Istilah bid’ah sendiri menurut para ulama mempunyai dua perspektif yang berbeda. Dalam perspektif istilah syariat ketika dimutlakkan, bid’ah adalah hal baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits atau ijmak, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i dalam keterangannya yang sudah populer. Perspektif inilah yang dimaksud dalam hadits “seluruh bid’ah adalah sesat” itu.
Adapun dari perspektif kebahasaan, maka bid’ah adalah segala hal yang baru secara umum sehingga status hukumnya harus diperinci sesuai unsur yang dikandungnya. Perspektif kebahasaan inilah yang dimaksud para ulama ketika mengatakan bahwa bid’ah terbagi secara global menjadi buruk (sayyi’ah) atau baik (hasanah) dan secara detail terbagi menjadi: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sebab itulah, Imam Ibnu Atsir mengatakan:
فأمَّا الابتداع من المخلوقين، فإن كان في خلاف ما أمر الله به ورسوله، فهو في حَيِّز الذمِّ والإنكار، وإن كان واقعًا تحت عموم ما ندب الله إليه، وحضَّ عليه أو رسوله، فهو في حيِّز المدح، وإن لم يكن مثاله موجودًا
“Adapun membuat hal-hal baru yang dilakukan oleh makhluk, apabila dalam hal yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasulnya, maka itu masuk dalam kategori tercela dan diingkari. Apabila hal itu ada di bawah keumuman ajaran yang disarankan dan dianjurkan oleh Allah atau Rasulnya, maka itu masuk dalam kategori pujian meskipun tidak ada contoh sebelumnya.” (Ibnu Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, juz I, halaman 280)
Bid’ah hasanah ialah setiap amalan baru dalam agama yang tidak bertentangan dengan sumber agama, yaitu Al-Qur’an, hadits, dan ijma’. Kata bid’ah juga bisa dipahami sebagai ibadah atau aktivitas keagamaan yang tidak berpedoman pada dalil agama.
Sebagian orang sangat berlebihan dalam memahami bid’ah hingga mereka menyangka bahwa apa pun yang tak ada contohnya dari Nabi Muhammad atau para sahabat adalah bid’ah yang terlarang. Dalam benak mereka, seluruh hal baru dalam ibadah pastilah bid’ah dan seluruh bid’ah berarti sesat dan seluruh yang sesat berarti berujung neraka. Mereka memahami hadits tentang bid’ah hanya sepotong saja dan tak membaca seluruh tema ini secara komprehensif seperti yang dilakukan oleh para ulama muktabar.
Bila anggapan mereka itu dipakai secara konsisten, maka akan banyak ulama besar yang dianggap melakukan bid’ah, salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang notabene merupakan salah satu tonggak rujukan mereka dalam masalah akidah dan fiqih. Imam mujtahid pakar hadits yang biasanya dianggap paling ketat dan paling konsisten berpedoman pada sunnah Nabi ini menjelaskan tata cara berdoa dalam shalat yang sama sekali tak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah al-Hanbali disebutkan:
قَالَ الْفَضْلُ بْنُ زِيَادٍ: سَأَلْت أَبَا عَبْدِ اللَّهِ فَقُلْت: أَخْتِمُ الْقُرْآنَ، أَجْعَلُهُ فِي الْوِتْرِ أَوْ فِي التَّرَاوِيحِ؟ قَالَ: اجْعَلْهُ فِي التَّرَاوِيحِ، حَتَّى يَكُونَ لَنَا دُعَاءً بَيْنَ اثْنَيْنِ. قُلْت كَيْفَ أَصْنَعُ.؟ قَالَ إذَا فَرَغْتَ مِنْ آخِرِ الْقُرْآنِ فَارْفَعْ يَدَيْكَ قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ، وَادْعُ بِنَا وَنَحْنُ فِي الصَّلَاةِ، وَأَطِلْ الْقِيَامَ. قُلْت: بِمَ أَدْعُو؟ قَالَ: بِمَا شِئْت. قَالَ: فَفَعَلْت بِمَا أَمَرَنِي، وَهُوَ خَلْفِي يَدْعُو قَائِمًا، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ، وَقَالَ حَنْبَلٌ: سَمِعْت أَحْمَدَ يَقُولُ فِي خَتْمِ الْقُرْآنِ: إذَا فَرَغْت مِنْ قِرَاءَةِ {قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ} فَارْفَعْ يَدَيْكَ فِي الدُّعَاءِ قَبْلَ الرُّكُوعِ. قُلْت: إلَى أَيِّ شَيْءٍ تَذْهَبُ فِي هَذَا؟ قَالَ: رَأَيْت أَهْلَ مَكَّةَ يَفْعَلُونَهُ، وَكَانَ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ يَفْعَلُهُ مَعَهُمْ بِمَكَّةَ.
“Fadl Bin Ziyad berkata: Saya bertanya kepada Imam Ahmad (Abu Abdillah) demikian: ‘Saya mengkhatamkan Al-Qur’an (dalam shalat), apakah Al-Qur’an itu sebaiknya saya khatamkan di shalat witir atau di salat tarawih?’ Dia menjawab: ‘Jadikan khataman itu di shalat tarawih sehingga menjadi doa bagi kita di antara dua shalat.’ Saya berkata lagi: ‘Apa yang harus aku lakukan?’ Imam Ahmad menjawab: ‘Bila kamu sudah sampai di akhir Al-Qur’an, maka angkat tanganmu sebelum ruku', doakan kami dalam shalat dan lamakan berdirinya.’ Saya bertanya: ‘Dengan apa saya berdoa?’ Beliau menjawab: ‘Apa pun yang kamu suka.’ Lalu aku melakukan apa yang ia perintahkan sedangkan beliau di belakangku berdoa dengan berdiri sambil mengangkat tangannya. Hanbal juga bercerita, Aku mendengar Imam Ahmad berkata tentang khataman Al-Qur’an: “Kalau kamu sudah selesai membaca Al-Qur’an, maka bacalah Qul a’ûdzu birabbinnâs dan angkatlah tanganmu sebelum rukuk.” Saya bertanya kepadanya: “Anda bersandar pada apa dalam hal ini?’ Iman Ahmad berkata: ‘Aku melihat orang Makkah melakukannya dan Sofyan bin Uyainah juga melakukannya beserta mereka di Mekah.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz II, halaman 125-126)
Tatacara shalat yang diajarkan oleh Imam Ahmad itu bila dilihat dari kacamata orang-orang yang memahami bid’ah secara sempit akan menyebabkan vonis bid’ah juga menimpa Imam Ahmad, Imam Ibnu Qudamah, dan bahkan Imam Sufyan bin Uyainah. Unsur kebid’ahannya antara lain:
1. Nabi tidak pernah mencontohkan atau memerintahkan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an saat shalat tarawih.
2. Nabi tidak pernah mencontohkan atau memerintahkan untuk berdoa khatam Al-Qur’an saat sebelum rukuk, apalagi menginstruksikannya agar lama.
3. Nabi tidak pernah mencontohkan atau memerintahkan untuk mengangkat tangan dalam doa ketika berdiri sebelum rukuk
Petunjuk dalam hal ibadah yang nyata-nyata tidak pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut ternyata dilakukan oleh banyak orang di masa tersebut sehingga Imam Ahmad juga melakukannya. Hal ini bahkan menjadi ajaran resmi di mazhab Hanabilah. Bila ada yang mengatakan bahwa teknis ibadah seluruhnya haruslah selalu bergantung pada penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (tawqîfi), maka hal ini nyata-nyata tidak dipakai oleh Imam Ahmad sebab beliau melakukan itu hanya karena mencontoh penduduk Makkah.
Imam Ahmad Bin Hambal (164-241 H), salah satu ulama madzhab 4, berasal dari Bagdad, karya beliau antara lain, Musnad Ahmad, Ar Radd ilal Jahmiyah Waz Zanadiqah, dll. Beliau dikenal amat tegas terhadap hukum, akan tetapi amat tawadhu’ terhadap sesama ulama Ahlu Sunnah, berikut ini beberapa nukilan yang menunjukkan kearifan Ahmad bin Hambal terhadap mereka yang berbeda pendapat dengannya.
Dalam Siyar ‘Alam An Nubala’, dalam tarjamah, Ishaq bin Rahuyah, berkata Ahmad bin Hafsh As Sa’di, Syeikh Ibnu ‘Adi, “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: Tidak ada seorang pun yang pernah pergi ke Khurasan menyerupai Ishaq (kelebihannya), walaui dia telah menyelisihi kita dalam beberapa hal, sesungguhnya manusia masih berselisih satu sama lain.” (Siyar ‘Alam An Nubala’ hal. 16, vol. 10).
Juga diriwayatkan oleh Al Hafidz Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr, dalam Jami’ Bayan Al ‘Ilmi, dalam bab Itsbat Al Munadharah Wal Mujadalah Wa Iqamati Al Hujjah, dari Muhamad Bin ‘Attab bin Al Murba’, dia berka, aku mendengar Al ‘Abbas bin Abdi Al Al Adzim Al Ambari mengabarkan kepadaku: “Aku bersama Ahmad bin Hambal dan datanglah ‘Ali bin Madini dengan mengandarai tunggangan, lalu keduanya berdebat dalam masalah syahadah, hingga meninggi suara keduanya, sampai aku takut terjadi apa-apa di antara keduanya. Ahmad berpendapat adanya syahadah sedangakan ‘Ali menolak dan menyanggah, akan tetapi ketika Ali hendak meninggalkan tempat tersebut Ahmad bangkit dan menaiki kendaraan bersamanya.” (Jami’ Bayan Al ‘Ilmi hal. 968, vol.2).
Juga diriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hambal pernah berdebat dengan guru beliau Imam Syaf’i dalam masalah hukum orang yang meninggalkan shalat,
حكي أحمد ناظر الشافعي فى تارك الصلاة، فقال الشافعي، يا أحمد، اتقول انه كافرا !
قال : نعم
قال : اذا كان كافرا، كيف يسلم ؟
قال : يقول لا اله الا الله، محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم،
قال الشافعي : فاالرجل يستديم لهذ القول لا يتركه،
قال : يسلم بان يصلى،
قال : صلاة الكافر لا تصح، ولا يحكم باالاسلام بها، فانقطع أحمد وسكت،
Imam Syafi’i berkata kepada Imam Ahmad, “Wahai Ahmad, apakah engkau mengatakan dia (yang meninggalkan shalat) itu kafir?” Imam Ahmad menjawab, “Iya.”
Imam Syafi’i lantas bertanya, ”Jika sudah kafir bagaimana cara untuk berislam?”
Imam Ahmad menjawab, “Dengan mengatakan La ilaha ila Allah, Muhammadun Rasulullah.”
Imam Syafi’i berkata, “Dia masih memegang kata itu dan tidak meninggalkannya (syahadat).”
Imam Ahmad berkata lagi, “Dengan menyerahkan diri untuk mau mengerjakan shalat.”
Imam Syafi’i berkata, “Shalat orang kafir tidak sah, dan tidak dihukumi sebagai Muslim dengan (sebab) hanya mengerjakan shalat.”
Maka Imam Ahmad berhenti berbicara dan diam.” (Thabaqat As Syafi’iyah, hal. 61, vol.2).
Walau terjadi perselisihan dalam beberapa masalah, Imam Ahmad tetap bersikap tawadhu’, bahkan banyak memuji untuk Imam Syafi’i.
Berkata Ishaq bin Rahuyah: “Aku bersama Ahmad di Makkah, dia berkata: “Kemarilah! Aku tunjukkan kepadamu seorang lelaki yang kamu belum pernah melihat orang seperti dia!” Ternyata laki-laki tersebut adalah Imam Syafi’i. (Shifatu As Shofwah, hal. 142, vol. 2)
Tidak sedikit perbedaan pendapat terjadi antara Imam Ahmad dengan Imam Syafi’i. Namun keduanya mengajarkan kita semua akan akhlak yang mulia. Di antaranya, Imam Ahmad selalu mendokan Imam Syafi’I hingga 40 tahun lamanya.
Berkata Ahmad bin Al Laits:
سمعت أحمد بن حنبل يقول : إني لأدعوالله للشافعي فى صلاتي منذ اربعين سنة، أقول : اللهم اغفرلي ولوالدي ولمحمد بن ادريس الشافعي؛ فما كان منهم أتبع لحديث رسول الله صلى الله عليه وسلم منه.
“Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: “Aku akan benar-benar mendo’akan Syafi’i dalam shalatku selama 40 tahun, aku berdoa: ”Ya Allah, ampunilah diriku dan orang tuaku, dan Muhammad bin Idris Asyafi’i. Maka tidak ada dari mereka (para ulama) yang lebih mengikuti hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam darinya (Imam Syafi'i).” (Manaqib As Syafi’i lil Baihaqi, hal. 254, vol. 2).
Dari hal ini para penyanjung dan pengikut madzab Imam Ahmad bin Hanbal dapat memilih antara menjatuhkan vonis bid’ah pada Imam Ahmad yang berarti mengatakan bahwa beliau, beserta ulama mazhab Hanabilah, telah mengajarkan kesesatan atau memilih opsi kedua yang menjadi kesepakatan mayoritas ulama bahwa bid’ah (dalam arti hal baru) itu tak selalu haram (bid'ah sayyi'ah), namun ada juga yang diperbolehkan (bid'ah hasanah). Hanya opsi kedua inilah yang nampaknya bisa dipilih dan sesuai dengan kemuliaan dan kealiman Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar