Senin, 28 Desember 2020

KAJIAN TENTANG BADAN LEMBAGA ZAKAT ATAU BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT)

Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuh kembangkan bisnis usaha mikro dan kecil, dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. namun ada juga yang menyebutnya sebagai Balai Usaha Mandiri dan Terpadu (BMT). Yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadist. Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) beroperasi mengikuti ketentuan-ketentuan syari’ah Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam. 

Adapun secara terminologis (ma’na ishtilahi), sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam kitabnya Al Amwaal Fi Daulah Al Khilafah, Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Jadi setiap harta baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun harta benda lainnya di mana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara' dan tidak ditentukan individu pemiliknya walaupun telah tertentu pihak yang berhak menerimanya maka harta tersebut menjadi hak Baitul Mal Wat Tamwil, yakni sudah dianggap sebagai pemasukan bagi Baitul Mal Wat Tamwil. 

Secara hukum, harta-harta itu adalah hak Baitul Mal Wat Tamwil, baik yang sudah benar-benar masuk ke dalam tempat penyimpanan Baitul Mal Wat Tamwil maupun yang belum. Demikian pula setiap harta yang wajib dikeluarkan untuk orang-orang yang berhak menerimanya, atau untuk merealisasikan kepentingan kaum muslimin, atau untuk biaya penyebarluasan dakwah, adalah harta yang dicatat sebagai pengeluaran Baitul Mal, baik telah dikeluarkan secara nyata maupun yang masih berada dalam tempat penyimpanan Baitul Mal Wat Tamwil. 

Dengan demikian, Baitul Mal Wat Tamwil dengan makna seperti ini mempunyai pengertian sebagai sebuah lembaga atau pihak yang menangani harta masyarakat, baik pendapatan maupun pengeluaran. Namun demikian, Baitul Mal Wat Tamwil dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan suatu lembaga dalam sebuah organisasi. Istilah Baitul Mal atau Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) belakangan ini populer seiring dengan bangkitnya semangat umat untuk berekonomi secara Islam. 

Istilah itu biasanya dipakai oleh sebuah lembaga khusus (dalam sebuah organisasi, perusahaan atau instansi) yang bertugas menghimpun dan menyalurkan ZIS (zakat, infaq, shadaqah) dari masyarakat, para pegawai atau karyawannya. Kadang dipakai pula untuk sebuah lembaga ekonomi berbentuk koperasi serba usaha yang bergerak di berbagai lini kegiatan ekonomi umat, yakni dalam kegiatan sosial, keuangan (simpan-pinjam), dan usaha pada sektor riil.

Dalam bahasa fikih badan atau lembaga BMT dalam praktek akad dan realisasinya disebut murabahah. Murabahah merupakan suatu bentuk transaksi jual-beli dengan tujuan utama berbagi laba/keuntungan penjualan antara pemodal dan wakilnya. Harta zakat, infaq dan shadaqah sebagai pemodal, sementara pengurus Baitul Maal Wat Tamwil sebagai wakilnya. Adapun bagian hasil untuk pemodal (dari harta zakat, infaq dan shadaqah) dipergunakan untuk program sosial dan semisalnya.

Suatu misal, ada seorang pedagang (A) tidak mampu mendapatkan barang sendiri dari sebuah produsen. Kemudian ia meminta seorang agen (B) untuk mengusahakan langganan barang tersebut secara tetap dan rutin dengan perjanjian, kelak ia akan mendapatkan keuntungan dari sekian jumlah unit barang yang dipesan, pihak B akan mendapatkan nisbah keuntungan sekian persen (misal 10 persen). Akad seperti ini disebut dengan akad murabahah (berbagi laba).  

Contoh lain dari penerapan akad murabahah ini adalah seorang pedagang dari Semarang hendak membeli barang di Jakarta. Jika ia berangkat sendiri, maka akan keluar biaya yang besar untuk ongkos transportasi dan lain-lain. Agar dapat memangkas hal tersebut, ia mengangkat seorang wakil di Jakarta agar mengusahakan barang dagangan yang ia butuhkan, kemudian mengirimkan barang tersebut secara rutin setiap bulannya. Dari setiap unit barang yang dipesan, pihak wakil akan mendapatkan keuntungan 10 persen. Ongkos kuli ditanggung oleh pedagang dari Semarang. Akad antara pedagang dan wakilnya seperti ini dikenal sebagai akad murabahah, karena keberadaan rasio keuntungan yang diketahui dan disepakati bersama-sama antara ia dan si wakil.  

Dengan demikian, apa pengertian murabahah dalam fiqih kita? Berikut ulasannya. Imam al-Mawardi dalam kitab al-Iqna’ fi Hillil Alfadh Abi Sujja’ (1/468), mendefinisikan akad murabahah ini sebagai berbagi keuntungan antara pemodal dan pedagang dengan nisbah/rasio keuntungan yang diketahui di awal.

بيع المرابحة جائز من غير كراهة وهو عقد يبنى الثمن فيه على ثمن المبيع الأول مع زيادة بأن يشتري شيئاً بمائة ثم يقول لغيره بعتك هذا بما اشتريته وربح درهم زيادة أو بربح درهم لكل عشرة أو في كل عشرة 

“Hukum transaksi jual beli murabahah adalah boleh tanpa adanya unsur makruh. Murabahah merupakan akad yang dibangun dengan jalan menetapkan harga suatu barang di atas harga belinya ditambah keuntungan. Misalnya, seseorang membeli barang dengan harga 100 kemudian berkata kepada pihak kedua, aku jual barang ini ke kamu sesuai dengan harga dasar aku membelinya ditambah laba sekian dirham sebagai laba, atau dengan laba sekian dirham untuk tiap-tiap 10 dirhamnya, atau tiap 10 persennya. 

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pertama, akad murabahah merupakan jenis transaksi yang diperbolehkan dalam syariat. Kedua, unsur pelaku akad ini adalah adanya pemodal dan adanya wakil (orang yang dimodali). Ketiga, diketahuinya harga beli barang (harga dasar), dan Keempat, adanya perhitungan nisbah rasio keuntungan yang mafhum dan diketahui oleh wakil (orang yang dimodali). 

Selanjutnya, Imam al-Mawardi menyebutkan,

ويجوز أن يضم إلى رأس المال شيئاً ثم يبيعه مرابحة مثل أن يقول اشتريته بمائة وقد باعتكه بمائتين وربح درهم زيادة وكأنه قال بعت بمائتين وعشرين وكما يجوز البيع مرابحة يجوز محاطة مثل أن يقول بعت بما اشتريت به وحط درهم زيادة 

“Murabahah boleh dilakukan dengan jalan menotal pokok harta/modal (ra’sul-mâl) sebagai aset, kemudian menjual aset tersebut dengan murabahah. Contoh: Aku (pemodal) beli barang ini seharga 100, dan aku jual ke kamu (pedagang) dengan harga 200 dengan nisbah keuntungan sekian dirham yang ditambahkan. Seolah ia (pemodal) bilang, ‘Aku (pemodal) jual barang ini ke kamu seharga 220.’ Akad ini sama kebolehannya dengan praktik jual beli muhâthah, misalnya ucapan seorang pemodal: Aku (pemodal) jual barang ini sesuai dengan harga membelinya, ditambah dengan sekian dirham sebagai tambahan keuntungan.” (Lihat: Imam al-Mawardi, al-Iqna’ fi Hillil Alfadh Abi Sujja’ [1/468]) 

Penjelasan di atas menyebutkan bahwa boleh menetapkan margin keuntungan oleh wakil kepada pihak yang diwakilinya (pedagang). Harga dasar 100, dijual dengan harga 200 ditambah dengan nisbah keuntungan. Melihat proses bagaimana lahirnya akad murabahah ini, beberapa fuqaha’ mu’ashirah (ahli fiqih kontemporer) menyebut akad ini sebagai akad jual beli atas dasar amanah (‘aqdul buyu’u al-amânah). Mengapa? Karena dalam prosesnya, akad ini terjadi atas dasar amanah yang diberikan oleh pemilik modal (pedagang) kepada orang yang menjalankan (orang yang dimodali). Oleh karena itu, ia sangat berharap kejujuran orang yang menjalankannya dan berharap orang yang ditugasi menjalankan tidak melakukan hal-hal yang berbuah hilangnya kepercayaan (amanah) tersebut.  

Hikmah dari hal bai’ul amanah/murabahah ini, adalah kendati pihak pemodal berhak menentukan harga dan nisbah keuntungan, namun ia tidak akan berani menetapkan harga semaunya. Karena, jika hal tersebut ia lakukan, maka “sanksinya” adalah ia akan kehilangan pelanggan/nasabah yang memanfaatkan jasanya. 

Beberapa literatur khazanah Islam klasik menyebutkan bahwa akad murabahah ini dijalankan bila ada seseorang yang berniat menjalankan sebuah usaha, namun ia kekurangan modal. Agar usahanya berjalan, maka ia menjalin kerja sama dengan pihak kedua (pemodal), dengan nisbah pembagian keuntungan yang diketahui dan disepakati bersama-sama.

Dalam masa sekarang ini kita tak pernah tertinggal dari yang namanya lembaga keuangan, banyak sekali lembaga keuangan yang disediakan pemerintah untuk keperluan kita dalam kehidupan bermasyarakat,ada salah satu hadist yang menjelaskan tentang ini, 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله ﷺ: بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar ra berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Islam dibangun atas lima perkara, persaksian sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusanNya, mendirikaan shalat, mengeluarkan zakat, haji dan puasa ramadhan'' (HR . Bukhari)

Makna dari hadist diatas adalah Keuangan islam bersumber dari perintah yang ada dalam Al-Qur'an, dimana bagian ini sama pentingnya dalam agama. Ekonomi tidak pernah terlepas dari manusia . dalam QS. Al-Baqarah(2): 282 disebutkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah : 282)

Nah ayat tersebut sudah jelas dan begitu rinci mengatus aturan muamalah diantara manusia diera yang sekarang ini. Pada masa sekarang ini banyak muncul lembaga keuangan islam yang dikenal dwngan sebutan BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) tersebut. 

*1. Dasar Hukum Zakat*

Diatur dalam QS. Al-Baqarah : 43 yang bunyinya, 

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (QS. Al-Baqarah : 43).

*2. Dasar Hukum Infak*

Dijelaskan dalam QS. Ibrahim : 31 yang isinya, 

قُلْ لِعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا يُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خِلَالٌ

"Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan." (QS. Ibrahim : 31)

*3. Dasar Hukum Shadaqah*

Dijelaskan dalam Hadist riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصبِحُ العِبادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلانِ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Tidak ada hari kecuali setiap hari tersebut ada dua malaikat yang turun setiap pagi dan berkata salah seorang diantara mereka, ‘Ya Allah berilah ganti bagi orang yang berinfaq‘, dan berkata malaikat yang lain, ‘berilah kebinasaan bagi orang yang kikir.'” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari penjelasan diatas kita harus memahami bahwa riba itu haram hukumnya sedangkan sistem yang dipakai BMT adalah sistem bagi hasil dimana perhitungannya menurut ekonomi islam ada 2 macam yaitu : 

*(1) Profit sharing atau bagi hasil,* dimana total pendapatan usaha dikurangi biaya operasional untuk mendapatkan profit alias keuntungan bersih. 

*(2) Revenue sharing* yaitu laba berdasarkan total pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya operasional alias pendapatan kotornya. Sedangkan untung untuk pihak lembaga dan nasabah sudah diputuskan saat akad ditandatangani. 

*Adapun fungsi BAZ atau BMT sebagai berikut :*

(1) Meningkatkan kualitas SDM anggota, pengurus dan pengelola menjadi profesional dan amanah sehingga semakin utuh dan tangguh dalam berjuanh dan berusaha menghadapi tantangan global, 

(2) Mengorganisasi dan memobilisasi dana sehingga dana yang dimiliki oleh masyarakat dapat termanfaatkan secara optimal didalam dan diluar organisasi untuk kepentingan rakyat banyak, 

(3) Mengembangkan kesempatan kerja, 

(4) Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar produk-produk anggota. memperkuat dan meningkatkan kuakitas lembaga-lembaga ekonomi dan sosial masyarakat banyak.

*Fungsi dan peran BAZ atau BMT di masyarakat adalah :* 

(1) Motor penggerak ekonomi dan sosial masyarakat banyak, 

(2) Ujung tombak pelaksanaan sistem ekonomi islam, 

(3) Penghubung antara kaum aghnia (orang kaya) dan kaim dhu'afa (orang miskin),  

(4) Sarana pendidikan informal untuk mewujudkan prinsip hidup yang barakah, ahsanu 'amala 

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang hukum investasi dana zakat. Dalam Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003, zakat yang ditangguhkan boleh diinvestasikan (istismar) dengan beberapa syarat yang ketat.  Zakat ditangguhkan (ta'khir), yakni zakat yang penyalurannya ditangguhkan oleh lembaga zakat atau muzaki menangguhkan pembayaran ke lembaga zakat.

Zakat ditangguhkan bisa diterima sepanjang belum ada mustahik dan ada kemaslahatan lebih besar berdasarkan penilaian lembaga zakat atau muzaki. MUI lantas mencantumkan persyaratan zakat yang di-ta'khir-kan bisa diinvestasikan. Pertama, dana zakat harus disalurkan pada usaha yang dibenarkan oleh syariah dan peraturan yang berlaku. Kedua,  diinvestasikan pada bidang-bidang usaha yang diyakini dapat memberikan keuntungan atas dasar studi kelayakan. Ketiga, dibina dan diawasi pihak-pihak berkompeten.

Ulama kontemporer semisal Yusuf Qaradhawi mengungkapkan, investasi  dana zakat adalah halal. Al-Qaradhawi juga berpendapat, lembaga zakat boleh menginvestasikan dana zakat yang diterima secara melimpah dalam bentuk apa pun, seperti ruko dan sejenisnya. Hasil yang didapat dari investasi tersebut bisa disalurkan kepada para mustahik secara periodik. Bentuk investasi dana zakat itu tidaklah boleh dijual dan dialihkan kepemilikannya sehingga menjadi bentuk setengah wakaf." (Yusuf Qaradhawi, "Atsar al-Zakat lil afrad wa al-mujtamaat", paper dalam seminar Zakat I tahun 1984).

Alasan dibolehkannya investasi dana zakat, di antaranya adanya riwayat yang mengatakan bahwa Nabi dan para Khulafaur Rasyidin pernah menginvestasikan dana-dana zakat lewat unta dan kambing. Berdasarkan riwayat Anas bin Malik, Nabi pernah meminum susu dari hewan-hewan ternak zakat di Madinah. Hewan itu ditempatkan di tempat peternakan khusus dengan diurus para penggembala yang digaji sehingga peternakan tersebut menghasilkan pengembangan ternak secara signifikan. (HR. Bukhari).

Hal ini diperkuat oleh pendapat Imam An-Nawawi yang menyatakan bahwa imam boleh menyalurkan dana zakat secara langsung atau tidak langsung melalui penyewaan atau investasi bentuk apapun.(An-Nawawi, al-Majmu, jilid 6 h. 160).

*Metode Pengelolaan Badan Amil Zakat (BAZ) atau Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)*

*1. Pendayagunaan Zakat Konsumtif dan Zakat Produktif*

Pendagyagunaan dana zakat era kaitannya dengan bagaimana cara pendistribusiannya. Kondisi itu dikarenakan jika pendistribusiannya tepat sasaran dan tapat guna, maka akan sesuai dengan visi zakat yaitu merubah mereka para penerima zakat (mustahiq) menjadi pembayar zakat (muzakki).

Dalam pendistribusian zakat ada 2 macam yaitu: 

1). pendistribusian/pembagian dalam bentuk konsumtif untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. 

2). Pendistribusian dalam bentuk dana untuk kegiatan produktif untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang. (Ahmad Rafiq, Fiqh Kontekstual (dari Normatif Ke Pemaknaan Sosial), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 259).

Dalam pengelolaan kekayaan zakat masa kini. Hampir seluruh lembaga zakat menerapkan dua metode  pendistribusian zakat. Secara umum kedua katagori zakat ini dibedakan berdasarkan bentuk pemberian zakat dan pengunaan dana zakat itu oleh mustahiq. Masing-masing dari kebutuhan konsumtif dan produktif tersebut kemudian dibagi dua, yaitu konsumtif tradisional dan konsumtif kreatif. Sedangkan yang berbentuk produktif adalah produktif konvensional dan produktif kreatif. Adapun penjelasan lebih rinci dari keempat bentuk penyaluran zakat tersebut adalah:

*Konsumtif Tradisional*

Maksud dari pendistribusian zakat secara konsumtif tradisional adalah bahwa zakat dibagi kepada mustahiq dengan cara langsung untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, seperti pembagian zakat fitrah berupa beras dan uang kepada fakir miskin setiap idul fitri atau pengembangan zakat mal secara langsung oleh para mizakki kapada mustahiq yang sangat membutuhkan karena ketiadaan pangan atau karena mengalami musibah. Pola ini merupakan progran jangka pendek dalam rangka mengatasi masalah umat.

*Konsumtif Kreatif*

Pendistribusian zakat secara konsumtif kreatif adalah zakat yang diwujudkan dalam bentuk barang konsumtif dan digunakan untuk membantu orang miskin dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapinya. Bantuan tersebut antara lain berupa alat-alat sekolah dan beasiswa untuk para pelajar, bantuan sarana ibadah seperti sarung dan mukena, bantuan alat pertanian, seperti cangkul untuk petani, gerobak jualan untuk pedagang kecil dan lain-lain.

*Produktif Konvensional*

Pendistribusian zakat secara produktif konvensional adalah zakat yang diberikan dalam bentuk barang-barang produktif, di mana dengan mengunakan barang-barang tersebut, para mustahiq dapat menciptakan suatu usaha, seperti pemberian bantuan ternak kambing, sapi atau untuk membajak sawah, alat pertukangan, mesin jahit.

*Produktif Kreatif*

Pendistribusian zakat secara produktif kreatif adalah zakat yang diwujudkan dalam bentuk pemberian modal bergulir, baik untuk pemodalan proyek sosial, seperti bangunan sosial, pembangunan sekolah, sarana kesehatan atau tempat Ibadah maupun sebagai modal usaha untuk membantu pengembangan usaha para pedagang atau pengusaha kecil. (Muhammad Abdul Qadir Faris, Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat, (Semarang: Diana Utama Semarang, 1993), hlm 1-2).

Hasil dari analisi di atas, maka dapat disimplkan bahwa pengembangan zakat produktif dapat merubah mustahiq menjadi muzakki, karena dari hasil pengamatan kami selama ini, pendayagunaan zakat secara konsumtif belum mampu memperbaiki perekonamian umat. Oleh karena itu solusi untuk membangun kesejahteraan umat adalah melalui pemberian modal atau pengembangan zakat secara produktif.

Pengembangan Zakat Produktif sebagai Solusi untuk Membangun Kesejahteraan Umat

Dana zakat produktif diwujudkan dalam bentuk bantuan modal terhadap usaha mustahiq. Zakat produktif yaitu zakat yang diberikan oleh lembaga Badan Amil Zakat (BAZ) atau Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan modal, bantuan zakat produktif sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi yaitu untuk mengembangkan kondisi ekonami dan potensi produktivitas mustahiq.

Zakat untuk usaha produktif harus diberikan kepada mustahiq sebagai modal atau sumber pendapatan bagi mustahiq. (M. Dawan Raharjo, Islam dan Tranformasi Sosial Ekonomi, ( Jakarta : Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), hlm 445).

Model pengelolaan zakat secara produktif ini telah dicontohkan pada masa Khalifah Umar Ibn Khathab yang menyerahkan berupa tiga ekor unta sekaligus kepada salah seorang mustahiq yang sudah rutin meminta zakatnya, tapi belum berubah nasibnya, pada saat penyerahan tiga ekor untah itu, khalifah mengharapkan agar yang bersangkutan tidak datang lagi sebagai penerima zakat, tetapi diharapkan oleh khalifah sebagai pembayar zakat. Harapan Khalifah Umar Ibn Khathab tersebut ternyata menjadi kenyataan, karena pada tahun berukutnya, orang ini datang kepada Khalifah Umar Ibn Khathab bukan meminta zakat, tetapi untuk menyerahkan zakatnya. (Irfan Mahmud Ra’ana, Economics Sistem Under The Great (Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn Khathab), terj. Mansuruddin Djoely, ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1979), hlm 88).

Dalam pendayagunaan dana zakat untuk aktivitas-aktivitas produktif memiliki beberapa prosedur, aturan tersebut terdapat dalam Undang-undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, BAB V pasal 29 yaitu sebagai berikut :

1. Melakukan studi kelayakan.

2. Menetapkan jenis usaha produktif.

3. Melakukan bimbingan dan penyuluhan.

4. Melakukan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan.

5. Melakukan evaluasi.

6. Membuat laporan

Dalam pendistribusian dana zakat produktif, apabila Badan Amil Zakat (BAZ) atau Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) melaksanakan sesuai dengan amanat Undang-undang, maka tujuan pendayagunaan dana zakat dalam menghadirkan Muzakki-muzakki baru akan tercapai, karena dalam pembagian dana zakat merupakan tranfer kekayaan (membagi kekayaan), itu merupakan tujuan pengumpulan zakat.  Kaitannya dengan firman Allah Ta'ala dalam QS. Al-Hasyr : 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya." (QS. Al-Hasyr : 7).

Kandungan makna dari QS. Al-Hasyr : 7 tersebut mengisyaratkan harta dibagi-bagi pada setiap orang yang membutuhkan, agar harta tidak hanya beredar atau tidah hanya menjadi milik orang-orang kaya saja. Namun demikian pola peredaran harta juga harus memperhatikan Syari’at Islam atau tuntutan Agama yang mengatur hal tersebut. Di sinilah pentingnya pengelolaan zakat yang cerdas dan kreatif dalam hal pengelolaan sumber daya yang tersedia. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar