Selasa, 01 Desember 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM ADZAN UNTUK JIHAD

Video adzan Hayya Alal Jihad yang dilakukan oleh sekelompok umat islam beredar luas di media sosial. Aksi mengumandangkan adzan dengan membubuhkan lafazh hayya alal jihad ini viral setelah Polda Metro Jaya melayangkan surat panggilan pemeriksaan kepada Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab terkait kasus dugaan pelangggaran protokol kesehatan.

Tertulis dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah sebagai berikut,

شُرِعَ الأَْذَانُ أَصْلاً لِلإِْعْلاَمِ بِالصَّلاَةِ إِلاَّ أَنَّهُ قَدْ يُسَنُّ الأَْذَانُ لِغَيْرِ الصَّلاَةِ تَبَرُّكًا وَاسْتِئْنَاسًا أَوْ إِزَالَةً لِهَمٍّ طَارِئٍ وَالَّذِينَ تَوَسَّعُوا فِي ذِكْرِ ذَلِكَ هُمْ فُقَهَاءُ الشَّافِعِيَّةِ فَقَالُوا : يُسَنُّ الأَْذَانُ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ حِينَ يُولَدُ ، وَفِي أُذُنِ الْمَهْمُومِ فَإِنَّهُ يُزِيل الْهَمَّ ، وَخَلْفَ الْمُسَافِرِ ، وَوَقْتَ الْحَرِيقِ ، وَعِنْدَ مُزْدَحِمِ الْجَيْشِ ، وَعِنْدَ تَغَوُّل الْغِيلاَنِ وَعِنْدَ الضَّلاَل فِي السَّفَرِ ، وَلِلْمَصْرُوعِ ، وَالْغَضْبَانِ ، وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إِنْسَانٍ أَوْ بَهِيمَةٍ ، وَعِنْدَ إِنْزَال الْمَيِّتِ الْقَبْرَ قِيَاسًا عَلَى أَوَّل خُرُوجِهِ إِلَى الدُّنْيَا .

Pada dasarnya azan disyariatkan sebagai pemberitahuan untuk shalat, hanya saja adzan juga disunahkan selain untuk shalat dalam rangka mencari keberkahan, menjinakkan, dan menghilangkan kegelisahan yang luar biasa.

Pihak yang memperluas masalah ini adalah para ahli fiqih Syafi’iyah. Mereka mengatakan:

1. Disunahkan adzan ditelinga bayi saat lahirnya

2. Di telinga orang yang sedang galau karena itu bisa menghilangkan kegelisahan,

3. Mengiringi musafir,

4. Saat kebakaran,

5. Ketika pasukan tentara kacau balau,

6. Ketika diganggu makhluk halus,

7. Disaat tersesat dalam perjalanan,

8. Terjatuh,

9. Saat marah,

10. Menjinakan orang atau hewan yang jelek perangainya,

11. Saat memasukan mayit ke kubur diqiyaskan dengan saat manusia terlahir ke dunia. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, juz 2 hal. 372-373)

Ada pun Imam Malik memakruhkan semua hal ini, tapi berbeda dengan pengikutnya (Malikiyah) yang justru sepakat dengan kalangan Syafi’iyah.  Berikut ini keterangannya,

وَكَرِهَ الإْمَامُ مَالِكٌ هَذِهِ الأْمُورَ وَاعْتَبَرَهَا بِدْعَةً ، إِلاَّ أَنَّ بَعْضَ الْمَالِكِيَّةِ نَقَل مَا قَالَهُ الشَّافِعِيَّةُ ثُمَّ قَالُوا : لاَ بَأْسَ بِالْعَمَل بِهِ

Imam Malik memakruhkan semua ini dan menyebutnya sebagai bid’ah, kecuali sebagian Malikiyah yang mengambil pendapat yang sama dengan Syafi’iyah, menurut mereka: “Tidak apa-apa mengamalkannya.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, juz 2 hal. 372-373)

Inilah ucapan adzan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sahabat Abu Mahdzurah,

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

(HR. Muslim, no. 379)

Sepengetahuan saya yang bisa digantikan adalah kalimat di tengah adzan dengan kalimat SHOLLU FII RIHAALIKUM atau SHOLLU FII BUYUUTIKUM, artinya shalatlah di rumah kalian yang dikumandangkan saat hujan deras dan menyulitkan.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, ”Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, diucapkan “Sholluu fii rihalikum” di tengah adzan. Dalam hadits Ibnu Umar, diucapkan lafadz ini di akhir adzan. Dua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i –rahimahullah– dalam kitab Al Umm pada Bab Adzan, begitu juga pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama Syafi’iyyah.”

Hadits tentang masalah ini adalah sebagai berikut.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِى يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ – قَالَ – فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Akan tetapi, ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun, aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, ”Orang yang lebih baik dariku telah melakukan hal ini yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” (HR. Muslim, no. 699) 

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tak pernah mengubah redaksi adzan. Bahkan saat perang pun tak ada redaksi adzan yang diubah.

Redaksi adzan itu tak boleh diubah menjadi ajakan jihad. Karena itu ibadah yang sifatnya tauqifi (langsung dari Syariah). Dalil yang tak boleh menambah atau mengurangi redaksi adzan adalah,

فقد اتفق الفقهاء على الصيغة الأصلية للأذان المعروف الوارد بكيفية متواترة من غير زيادة ولا نقصان,وهو مَثْنى مَثْنى،كَمَا اتفقوا على التَّثويب,أي الزيادة في أذان الفجر بعد الفلاح وهي:” الصلاة خير من النوم” مرتين،عملاً بما ثبت في السنة عن بلال.  (رواه الطبراني وغيره.نقلاً من حاشية الفقه الإسلامي وأدلته (1/543).

“Ulama telah sepakat tentang redaksi adzan adalah sebagaimana diketahui secara umum tanpa ditambah atau dikurangi. Yaitu dua-dua dan ditambahkan redaksi “shalat lebih baik daripada tidur” untuk salat subuh dua kali. Inilah untuk mengamalkan sunnah Nabi saw”. Dinukil dari Kitab Alfiqh al-Islami wa adillatuhu, karya Syaikh Wahbah Al Zuhaili.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami,

(قَوْلُهُ: فَإِنْ جَعَلَهُ) أَيْ لَفْظَ حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ (قَوْلُهُ: لَمْ يَصِحَّ أَذَانُهُ) ، وَالْقِيَاسُ حِينَئِذٍ حُرْمَتُهُ؛ لِأَنَّهُ بِهِ صَارَ مُتَعَاطِيًا لِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ

“Apabila lafadz adzan diubah seperti merubahnya menjadi “hayya ‘ala khairil’ amal – marilah berbuat kebaikan”, maka adzannya TIDAK SAH. Secara qiyas hukumnya adalah haram, karena orang yang mengubah kalimat adzan telah melakukan ritual ibadah yang rusak.”(Tuhfatul Muhtaj, 1/468)

Dalam Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyyah yang diasuh oleh Syaikh Abdullah Al Faqih disebutkan,

فإن الأذان من أعظم شعائر الإسلام …..وإذا كان الأذان بهذه المنزلة، فلا شك أن المحافظة على ألفاظه الشرعية وصيانتها عن التحريف والتبديل من المحافظة على شعائر الإسلام، ولذا ذهب كثير من أهل العلم إلى أن الخطأ في ألفاظ الأذان أو أدائه بما يغير المعنى يبطل الأذان.

Adzan termasuk syiar Islam yang paling agung sehingga menjaga lafaz yang Syar’i dan melindunginya dari penyimpangan dan perubahan adalah termasuk penjagaan terhadap syiar Islam. Oleh karena mayoritas ulama menyatakan bahwa kesalahan dalam lafaz adzan atau mengucapkannya tapi berubah maknanya, membuat adzan itu BATAL. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 36609)

Maka, jika tambahan “hayya ‘alal jihad” tersebut dianggap bagian dari adzan memanggil orang shalat maka adzan tersebut batal, bahkan dinilai sebagai perbuatan haram karena telah merusak ibadah. Sudah ratusan kali kaum muslimin berjihad sejak masa Badar sampai perang di Gaza, tidak ada satu riwayat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, para sahabat, tabi’in, ulama madzhab, sampai ulama zaman ini dan para mujahidinnya, menggunakan lafaz itu dalam adzan mereka. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar