Jumat, 08 Mei 2020
MENGENAL BIOGRAFI KH. M. ARWANI AMIN (KUDUS)
Guru Besar al-Qur`an
Kitab Karya Beliau Yang Terkenal :
فيض البركات في سبع القراءات
(Faidl al-Barakat fi as-Sabi’a Qira’at)
Kudus juga dikenal sebagai Kota Religius atau Kota Santri di samping terkenal dengan sebutan Kota Kretek, Sebutan Kota Religius atau Kota Santri ditandai dengan banyaknya santri yang menuntut ilmu di berbagai pesantren di kota ini, baik dari masyarakat Kudus maupun dari sekitarnya. Kecuali itu di kota ini terdapat banyak Kyai dan 'Ulama yang terkenal dan kompetens di bidangnya. Di antara mereka yang menjadi tauladan bagi masyarakat adalah mBah K.H. Muhammad Arwani Amin.
Beliau berasal dari pasangan keluarga shaleh yang sangat mencintai al-Qur’an di sekitar lebih 100 meter di sebelah selatan Masjid Menara (al-Aqsha) Kudus, tepatnya di Desa Madureksan, Kerjasan. Pasangan keluarga ini adalah KH. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah. KH. Amin Sa’id ini sangat dikenal di Kudus kulon terutama di kalangan santri, karena beliau memiliki sebuah toko kitab yang cukup dikenal, yaitu toko kitab al-Amin. Dari hasil berdagang inilah, kehidupan keluarga mereka tercukupi.
Yang menarik adalah, meski keduanya (H. Amin Sa’id dan istrinya) tidak hafal al-Qur’an, namun mereka sangat gemar membaca al-Qur’an. Kegemarannya membaca al-Qur’an ini, hingga dalam seminggu mereka bisa khatam satu kali. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh orang kebanyakan, bahkan oleh orang yang hafal al-Qur’an sekalipun.
Kelahiran Mbah K.H. M. Arwani Amin
K.H. M. Arawani Amin dilahirkan pada hari Selasa Kliwon pukul 11.00 siang tangga l5 Rajab 1323 H bertepatan dengan 5 September 1905 M di kampung Kerjasan Kudus, Jawa Tengah. Ayah beliau bernama H. Amin Said dan ibunya bernama Hj.Wanifah.
Nama asli beliau adalah Arwan, akan tetapi setelah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama namanya diganti dengan Arwani. kemudian ditambah nama depan "Muhammad". Hingga wafat beliau dikenal dengan nama lengkap K.H. Muhammad Arawani Amin dan panggilan akrabnya adalah mBah Arwani Kudus.
Mbah Arwani adalah anak kedua dari 12 bersaudara, yaitu
1. Muzainah
2. K.H. M. Arwani
3. Farkhan
4. Sholikhah
5. H. Abdul Muqsith
6. Khafidz
7. Ahmad Da’in
8. Ahmad Malikh
9. I’anah
10. Ni’mah
11. Muflikhak dan
12. Ulya
Di antara ada tiga nama yang paling menonjol, yaitu Mbah Arwani, Farkhan, dan Ahmad Da’in, ketiga-tiganya hafal al-Qur’an. Dan dari sekian saudara mBah K.H. M. Arwani Amin yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad Da’in.
Ahmad Da’in, adiknya mBah Arwani ini bahkan terkenal jenius, karena beliau sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwan yakni pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in inilah yang menggugah Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, terpacu lebih tekun belajar.
Arwan kecil hidup di lingkungan yang sangat taat beragama (religius). Kakek dari ayahnya adalah salah satu ulama besar di Kudus, yaitu KH. Imam Haramain. Sementara garis nasabnya dari ibu, sampai pada Pahlawan Nasional yang juga ulama besar Pangeran Dipenegoro yang bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Kehidupan Keluarga KH. M. Arwani Amin
Ayahanda Mbah Arwani yaitu H. Amin Said adalah seorang kiyai yang cukup disegani dan dihormati oleh masyarakat disekitar beliau tinggal. Meskipun ayah dan bunda beliau tidak hafal al-Qur’an, namun tempat tinggal beliau dikenal sebagai rumah al-Qur’an, karena setiap pekan mereka selalu mengkhatamkan al-Qur’an.
Istri beliau bernama Ibu Nyai Hj. Naqiyul Khud. Beliau menikah pada tahun 1935 M dimana pada saat itu status beliau adalah seorang santri dari pondok pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Ibu Naqi adalah putri dari H. Abdul Hamid, seorang pedagang kitab. Tokonya sekarang masih ada,bahkan semakin berkembang. Beliau memiliki empat orang anak, yaitu Ummi dan Zukhali Uliya (meninggal saat masih bayi) serta K.H. M. A. Ulin Nuha Arwani dan K.H. M. A. Ulil Albab Arwani yang kini tinggal di Pesantren Yanbu' al-Qur`an di sekitar timur Perempatan Sucen Kudus.
Masa Menuntut Ilmu KH. M. Arwani Amin Said
K.H. M. Arwani Amin dan adik-adiknya sejak kecil hanya mengenyam pendidikan di madrasah dan pondok pesantren. Arwani kecil memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, sebelah utara Menara Kudus. Beliau masuk di madrasah ini sewaktu berumur 7 tahun. Madrasah ini merupakan madrasah tertua yang ada di Kudus yang didirikan oleh Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912. Salah satu pimpinan madrasah ini di awal-awal didirikannya adalah K.H. Abdullah Sajad.
Setelah sudah semakin beranjak dewasa, akhirnya memutuskan untuk meneruskan ilmu agama Islam ke berbagai pesantren di tanah Jawa, seperti Solo, Jombang, Jogjakarta dan sebagainya. Dari perjalanannya berkelana dari satu pesantren ke pesantren itu, talah mempertemukannya dengan banyak kiai yang akhirnya menjadi gurunya (masyayikh).
Adapun sebagian guru yang mendidik K.H. M. Arwani Amin diantaranya adalah K.H. Abdullah Sajad (Kudus), K.H. Imam Haramain (Kudus), K.H. Ridhwan Asnawi (Kudus), K.H. Hasyim Asy’ari (Jombang), K.H. Muhammad Manshur (Solo), K.H. M. Munawir (Yogyakarta) dan lain-lain.
Kepribadian Mbah K.H. M. Arwani Ami
Selama berkelana mencari ilmu baik di Kudus maupun di berbagai pondok pesantren yang disinggahinya, K.H. M. Arwani Amin dikenal sebagai pribadi yang santun dan cerdas karena kecerdasannya dan sopan santunnya yang halus itulah, maka banyak kiainya yang terpikat. Karena itulah pada saat mondok K.H. M. Arwani Amin sering dimintai oleh kiainya membantu mengajar santri-santri lain. Lalu memunculkan rasa sayang di hati para kiainya.
Beliau hidup di lingkungan masyarakat santri yang sangat ketat dalam menghayati dan mengamalkan agama. Oleh karena itu wajar saja jika beliau tumbuh menjadi seorang yang memiliki perangai halus, sangat berbakti kepada kedua orang tua, mempunyai solidaritas yang tinggi, rasa setia kawan dan suka mengalah tapi tegas dalam memegang prinsip.
Beliau dikaruniai kecerdasan dan minat yang kuat dalam menuntut ilmu. Pada masa remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu mengembara dari pesantren ke pesantren. Tidak kurang dari 39 tahun hidup beliau dihabiskan untuk menuntut ilmu dari kota ke kota yang dimulai dari kotanya sendiri yaitu Kudus. Kemudian dilanjutkan ke Pesantren Jamsaren Solo, Pesantren Tebu Ireng Jombang, Pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta dan diakhiri di Pesantren Popongan Solo.
Sekitar tahun 1935, K.H. Arwani Amin pun melaksanakan pernikahan dengan salah satu seorang putri Kudus, yang kebetulan cucu dari guru atau kiainya sendiri yaitu K.H. Abdullah Sajad. Perempuan sholehah yang disunting oleh beliu adalah ibu Naqiyul Khud.
Dari pernikahannya dengan ibu Naqiyul Khud ini, K.H. M. Arwani Amin diberi dua putrid dan dua putra. Putri pertama dan kedua beliau adalah Ummi dan Zukhali (Ulya), namun kedua putri beliau ini menginggal dunia sewaktu masih bayi. Yang tinggal sampai kini adalah kedua putra beliau yang kelak meneruskan perjuangan K.H. M. Arwani Amin dalam mengelola pondok pesantren yang didirikannya. Kedua putra beliau adalah K.H. Ulin Nuha (Gus Ulin) dan K.H. Ulil Albab Arwani (Gus Bab). Kelak, dalam menahkodai pesantren itu, mereka dibantu oleh KH. Muhammad Manshur. Salah satu khadam K.H. M. Arwani Amin yang kemudian dijadikan sebagai anak angkatnya.
Perjuangan K.H. M. Arwani Amin
Beliau mengajarkan al-Qur’an pertama kali sekitar tahun 1942 di Masjid Kenepan Kudus, yaitu setamat beliau nyantri dari pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Pada periode ini santri-santri beliau kebanyakan berasal dari luar kota Kudus. Seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit santri beliau semakin bertambah banyak dan bukan hanya dari Kudus dan sekitarnya, tapi ada yang berasal dari luar propinsi bahkan dari luar pulau Jawa. Kemudian beliau membangun sebuah pondok pesantren yang diberi nama Yanbu’ul Qur’an yang berarti Sumber al-Quran. Pondok pesantren ini didirikan pada tahun 1393 H/1979 M. K.H. M. Arwani Amin meninggalkan sebuah karya besar berupa kitab yang diberi nama Faidl al-Barakat fi as-Sabi’a Qira’at (فيض البركات في سبع القراءات).
Semasa hidupnya beliau juga mengajarkan Thariqat Naqsabandiyah Kholidiah yang pusat kegiatannya bertempat di mesjid Kwanaran. Beliau memilih tempat ini karena suasana di sekeliling cukup sepi dan sejuk. Disamping itu tempatnya dekat perumahan dan sungai Gelis yang airnya jernih untuk membantu penyediaan air untuk para peserta kholwat. KH. M. Arwani amin juga pernah menjadi pimpinan Jam’iyah Ahli ath-Thariqat al-Mu’tabarah yang didirikan oleh para kyai pada tanggal 10 Oktobrr 1957 M. Dan dalam Mu’tamar NU 1979 di Semarang nama tersebut diubah menjadi Jam’iyyah Ahl ath-Thariqat al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN).
Kelebihan K.H. M. Arwani Amin
K.H. M. Arwani Amin dikenal sebagai seorang ulama yang sangat tekun dalam beribadah. Dalam melaksanakan sholat wajib beliau selalu tepat waktu dan senantiasa berjamaah meskipun dalam keadaan sakit. Kebiasaan tersebut sudah beliau jalani sejak berada di pesantren.
Sewaktu masih belajar Qiraat Sab’ah pada K.H. Munawir di Krapyak yang pelajarannya dimulai pada pukul 02.00 dinihari sampai menjelang Shubuh beliau sudah siap pada pukul 12.00 malam. Dan sambil menunggu waktu pelajaran dimulai beliau manfaatkan untuk melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Kebiasaan tersebut tetap berlanjut setelah beliau kembali dan bermukim di Kudus.
Biasanya beliau mulai tidur pukul 20.00 WIB dan bangun pukul 21.00 WIB. Kemudian dilanjutkan melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Apabila sudah lelah kemudian tidur lagi kira-kira selama satu sampai dua jam kemudian bangun lagi untuk melaksanakan sholat dan dzikir, begitu setiap malamya sehingga bila dikalkulasi beliau hanya tidur dua sampai tiga jam setiap malamnya.
K.H. M. Arwani Amin Said dikenal oleh msyarakat di sekitarnya sebagai seorang ulama yang memiliki kelebihan yang luar biasa. Banyak yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang wali, beberapa santrinya mengatakan bahwa K.H.Arwani Amin memiliki indra keenam dan mengetahui apa yang akan terjadi dan melihat apa yang tidak terlihat.
Konon, menurut Mbah K.H. Sya’roni Ahmadi, kelebihan mBah K. Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya yang senang membaca al-Qur’an. Di mana orangtuanya selalu menghatamkan membaca al-Qur’an meski tidak hafal.
Selain barokah orangtuanya yang cinta kepada al-Qur’an, K.H. Arwani Amin sendiri adalah sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke berbagai daerah untuk mondok, berguru pada ulama-ulama.
Selama menjadi santri, Mbah K.H. Arwani selalu disenangi para kyai dan teman-temannya karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan, karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH. Hasyim Asy’ari sempat menawarinya akan dijadikan menantu. Namun, mBah Arwani memohon izin kepada K.H. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orang tuanya. Dan dengan sangat menyesal, orang tuanya tidak bisa menerima tawaran K.H. Hasyim Asy’ari, karena kakek mBah Arwani (KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja.Akhirnya, mBah Arwani menikah dengan Ibu Nyai Naqiyul Khud pada 1935. Bu Naqi adalah puteri dari H. Abdul Hamid bin K.H. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri.
Para Santri Mbah K.H. M. Arwani Amin
Ribuan murid telah lahir dari pondok yang dirintis K.H. M. Arwani Amin tersebut. Banyak dari mereka yang menjadi ulama dan tokoh. Sebut saja di antara murid-murid mBah K.H. M. Arwani Amin yang menjadi ulama adalah:
1) K.H. M. Sya’roni Ahmadi (Kudus)
2) K.H. Hisyam (Kudus)
3) K.H. Abdullah Salam (Kajen)
4) K.H. Muhammad Manshur
5) K.H. Muharror Ali (Blora)
6) K.H. Najib Abdul Qodir (Jogja)
7) K.H. Nawawi (Bantul)
8) K.H. Marwan (Mranggen)
9) K.H. A. Hafidz (Mojokerto)
10) K.H. Abdullah Umar (Semarang)
11) K.H. Hasan Mangli (Magelang)
KAROMAH K.H. MUHAMMAD ARWANI AMIN (KUDUS
Berikut ini merupakan karamah Mbah K.H. Arwani.
AIR PUTIH PEMBERIAN MBAH ARWANI BERFUNGSI SEBAGAI BAHAN BAKAR
Suatu hari, Mbah Arwani pergi ke luar Kota untuk menghadiri suatu acara bersama beberapa Kiai dengan menggunakan mobil. Selepas menghadiri acara, rombongan Mbah Arwani pun pulang menuju Kudus. Baru sampai di daerah Rembang tiba-tiba mobilnya mogok. Setelah diperiksa oleh sang sopir, ternyata bahan bakar mobilnya habis. Sang sopir dan beberapa anggota rombongan bingung, karena pada waktu itu sangat jarang keberadaan SPBU atau yang menjual BBM eceran di pinggir jalan.
Di saat sopir dan para Kiai kebingungan, tiba-tiba Mbah Arwani memberi air putih kemasan dan dawuh, “Coba tuangkan pakai air putih ini.”
Tanpa ragu, sang sopir pun mengiyakan dhawuh Mbah K. Arwani tersebut. Subhanallah … mobil pun kembali bisa berjalan.
MBAH ARWANI PERGI KE MADINAH DALAM SEKEJAP
K.H. Manshur Popongan adalah guru Thariqahnya Mbah Arwani. Saat Mbah Manshur dirawat di sebuah Rumah Sakit di Kota Solo, Mbah Arwani menjenguk gurunya itu. Di sela-sela obrolan guru dan muridnya tersebut, tiba-tiba Mbah Manshur minta sesuatu kepada Mbah Arwani, “Mbah Arwani, saya ingin sekali makan kurma hijau, apa sampeyan bisa mencarikan untukku ?.”
Dengan bergegas Mbah Arwani pun menyanggupi permintaan gurunya itu. Dalam sekejap, setelah Mbah Arwani keluar dari kamar tempat gurunya dirawat, Mbah Arwani langsung tiba di Kota Madinah Al-Munawwarah.
Setelah sampai di Madinah, Mbah Arwani pun langsung mencari kurma hijau di sebuah pasar Kota Madinah. Sehabis membeli kurma hijau, Mbah Arwani tidak ingin menyia-nyiakan waktunya untuk ziarah ke makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shalat di Masjid Nabawi. Namun, baru beberapa raka’at shalat selesai didirikan, Mbah Arwani melihat gurunya sudah berada di belakangnya. Betapa kaget Mbah Arwani karena sudah disusul oleh gurunya itu. Gurunya pun dawuh, “Selesai shalat langsung pulang, ya ?.”
Mbah Arwani pun menjawab, “Nggeh, Mbah Yai.”
ROKOK PEMBERIAN MBAH ARWANI TAK PERNAH HABIS
Suatu waktu, ada seorang tamu yang sowan kepada Mbah Arwani. Tidak berselang lama, si tamu diberi jamuan dan sebungkus rokok. Setelah mendengar nasihat-nasihat dari Mbah Arwani, si tamu pun mohon pamit untuk pulang. Tetapi sebelum pulang, Mbah Arwani bilang, “Bawa saja rokoknya, tapi jangan dihitung berapa isinya ?.”
Si tamu pun mengangguk, “Nggeh, Mbah Yai.”
Tak terasa, si tamu merasa heran, kenapa sudah satu minggu rokok yang dikasih Mbah Arwani itu tidak habis-habis, padahal dalam sehari ia bisa menghabiskan kurang lebih 6 batang rokok. Karena penasaran, ia pun membuka bungkus rokok yang dikasih Mbah Arwani tersebut, ternyata isinya tinggal 1 batang. Ia pun merasa bersalah karena tidak mematuhi pesan Mbah Arwani agar tidak membuka bungkusnya. Ia pun berpikir jika dalam sehari ia bisa menghabiskan 6 batang rokok berarti isi rokok yang ada di bungkus itu kurang lebih 42 batang, padahal pada waktu itu, umumnya satu bungkus rokok berisi 12 batang.
Subhanallah…
MBAH ARWANI TERHINDAR DARI KECELAKAAN BUS
Kiai Manshur Maskan adalah santri kinasih sekaligus anak angkatnya Mbah Arwani. Setiap kali Mbah Arwani mendapat undangan sema’an Al-Qur’an, Kiai Manshur sering diajak untuk menyimaknya.
Suatu hari, Kiai Manshur diajak gurunya untuk menghadiri undangan sema’an Al-Qur’an di luar Kota. Karena jaraknya jauh, Mbah Arwani pun memutuskan untuk naik bus. Lama sekali Kiai Manshur dan gurunya menunggu datangnya bus. Tak berselang lama, ada bus yang kondisinya baik dan mulus lewat di depan mereka, saat Kiai Manshur akan menghentikan bus tersebut, tiba-tiba Mbah Arwani melarangnya, “Jangan bus ini, tapi bus berikutnya saja.”
Kiai Manshur pun hanya mengiyakan dawuh gurunya itu. Kemudian datanglah bus yang kondisinya tidak baik dan kurang mulus di depan mereka. Kiai Manshur pun menghentikan bus tersebut atas perintah gurunya itu.
Dalam perjalanan, Kiai Manshur melihat sebuah peristiwa kecelakaan, ternyata yang kecelakaan adalah bus yang tadi hampir dinaiki dirinya dan gurunya itu. Dalam hati, Kiai Manshur berujar, “Ternyata Mbah Yai Arwani melihat kejadian sebelum kejadian itu terjadi.” Subhanallah…
KETIKA ULAMA MESIR MEMUJI KEALIMAN MBAH ARWANI
Suatu ketika, KH. Sya'roni Ahmadi (Mustasyar PBNU) umroh dan membawa kitab “Faidlul Barokat” karya KH. M. Arwani Amin (Mbah Arwani).
Kitab tersebut diperlihatkan kepada Ulama Qiroat Makkah dan Madinah yang dikenal oleh Mbah Sya'roni, lantas para ulama tersebut berkomentar, “Tidak sembarang orang bisa menulis kitab ini kecuali seorang Muqri’ Al-Kabir (Ahli ilmu qiroah yang handal).”
Setelah itu, giliran seorang ulama Mesir Syeikh Ahmad Yasin Muhammad Abdul Mutholib juga mendapatkan kitab “Faidlul Barokat”.
Spontan beliau bersya’ir memuji kealiman Mbah Arwani, “Betapa bahagianya para pencari ilmu dari Kudus, beruntung bisa dekat Sang Rahman dengan Mbah Arwani.”
"Siapa saja yang berada se-zaman didekatnya meski hanya sehari, akan pulang ke keluarganya dengan hati berseri-seri."
"Hidup bersama mereka adalah anugerah dan kemuliaan dari Sang Pemilik Keagungan yang telah memberiku anugerah tiada terperi (sebab jumpa dengan Mbah Arwani)."
Sampai sekarang, kitab “Faidlul Barokat” sudah diajarkan di berbagai Pesantren Tahfidz di Indonesia, bahkan sudah sampai diajarkan di kawasan Arab terutama Arab Saudi dan Mesir.
Sejarah Penulisan Kitab “Faidlul Barakat”
Menurut riwayat santri dekatnya, pada masa belajar ilmu Qiroat di Krapyak, Yogyakarta, beliau selalu datang dua jam sebelum setoran ngaji dimulai. Yakni jam 11 malam beliau sudah ada di majlis, padahal setoran dimulai jam 01.00 dini hari.
Selain itu, beliau selalu menyimak dengan seksama, menulis semua yang diucapkan oleh gurunya, sebab proses belajarnya dengan metode Talaqi Qira'ah. Catatan tulisan tersebutlah yang menjadi kitab “Faidlul Barokat” tiga puluh juz lengkap.
Tidak heran diantara murid-murid Mbah Munawir (Pendiri Ponpes Al-Munawir, Krapyak) hanya mBah Arwani yang diberi Ijazah Qira'ah Sab’ah, bahkan di depan muridnya beliau dawuh (menyampaikan) untuk belajar kepada Mbah Arwani saja kalau beliau sudah wafat.
KELEMBUTAN AKHLAK MBAH ARWANI KETIKA DIHINA
Dalam pengajian Tafsir Jalalain belum lama ini, Pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah, K.H Muhammad Shofi Al-Mubarok menceritakan salah satu kisah kehidupan K.H. Arwani Amin Kudus.
Ia menerangkan, seusai menghadiri pembukaan thoriqoh yang baru saja didirikan oleh KH. Arwani Amin, KH. Manshur Maskan, murid kesayangan Kiai Arwani melihat tulisan yang mengusik hatinya.
"Arwani Edan". Ya, begitulah tulisan yang tertera melekat di dinding pinggiran jalan.
Melihat tulisan yang masih basah itu, Kiai Mansur Maskan lantas bergegas matur kepada Kiai Arwani untuk meminta izin menghapus tulisan yang tidak bertanggung jawab tersebut. Namun, apa yang justru dikatakan Kiai Arwani?.
"Ojo dibusak disik, ben aku weruh disik. ben wong sing nulis iku puas. Onone wong kui nulis, mergo nduwe tujuan ben tak woco. wes jarke disik. ngko nak aku wes weruh, hapusen." (Jangan dihapus dulu, agar orang yang menulis puas. Adanya orang itu nulis karena memiliki tujuan agar saya membaca. Sudah biarkan saja dulu. Nanti kalau saya sudah melihat, hapuslah).
Diriwayatkan oleh Kiai Manshur Maskan, beliau wafat pada 31 Maret 2004 M/10 Safar 1426 H dalam usia 59 tahun.
KETIKA KIAI ARWANI AMIN DIPEREBUTKAN PARA BIDADARI SURGA
Kiai Arwani Amin, Kudus, Allahu yarham, beserta putra-putranya tidak habis pikir mengapa akhir-akhir ini istri beliau sering uring-uringan. Padahal sebelum Kiai Arwani sakit, istri beliau tidak pernah berperilaku demikian. Sebelumnya beliau justru menjadi istri yang sangat lembut. Namun setelah Kiai Arwani sakit, keadaan berbalik begitu drastis.
Karena kebingungan, kedua putra Kiai Arwani sowan kepada Maulana Habib Luthfi di Pekalongan. Kepada beliau mereka menyampaikan permasalahannya dan memohon petunjuk.
“Ini bagaimana, Habib?,” keluh mereka.
Mendengar penuturan keluarga Kiai Arwani ini, Habib Luthfi tidak segera berbicara. Sejenak beliau terdiam lalu tersenyum.
“Nggak apa-apa,” kata beliau
Kemudian beliau melanjutkan, “Ibu kalian itu uring-uringan itu wajar. Dia lagi cemburu.”
“Cemburu bagaimana, Habib?,” mereka tak memahami.
“Allah SWT memberi Kasyaf (tersingkapnya tabir gaib) kepada ibu kalian sehingga dapat melihat suaminya, yaitu abah kalian, sedang menjadi rebutan para bidadari,” jelas Habib Lutfi.
Ketika kedua putra Kiai Arwani pulang kembali ke rumah, mereka menanyakan kepada ibunya perihal sering uring-uringannya itu. Sang ibu dengan tegas menjawab, “Bagaimana tidak marah, lah wong setiap hari aku melihat Abahmu dipeluk perempuan cantik-cantik !.”
Bila baru sakit saja sudah menjadi rebutan bidadari, bagaimana nanti setelah meninggal dunia ? .
KERENDAHAN HATI KIAI ARWANI
Suatu hari, KH. Ma’ruf Irsyad bersama Ibu Nyai Hj. Munijah sowan ke rumah KH. Arwani Amin (Mbah Arwani). Di rumah Mbah Arwani, Kiai Ma’ruf dan Nyai Hj. Munijah dipersilakan duduk di tempat yang telah disiapkan sebelumnya. Kiai Ma’ruf kaget, karena Mbah Arwani justru duduk lebih rendah dari tempat yang disediakan itu.
Melihat pemandangan tidak wajar itu, Kiai Ma’ruf bertanya, “Mbah Yai, njenengan (Anda) kok duduk di bawah.”
Mbah Arwani menjawab tegas, “Yang datang ke rumah saya ini, istrinya teman guru saya.”
Tentu Kiai Ma’ruf tak bisa berbuat apa-apa lagi mendapatkan perlakukan istimewa dari sang guru, KH. Arwani Amin, yang selain Alim-Allamah, juga pernah disebut oleh Mbah Hamid Pasuruan sebagai sosok waliyullah Kudus yang sangat dikenal akhlak mulianya.
Tidak hanya di ruang tamu, ketika pulang pun, Kiai Ma’ruf tambah dibuat heran dan kagum. Jalan menuju pulang penuh dengan kerikil batu yang mengganggu. Tanpa diduga, Mbah Arwani menyingkirkan kerikil tersebut dengan tangannya sendiri, tidak memerintah kang santri agar perjalanan pulang istri teman gurunya lancar.
“Mbah Yai, ampun, sudah-sudah, tidak usah Mbah Yai,” kata Kiai Ma’ruf.
“Sudah, diam saja,” sahut Mbah Arwani dengan tetap menyingkirkan kerikil yang sebetulnya tidak perlu.
Cerita di atas dituturkan sendiri oleh KH. Ma’ruf Irsyad di sela-sela mulang ngaji santri di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin (PPRM), Jagalan Kudus.
Apa yang dilakukan oleh Mbah Arwani tersebut bukan sesuatu yang berlebihan dan sia-sia. Itu adalah teladan berharga atas akhlak mulia dan hormatnya seorang alim kepada istri teman gurunya. Bayangkan, bukan gurunya, tapi istri teman dari gurunya.
Nyai Hj. Munijah, ibu Kiai Ma’ruf Irsyad, adalah istri K.H. Irsyad yang berteman akrab dengan guru K.H. Arwani Amin yang bernama Mbah Manshur, Popongan, Klaten. Kepada Mbah Manshur yang asli Mranggen inilah Kiai Arwani belajar thariqah.
KEMULIAAN AKHLAQ K.H. M. ARWANI AMIN
KH. Muhammad Arwani Amin, sosok ulama kharismatik yang lahir di Kudus, Selasa Kliwon, 5 Rajab 1323 H, bertepatan dengan 5 September 1905 M. Selain masyhur sebagai seorang ulama yang sangat mencintai Al-Qur’an, pendiri Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an tersebut juga dikenal karena memiliki akhlak dan etiket yang sangat patut untuk dijadikan teladan.
Dalam keseharian KH. Muhammad Arwani Amin, atau masyarakat sekitar biasa memanggil dengan sebutan Mbah Arwani, sangat memuliakan tetangga, para tamu, bahkan seorang pedagang yang menawarkan barang dagangan ke rumahnya. Semua kalangan dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pejabat, pengusaha, hingga masyarakat biasa mendapat penghormatan yang sama. Mbah Arwani memuliakan mereka tanpa memandang status sosialnya.
Pernah suatu ketika ada pedagang sarung yang datang ke rumah beliau dan menawarkan sebuah sarung biasa (murah) tetapi pedagang tersebut mematok harga yang sangat tinggi. Khadim beliau, yaitu KH. Muhammad Manshur yang mengetahui hal tersebut lantas matur (bilang) kepada Mbah Arwani, “Sebenarnya harga sarung itu murah, Mbah. Jenengan sudah ditipu oleh pedagang itu.”
Lantas Mbah Arwani menjawab, “Biarkan saja, harusnya kita tetap bersyukur. Syukurlah bukan kita yang dijadikan Allah sebagai penipu.”
Mbah Arwani juga sering melakukan hal-hal yang semestinya “tidak perlu” beliau lakukan.
Dikisahkan dari pengalaman seorang yang pernah bertamu di rumah Mbah Arwani. Setiap lebaran saya sowan (silaturrahim) ke rumah Mbah Yai. Tamu-tamu yang datang tentu bukan hanya saya, banyak sekali. Ketika rombongan kami masuk ke ruang tamu, langsung disambut beliau dengan keramahan. Setelah kami duduk, beliau mohon pamit sebentar, lalu menuju pintu dari mana tadi kami masuk.
"Apa yang dilakukan beliau?," batin saya. Saya terkejut ternyata beliau menata dan merapikan sandal-sandal kami.
Menurut K.H. Sya’roni Ahmadi (Mustasyar PBNU) yang juga merupakan salah satu santri mBah K. Arwani, setidak-tidaknya ada tiga hal yang sangat menonjol pada diri K.H. Muhammad Arwani Amin. Pertama, kedalaman ilmu pengetahuan agama (Islam), terutama pengetahuan terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Kedua, ketawadlu’annya. Sebagai seorang Ulama besar yang sudah dikenal masyarakat luas, Mbah Arwani tetap rendah hati dan selalu hormat kepada setiap orang dengan tanpa melihat apakah ia orang terpandang atau hanya orang biasa.
Ketika K.H. Raden Asnawi masih hidup, beliau pernah menganjurkan kepada KH. Muhammad Arwani Amin agar mendirikan pondok, tapi beliau menolak dengan alasan di Kudus sudah banyak pondok. Beliau hanya akan urun mengajar saja. Hal ini sebenarnya menunjukkan ketawadukan dan kehalusan perasaannya.
Ketiga, salah satu prinsip hidup beliau adalah “Idkhalus Surur” (إدخال السرور) artinya, beliau selalu berusaha untuk menyenangkan dan menggembirakan orang. Itulah sebabnya, dalam pergaulan beliau senantiasa berperilaku yang membuat orang senang karenanya. Sebaliknya, beliau paling tidak suka merepotkan orang lain.
Di samping kealiman Mbah Arwani sebagai seorang ulama, beliau senantiasa menjunjung tinggi sikap rendah hati dan memuliakan orang lain. Ihwal akhlaq dan etiket beliau yang telah dipaparkan di atas, sudah semestinya kita jadikan teladan dalam berperilaku bermasyarakat.
K.H. M. Arwani Amin Wafat
Dengan keharuman namanya dan berbagai pujian dan sanjungan penuh rasa hormat dan ta’dzim atas kealimannya, beliu wafat pada taggal 25 Rabi' al-Akhir tahun 1415 H. bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1994 M. dalam usia 92 tahun (dalam hitungan Hijriyah). Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus. (MS2F)
https://santrideles.blogspot.com/2019/05/karamah-kyai-arwani-al-hafidh.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar