Senin, 20 September 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM TAHLIL ATAU TAHLILAN UNTUK ORANG MENINGGAL

Ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa tahlilan itu suatu hal baru dalam agama (bid'ah) yang harus ditinggalkan dengan berdalil,

من عمل عملًا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada dalam urusan kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa mengada-ada dalam urusan kami, sesuatu yang tidak ada asalnya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim)

Benarkah bahwa tahlilan itu bid'ah dan bukan perkara agama islam? 

Lafazh tahlil berasal dari kata,

هَلَّلَ – يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلا

"Hallala" "Yuhallilu" "Tahliilan"

Artinya: "Mengucapkan laa ilaaha illallaah."

Kalimat "laa ilaaha illallaah" jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna: "Tidak ada Tuhan selain Allah."

Kata Tahlilan juga berasal dari bahasa Arab tahliilun (تَهْلِيْلٌ) dari akar kata,

  هَلَّلَ – يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلا

yang berarti mengucapkan kalimat, لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ . Kata tahlil dengan pengertian ini telah muncul dan ada di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabda beliau,

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى .رواه مسلم

“Dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda, "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dhuha.” (HR. Muslim).

Tahlilan merupakan suatu tradisi kegiatan dzikir bersama masyarakat indonesia dengan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir), di mana pahala bacaan tersebut dihadiahkan untuk para arwah (mayit) yang disebutkan oleh pembaca atau oleh pemilik hajat. Adapun diantara hujjahnya adalah, 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ 

Abu Hurairah dan Abu Sa'id Al Khudri bahwasanya keduanya menyaksikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tidaklah suatu kaum yang duduk berkumpul untuk mengingat Allah, kecuali dinaungi oleh para malaikat, dilimpahkan kepada mereka rahmat, akan diturunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah Azza Wa jalla akan menyebut-nyebut mereka di hadapan para makhluk yang ada di sisi-Nya. (HR. Muslim no.4868)

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ   

“Barangsiapa yang mencontohkan sunnah hasanah dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah sayyi’ah dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim).

Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar bahasa Indonesia) tahlilan adalah pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an untuk memohonkan rahmat dan ampunan bagi arwah orang yang meninggal atau pengucapan kalimat tauhid laa ilaaha illallaah tidak ada Tuhan selain allah secara berulang-ulang.

Tahlilan biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu, seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya. Tahlilan juga sering dilaksanakan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam tertentu saat tasyakkuran dan sejenisnya.

Diantara rangkaian tahlilan terdiri dari bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, tasbih, tahmid, takbir dan kalimat thaiyibah lainnya. Adapun hujjahnya sebagaimana sebuah riwayat menyebutkan,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِيِّ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا إِلَى سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ حِينَ تُوُفِّيَ، قَالَ: فَلَمَّا صَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَسُوِّيَ عَلَيْهِ، سَبَّحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَبَّحْنَا طَوِيلًا، ثُمَّ كَبَّرَ فَكَبَّرْنَا، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، لِمَ سَبَّحْتَ؟ ثُمَّ كَبَّرْتَ؟ قَالَ: " لَقَدْ تَضَايَقَ عَلَى هَذَا الْعَبْدِ الصَّالِحِ قَبْرُهُ حَتَّى فَرَّجَهُ اللهُ عَنْهُ "

“Jabir bin Abdillah berkata: “Pada suatu hari kami keluar bersama Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallam menuju sahabat Sa’ad bin Mu’adz ketika meninggal dunia. Setelah Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat jenazah kepadanya, ia diletakkan di pemakamannya, dan tanah diratakan di atasnya, maka Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallam membaca tasbih. Kamipun membaca tasbih dalam waktu yang lama. Kemudian Nabi membaca takbir, maka kami membaca takbir. Lalu Nabi ditanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau membaca tasbih kemudian membaca takbir?” Nabi menjawab, “Kuburan hamba yang shaleh (Sa’ad bin Mu’adz) ini benar-benar menjadi sempit kepadanya, hingga Allah melapangkannya baginya.” (HR. Ahmad)

Dengan demikian, inti tahlilan adalah :

*Pertama,* menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. 

*Kedua,* mengkhususkan bacaan itu pada waktu-waktu tertentu, yaitu tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, dan sebagainya. 

*Ketiga,* bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan untuk peserta tahlilan. 

*Keempat,* membacakan istighfar dan mendokan mayit agar diterima amal ibadahnya, diampuni dosa dan kesalahannya, mendapatkan rahmat dan ampunan Allah dan Husnul khatimah. 

Maka jawabnya, bahwa keempat inti dari tahlilan semuanya adalah termasuk perkara agama yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama terkait keempat masalah tersebut?   

*1. Hukum hadiah bacaan Al-Qur'an untuk mayit*

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. *Pertama,* ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan,   

أَنَّ الْإِنْسَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ، عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ الْأَذْكَارَ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ 

"Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya." (Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 5, hal. 131).   

Sedangkan, Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menyebutkan,   

وَإِنْ قَرَأَ الرَّجُلُ، وَأَهْدَى ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لِلْمَيِّتِ، جَازَ ذَلِكَ، وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ أَجْرُهُ    

"Jika seseorang membaca Al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada mayit." (Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, hal. 173).   

Senada dengan kedua ulama di atas, imam Nawawi dari mazhab Syafi’i menuturkan,

وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يُسَلِّمَ عَلَى الْمَقَابِرِ، وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ أَهْلِ الْمَقْبَرَةِ، وَالأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ السَّلَامُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيْثِ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ، وَيَدْعُو لَهُمْ عَقِبَهَا   

"Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunnahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an, dan berdoa untuk mereka setelahnya." (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, hal. 311).   

Syekh Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali juga menuturkan,   

وَأَيُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا، وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ، نَفَعَهُ ذَلِكَ، إنْ شَاءَ اللَّهُ. أَمَّا الدُّعَاءُ، وَالِاسْتِغْفَارُ، وَالصَّدَقَةُ، وَأَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ، فَلَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا   

"Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat (akan kebolehannya)." (Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 5, hal. 79).   

Di antara ulama yang membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit adalah Ibnu Taimiyyah seorang ulama rujukan salafi wahabi. Dalam kitab Majmu’ Fatawa beliau disebutkan,

وَأَمَّا الْقِرَاءَةُ وَالصَّدَقَةُ وَغَيْرُهُمَا مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ فَلَا نِزَاعَ بَيْنَ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِي وُصُولِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ كَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ، كَمَا يَصِلُ إلَيْهِ أَيْضًا الدُّعَاءُ وَالِاسْتِغْفَارُ وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ صَلَاةُ الْجِنَازَةِ وَالدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِهِ. وَتَنَازَعُوا فِي وُصُولِ الْأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ، كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ. وَالصَّوَابُ أَنَّ الْجَمِيعَ يَصِلُ إلَيْهِ   

"Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya, berupa amal-amal kebaikan, maka tidak ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah akan sampainya pahala ibadah harta, seperti sedekah dan pembebasan (memerdekakan budak). Sebagaimana sampai kepada mayit juga, pahala doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di samping kuburannya. Para ulama berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti puasa, shalat, dan bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai kepada mayit." (Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, juz 24, h. 366).   

*Kedua,* sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis,  

قَالَ فِي التَّوْضِيحِ فِي بَابِ الْحَجِّ: الْمَذْهَبُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَا تَصِلُ لِلْمَيِّتِ حَكَاهُ الْقَرَافِيُّ فِي قَوَاعِدِهِ وَالشَّيْخُ ابْنُ أَبِي جَمْرَةَ   

"Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji: Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit. Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi Jamrah." (Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, hal. 173).   

Dari paparan di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan Syekh Ibnu Taimiyyah membolehkannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain melarangnya.

*2. Hukum mengkhususkan waktu.*   

Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu tertentu untuk beribadah atau membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, seperti malam Jumat atau setelah melaksanakan shalat lima waktu. Mereka berpegangan kepada hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu,    

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا. وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ.   

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wa sallam selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma juga selalu melakukannya." (HR. Bukhari no 1118, Muslim no.4930, Ahmad no.4305, Abu Daud no.4419, Tirmidzi no.3625, An-Nasa'i no.5364, Malik no.1587, Darimi no.2949 dan Ibnu Majah no.4285)   

Mengomentari hadits tersebut, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, "hadits ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya." (Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 4, hal. 197).   

Artinya, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat, atau malam lainnya untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, hukumnya boleh.   

*3. Hukum bersedekah untuk mayit.*   

Para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha,   

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا، وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ. أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا. قَالَ نَعَمْ

Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata, “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.” (HR. Bukhari no.1299, 2551, Muslim no.3082, 1672, Abu Daud no.2495 dan Tirmidzi no.851)

Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi berkata, "hadits ini menjelaskan bahwa bersedekah untuk mayit bermanfaat, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Para ulama bersepakat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit." (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, juz 7, hal. 90).   

*4. Hukum memohonkan istighfar dan memanjatkan doa untuk mayit.*

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Haayr : 10).

Dari Utsman bin Affan menuturkan, apabila Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah selesai menguburkan jenazah, beliau bersabda, 

 كانَ النَّبيُّ إذا فَرغَ مِن دفنِ الميِّتِ وقفَ عليهِ ، فَقالَ : استَغفِروا لأَخيكُم ، واسأَلوا لَهُ بالتَّثبيتِ ، فإنَّهُ الآنَ يسألُ

"Mintakanlah ampunan untuk saudara kalian ini, dan mohonkanlah keteguhan untuknya, karena sesungguhnya ia sekarang sedang ditanya (Malaikat Munkar dan Nakir." (HR Abu Dawud).

وعن عبد الله رضي الله عنهما - قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ما الْمَيّتُ في القَبْرِ إلاّ كالْغَرِيْق الْمُتَغَوِّثِ يَنتَظِرُ دَعْوَةً تَلحَقُه مِن أبٍ أوْ أُمٍّ أوْ أخٍ أوْ صَدِيقٍ فإذا لَحِقَتْه كانَتْ أحَبَّ إليه مِن الدُّنيا ومَا فيها وإنَّ اللهَ عزّ وجلّ لَيُدخِلُ على أهْلِ القُبُورِ مِن دُعاءِ أهْلِ الأَرْضِ أمْثَالَ الجِبالِ وإنَّ هَديَّةَ الأَحْيَاءِ إلى الأَمْوَاتِ الاِسْتِغفارُ لهم

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Seorang mayat dalam kuburnya seperti orang tenggelam yang sedang meminta pertolongan. Dia menanti-nanti doa ayah, ibu, anak, dan kawan yang tepercaya. Apabila doa itu sampai kepadanya, maka itu lebih ia sukai daripada dunia berikut segala isinya. Dan sesungguhnya Allah menyampaikan doa penghuni dunia untuk ahli kubur sebesar gunung. Adapun hadiah orang-orang yang hidup kepada orang-orang mati ialah memohon istighfar kepada Allah SWT untuk mereka dan bersedekah atas nama mereka." (HR Ad-Dailami).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tahlilan diperbolehkan dalam Islam, sebab mayoritas ulama menegaskan kebolehan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit, sebagaimana mereka menyatakan kebolehan mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an, kalimat thayyibah dan memohonkan ampunan dan doa untuk mayit. Para ulama juga sepakat (berijma'/berkonsensus) akan kebolehan berusaha berbuat atau melakukan suatu yang pahalanya dihadiahkan untuk mayit semisal membadalkan haji dan umrah. Wallahu a’lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموقف الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar