaki ini memiliki kesamaan antara satu dengan yang lain.” Abu Isa (Tirmidzi) berkata, “Ini merupakan hadits hasan shahih.” Dan sungguh Ibn ‘Uyainah meriwayatkan hadits ini dari al-Zuhri dari Urwah dari Aisyah, dengan tambahan, “Tidakkah kamu melihat Mujazzir melintas di depan Zaid bin Haritsah dan Usamah bin Zaid saat kepala mereka tertutup dan terlihat kakinya. Lalu ia berkata: “Sesungguhnya kaki-kaki ini memiliki kesamaan antara satu dengan yang lain.” Demikianlah Sa’id bin Abdirrahman dan lebih dari seorang perawi menceritakan hadits ini kepada kami, dari Sufyan bin Uyaynah, dari al-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah. Dan ini merupakan hadis shahih, sebagian ulama telah menjadikan hadits ini sebagai hujjah dalam masalah qiyafah." (HR. Tirmidzi)  

فَأَقْصَى اْلإِمْكَانِ فِيْ ذَلِكَ أَنَّ الرَّسُوْلَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لَوْ لَمْ يَكُنْ مُعْتَقِدًا قَبُوْلَ قَوْلِ الْقَائِفِ لَعَدَّهُ مِنَ الزَّجْرِ وَالْفَأْلِ وَالْحَدْسِ وَالتَّخْمِيْنِ، وَلَمَا أَبْعَدَ أَنْ يُخْطِئَ فِيْ مَوَاضِعَ وَإِنْ أَصَابَ فِيْ مَوَاضِعَ، فَإِذَا تَرَكَهُ وَلَمْ يَرُدَّهُ كَانَ الْكَلاَمُ عَلَى اْلأَنْسَابِ بِطَرِيْقِ الْقِيَافَةِ، فَهَذَا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ قَدْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مُسْتَنَدُ اْلأَنْسَابِ، فَهَذَا هُوَ الْمُمْكِنُ فِيْ ذَلِكَ

"Kemungkinan paling maksimal dalam hal tersebut adalah bahwa andaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallah tidak meyakini informasi ahli nasab, tentu beliau menganggapnya sebagai larangan, asumsi, perkiraan, dan taksiran, dan tentu akan sering dalam tidak tepat dalam beberapa kesempatan, meski bisa tepat dalam kesempatan lain. Maka ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan dan tidak menolaknya, maka pembahasan tentang nasab itu berdasarkan teori qiyafah. Maka penerimaan ahli nasab dari kajian tersebut bisa menunjukkan, bahwa qiyafah adalah dasar penentuan nasab, dan demikian yang mungkin dalam masalah tersebut." (Abdul Malik al-Juwaini/Imam Haramain, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997) h. 188). 

وَالْمَقْصُوْدُ أَنَّ أَهْلَ الْقِيَافَةِ كَأَهْلِ الْخِبْرَةِ وَأَهْلِ الْخَرْصِ وَالْقَاسِمِيْنَ وَغَيْرِهِمْ مِمَّنْ اعْتِمَادُهُمْ عَلَى اْلأُمُوْرِ الْمُشَاهَدَةِ الْمَرْئِيَّةِ لَهُمْ وَلَهُمْ فِيْهَا عَلاَمَاتٌ يَخْتَصُّوْنَ بِمَعْرِفَتِهَا مِنَ التَّمَاثُلِ وَاْلاخْتِلاَفِ وَالْقَدْرِ وَالْمَسَاحَةِ وَأَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ النَّاسُ يَجْتَمِعُوْنَ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ فَيَرَاهُ مِنْ بَيْنِهِمْ الْوَاحِدُ وَاْلإِثْنَانِ فَيُحْكَمُ بِقَوْلِهِ أَوْ قَوْلِهِمَا دُوْنَ بَقِيَّةِ الْجَمْعِ

"Yang dimaksud adalah sungguh ahli qiyafah itu seperti pakar bidang tertentu, juru taksir, juru pembagi, dan semisalnya dari orang-orang yang berpedoman pada perkara yang bersifat kasat mata dan bisa dilihat mereka. Dalam hal tersebut mereka memiliki tanda-tanda yang secara khusus diketahui mereka, yaitu kemiripan, perbedaan, taksiran, dan ukuran luas. Yang lebih mendalam dari hal itu adalah orang-orang yang berkumpul untuk melihat hilal, ketika satu atau dua orang di antara mereka melihatnya, maka diputuskan dengan informasi satu atau dua orang tadi, tanpa informasi dari selainnya." (Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2000), hal.139). 

 بِدِقَّتِهَا وَصِحَّتِهَا مَوْضُوْعُ نَظَرٍ لِأَنَّ تَشَابُهَ فَصَائِلَ الدَّمِ بَيْنَ شَخْصٍ وَآخَرَ أَمْرٌ وَارِدٌ مَعَ إِمْكَانِيَّةِ خَطَأِ التَّحَالِيْلِ وَتَزْوِيْرِهَا، وَلِذَلِكَ فَإِنَّ اْلإِسْتِعَانَةَ بِهَذِهِ الْقَرِيْنَةِ فِي النَّفْيِ وَلَيْسَتْ فِي اْلإِثْبَاتِ

"Terkadang hasil penelitian laborat bisa memberi manfaat, hanya saja detail dan kebenaran secara pasti masih menjadi bahan diskusi, dikarenakan kemiripan golongan darah antara seseorang dengan orang lain merupakan hal yang bisa saja terjadi, di samping masih terbukanya kemungkinan kesalahan hasil analisa laborat dan terjadinya pemalsuan. Oleh karena itu penggunaan sarana ini hanya untuk meniadakan hubungan garis keturunan saja, dan tidak untuk digunakan dalam menetapkan hubungan garis keturunan (nasab)." (Shalih Ali Nashir, dkk, Tharaiq al-Hukm fi al-Syar’iyah al-Islamiyah, hal.350).

Singkatnya, penggunaan teknologi tes DNA dalam menentukan hubungan keturunan (nasab) bisa dilakukan dan dijadikan sebagai bagian yang mendukung boleh tidaknya seseorang itu diakui sebagai nasabnya. Dengan tes DNA itu, seseorang bisa dinasabkan secara biologis, tetapi tidak bisa dinasabkan sebagai nasab secara syar' i. Sebab, yang bersangkutan itu lahir atas pernikahan secara sah atau tidak, itulah pennasalahannya. (Sidang Komisi Bahsul Masa'il ad-Diniyyah al-Waqi'iyyah Nahdlatul Ulama (BM-NU) ke-31 di Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Pada tanggal, 28 November - 02 Desember 2004, yang bertepatan pada tanggal 15-18 Syawal 1425 H). Wallahu a'lam 🙏🏻

Video hanya pemanis 😊😊😊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar