Selasa, 05 April 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGHADIRI UNDANGAN BUKA BERSAMA DARI NON MUSLIM

Tidak masalah bagi umat Islam pada saat bulan Ramadhan untuk menerima makanan ifthor atau menghadiri acara buka puasa yang dipersembahkan oleh non muslim. Seperti halnya juga tidak masalah menerima dana dari mereka untuk membeli makanan buka puasa, yang menjadi tujuan dari makanan tersebut adalah hibah atau hadiah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menerima hadiah dari sebagian orang yahudi.

Dari Abu Sa’id as Sa’idi berkata,

غزونا مع النبي صلى الله عليه وسلم تبوك ، وأهدى ملك أيلة للنبي صلى الله عليه وسلم بغلة بيضاء ، وكساه بُرداً. رواه البخاري 2990

“Kami telah berperang bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada perang Tabuk, Raja Eliyah telah menyerahkan hadiah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tunggangan putih (peranakan kuda dan keledai) dan memakaikan jubah kepada Beliau”. (HR. Bukhari: 2990)

Abbas bin Abdul Muththalib berkata pada saat perang Hunain,

وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَغْلَةٍ لَهُ بَيْضَاءَ أَهْدَاهَا لَهُ فَرْوَةُ بْنُ نُفَاثَةَ الْجُذَامِيُّ. رواه مسلم 1775

“Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di atas tunggangan putih (peranakan kuda & keledai) yang didapat sebagai hadiah dari Farwah bin Nufatsah al Judami”. (HR. Muslim: 1775)

Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa,

أَنَّ أُكَيْدِرَ دُومَةَ أَهْدَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَوْبَ حَرِيرٍ فَأَعْطَاهُ عَلِيًّا فَقَالَ شَقِّقْهُ خُمُرًا بَيْنَ الْفَوَاطِمِ. رواه البخاري 2472 ، ومسلم واللفظ له 2071

“Akdiradumah telah memberikan hadiah pakaian sutera lalu oleh beliau diberikan kepada Ali seraya bersabda: “Robeklah untuk dijadikan khimar (kerudung) bagi tiga orang Fatimah (Fatimah binti Rasulullah, Fatimah binti Asad, Fatimah binti Hamzah)”. (HR. Bukhari: 2472 dan Muslim dan ini redaksi beliau: 2071)

Imam An-Nawawi ra berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa hukumnya boleh menerima hadiah dari orang kafir”. (Syarah Muslim: 14/50-51)

Jika dewasa ini kemudian ada orang atau pihak yang mengharamkannya, apakah yang jadi landasan sebagai larangan itu adalah dari makanannya, tempat berbuka puasanya, kebersamaan Muslim yang berpuasa dengan non-muslimnya, atau siapa yang mengundangnya? Menurut pendapat kami, setidaknya empat pokok masalah ini yang dipersoalkan. Kita akan memulai satu persatu menguraikan empat masalah ini. 

Pertama masalah makanannya. Kalau makanan yang dihidangkan untuk berbuka puasa itu terbuat dari zat yang diharamkan seperti babi, anjing, khamar, dan segala bentuk makanan dan minuman, jelas memakan dan meminumnya adalah haram. Tetapi kalau yang dihidangkan berupa makanan yang halal, maka tidak masalah mengonsumsinya meskipun itu disediakan oleh non-muslim. Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 5 sebagai berikut,

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ 

“Makanan Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal juga bagi mereka.” (QS. Al-Maidah : 5)

Perihal ayat ini, An-Nasafi dalam tafsirnya Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil menjelaskan,  

وَطَعَامُ الذين أُوتُواْ الكتاب حِلٌّ لَّكُمْ } أي ذبائحهم لأن سائر الأطعمة لا يختص حلها بالملة { وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ } فلا جناح عليكم أن تطعموهم لأنه لوكان حراماً عليهم طعام المؤمنين لما ساغ لهم إطعامهم 

“(Makanan Ahli Kitab itu halal bagimu) maksudnya adalah hewan yang disembelih oleh mereka. Karena semua makanan itu tidak dihalalkan secara khusus untuk agama ini. (dan makanan kamu halal juga bagi mereka) sehingga tidak dosa kamu berbagi makanan dengan mereka. Karena seandainya makanan orang beriman itu haram untuk mereka, niscaya tidak boleh memberikan makanan itu kepada mereka,” (Lihat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud An-Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil, Darul Fikr, Beirut). 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ ، وَلا يَأْكُلُ الصَّدَقَةَ ، فَأَهْدَتْ لَهُ يَهُودِيَّةٌ بِخَيْبَرَ شَاةً مَصْلِيَّةً سَمَّتْهَا، فَأَكَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dan tidak memakan sedekah. Suatu ketika ada wanita Yahudi di Khaibar yang menghadiahkan kepada beliau kambing panggang yang telah diberi racun. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dagingnya. (HR. Abu Dawud).

Sedangkan kedua, masalah tempat sahur atau tempat berbuka puasa. Kita harus mengaitkan ibadah puasa dengan ibadah lainnya. Para ulama membedakan ibadah puasa dari lainnya. Kalau ibadah lainnya seperti shalat, umrah, dan haji, waktu dan tempat pelaksanaannya sudah ditentukan. Orang tidak bisa berhaji di sembarang tempat. Demikian juga shalat. Meskipun setiap jengkal tanah bisa menjadi tempat shalat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memakruhkan shalat di tempat menderumnya unta, kolam pemandian, tempat penampungan sampah, kuburan, atau di jalanan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,

عن ابن عمر قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يصلى في سبع مواطن في المزبلة والمجزرة والمقبرة وقارعة الطريق والحمام ومعاطن الإبل وفوق الكعبة

“Dari Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang shalat di tujuh lokasi, tempat sampah, tempat jagal hewan, kuburan, di tengah jalan, kolam pemandian, tempat menderum unta, dan di atas Ka’bah.” (HR Ibnu Majah). 

Adapun ibadah puasa hanya ditentukan waktunya yakni sejak terbit hingga terbenam matahari seperti disebutkan Al-Qur'an di Surat Al-Baqarah. Sedangkan perihal tempat, agama tidak membatasi orang yang berpuasa untuk melakukan sahur dan berbuka puasa di manapun. Jadi tidak ada larangan dalam Islam untuk bersahur dan berbuka puasa di tempat tertentu. 

Sementara ketiga, kebersamaan dengan non-muslim. Pergaulan antara muslim dan non-muslim tidak dipermasalahkan oleh Islam. Pada Surat Al-Mumtahanah ayat 8-9, Allah SWT menegaskan bagaimana seharusnya hubungan muslim dan non-muslim. 

ولذا قال تعالى: لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9) 

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sungguh Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah : 8-9)

Pada ayat ini, kita dapat melihat sababun nuzulnya terlebih dahulu. Ibnu Ajibah membawa riwayat sebagai berikut,

رُوِي أن « قُتَيلةَ بنت عبد العزى » قَدِمَتْ مشركة على بنتها « أسماء بنت أبي بكر » رضي الله عنه ، بهدايا ، فلم تقبلها ، ولم تأذن لها بالدخول فنزلت ، وأمرها رسولُ الله صلى الله عليه وسلم أن تقبل منها ، وتُكرمها ، وتُحسن إليها

“Diriwayatkan bahwa Qutailah binti Abdul Uzza (ketika musyrik) mendatangi anaknya, Asma binti Abu Bakar dengan membawa hadiah. Tetapi Asma tidak menerima pemberian ibunya dan tidak mengizinkan ibunya masuk rumah. Lalu turunlah ayat itu (Al-Mumtahanah ayat 8-9). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu meminta Asma untuk menerima pemberian ibunya, menghormati dan memuliakan ibunya,” (Lihat Ibnu Ajibah, Tafsir Al-Bahrul Madid). 

Terakhir, adalah masalah siapa yang mengundang. Keterangan Abu Bakar bin Sayid Muhammad Syatha Dimyathi dalam Hasyiyah I’anatut Thalibin dapat membantu kita memperjelas persoalan ini. 

( قوله إن دعاه مسلم ) خرج به ما لو كان كافرا فلا تطلب إجابته نعم تسن إجابة ذمي 

“(Jika diundang oleh seorang muslim), kafir (harbi) tidak masuk kategori muslim.Kalau diundang oleh kafir harbi, muslim tidak wajib mendatangi undangannya. Tetapi disunahkan mendatangi undangan dzimmi (non-muslim yang hidup rukun dengan muslim).” (Lihat Abu Bakar bin Sayid Muhammad Syatha Dimyathi, Hasyiyah I’anatut Thalibin, Darul Fikr, Beirut). 

Dari empat pokok yang dipermasalahkan, kita ternyata tidak menemukan masalah di dalamnya. Memang benar tidak ada ayat Al-Qur'an dan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menganjurkan kita untuk berbuka puasa atau sahur bersama non-muslim. Tetapi kita juga tidak menemukan dalil Al-Qur'an dan hadits yang melarang buka puasa bersama di tempat ibadah non-muslim. Alangkah bijaknya jika masyarakat muslim terus menggali perihal agama dan terutama hukum Islam secara seksama dan mendalam sehingga tidak berteriak ini munkar, itu munkar tanpa dasar kajian. Semuanya sudah jelas di dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar