Sabtu, 31 Oktober 2020

KAJIAN TENTANG BID'AH HASANAH IMAM AHMAD BIN HANBAL DALAM SHALAT MENDO'AKAN IMAM SYAFI'I SELAMA 40 TAHUN*


Istilah bid’ah sendiri menurut para ulama mempunyai dua perspektif yang berbeda. Dalam perspektif istilah syariat ketika dimutlakkan, bid’ah adalah hal baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits atau ijmak, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i dalam keterangannya yang sudah populer. Perspektif inilah yang dimaksud dalam hadits “seluruh bid’ah adalah sesat” itu.

Adapun dari perspektif kebahasaan, maka bid’ah adalah segala hal yang baru secara umum sehingga status hukumnya harus diperinci sesuai unsur yang dikandungnya. Perspektif kebahasaan inilah yang dimaksud para ulama ketika mengatakan bahwa bid’ah terbagi secara global menjadi buruk (sayyi’ah) atau baik (hasanah) dan secara detail terbagi menjadi: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sebab itulah, Imam Ibnu Atsir mengatakan:

فأمَّا الابتداع من المخلوقين، فإن كان في خلاف ما أمر الله به ورسوله، فهو في حَيِّز الذمِّ والإنكار، وإن كان واقعًا تحت عموم ما ندب الله إليه، وحضَّ عليه أو رسوله، فهو في حيِّز المدح، وإن لم يكن مثاله موجودًا

“Adapun membuat hal-hal baru yang dilakukan oleh makhluk, apabila dalam hal yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasulnya, maka itu masuk dalam kategori tercela dan diingkari. Apabila hal itu ada di bawah keumuman ajaran yang disarankan dan dianjurkan oleh Allah atau Rasulnya, maka itu masuk dalam kategori pujian meskipun tidak ada contoh sebelumnya.” (Ibnu Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, juz I, halaman 280)

Bid’ah hasanah ialah setiap amalan baru dalam agama yang tidak bertentangan dengan sumber agama, yaitu Al-Qur’an, hadits, dan ijma’. Kata bid’ah juga bisa dipahami sebagai ibadah atau aktivitas keagamaan yang tidak berpedoman pada dalil agama.

Sebagian orang sangat berlebihan dalam memahami bid’ah hingga mereka menyangka bahwa apa pun yang tak ada contohnya dari Nabi Muhammad atau para sahabat adalah bid’ah yang terlarang. Dalam benak mereka, seluruh hal baru dalam ibadah pastilah bid’ah dan seluruh bid’ah berarti sesat dan seluruh yang sesat berarti berujung neraka. Mereka memahami hadits tentang bid’ah hanya sepotong saja dan tak membaca seluruh tema ini secara komprehensif seperti yang dilakukan oleh para ulama muktabar. 

Bila anggapan mereka itu dipakai secara konsisten, maka akan banyak ulama besar yang dianggap melakukan bid’ah, salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang notabene merupakan salah satu tonggak rujukan mereka dalam masalah akidah dan fiqih. Imam mujtahid pakar hadits yang biasanya dianggap paling ketat dan paling konsisten berpedoman pada sunnah Nabi ini menjelaskan tata cara berdoa dalam shalat yang sama sekali tak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah al-Hanbali disebutkan:

قَالَ الْفَضْلُ بْنُ زِيَادٍ: سَأَلْت أَبَا عَبْدِ اللَّهِ فَقُلْت: أَخْتِمُ الْقُرْآنَ، أَجْعَلُهُ فِي الْوِتْرِ أَوْ فِي التَّرَاوِيحِ؟ قَالَ: اجْعَلْهُ فِي التَّرَاوِيحِ، حَتَّى يَكُونَ لَنَا دُعَاءً بَيْنَ اثْنَيْنِ. قُلْت كَيْفَ أَصْنَعُ.؟ قَالَ إذَا فَرَغْتَ مِنْ آخِرِ الْقُرْآنِ فَارْفَعْ يَدَيْكَ قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ، وَادْعُ بِنَا وَنَحْنُ فِي الصَّلَاةِ، وَأَطِلْ الْقِيَامَ. قُلْت: بِمَ أَدْعُو؟ قَالَ: بِمَا شِئْت. قَالَ: فَفَعَلْت بِمَا أَمَرَنِي، وَهُوَ خَلْفِي يَدْعُو قَائِمًا، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ، وَقَالَ حَنْبَلٌ: سَمِعْت أَحْمَدَ يَقُولُ فِي خَتْمِ الْقُرْآنِ: إذَا فَرَغْت مِنْ قِرَاءَةِ {قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ} فَارْفَعْ يَدَيْكَ فِي الدُّعَاءِ قَبْلَ الرُّكُوعِ. قُلْت: إلَى أَيِّ شَيْءٍ تَذْهَبُ فِي هَذَا؟ قَالَ: رَأَيْت أَهْلَ مَكَّةَ يَفْعَلُونَهُ، وَكَانَ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ يَفْعَلُهُ مَعَهُمْ بِمَكَّةَ.

“Fadl Bin Ziyad berkata: Saya bertanya kepada Imam Ahmad (Abu Abdillah) demikian: ‘Saya mengkhatamkan Al-Qur’an (dalam shalat), apakah Al-Qur’an itu sebaiknya saya khatamkan di shalat witir atau di salat tarawih?’ Dia menjawab: ‘Jadikan khataman itu di shalat tarawih sehingga menjadi doa bagi kita di antara dua shalat.’ Saya berkata lagi: ‘Apa yang harus aku lakukan?’ Imam Ahmad menjawab: ‘Bila kamu sudah sampai di akhir Al-Qur’an, maka angkat tanganmu sebelum ruku', doakan kami dalam shalat dan lamakan berdirinya.’ Saya bertanya: ‘Dengan apa saya berdoa?’ Beliau menjawab: ‘Apa pun yang kamu suka.’ Lalu aku melakukan apa yang ia perintahkan sedangkan beliau di belakangku berdoa dengan berdiri sambil mengangkat tangannya. Hanbal juga bercerita, Aku mendengar Imam Ahmad berkata tentang khataman Al-Qur’an: “Kalau kamu sudah selesai membaca Al-Qur’an, maka bacalah Qul a’ûdzu birabbinnâs dan angkatlah tanganmu sebelum rukuk.” Saya bertanya kepadanya: “Anda bersandar pada apa dalam hal ini?’ Iman Ahmad berkata: ‘Aku melihat orang Makkah melakukannya dan Sofyan bin Uyainah juga melakukannya beserta mereka di Mekah.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz II, halaman 125-126)

Tatacara shalat yang diajarkan oleh Imam Ahmad itu bila dilihat dari kacamata orang-orang yang memahami bid’ah secara sempit akan menyebabkan vonis bid’ah juga menimpa Imam Ahmad, Imam Ibnu Qudamah, dan bahkan Imam Sufyan bin Uyainah. Unsur kebid’ahannya antara lain:

1. Nabi tidak pernah mencontohkan atau memerintahkan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an saat shalat tarawih.

2. Nabi tidak pernah mencontohkan atau memerintahkan untuk berdoa khatam Al-Qur’an saat sebelum rukuk, apalagi menginstruksikannya agar lama.

3. Nabi tidak pernah mencontohkan atau memerintahkan untuk mengangkat tangan dalam doa ketika berdiri sebelum rukuk

Petunjuk dalam hal ibadah yang nyata-nyata tidak pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut ternyata dilakukan oleh banyak orang di masa tersebut sehingga Imam Ahmad juga melakukannya. Hal ini bahkan menjadi ajaran resmi di mazhab Hanabilah. Bila ada yang mengatakan bahwa teknis ibadah seluruhnya haruslah selalu bergantung pada penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (tawqîfi), maka hal ini nyata-nyata tidak dipakai oleh Imam Ahmad sebab beliau melakukan itu hanya karena mencontoh penduduk Makkah. 

Imam Ahmad Bin Hambal (164-241 H), salah satu ulama madzhab 4, berasal dari Bagdad, karya beliau antara lain, Musnad Ahmad, Ar Radd ilal Jahmiyah Waz Zanadiqah, dll. Beliau dikenal amat tegas terhadap hukum,  akan tetapi amat tawadhu’ terhadap sesama ulama Ahlu Sunnah, berikut ini beberapa nukilan yang menunjukkan kearifan Ahmad bin Hambal terhadap mereka yang berbeda pendapat dengannya.

Dalam Siyar ‘Alam An Nubala’, dalam tarjamah, Ishaq bin Rahuyah, berkata Ahmad bin Hafsh As Sa’di, Syeikh Ibnu ‘Adi, “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: Tidak ada seorang pun yang pernah pergi ke Khurasan menyerupai Ishaq (kelebihannya), walaui dia telah menyelisihi kita dalam beberapa hal, sesungguhnya manusia masih berselisih satu sama lain.” (Siyar ‘Alam An Nubala’ hal. 16, vol. 10).

Juga diriwayatkan oleh Al Hafidz Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr, dalam Jami’ Bayan Al ‘Ilmi, dalam bab Itsbat Al Munadharah Wal Mujadalah Wa Iqamati Al Hujjah, dari Muhamad Bin ‘Attab bin Al Murba’, dia berka, aku mendengar Al ‘Abbas bin Abdi Al Al Adzim Al Ambari mengabarkan kepadaku:  “Aku bersama Ahmad bin Hambal dan datanglah ‘Ali bin Madini dengan mengandarai tunggangan, lalu keduanya berdebat dalam masalah syahadah, hingga meninggi suara keduanya, sampai aku takut terjadi apa-apa di antara keduanya. Ahmad berpendapat adanya syahadah sedangakan ‘Ali menolak dan menyanggah, akan tetapi ketika Ali hendak meninggalkan tempat tersebut Ahmad bangkit dan menaiki kendaraan bersamanya.” (Jami’ Bayan Al ‘Ilmi hal. 968, vol.2).

Juga diriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hambal pernah berdebat dengan guru beliau Imam Syaf’i dalam masalah hukum orang yang meninggalkan shalat,

حكي أحمد ناظر الشافعي فى تارك الصلاة، فقال الشافعي، يا أحمد، اتقول انه كافرا !

قال : نعم

قال : اذا كان كافرا، كيف يسلم ؟

قال : يقول لا اله الا الله، محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم،

قال الشافعي : فاالرجل يستديم لهذ القول لا يتركه، 

قال : يسلم بان يصلى،

قال : صلاة الكافر لا تصح، ولا يحكم باالاسلام بها، فانقطع أحمد وسكت،

Imam Syafi’i berkata kepada Imam Ahmad, “Wahai Ahmad, apakah engkau mengatakan dia (yang meninggalkan shalat) itu kafir?” Imam Ahmad menjawab, “Iya.” 

Imam Syafi’i lantas bertanya, ”Jika sudah kafir bagaimana cara untuk berislam?” 

Imam Ahmad menjawab, “Dengan mengatakan La ilaha ila Allah, Muhammadun Rasulullah.” 

Imam Syafi’i berkata, “Dia masih memegang kata itu dan tidak meninggalkannya (syahadat).”

Imam Ahmad berkata lagi, “Dengan menyerahkan diri untuk mau mengerjakan shalat.” 

Imam Syafi’i berkata, “Shalat orang kafir tidak sah, dan tidak dihukumi sebagai Muslim dengan (sebab) hanya mengerjakan shalat.” 

Maka Imam Ahmad berhenti berbicara dan diam.” (Thabaqat As Syafi’iyah, hal. 61, vol.2).

Walau terjadi perselisihan dalam beberapa masalah, Imam Ahmad tetap bersikap tawadhu’, bahkan banyak memuji untuk Imam Syafi’i.

Berkata Ishaq bin Rahuyah: “Aku bersama Ahmad di Makkah, dia berkata: “Kemarilah! Aku tunjukkan kepadamu seorang lelaki yang kamu belum pernah melihat orang seperti dia!” Ternyata laki-laki tersebut adalah Imam Syafi’i. (Shifatu As Shofwah, hal. 142, vol. 2)

Tidak sedikit perbedaan pendapat terjadi antara Imam Ahmad dengan Imam Syafi’i. Namun keduanya mengajarkan kita semua akan akhlak yang mulia. Di antaranya, Imam Ahmad selalu mendokan Imam Syafi’I hingga 40 tahun lamanya.

Berkata Ahmad bin Al Laits: 

سمعت أحمد بن حنبل يقول : إني لأدعوالله للشافعي فى صلاتي منذ اربعين سنة، أقول : اللهم اغفرلي ولوالدي ولمحمد بن ادريس الشافعي؛ فما كان منهم أتبع لحديث رسول الله صلى الله عليه وسلم منه.

“Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: “Aku akan benar-benar mendo’akan Syafi’i dalam shalatku selama 40 tahun, aku berdoa: ”Ya Allah, ampunilah diriku dan orang tuaku, dan Muhammad bin Idris Asyafi’i. Maka tidak ada dari mereka (para ulama) yang lebih mengikuti hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam darinya (Imam Syafi'i).” (Manaqib As Syafi’i lil Baihaqi, hal. 254, vol. 2).

Dari hal ini para penyanjung dan pengikut madzab Imam Ahmad bin Hanbal dapat memilih antara menjatuhkan vonis bid’ah pada Imam Ahmad yang berarti mengatakan bahwa beliau, beserta ulama mazhab Hanabilah, telah mengajarkan kesesatan atau memilih opsi kedua yang menjadi kesepakatan mayoritas ulama bahwa bid’ah (dalam arti hal baru) itu tak selalu haram (bid'ah sayyi'ah), namun ada juga yang diperbolehkan (bid'ah hasanah). Hanya opsi kedua inilah yang nampaknya bisa dipilih dan sesuai dengan kemuliaan dan kealiman Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Jumat, 30 Oktober 2020

KATA MUTIARA TENTANG KOPI

ثُـمَّ اعْلَـمْ أَيُّهَـا القَـلْبُ المَكْـرُوْبُ، أَنَّ هـذِهِ القَـهْوَةَ قَدْ جَعَلَهَـا أَهْلُ الصَّفَـاءِ مُجْلِبَـةٌ لِلْأَسْـرَارِ، مُذْهِبَـةٌ لِلْأَكْـدَارِ.

Ketahuilah wahai hati yang gelisah, bahwasannya kopi ini telah dijadikan sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia Tuhan, serta penghapus kesusahan oleh Ahli Shafwah (orang orang yang bersih hatinya).

يَـا قَهْـوَة تُـذْهِبُ هَـمَّ الفَـتَى * أَنْت لحـاوى العِـلْم نِعْـمَ المُـرَادِ

شَـرَابُ أَهْـلِ الله فِيْـهِ الشِّفَـاء # لِطَـالِبِ الحِكْمَـةِ بَيْـنَ العِبَـادِ

حَرَّمَهَـا اللهُ عَلَى جَاهِـلٍ # يَقُـوْلُ بِحرمتِـهَا بِالعِنَـادِ

Kopi adalah penghilang kesusahan pemuda. Kau bagi para pencari ilmu merupakan paling enaknya keinginan. Kopi adalah minuman orang yang dekat pada Allah

Di dalamnya ada kesembuhan bagi para pencari hikmah diantara manusia. Kopi diharamkan bagi orang bodoh. Dan mengatakan keharamannya dengan keras kepala

(Umdatus Shafwah Hal. 174).

وَأَمَّـا مَنَـافِعُهَـا يَعْنِـيْ القَهْـوَةُ تَقْرِيْبًـا .. فالـنَّشَاط لِلْعِبَـادَةِ، وَالإِشْغَـالِ المُهِمَّـةِ، وَهَضْـمِ الطَّعَـامِ، وَتَحْلِيْـلِ الرِّيَـاحِ وَالقولـنج وَالبَلْغَـمِ كَثِيْـرًا.

Kira-kira manfaat kopi yaitu membuat semangat beribadah dan melakukan pekerjaan penting, menghancurkan makanan, menolak masuk angin, serta menghilangkan dahak yang banyak.

تَشَابَهَتْ أَنْتِ قَهْوَتِيْ بِاللَّذَّةِ وَالمَرَارَةِ وَالإِدْمَانِ.

Kamu seperti kopiku, ada kesenangan, kepahitan dan kecanduan.

لِلْقَهْوَةِ سِحْرٌ يُبْطِلُ تَعْوِيْذَاتِ الوَحْدَةِ وَالاِرْهَاقِ وَالغِيَابِ.

Kopi memiliki sihir yang ampuh menghapus kesunyian, kepenatan dan kesepian.

كُـنْ فِي الحَيَـاةِ كَشَـارِبِ القَهْـوَةِ، يُسْتَمْتَـعُ بِهَـا رَغْـمَ سَـوَادِهَا وَمَـرَارَتِهَـا.

Jadilah hidupmu seperti peminum kopi, meski ia hitam pekat dan pahit dapat dinikmatinya.

الحَيَاةُ تَشْبَهُ فِنْجَانَ قَهْوَةٍ حَيْثُ تَجْتَمِعُ بِمَرَارَةٍ وَحُلْوَةٍ فِي الدِّفْءِ.

Hidup ini seperti secangkir kopi dimana pahit dan manis bertemu dalam kehangatan.

وَالقَهْوَةُ لِمَنْ أَدْمَنَهَا مِثْلِيْ هِيَ مِفْتَاحُ النَّهَارِ.

Bagi yang kecanduan kopi sepertiku, kopi itu merupakan kunci menjalani hari.

وَفِيْ قَهْوَتِيْ وَطَنٌ أَدْمَنْتُ اللُّجُوْءِ إِلَيْهِ.

Di secangkir kopiku ada suatu negeri, betapa aku ketergantungan berlindung padanya.

القَهْـوَةُ لَا تَكْـذِبُ وَإِنْ كَانَ لَـهَا فِيْ كُلِّ يَـوْمٍ وَجْـهٌ.

Kopi itu tidak pernah berbohong, meski setiap hari ia memiliki wajah yang berbeda.

قَدِّمْ لِنَفْسِكَ مَعْرُوْفًا، وَاصْنَعْ كُوْبًا مِنَ القَهْوَةِ.

Berilah dirimu kenikmatan, dan buatkan ia secangkir kopi.

القَهْـوَةُ مِثْلُ الحُـبِّ، كُلَّمَـا صَبَـرْتَ عَلَيْهَـا أَكْثَر، اِزْدَادَ طَعْمُهَـا حَـلَاوَةً.

Kopi itu seperti cinta, semakin dinikmati semakin manis rasanya.

القهـوة لا تُشـرب على عجـل، القهـوة أخت الـوقت تُحْتَسـى على مهـل، القهـوة صـوت المـذاق، صـوت الـرائحة، القهـوة تأمّـل وتغلغـل في النفـس وفي الذكـريات.

Kopi itu jangan diminum dengan tergesa-gesa, kopi itu sahabat yang menemani hari, seruputlah secara perlahan-lahan, karena kopi adalah suara cita rasa, suara aroma, kopi itu suatu meditasi dan penetrasi ke dalam jiwa dan kenangan.

سألتـني: كيف تشـرب القهـوة؟ قلت: مـره مثل أيامـي بدونـك. قلت وأنتـي؟ قـالت: أنا قهوتـي حلـوه كثيـر مثـل أيامـي معـك.

Kamu bertanya padaku: bagaimana rasa kopimu? Ku jawab: pahit, seperti hari-hariku tanpamu. Lalu aku bertanya padamu: bagaimana rasa kopimu? Kamu menjawab: kopiku sangat manis, seperti hari-hariku bersamamu.

بعـض القهـوة وقليـل من الخـواطـر ترحـل بنـا إلى مكان بعيـد.

Kopi dan sedikit ide mampu membawa kita ke tempat yang jauh.

تفـوز القهـوة بأنهـا تجعـل يومـك من كئـيب إلى سعيـد حتـى لـو كـنت بـروحك.

Betapa kerennya kopi itu, ia mampu mengubah harimu yang muram menjadi cerah, meski hanya dalam jiwamu.

كـوب قهـوة واحـد كفيـل بأن يمحـو من رأسـي كل ضجيـج العـالم.

Secangkir kopi dijamin mampu menghapus kebisingan dunia di kepalaku.

كل ما سئمت من الحياة أصلحها بكوب قهوة.

Setiap kali kamu merasa jenuh dengan kehidupan ini, segarkan kembali dengan secangkir kopi.

بعد كل فنجـان قهـوة تشعـر بأنـك في حـالة حـب.

Tiap kali telah meminum secangkir kopi, kamu akan merasakan seperti sedang mencinta.

أجمـل ما قيـل عن القـهوة، سيدة الـوحدة، ورفيقـة المـزاج.

Hal terindah tentang kopi adalah ratu dalam kesendirian dan sahabat bagi suasana hati.

القهوة لو تدرى عنكم راح تصير ماء لقاح.

Jika kamu tahu, kopi adalah anggur yang menjadi air vaksin.

خـذ كوبـا من القـهوة، وادر ظـهرك للعـالم واستمتـع بعـزلتك.

Ambillah secangkir kopi dan putarkan mukamu ke dunia, dan lalu nikmatilah kesendirianmu.

القهـوة هي المـر الوحيـد الـذي نشـربه بمـزاجنا وينسيـنا ما يعـكره.

Kopi ialah satu-satunya rasa pahit yang kami minum dengan segala suasana hati kita, lalu kita dapat melupakan hal-hal yang mengganggu hati kita.

القهوة هي الحياة والصديق الذي لا يخون.

Kopi ialah kehidupan dan sahabat yang tidak akan berkhianat.

قـالت له سيـدة: لـو كـنت زوجـي لـوضعت لك السـم في الـقهوة. فأجابـها: لـو كنت زوجـتي لشربتـها.

Seorang wanita berkata kepada seorang lelaki: Jika kamu adalah suamiku, aku akan memberimu racun dalam kopi. Lelaki itu menjawab: Jika kamu adalah istriku maka aku akan meminumnya.

تَجِدُ القهوة اللذيذة مُسْتَلِذُّها.

Kopi yang baik akan selalu menemukan penikmatnya.

لا تحتاج القهوة سُكَّرًا إذا كنت عندي.

Kopi ini tak lagi butuh gula jika kau ada di hadapanku.

إذا كنت تريد أن تُعَرِّجَ عَلَيَّ، أعطني القهوة لا القلب.

Jika kamu hanya ingin sekedar singgah beri aku kopi, jangan beri aku hati.

هذه القهوة مُرَّةٌ، لكن عندما أشربها نظرا إليك، فستكون مذاقها حُلْوة.

Kopi ini pahit tetapi kalau meminumnya sambil melihat dirimu, kopi ini terasa manis.

كن مثل القهوة، التي لا تزال محبوبة دون إخفاء مرارة النفس.

Jadilah seperti kopi, yang tetap dicintai tanpa menyembunyikan pahitnya diri.

عندما لا تتحدث الكلمات كثيرًا، يمكن أن يكون فنجان القهوة وسيطًا و يُذِيْبُ الظروف.

Ketika kata-kata tak lagi banyak berbicara, secangkir kopi bisa menjadi perantara dan mencairkan suasana.

الحياة مثل شرب القهوة، أحياناً تكون مذاقها مرة، لكن ذلك يجعل عينيك مفتوحة.

Hidup itu seperti meminum kopi, terkadang rasanya pahit, tetapi itu yang membuat mata menjadi terbuka.

فمن القهوة نتعلم أن المر يُتَمَتَّعُ.

Karena dari kopi, kita belajar bahwa rasa pahit itu dapat dinikmati.

قهوتي أكثر سوادا من شعرك ولكن ليس أحلى من ابتسامتك.

Kopiku memang lebih hitam dari rambutmu tetapi tidak lebih manis dari senyummu.

إذا كانت قهوتك حلوة جدًا، فحاول شربها أثناء تذكر الماضي، ربما يمكنك المساعدة.

Jika kopimu terlalau manis cobalah meminumnya sembari mengenang masa lalu, barang kali bisa membantu.

أسود دَاكِن من قهوتي، ليست المرير الحب الذي أعطيته لي.

Hitam pekat kopiku, tak sepekat pahit cintamu yang kau beri padaku.

صحيح أن القهوة السوداء مريرة، ولهذا ابتكر الله ابتسامتك الحلوة.

Kopi hitam memang pahit itulah mengapa Tuhan ciptakan senyummu yang manis.

والله الموفق الى أقوم الطريق

KATA BIJAK TENTANG JOMBLO

الـوَحْـدَةُ هُـوَ أَنْ تَعْشَـقَ شَخْصًـا يَعْشَـقُ غَيْـرَك

Jomblo itu ialah engkau mencintai seseorang yang mencintai orang lain

الوَحْـدَةُ هُـوَ أَنْ تَتَمَـنَّى قُـرْبَ مَنْ تُحِبُّـهُ وَلكِنَّـكَ تَتَفَـاجَأُ بِبُعْـدِهِ عَنْـك

Jomblo itu ialah engkau berharap dekat dengan orang tercinta, akan tetapi engkau terheran-heran karena ia menjauh darimu

مَا أَصْعَـب أَنْ تُحِـبَّ شَخْـصًا لَا يُحِبُّـكَ، وَالأَصْـعَب أَنْ تَسْتَـمِرَّ بِإِقْنَـاعِ نَفْسِـكَ بِحُبِّـه

Betapa sulitnya mencintai orang yang tidak mencintaimu, Namun lebih sulit lagi menahan diri untuk mencintainya

الوَحْـدَةُ هُـوَ أَنْ تَسْمَعَـهُمْ وَتَفْـهَمَهُمْ وَلَا تَجِـدُ مَنْ يَسْمَـعُكَ وَيَفْـهَمُك

Kesendirian itu adalah engkau mendengarkan dan memahami orang lain, tetapi tidak ada yang mendengarkan dan memahamimu

الوَحْـدَةُ هُـوَ أَنْ تَكُـوْنَ مَعَ مَنْ تُـحِبُّهُ وَلكِنَّـكَ لَا تَجِـدُ مَنْ يُـعَانِقُك

Menjomblo itu ialah engkau bersama orang yang dicintai, akan tetapi engkau tak menemukan orang yang bisa memelukmu

الوَحْـدَةُ هُـوَ أَنْ تَـعِيْشَ مَعَـهُمْ كَأَنَّـكَ فِيْ كَـهْفٍ مُظْـلِم

Kesendirian ialah engkau hidup bersama orang-orang seperti engkau berada dalam gua yang gelap

لَا أَشْعُـرُ أَنَّـنِيْ مُهِمٌّ لِأَحَـد

Aku tidak merasa penting bagi siapapun

أَحْتَـاجُ أَنْ أَحْكِـيَ لَهُـمْ عَنْ وَحْـدَتِيْ عَنْ حُزْنِ عَـيْنِيْ وَارْتِبَـاكِهِ فَمِّـيْ أَنْ أُخْبِـرَهُمْ بِعُمْـقِ الثُّـقْبِ فِيْ صَدْرِي وَكَـمْ هُـوَ مُـؤَلِّم

Aku perlu mencurhatkan kesepianku, derai air mataku, dan kebimbangan mulutku pada mereka, bahwa ada lubang yang begitu dalam di dadaku, dan betapa menyakitkannya itu

أَنَـا لَسْـتُ وَحِيْـدَةً فَـالوَحْدَةُ هِيَ صَدِيْـقَتِي

Aku tidak jomblo, yang jomblo itu calon kekasihku

كُنْ بِمُفْـرَدِكَ أَفْضَـل مِنْ أَنْ تَكُـوْنَ ضَيْـفَ شَـرَفٍ فِيْ حَيَـاةِ أَحَد

Sendiri lebih baik ketimbang menjadi tamu agung di hidup orang lain

الـوَحْدَةُ مُؤَلِّمَـةٌ، لكِنَّهَـا أَجْمَل بِكَثِيْـرٍ مِنَ الَّذِيْنَ يَتَذَاكَـرُوْنَك فَقَـطْ وَقْتَ فـرَاغِـهِم

Menjomblo itu menyakitkan, akan tetapi lebih baik ketimbang mereka yang hanya mengingatmu di kala mereka senggang

شُعُـوْرُ الوَحْـدَةِ مُؤَلِّـمٌ لكِـنْ أَجْمَـل مِنْ شُعُـوْرِ الاِهْتِمَـامِ المـزيف

Perasaan menjomblo itu memang menyakitkan, tetapi lebih indah dibanding cita rasa perhatian palsu

هُنَـاكَ مَـوَاقِف لَا يَسْتَـطِيْعُ الإِنْسَـانُ تَجَـاوزَهَـا إِلَّا وَحِيْـداً

Ada kondisi-kondisi tertentu yang tidak bisa diatasi seseorang kecuali dengan menyendiri

لَا أَحَد يَبْـقَى لِأَحَد

Tak ada seorangpun yang tetap setia untuk seseorang

والله الموفق الى أقوم الطريق

Rabu, 28 Oktober 2020

KATA BIJAK INDAH BAHASA ARAB

 


*وكم من كلمة رميت دون قصد، وتركت جرحا كبير*

*'Betapa banyak kata yg kau lontarkan tanpa sengaja, namun meninggalkan luka yg dalam."*

*لا يمكنك مسح أخطائك، مادمت تمشي في نفس الطريق*

*"Engkau tidak akan mungkin bisa menghapus kesalahan-kesalahanmu, selama engkau menempuh jalan yg sama."*

*الكلمة الطيبة زهرة لا تذبل أورقها، لا تبخل بها*

*"Tutur kata yang baik bagaikan bunga yg tidak akan layu dedaunannya, maka janganlah engkau kikir dengannya."*

*إن زرعت الشجر، ربحت الظل والثمر. وإن زرعت طيب الأثر، حصدت محبة الله ومحبة الناس*

*"Jika engkau menanam pohon, keuntungannya engkau akan mendapat peneduh dan buah. Dan jika engkau menanam jejak yg baik, engkau akan meraih cinta Allah dan sesama manusia."*

*أقوى الناس هم الذين يبقون الإبتسامة حتى وإن كانوا يمرون بأقسى الظروف*

*"Orang yg paling kuat ialah orang-orang yg selalu tersenyum meski mereka melewati kondisi yg amat berat."*

*أقوى الناس هم الذين يبقون الإبتسامة حتى وإن كانوا يمرون بأقسى الظروف*

*"Orang yg paling kuat ialah orang-orang yg selalu tersenyum meski mereka melewati kondisi yg amat berat."*

*إفعل أي شيء لكن لا تخذل شخصا أعطاك قلبه*

*"Silahkan lakukan apapun, tapi jangan menelantarkan seseorang yg telah menghibahkan hatinya padamu."*

لا تحـزن إذا ضـاقت بـك الحيــاة فربّمـا اشتـاق الله لسمـاع صوتـك وأنت تنـاديـه

Jangan bersedih jika kehidupan membuatmu terasa sempit, boleh jadi Allah telah rindu mendengar suaramu dalam do’amu

تظـاهر بأنّـك بخيـر دائمـا مهمـا عصفـت بك الحيـاة، فـالكتمـان أجمل بكثيـر من شفقـه الآخريــن عليـك

Perlihatkanlah bahwa engkau baik-baik saja betapapun kehidupan menerjang anda. Menyembunyikan itu jauh lebih indah dibanding belas kasihan orang lain padamu

الحياة مثل السّوق الكبير، تتجول فيه وتأخذ منه ما تشاء، ولكن تذكر أن الحساب ينتظرك وستدفع ثمن كلّ شيء أخذته

Hidup itu seperti di super market, engkau berjalan berkeliling dan mengambil apa saja yang engkau inginkan, tapi ingat, bahwa kasir menunggu engkau dan engkau akan membayar harga semua barang yang telah engkau ambil

لا بأس أن تصفع بالحقيقة، خير لك من أن تلقى قبله بالكذب

Tak mengapa jika engkau menarik kebenaran, itu lebih baik bagimu daripada melontarkannya dengan didahului kebohongan

علّمتني الحياة أنّ المال يشتري سريرا لكنّه لا يشتري النّوم، ويشتري الدّواء لكنّه لا يشتري العافية، وربّما يشتري كلّ شيء لكنّه لا يشتري السّعادة. اللهمّ ارزقنا راحة البال والعافية والرّضا

Hidup mengajarkanku bahwa harta dapat membeli tempat tidur tetapi tidak bisa membeli tidur itu sendiri, harta dapat membeli obat tetapi tidak bisa membeli kesembuhan, dan mungkin barangkali harta dapat membeli segala sesuatu tetapi tidak bisa membeli kebahagiaan. Yaa Allah berilah kami ketenangan pikiran, kesehatan dan keridhoan-Mu

لا يـتـواضـع إلّا من كان واثقــا بنفسـه، ولا يتكبّـر إلّا من كان عالمـا بنقصـه

Yang rendah hati itu hanya orang yang percaya diri, dan yang besar kepala itu hanya orang yang tahu akan kekurangan diri

نتجاهل لنعيش، لكنّنا لسنا أطفالا لننسى

Untuk bertahan hidup kita suka pura-pura lupa, namun sebenarnya kita bukan anak kecil yang mudah lupa

لا تتغير لإرضاء النّاس، لا تتلون لنيل إعجابهم، ولا تتبدل بسبب الفشل، ولا تتكبر بسبب نجاح. فالدّنيا يومان يوما لك ويوما عليك

Janganlah kau berubah karena ingin memuaskan orang lain, jangan neko-neko agar dikagumi mereka, jangan ganti haluan karena kegagalan, dan jangan besar kepala karena kesuksesan. Dunia ini hanya ada dua hari, satu hari untuk keberuntunganmu dan satu hari lagi untuk kesialanmu

تذكر دائما أن ليس كلّ ما تفقده يعتبر خسارة، فالاستغناء عمّن لا يدرك قيمتك حياةجديدة

Ingatlah selalu bahwa tidak setiap yang hilang darimu merupakan suatu kerugian, karena orang yang tidak menyadari nilaimu merupakan kehidupan yang baru

الرزق كلمة أكبر بكثير من معنى الأموال، الرزق قد يكون أشخاص مقربين، أم تدعو وأب يحن، أصدقاء طيّبون، يوم جيّد، وأهل يغنونك عن أي شيء في الدّنيا

Rezeki adalah kata yang lebih luas maknanya dibanding sekedar untuk harta benda, rezeki itu bisa berupa orang-orang dekat, ibu yang mendo’akan, ayah yang mengasihi, teman-teman yang baik, hari yang baik, dan keluarga yang mencukupimu dari segala sesuatu di dunia

كي لا تموت مرّتين، لا تعود لمن خذلك

Supaya engkau tak mati dua kali, maka engkau jangan kembali pada orang yang menggagalkanmu

الشـيء الوحيــد الذي يستمـرّ معـك طـوال حياتـك هي نفسـك، فلا تحمّلهـا ما لا تطيـق

Satu-satunya orang yang senantiasa bersamamu adalah dirimu sendiri, karena itu, janganlah membebaninya dengan yang ia tak mampu

قطرة الماء في بيت النّمل تعتبر بحرا. الأشياء ليست بحجمها دائما بل بتأثيرها

Tetesan air di sarang semut merupakan lautan. Segala sesuatu tak selalu dilihat dari ukurannya, tetapi dari dampaknya

حينما لا تعرف ما اقصده، لا تفسر ما تريده

Ketika anda tak mengerti terhadap apa yang saya maksud, jangan anda interpretasikan sesuai kemauan anda

الإنسـانيّـة صـلاة أيضـا، لهـا حسنـاتهـا أفضـل بكثيـر من ركعــات بعـض المنـافقيـن

Humanisme itu juga layaknya shalat, ia memiliki nilai-nilai kebaikan yang lebih utama dibanding kebanyakan raka’at-raka’at sebagian orang-orang munafik

اساؤا الظّن بي فتكلموا عنّى فظلموني فمحوا ذنوبي فلماذا أحزن

Mereka berburuk sangka padaku, mereka membicarakanku, mereka berbuat dzalim padaku, maka mereka telah menghapus dosa-dosaku, lalu mengapa aku mesti bersedih

لا تقلق.. فإنّ الحاقدون خاسرون، ولكنّهم يتظاهرون بالفوز

Engkau tak usah bimbang, karena sesungguhnya orang pendengki itu hakikatnya merugi, hanya saja mereka bergaya layaknya orang beruntung

Selasa, 27 Oktober 2020

KAJIAN TENTANG RUKUN DAN SAH SHALAT


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)

عَنْ أَبِي مَعْمَرٍ، قَالَ: قُلْنَا لِخَبَّابٍ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالعَصْرِ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْنَا: بِمَ كُنْتُمْ تَعْرِفُونَ ذَاكَ؟ قَالَ: «بِاضْطِرَابِ لِحْيَتِهِ»

Dari Abu Ma’mar, dia berkata, "Kami bertanya kepada Khabbab, apakah Rasulullan membaca bacaan shalat pada shalat Dzuhur dan Ashar?" Ia menjawab, “Ya”. Lalu kami bertanya lagi, "Bagaimana kalian bisa mengetahui hal itu?" Dia berkata, “Dengan bergeraknya jenggot beliau”. (HR. Abu Daud)

Pemaparan kajian kali ini akan membahas tentang apa-apa saja rukun dan sah shalat. Namun sebelum menyebutkan rukun-rukun tersebut, perlu kiranya dijelaskan tentang apa arti dari “rukun” itu sendiri. 

Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imâm al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz I, hal. 129, menjelaskan makna rukun sebagai berikut:

معني الركن: ركن الشيء ما كان جزءاً أساسياً منه، كالجدار من الغرفة، فأجزاء الصلاة إذا أركانها كالركوع والسجود ونحوهما. ولا يتكامل وجود الصلاة ولا تتوفر صحتها إلا بأن يتكامل فيها جميع أجزائها بالشكل والترتيب الواردين عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم

“Makna rukun. Rukun sesuatu ialah bagian mendasar dari sesuatu tersebut, seperti tembok bagi bangunan. Maka bagian-bagian shalat adalah rukun-rukunnya seperti ruku’ dan sujud. Tidak akan sempurna keberadaan shalat dan tidak akan menjadi sah kecuali apabila semua bagian shalat tertunaikan dengan bentuk dan urutan yang sesuai sebagaimana telah dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.” 

Secara singkat bisa kita artikan bahwa rukun shalat adalah bagian penyusun dari shalat tersebut. Ada berbagai macam versi tentang berapa rukun shalat. Namun demikian, perbedaan versi tersebut tidaklah bersifat substansial, namun hanya persoalan teknis belaka, seperti mislanya ada ahli fiqih yang menyebutkan rukun thuma’ninah (“tak bergerak sejenak”) hanya sekali saja meskipun letaknya di berbagai tempat, dan ada yang menyebutkannya secara terpisah-pisah. Juga ada di antaranya yang menyatakan bahwa niat keluar dari shalat merupakan rukun, namun ada juga yang menyatakan bahwa hal tersebut secara otomatis termaksudkan dalam rukun salam pertama. 

Diantara yang secara sangat terperinci menyebutkan rukun-rukun shalat ialah penjelasan Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 9: 

فصل" وأركان الصلاة ثمانية عشر ركنا النية والقيام مع القدرة وتكبيرة الإحرام وقراءة الفاتحة وبسم الله الرحمن الرحيم آية منها والركوع والطمأنينة فيه والرفع واعتدال والطمأنينة فيه والسجود والطمأنينة فيه والجلوس بين السجدتين والطمأنينة فيه والجلوس الأخير والتشهد فيه والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم فيه والتسليمة الأولى ونية الخروج من الصلاة وترتيب الأركان على ما ذكرناه 

“Pasal, Rukun-rukun shalat ada 18, yakni: 

1. Niat 

2. Berdiri bagi yang mampu 

3. Takbiratul ihrâm, 

4. Membaca surat al-Fatihah; dimana Bismillâhirrahmânirrahîm merupakan bagian ayatnya 

5. Ruku’,  

6. Thuma’ninah 

7. Bangun dari ruku’ dan I’tidal 

8. Thuma’ninah, 

9. Sujud 

10. Thuma’ninah 

11. Duduk diantara dua sujud 

12. Thuma’ninah 

13. Duduk untuk tasyahhud akhir 

14. Membaca tasyahhud akhir 

15. Membaca shalawat pada Nabi SAW saat tasyahhud akhir 

16. Salam pertama 

17. Niat keluar dari shalat 

18. Tertib; yakni mengurutkan rukun-rukun sesuai apa yang telah dituturkan.”

Rukun shalat adalah perbuatan (gerakan) dan perkataan (bacaan) yang membentuk hakikat shalat. Tidak sah jika tidak dikerjakan ataupun dikerjakan hanya separuhnya, dan harus dikerjakan secara berurut (tertib). Sementara dalam kitab fiqih sesuai tingkatan diatasnya terbagi ada 13 rukun shalat, Diantaranya ; Niat, Berdiri (jika mampu), Takbiratul Ihram, Membaca Al-Fatihah, Ruku', I'tidal, Sujud, Duduk Iftirasy, Duduk Tawarruq, Tasyahud Akhir, Membaca Shalawat Nabi, Salam, dan Tertib. 

Diantara 13 rukun tersebut ternyata dibagi menjadi 3 jenis rukun yaitu :

1. Rukun Qauli

2. Rukun Qalbi

3. Rukun Fi'li

*Rukun Qauli (Perkataan/Bacaan)*

1. Takbiratul Ihram (Menyebut 'Allahu Akbar')

2. Membaca Al-Fatihah

3. Membaca Tahiyyat Akhir

4. Salam

Perlu dilafazhkan di mulut dan didengar sekurang-kurangnya oleh telinga sendiri. Tidak sah jika hanya dibaca didalam hati.

Imam As-Syafi’i mengatakan,

الصَّلَاة لَا تَصِحُّ إلَّا بِالنُّطْقِ

“….shalat itu tidak sah kecuali dengan an-nuthq.” (Al Majmu’, 3:277).

An-Nuthq artinya berbicara atau mengucapkan. Sebagian Syafi’iyah memaknai an nuthq di sini dengan melafalkan niat. Padahal ini adalah salah paham terhadap maksud beliau rahimahullah. Dijelaskan oleh Imam An-Nawawi bahwa yang dimaksud dengan An-Nuthq disini bukanlah mengeraskan bacaan niat. Namun maksudnya adalah mengucapkan takbiratul ihram. Imam An-Nawawi mengatakan,

قَالَ أَصْحَابُنَا غَلِطَ هَذَا الْقَائِلُ وَلَيْسَ مُرَادُ الشَّافِعِيِّ بِالنُّطْقِ فِي الصَّلَاةِ هَذَا بَلْ مُرَادُهُ التَّكْبِيرُ

“Ulama kami (syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang memaknai demikian adalah keliru. Yang dimaksud As-Syafi’i dengan An-Nuthq ketika shalat bukanlah melafalkan niat namun maksud beliau adalah takbiratul ihram’.” (Al Majmu’, 3:277).

Kesalahpahaman ini juga dibantah oleh Abul Hasan Al-Mawardi As-Syafi’i, beliau mengatakan,

فَتَأَوَّلَ ذَلِكَ – الزُّبَيْرِيُّ – عَلَى وُجُوبِ النُّطْقِ فِي النِّيَّةِ ، وَهَذَا فَاسِدٌ ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وُجُوبَ النُّطْق بِالتَّكْبِيرِ

“Az-Zubairi telah salah dalam mentakwil ucapan Imam As-Syafi’i dengan wajibnya mengucapkan niat ketika shalat. Ini adalah takwil yang salah, yang dimaksudkan wajibnya mengucapkan adalah ketika ketika takbiratul ihram.” (Al-Hawi Al-Kabir, 2:204).

Dalam kitab Fathul Mu’in dijelaskan sebagai berikut,

(ويجب إسماعه) أي التكبير، (نفسه) إن كان صحيح السمع، ولا عارض من نحو لغط. (كسائر ركن قولي) من الفاتحة والتشهد والسلام. ويعتبر إسماع المندوب القولي لحصول السنة.

*(فتح المعين جز 1 ص 157)*

Dan wajib meperdengarkan rukun qauli terhdap dirinya sendiri, seperti takbiratul ihram, jika pendengaran nya sehat, dan tidak terdapat suatu hal yang mengganggu semisal suara kegaduhan. Begitu juga rukun qauli yang lain, seperti fatiha, tasyahhud akhir serta salam. Selain itu juga dianjurkan memperdengarkan setiap bacaan yang sunnah, agar memperoleh kesunnahan. *(Fathul Mu’in juz 1 Halaman 157)*

قَالَ أَصْحَابُنَا عَلَى الْأَخْرَسِ أَنْ يُحَرِّكَ لِسَانَهُ بِقَصْدِ الْقِرَاءَةِ بِقَدْرِ مَا يُحَرِّكُهُ النَّاطِقُ لان القراءة تتضمن نطقا وتحريك اللسان فقسط مَا عَجَزَ عَنْهُ وَوَجَبَ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ.

*(مجموع شرح المهذاب جز 3 ص 394)*

Para ulama ashhab Imam Syaf’i berpendapat, adapun bagi orang yang bisu, ia wajib menggerakkan lisannya dengan tujuan membaca, sebagaimana ia menggerakkan bibirnya ketika ia berbicara. Karena dalam membaca dibutuhkan adanya pengucapan serta gerakan lisan. *(Majmu’ Syarh AL-Muhaddzab juz 3, halaman 394)*

Demikian juga dijelaskan panjang lebar dalam kitab I'anah At-Thalibin juz 1 hal 157 dan juga Hasyiah I'anah At-Thalibin juz 1 halaman yang sama (157).

*Rukun Qalbi (Hati)*

1. Niat

2. Tertib

*Rukun Fi'li (Perbuatan)*

1. Qiyam (Berdiri dengan khusyu')

2. Ruku'

3. I'tidal

4. Sujud

5. Duduk diantara Dua Sujud

6. Duduk membaca Tahiyyat Akhir

Itulah pengertian rukun qauli, rukun qalbi, dan rukun fi'li yang menjadi bahasan kajian kali ini. Meski mayoritas umat Islam teguh mendirikan ibadah shalat, tak sedikit yang belum mengerti rukun dan sah shalat apalagi makna bacaan shalat secara mendalam. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 26 Oktober 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

 إن اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Azhab: 56)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحبّ إليه من ولده ووالده والناس أجمعين.

“Tidak sempurna iman salah satu diantara kamu sehingga aku lebih dicintai olehnya daripada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari Muslim).

Alhamdulillah, pada tahun ini disaat kita berada di bulan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan kenikmatan yang amat besar dari Allah Ta'ala bagi seluruh alam. Penting bagi kita sebagai umat Islam untuk bersyukur atas kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengekspresikan kegembiraan dan kebahagiaan ketika memperingati Maulid Nabi.  

Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafi'i dalam kitab karyanya An-Ni'matul Kubro 'Alal 'Alam Fi Maulidi Sayyidi Waladi Adam pada halaman 5-6 menjelaskan sbb,

فَصْلٌ فِي بَيَانِ فَضْلِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

قال ابو بكر الصديق رضي الله عنه (مَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا عَلَى قِرَاءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ رَفِيْقِيْ فِي الْجَنَّة) وقال عمر رضي الله عنه (مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ أَحْيَا اْلإِسْلاَمَ) وقال عثمان رضي الله عنه (مَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا عَلَى قِرَاءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَأَنَّمَا شَهِدَ غَزْوَةَ بَدْرٍ وَ حُنَيْنٍ) وقال علي رضي الله عنه وكرّم الله وجهه (مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ سَبَبًا لِقِرَاءِتِهِ لا يَخْرُجُ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ بِاْلإِيْمَانِ وَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ)

*PASAL: KEUTAMAAN PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM*

Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq berkata, "(Barangsiapa yang berinfaq satu dirham untuk membaca (kisah) Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam niscaya orang tersebut kawan karibku didalam Surga),"

Sayyidina ‘Umar bin Khaththab berkata, "(Barangsiapa yang membesarkan (mengagungkan) Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka sungguh orang tersebut telah menghidupkan agama Islam),"

Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan, "Barangsiapa yang berinfaq satu dirham untuk membaca (kisah) Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka seakan-akan orang tersebut telah syahid pada perang Badar dan perang Hunain,"

Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib berkata, "Barangsiapa yang membesarkan (mengagungkan) Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan orang tersebut menjadi penyebab terhadap bacaan kisah Maulid niscaya orang tersebut tidak keluar dari dunia ini kecuali bersama iman dan masuk surga dengan tiada hisab." (Ni’mah Al-Kubro ‘Ala Al-‘Alam Fi Maulid Sayyid Walad Adam [Nikmat Yang Besar Atas Alam Pada Kelahiran Penghulu Keturunan Adam] hal. 5-6 karangan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i)*

Al-Hafizh Imam Syihabuddin Abul Fadhil bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar yang kita kenal dengan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagaimana dikutip oleh Imam Jalaludin As-Suyuti dalam kitab al-Hawi lil Fatawi, juz 1 halaman 230 menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad 

Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan ritual untuk mensyukuri nikmat Allah Ta'ala.

وَقَالَ اْلاُسْتَاذُ اْلاِمَامُ الْحَافِظُ اْلمُسْنَدُ الذُّكْتُوْرُ اْلحَبِيْبُ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبْدِ اْلقَادِرِ بَافَقِيْهِ بِأَنَّ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلِقيَامَةِ مَارَوَاهَ ابْنُ عَسَاكِرَ فِى التَّاريْخِ فِى الْجُزْءِ اْلاَوَّلِ صَحِيْفَةُ سِتَّيْنِ وَقَالَ الذَّهَبِى صَحِيْحٌ اِسْنَادُهُ.

Ustadz Imam al-Hafidz al-Musnid DR. Habib Abdullah Bafaqih mengatakan bahwa hadits,

مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلِقيَامةِ

"Barangsiapa yang mengagungkan hari kelahiranku, maka aku akan memberi syafa'at padanya di hari qiyamat." (HR. Ibnu Asakir)

Demikian yang diriwayatkan Ibnu Asakir dalam Kitab Tarikh, juz 1, hal. 60, menurut Imam Dzaraby sahih sanadnya.

Sekitar lima abad yang lalu Al-Imam Jalaluddin Al-Shuyuthi (849-910 H/1445-1505 M) juga pernah menjawab polemik tentang perayaan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau mengatakan di dalam risalahnya “Husnu al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid”. Beliau menyatakan seperti berikut,

“عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْن­َ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَار­ِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ­ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ”.

“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, merupakan kumpulan orang-orang beserta bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambah­an lain, adalah termasuk bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) yang melakukannya akan memperoleh pahala. Karena perkara seperti itu merupakan perbuatan mengagungkan tentang kedudukan Rosululloh dan merupakan menampakkan (menzhahirkan) akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya (Rasululloh) yang mulia. Orang yang pertama kali melakukan peringatan maulid ini adalah pemerintah Irbil, Sultan Al-Muzhoffar Abu Sa`id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun Al-Jami` Al-Muzhoffari di lereng gunung Qasiyun”.

Pernyataan Al-Imam Al-Hafizh Al-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “Al-Ajwibah Al-Mardliyyah,"

“لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ “بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ­ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْ­نَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ”.

“Perayaan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, belum pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum Al-Salaf Al-Sholeh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelahnya. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahirannya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mulia. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makanan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka berbagai-bagai sodaqoh, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”.

Kemudian al-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, menurut pendapat yang paling shoheh adalah malam senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak masalah melakukan kebaikan ini dihari-hari yang istimewa ini baik siang maupun malamnya sesuai dengan kesiapannya saja, bahkan dianjurkan agar amalan baik ini dilakukan disepanjang hari dan malanya sebulan penuh.”

Pernyataan Al-Syaikh Al-Islam Khatimah Al-Huffadzh Amir Al-Mu’minin Fi Al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar Al-`Asqalani,

“أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”. وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ”.

“Asal perayaan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukilkan dari Al-Salaf Al-Shaleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi meskipun demikian perayaan maulid mengandung kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barang siapa dalam perayaan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid`ah hasanah”. Al Hafidzh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan perayaan Maulid di atas akan adanya dalil yang tsabit (Shaheh)،Yaitu hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim: “Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, datang ke Madinah, beliau menjumpai kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura’ (10 Muharram), kemudian Nabi menanyakan kepada mereka? Mereka menjawab: Asyura’ adalah hari dimana Alloh menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa As. Maka kami berpuasa pada hari Asyura’ sebagai bentuk syukur kami kepada Alloh.”

Dari hadits ini bisa diambil satu faidah diperbolehkannya melakukan syukur kepada Allah atas anugerah dari-Nya di hari tertentu, baik mendapatkan nikmat atau terlepas dari musibah, dan hal tersebut bisa dilakukan secara berulang kali setiap tahun. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah, seperti sujud, puasa, sodaqoh dan membaca Al-Qur'an. Dan manakah nikmat yang lebih agung daripada kelahiran seorang Nabi, Nabi pembawa rahmat, di hari tersebut? Dari uraian ini dianjurkan untuk berusaha untuk menyesuaikan dengan hari kelahirannya agar sesuai dengan kisah Musa As, di hari Asyura’. (Al-Hawi lil-Fatawi li Al-Hafizh Al-Suyuthi jilid 1 hal : 301).

Pernyataan Al-Hafizh Al-Dzahabi, “Orang yang pertama kali melakukan Maulid adalah penguasa Irbil, Raja Al-Muzhoffar Abu Sa’id Kaukabari bin Zainuddin Ali bin Buktukin (549-630 H, iparnya Sultan Sholahuddin Al-Ayyubi), salah seorang raja yang agung, besar dan mulia. Ia memiliki riwayat hidup yang baik. Dan dia telah memakmurkan masjid Jami’ Al-Muzhaffar di lereng gunung Qasiyun. Bahkan Al-Dzahabi berkata, “Ia raja yang rendah diri, baik, Sunni (pengikut Ahlisunnah wal Jama’ah) dan mencintai ulama fikih dan ahli hadits.” (Siyar A’lam an Nubala’, jilid 22 halaman 336).

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam kitab “Tarikh”nya, menyatakan bahwa Malik Al-Muzhaffar mengamalkan maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awal dan melakukan perayaan yang besar. Dia adalah sosok cerdas hatinya, pemberani, tangguh, cerdas akalnya, pandai dan adil. Semoga Allah merahmatinya dan memuliakan tempat kembalinya.

فقام عند ذلك السبكي، وجميع من عنده فحصل أنس كبير في ذلك المجلس ، وعمل المولد واجتماع الناس له كذلك مستحسن. قال الإمام أبو شامة شيخ النووي: من أحسن ما إبتدع في زماننا ما يفعل كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده صلى الله عليه وسلم من الصدقة والمعروف وإظهار الزينة والسرور فإن فيه مع الإحسان للفقراء إشعارا بمحبته صلى الله عليه وسلم وتعظيمه وشكر على ما من به علينا.  قال السخاوي وحدوث عمل المولد بعد القرون الثلاثة ، ثم لا زال المسلمون يفعلونه. وقال إبن الجوزي من خواصه أنه أمان في ذلك العام وبشري عاجلة، واول من أحدثه من الملوك المظفر. قال سبط إبن الجوزي في مرأة الزمان: حكي لي من حضر سماط المظفر في بعض المولد أنه عد فيه خمسة الاف رأس غنم شواء وعشرة ألاف دجاجة ومائة ألف زبدية وثلاثين الف صحن حلواء ، وكان يحضره أعيان العلماء والصوفية ، ويصرف عليه ثلاثمائة الف دينار.   (إسعاد الرفيق جزء 1 ص 26).

Imam Subkhi dan para pengikutnya juga menganggab baik peringatan maulid dan berkumpulnya manusia untuk merayakannya. Imam Abu Syammah Syaikh al-Nawawi mengatakan bahwa barang siapa yang melakukan kebaikan seperti hal-hal baik yang terjadi di zaman kami yang dilakukan oleh masyarakat umum di hari yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. diantarnya sedekah, berbuat baik, memperlihatkan hiasan dan kebahagiaan. Maka sesungguhnya dalam hari tersebut beliau menganjurkan agar umat muslim berbuat baik kepada para fakir sebagai syiar kecintaan terhadap baginda Rasul. mengangungkan beliau, dan sebagai ungkapan rasa syukur. (Kitab As'ad Ar-Rafiq juz 1 hal. 26)

Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah ulama panutan salafi wahabi yang anti dan menolak maulid dalam kitab beliau Iqtidla’u al-Shirati al-Mustaqim, Mukhalafatu Ashhabi al-Jahim halaman 297, beliau mengomentari acara maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sbb:

فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَمَا قَدَّمْتُهُ لَكَ. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم، مخالفة أصحاب الجحيم: ص/٢٩٧.

"Mengagungkan maulid (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan melakukannya rutin (setiap tahun), yang kadang dilakukan oleh sebagian orang. Dan baginya dalam merayakan maulid tersebut, pahala yang agung/besar karena tujuan yang baik dan mengagungkan Rasulullah SAW. dan keluarga beliau. Sebagaimana yang telah aku sampaikan padamu." (Syaikh Ibnu Taimiyah, Iqtidla’u al-Shirati al-Mustaqim, Mukhalafatu Ashhabi al-Jahim: 297)

Berdasarkan kesaksian para imam dan para ulama masyhur diatas, maka jelas sudah, bahwa Perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan sebuah terobosan dan ide untuk membangkitkan keimanan yang dirintis oleh Raja Al-Muzhaffar. Juga perkataan dari Al-Salaf Al-Sholeh (tiga generasi pertama : Shohabat, Tabi’in, dan Tabi’i Al-Tabi’in) sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafi'i dalam karyanya diatas. Maka berlakulah padanya Qoidah adat sesuai kaidah Ushul Fiqih,

الأصل في العبادات المنع إلا إذا ورد بها الشرع والأصل في العادات الإباحة

“Asal hukum ibadah adalah dilarang, sehingga datang perintah dari Syara’ (Agama) untuk melakukannya. Sedangkan hukum ‘adat/kebiasaan itu adalah dibolehkan”.

الإباحة اصطلاحا هو ما لا حرج على المكلف في فعله ولا تركه لذاته ، أو هو ما خير بين فعله وتركه من غير تخصيص أحدهما بثواب ولا عقاب

“Ibaahah/Boleh” menurut istilah (secara Syari’at) ialah perbuatan yang tidak jadi dosa bagi orang Mukallaf (Orang yang sudah tertuntut oleh hukum Syari’at), baik didalam mengerjakannya atau meninggalkannya, Atau bisa jadi diantara mengerjakan dan meninggalkannya itu lebih baik dengan tanpa harus menentukan salah satu dari keduanya itu dengan pahala atau siksa”.

يكون المباح حراماً إذا اختلط بمحرم أو كان وسيلة له

“Sesuatu yg dibolehkan bisa berubah jadi haram, jika di campuri dengan perkara yg di haramkan. Atau ia menjadi haram karena telah jadi sarana perantara untuk perkara yg diharamkan”.

المباح قد ينقلب مندوباً أو واجباً أو حراماً أو مكروهاً بالنية أو لكونه وسيلة, أن للوسائل حكم المقاصد, ويتغير الحكم بتغير القصد

“Al-Mubah” (Perkara yg dibolehkan), sewaktu2 bisa berubah hukumnya menjadi sunat, wajib, haram dan makruh, tergantung bagaimana niatnya atau karena keadaannya merupakan suatu wasilah/sarana perantara. maka untuk segala perkara yang hanya merupakan perantara itu berlaku padanya Hukum niat-nya (tergantung pada niatnya). Dan hukumnya itu bisa berubah, dengan berubahnya tujuan/niat itu sendiri”.

Al-Syaikh Ibnu Muflih Al-Maqdisi Al-Hambali dalam “Al-Adabu Al-Syar’iyyah”nya menyatakan sebuah Qoidah dalam menyikapi sebuah adat,

لا ينبغي الخروج من عادات الناس إلا في الحرم

“Tidak semestinya keluar dari adat-adatnya orang-orang kecuali dalam hal yang diharamkan.”

Al-Hasil adat kebiasaan perayaan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ini boleh karena sangat terbukti tidak ada dalil Muthlaq akan ke-Haraman-nya. dan terbukti Syara’ tidak melarangnya. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGGERAKKAN TANGAN SAAT BERKHUTBAH

Umumnya ketika seorang khatib menyampaikan khutbah, tangannya memegang tongkat karena sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak mengacungkan tangannya. Sebagaimana riwayat berikut,

عَنْ شُعَيْبِ بْنِ زُرَيْقٍ الطَائِفِيِّ قَالَ شَهِدْناَ فِيْهَا الجُمْعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصَا أَوْقَوْسٍ

Dari Syu’aib bin Zuraidj at-Tha’ifi ia berkata, ”Kami menghadiri shalat jum’at pada suatu tempat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka  Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur”. (HR. Abi Dawud).

عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قُلْتُ لِعَطَاءٍ: أَكَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ إِذَا خَطَبَ عَلىَ عَصًا ؟ قَالَ: نَعَمْ كَانَ يَعْتَمِدُ عَلَيْهَا اِعْتِمَادًا.

Dari Ibnu Juraij, “Aku berkata kepada ‘Atha’, “Apakah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berkhutbah selalu berdiri pada tongkat?” Ia menjawab, “Ya. beliau selalu berpegangan pada tongkat.” (HR Abdurrazzaq [5246] dan Imam al-Syafi’i dalam al-Umm juz 1 hlm 177).

Begitu juga dengan Imam Syafi’i yang turut menjelaskan perihal tersebut. Dalam kitabnya beliau Al-Umm beliau mengatakan,

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى) بَلَغَنَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ اِعْتَمَدَ عَلَى عَصَى. وَقَدْ قِيْلَ خَطَبَ مُعْتَمِدًا عَلَى عُنْزَةٍ وَعَلَى قَوْسٍ وَكُلُّ ذَالِكَ اِعْتِمَادًا. أَخْبَرَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَناَ إِبْرَاهِيْمُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عُنْزَتِهِ اِعْتِمَادًا

Imam Syafi’i ra berkata, "Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi’ mengabarkan dari Imam Syafi’i dari Ibrahim, dari Laits dari ‘Atha’, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan”. (al-Umm, juz I, hal 272).

Namun di sebagian masjid, pernah dijumpai seorang khatib yang mengacung-ngacungkan tangannya, menunjuk-nunjuk ke kiri dan ke kanan, seperti layaknya berpidato di lapangan. Sebenarnya, bagaimana hukum mengacungkan tangan ketika khutbah Jumat, apakah boleh?

Ketika berkhutbah dan tampil sebagai khatib, seorang juru dakwah harus mengikuti aturan yang telah diatur oleh Islam. Aturan itu pada dasarnya diambil contoh sikap dan perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyampaikan khutbah Jum'at atau lainnya. Seorang khatib hendaknya tidak menggerak-gerakkan tangannya, baik dengan mengangkatnya, menunjuk kearah tertentu atau mengisyaratkan kepada sesuatu. (Sholatul Mukmin, Syaikh Saad Al Qahthani 2/823)

Imam Al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 437), menyebutkan adab-adab seorang khatib sebagai berikut:,

أداب الخطيب: يأتى المسجد وعليه السكينة والوقار، ويبدأ بالتحية ويجلس وعليه الهيبة، و يمتنع عن التخاطب، وينتظر الوقت، ثم يخطو إلى المنبر و عليه الوقار، كأنه يحب أن يعرض ما يقول على الجبار، ثم يصعد للخشوع، ويقف على المرقاة بالخشوع ويرتقي بالذكر، ويلتفت إلى مستمعيه باجتماع الفكر، ثم يشيرإليهم بالسلام ليستمعوا منه الكلام، ثم يجلس للأذان فزعا من الديان، ثم يخطب بالتواضع، ولا يشير بالأصابع، ويعتقد ما يقول لينتفع به، ثم يشير اليهم بالدعاء، وينزل إذا أخذ المؤذن في الإقامة، ولا يكبر حتى يسكتوا، ثم يفتتح الصلاة، ويرتل ما يقرأ.  

“Adab khatib, yakni berangkat ke masjid dengan hati dan pikiran tenang; terlebih dahulu shalat sunnah dan duduk dengan khidmat; tidak berbincang-bincang dan menunggu waktu; kemudian melangkah ke mimbar dengan rasa terhormat seolah-olah senang mengatakan sesuatu yang akan disampaikan kepada Yang Maha Perkasa; kemudian naik dan berdiri di tangga dengan khusyu’ sambil berdzikir; berputar untuk melayangkan pandangan kepada para pendengarnya dengan penuh konsentrasi kemudian menyampaikan salam kepada pendengar agar mereka mendengarkan; kemudian duduk untuk mendengarkan adzan dengan penuh rasa takut kepada Yang Maha Kuasa; kemudian berkhutbah dengan penuh tawadhu’; tidak menunjuk dengan jari-jari; merasa yakin bahwa yang disampaikan bermanfaat; kemudian memberi isyarat kepada makmun agar berdoa; turun dari mimbar jika muadzin sudah bersiap-siap iqamat; tidak bertakbir sebelum jamaah tenang; kemudian mulai shalat dan membaca ayat-ayat Al-Qurán dengan tartil.”

Hukumnya makruh khatib yang sedang berkhutbah menggerak-gerakan tangannya layaknya seorang penceramah,

ويكره للخطيب أن يشير بيده

“Dan dimakruhkan bagi khathib berisyarat memakai tangannya saat khutbah”. [ Raudhah at-Thoolibiin I/158 ].

Dalil yang melarang menggerakkan tangan,

عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ

Dari Hushain dari ‘Umaarah bin Ruaibah ia berkata bahwasannya ia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar dengan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa (pada hari Jum’at). Maka ‘Umaarah pun berkata : “Semoga Allah menjelekkan kedua tangan ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di atas mimbar tidak menambahkan sesuatu lebih dari hal seperti ini”. Maka ia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya” (HR. Muslim no. 874).

Hadits ini digunakan oleh sebagian ahli ilmu, bahwa mengangkat tangan  atau menggerakkan tangan bagi khatib adalah dilarang, karena mengurangi khidmatnya shalat jumat.

Namun Rasulullah pernah berisyarat dengan jari telunjukknya kepada makmum. Artinya larangan disini sifatnya jika ada keperluan dan bukan gerakan bebas terlalu banyak, maka sifatnya hanya isyarat saja.

Sebagian kalangan ulama Syafi'iyah menyebutkan, bahwa terlalu banyak bergerak bid’ah dan makruh dilakukan khatib.

بل صرح بعض أهل العلم بأنه – أي رفع اليد – بدعة، وهذا إن كان بقصد، فإن كان بدون قصد فلا مؤاخذة فيه

Para ahli ilmu secara tegas menghukui mengangkat tangan saat adalah bidah, jika dilakukan dengan sengaja, namun jika dilakukan tanpa sengaja maka tidak mengapa (Tanbihul Ghafilin, Ibnu Nuhas, Hal. 268)

Pendapat yang cukup keras disebutkan oleh Imam Nawawi juga mengemukakan tentang khatib yang bergerak menoleh kekanan dan kekiri, bahwa batal dan tidak sah.

ولا يفعل ما يفعله بعض الخطباء في هذه الأزمان من الالتفات يمينا وشمالا في الصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – ولا غيرها، فإنه باطل لا أصل له، واتفق العلماء على كراهة هذا الالتفات، وهو معدود من البدع المنكرة

“Janganlah melakukan apa yang dilakukan oleh para khatib di zaman ini, mereka menoleh kekanan dan kekiri saat mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, karena hal itu merupakan kebathilan, tak berdasar sama sekali, dan para ulama sepakat bahwa hukumnya makruh, serta termasuk bidah yang munkar. (Al Majmu Syarah Muhazab, Imam Nawawi, 4/528)

Yang dimaksud makruh disini adalah makruh tahrim (haram) (Khutbatul Jum’ah wa ahkamuha al fikhiyah, Abdul Aziz Abdullah Al Hujailan)

Imam Syafi’i berkata,

وان لم يعتمد على عصا أحببت ان يسكن جسده ويديه إما بأن يضع اليمنى على اليسرى واما ان يقرهما في موضعهما ساكنتين

“Jika tidak bisa bertumpu pada tongkat, lebih disukai diam tangan dan jasad, baik dengan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri, atau tetap pada posisi keduanya tenang “(Al Umm, 1/117)

Imam Nawawi rahimahullah berkata,

هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لَا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ . وَحَكَى الْقَاضِي عَنْ بَعْض السَّلَف وَبَعْض الْمَالِكِيَّة إِبَاحَته لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي خُطْبَة الْجُمُعَة حِين اِسْتَسْقَى وَأَجَابَ الْأَوَّلُونَ بِأَنَّ هَذَا الرَّفْع كَانَ لِعَارِضٍ

“Yang sesuai dengan ajaran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengangkat tangan (untuk berdo’a) saat berkhutbah. Ini adalah pendapat Imam Malik, pendapat ulama Syafi’iyah dan lainnya. Namun, sebagian salaf dan sebagian ulama Malikiyah membolehkan mengangkat tangan saat do’a khutbah Jum’at karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah mengangkat tangan kala itu saat berdo’a istisqo’ (minta hujan). Namun ulama yang melarang hal ini menyanggah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan saat itu karena ada suatu sebab (yaitu khusus pada do’a istisqo’).” (Syarh Muslim 6: 162)

Memang, gerakan gerakan tangan seperti khutbah itu tidak membatalkan, tapi tetap tidak etis, karena khutbah adalah ibadah murni seperti halnya shalat yang perlu ketenangan dan kekhusyu’an.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 15 Oktober 2020

KAJIAN TENTANG FREKUENSI HUBUNGAN INTIM SUAMI ISTRI (ARTIKEL REQUEST)

Adakah aturan dalam Islam, berapa kali hubungan intim atau hubungan seks dalam sepekan?

Intinya, dalam Islam tidak ada pembatasan berapa kali dalam seminggu untuk hubungan intim. Mengenai perkara tersebut tergantung pada keadaan dan kemampuan tiap person.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ (البقرة: 223) قال في التفسير الميسر: فجامعوهن في محل الجماع فقط وهو القبل, بأي كيفية شئتم.

“Para Istri kalian adalah ladang bagi kalian, maka datangilah ladang kalian itu bagaimana saja kalian menghendaki” (QS. Al-Baqarah: 223). 

Dalam tafsir Al-Muyassar (35) dikatakan: “Maka ber-jima’-lah dengan istri kalian di tempat jima’-nya saja, (yakni vaginanya), dengan cara apapun kalian menghendaki”.

Ibnu Qudamah nenyebutkan dalam Al-Mughni (7: 30),

والوطء واجب على الرجل – أي الزوج بأن يجامع زوجته – إذا لم يكن له عذر ، وبه قال مالك

“Hubungan seks wajib dilakukan oleh suami, yaitu ia punya kewajiban menyetubuhi istrinya selama tidak ada udzur. Demikian dikatakan oleh Imam Malik (pendapatnya).”

Untuk menjaga hubungan suami istri tetap harmonis, hubungan biologis yang teratur menjadi salah satu sarananya. Tidak ada patokan khusus dari medis terkait hal ini. Namun demikian, seperti diwartakan Alodokter, sebaiknya sepasang suami istri melakukan kebutuhan biologisnya itu seminggu dua kali. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Imam al-Ghazali.

Imam al-Ghazali berpendapat demikian terkait waktu ideal berhubungan intim suami dan istri,

وينبغي أن يأتيها في كل أربع ليال مرة فهو أعدل إذ عدد النساء أربعة فجاز التأخير إلى هذا الحد نعم ينبغي أن يزيد أو ينقص بحسب حاجتها في التحصين فإن تحصينها واجب عليه وإن كان لا يثبت المطالبة بالوطء فذلك لعسر المطالبة والوفاء بها

"Seyogianya suami itu melakukan hubungan intim dengan istri empat malam sekali, dan ini yang lebih ideal. Hal ini karena jumlah wanita yang boleh dipoligami itu sampai empat. Oleh karena itu, suami boleh menunda tidak berhubungan intim hingga lebih dari batasan ini, yaitu empat hari. Namun demikian, seyogianya suami boleh mempercepat atau memperlambat waktu hubungan intim sesuai kebutuhan biologis istri agar tidak selingkuh. Suami pun wajib memenuhi kebutuhan biologis istri. Akan tetapi suami tidak boleh memaksa istrinya memenuhi hasratnya, karena pemenuhan hasrat biologis itu sulit dipaksakan." (Ihya Ulumuddin juz 2 hal. 58)

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwasannya hubungan intim suami istri itu sebaiknya dilakukan setiap empat hari sekali. Imam al-Ghazali menghitung waktu ideal itu berdasarkan jumlah wanita yang boleh dipoligami dalam Islam, yaitu empat wanita. Hal ini diilustrasikan bahwa setiap hari suami yang berpoligami itu menggilir istrinya secara bergantian. Malam ini di rumah si A, besoknya di rumah si B, dan seterusnya. Selain itu, secara tersirat imam al-Ghazali berpendapat, melakukan hubungan intim secara rutin itu menjaga pasangan agar tidak selingkuh.

Namun demikian tidak dibolehkan memaksakan pasangan apabila ia sedang tidak dalam keadaan fit atau tidak mood. Oleh karena itu, dibutuhkan kondisi fresh satu sama lain agar terjadi hubungan intim yang berkualitas. Dan yang paling penting, jangan lupa berdoa saat hendak melakukan hubungan suami istri tersebut.

Ada hadits pula dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya,

« يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ » . فَقُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَلاَ تَفْعَلْ ، صُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

“Wahai Abdullah, benarkan aku dapat kabar darimu bahwa engkau terus-terusan puasa dan juga shalat malam?” Abdullah bin Amr bin Al Ash menjawab, “Iya betul wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Jangan lakukan seperti itu. Engkau boleh berpuasa, namun ada waktu tidak berpuasa. Engkau boleh shalat malam, namun ada waktu untuk istirahat tidur. Ingat, badanmu punya hak, matamu punya hak, istrimu juga punya hak yang mesti engkau tunaikan. Begitu pula tenggorokanmu pun memiliki hak.” (HR. Bukhari no. 1975).

Dalam Kitab Fathul Bari disebutkan perkataan Ibnu Batthol,

وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُجْهِد بِنَفْسِهِ فِي الْعِبَادَة حَتَّى يَضْعُف عَنْ الْقِيَام بِحَقِّهَا مِنْ جِمَاع وَاكْتِسَاب

“Hendaklah suami tidak mempersusah diri dalam ibadah sehingga membuat ia lemas untuk menunaikan hak istrinya yaitu kebutuhan seks dan bekerja untuk keluarga.”

Ibnu Hajar juga menyebutkan,

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِيمَنْ كَفّ عَنْ جِمَاع زَوْجَته فَقَالَ مَالِك : إِنْ كَانَ بِغَيْرِ ضَرُورَة أُلْزِم بِهِ أَوْ يُفَرَّق بَيْنهمَا ، وَنَحْوه عَنْ أَحْمَد ، وَالْمَشْهُور عِنْد الشَّافِعِيَّة أَنَّهُ لَا يَجِب عَلَيْهِ ، وَقِيلَ يَجِب مَرَّة ، وَعَنْ بَعْض السَّلَف فِي كُلّ أَرْبَعٍ لَيْلَة ، وَعَنْ بَعْضهمْ فِي كُلّ طُهْر مَرَّة .

“Para ulama berselisih pendapat bolehkah suami meninggalkan menyetubuhi istrinya. Imam Malik berpandangan, “Jika tidak darurat melakukannya, suami bisa dipaksa berhubungan seks atau mereka berdua harus pisah.” Imam Ahmad juga berpendapat seperti itu. Sedangkan yang masyhur dari kalangan ulama Syafi’iyah, ia tidak wajib berhubungan intim. Ada pula yang berpandangan bahwa wajibnya sekali. Sebagian ulama salaf berpendapat, setiap empat malam, harus ada hubungan seks. Ulama lainnya berpandangan, setiap kali suci dari haidh, sekali hubungan seks.” (Fathul Bari (9: 299))

Ada kisah menarik dari masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu mengenai betapa menderitanya seorang wanita yang terlalu lama tidak melakukan hubungan suami istri. 

فقد روى مالك في الموطأ عن عبد الله بن دينار قال: خرج عمر بن الخطاب من الليل فسمع امرأة تقول:

Imam Malik dalam Al-Muwatha' telah meriwayatkan dari Abdullah bin Dinar ra. Dalam sebuah inspeksi di suatu malam, Khalifah Umar bin Khattab mendengar seorang wanita tengah bersenandung,

تطاول هذا الليل واسود جانبه # وأرقني أن لا خليل ألاعبـه

فوالله لولا الله أني أراقبـــه # لحرك من هذا السرير جوانبه

*“Malam Ini Terasa Panjang, tanpa teman tempat bercinta, Demi Allah, Kalau bukan karena Allah, yang tiada Tuhan selain-Nya, tentu tempat tidur ini telah menggempa. Namun karena rasa takut dan maluku kepada Allah, aku hormati suamiku, semoga dia berhasil mencapai maksudnya….”*

Khalifah Umar ra. lalu mendatangi wanita itu dan menanyakan mengenai masalah yang dialaminya. Namun, wanita itu menutup-nutupinya. Ia tak mau berterus terang. Khalifah Umar sempat mengetahui bahwa suaminya adalah pejuang, yang tengah bertugas di medan perang.

Kemudian Khalifah Umar segera menemui putrinya, Hafsah rah., dan menanyakan soal tersebut.

فسأل عمر ابنته حفصة: كم أكثر ما تصبر المرأة عن زوجها؟ 

“Berapa lama seorang istri tahan bersabar kalau ditinggal suaminya?”

Hafsah malu dan tidak menjawab.

Khalifah Umar berkata lagi, “Hai anakku, jawablah pertanyaanku ini, supaya ayahmu ini bisa lepas dari beban yang berat.”

فقالت: ستة أشهر، أو أربعة أشهر

Hafsah rah. lalu menjawab, “Enam bulan atau empat bulan." 

Maka kalau sudah empat bulan seorang istri akan merasa tersiksa, dan akan kehilangan keseimbangannya sesudah empat bulan.

Atas hal tersebut, Khalifah Umar mengumpulkan para sahabat, bermusyawarah, dan mengambil keputusan.

فقال عمر: لا أحبس أحداً من الجيوش أكثر من ذلك.

“Seorang pejuang (mujahid) tidak boleh meninggalkan istrinya lebih dari itu (empat bulan).” (Al-Muwatha' Imam Malik dan Mushannif Abdurrazaq)

https://www.islamweb.net/ar/fatwa/10254/

Berdasarkan penelitian maupun penjelasan di atas, menunjukkan bahwa hubungan intim adalah masalah yang penting. Ini bukan hanya masalah bagi kaum pria, tetapi juga masalah dan kebutuhan kaum wanita. Begitu pentingnya seks dalam suatu rumah tangga.

Setiap pasangan memiliki frekuensi yang berbeda-beda dalam melakukan hubungan intim. Jangan sampai pasangan yang libidonya rendah memaksakan diri untuk ikut-ikutan mereka yang libidonya tinggi; berupaya sekuat tenaga untuk berhubungan seks seperti dosis minum obat, apalagi dengan mengonsumsi berbagai macam suplemen penambah gairah.

Yang perlu diperhatikan adalah kualitas hubungan seks tersebut. Adalah percuma memaksakan hubungan seks dengan kuantitas yang banyak, namun tidak berkualitas, misalnya salah satu pasangan tidak merasakan kepuasan, atau bahkan merasa sakit.

Baik kualitas maupun kuantitas hubungan seks sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dan psikis. Saat baru sembuh dari sakit, terlalu lelah bekerja, atau kekurangan gizi, dapat menyebabkan stamina dan vitalitas menurun sehingga minat terhadap seks (libido) menjadi rendah.

Otomatis, frekuensi seks pun menjadi berkurang. Begitu pula bila keadaan psikis sedang labil, misalnya sedang marah atau banyak masalah, frekuensi hubungan seks akan menurun.

Pada umumnya, frekuensi hubungan seks akan semakin menurun seiring bertambahnya usia. Menurunnya frekuensi tersebut hendaknya tidak menjadikan masing-masing pasangan menjadi cemas, karena memang merupakan suatu hal yang normal. Harus diingat, kasih sayang antara pasangan tidak selalu ditandai dengan hubungan intim. Wallahu a'lam bis-Shawab

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaiakan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*