Kamis, 23 April 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM SHALAT JUM'AT DILAKSANAKAN DI LUAR MASJID


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Shalat Jum'at juga wajib berdasarkan hadits,

رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Pergi shalat Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang telah mimpi basah (sudah baligh).” (HR. An-Nasai, no.1371).

Mensikapi issu hangat boleh tidaknya shalat Jum’at di luar masjid, bahkan ada tokoh yang membid’ahkannya, maka perlu kiranya mengulas pendapat Imam Empat Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanabilah) mengenai hukum Shalat Jum’at di luar Masjid.

Sebelum menjelaskan lebih jauh, ada beberapa catatan penting yang perlu diketahui:

Pertama, keharusan shalat Jum’at di masjid masih ikhtilaf (ada perbedaan pendapat di kalangan Imam Empat).

Kedua, perbedaan ini disebabkan ada yang menganggap masjid sebagai syarat shalat Jum’at dan ada yang menganggapnya bukan syarat.

Ketiga, shalat Jum’at pertama tidak dilaksanakan di masjid.

Keempat, ada riwayat,

حدثنا عبد الله بن إدريس عن شعبة عن عطاء بن أبي ميمونة عن أبي رافع عن أبي هريرة أنهم كتبوا إلى عمر يسألونه عن الجمعة فكتب جمعوا حيث كنتم

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Syu’bah, dari ‘Athaa’ bin Abi Maimuun, dari Abu Raafi’, dari Abu Hurairah : Bahwasannya para shahabat menulis surat kepada ‘Umar (bin Al-Khaththaab) bertanya kepadanya tentang shalat Jum’at. Lalu ‘Umar menulis balasan : “Shalat Jum’atlah dimana saja kalian berada” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/101; sanadnya shahih].

Kelima, dalam sunnah dijelaskan bahwa dijadikan untuk umat Islam semua bumi masjid (tempat sujud) yang suci untuk shalat.

Di beberapa tempat, shalat Jum'at tidak didirikan di masjid. Keterbatasan lahan atau dana pembangunan masjid menjadi alasan mereka menunaikan Jum'atan di mushalla, kantor, sekolahan dan sejenisnya. Ada anggapan dari sebagian kalangan bahwa Jum'atan harus dilaksanakan di masjid. Sehingga menjadi tidak sah bila pelaksanaan shalat jum'at dilakukan di luar masjid. Sebenarnya, sahkah shalat jum'at di luar masjid?

Menurut mazhab Syafi’i, tidak ada persyaratan bahwa jum'at wajib dilakukan di masjid. Shalat Jumat bisa dilaksanakan di mana saja. Bisa di masjid, mushala, surau atau lapangan, asalkan masih dalam batas wilayah pemukiman warga.

Mayoritas ulama (Madzhab Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hambali) berpendapat, jumatan tidak harus dilakukan di masjid kecil atau masjid jami’.

Imam Zainudin Al-Iraqi mengatakan,

مذهبنا [ أي : مذهب الشافعية ] : أن إقامة الجمعة لا تختص بالمسجد ، بل تقام في خِطة الأبنية ؛ فلو فعلوها في غير مسجد لم يُصلّ الداخل إلى ذلك الموضع في حالة الخطبة ، إذ ليست له تحية

Madzhab kami (madzhab Syafiiyah), pelaksanaan shalat jumat tidak harus di masjid, namun bisa dilaksanakan di semua lokasi yang tertutup bangunan. Jika ada orang yang melakukan jumatan di selain masjid maka orang memasuki wilayah yang digunakan untuk shalat jumat itu ketika khutbah jumat telah dimulai, maka dia tidak disyariatkan shalat tahiyatul masjid, karena tempat itu bukan masjid yang disyariatkan untuk dilaksanakan tahiyatul masjid. (Tharh At-Tatsrib, 4/90).

Imam Al-Mardawi (ulama madzhab hambali) mengatakan,

قوله: ( ويجوز إقامتها في الأبنية المتفرقة , إذا شملها اسم واحد ، وفيما قارب البنيان من الصحراء ) وهو المذهب مطلقا . وعليه أكثر الأصحاب . وقطع به كثير منهم . وقيل : لا يجوز إقامتها إلا في الجامع

Keterangan penulis: “Boleh mengadakan jumatan di satu tempat yang terkepung beberapa bangunan, jika wiliyah jumatan itu masih satu tempat, boleh juga dilakukan di tanah lapang dekat bangunan pemukiman.” Inilah pendapat madzhab hambali, dan pendapat yang dipilih mayoritas ulama hambali. Ada juga yang mengatakan, ‘Tidak boleh mengadakan shalat jumat kecuali di masjid jami’.’ (Al-Inshaf, 4/23)

Berbeda dengan madzhab Malikiyah. Mereka mempersyaratkan bahwa jumatan harus dilakukan di masjid jami’.

Dalam At-Taj wal Iklil (kitab madzhab Maliki) disebutkan beberapa pendapat ulama Malikiyah,

ابْنُ بَشِيرٍ : الْجَامِعُ مِنْ شُرُوطِ الْأَدَاءِ ابْنُ رُشْدٍ : لَا يَصِحُّ أَنْ تُقَامَ الْجُمُعَةُ فِي غَيْرِ مَسْجِدٍ ( مَبْنِيٍّ ) الْبَاجِيُّ : مِنْ شُرُوطِ الْمَسْجِدِ الْبُنْيَانُ الْمَخْصُوصُ عَلَى صِفَةِ الْمَسَاجِدِ، فَإِنْ انْهَدَمَ سَقْفُهُ صَلَّوْا ظُهْرًا أَرْبَعًا

Ibnu Basyir mengatakan, ‘Masjid jami’ merupakan syarat pelaksanaan shalat jumat.’, Ibnu Rusyd mengatakan, ‘Tidak sah pelaksanaan shalat jum'at di selain masjid (yang ada bangunannya).’ Sementara Al-Baji mengatakan, ‘Diantara syarat masjid adalah adanya bangunan khusus dengan model masjid. Jika atapnya hancur maka diganti shalat dzuhur 4 rakaat.’ (At-Taj wal Iklil, 2/237)

Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mengatakan,

وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يُعْقَدَ الْجُمُعَةُ فِي رُكْنٍ أَوْ مَسْجِدٍ بَلْ يَجُوْزُ فِي الصَّحْرَاءِ إِذَا كاَنَ مَعْدُوْداً مِنْ خِطَّةِ الْبَلَدِ فَإِنْ بَعُدَ عَنِ الْبَلَدِ بِحَيْثُ يَتَرَخَّصُ الْمُسَافِرُ إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ لَمْ تَنْعَقِدْ اَلْجُمُعَةُ فِيْهَا

“Jumat tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bagian daerah pemukiman warga. Bila jauh dari daerah pemukiman warga, sekira musafir dapat mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut.” (Imam al-Ghazali, al-Wasith, juz 2, hal. 263, Kairo, Dar al-Salam, cetakan ketiga tahun 2012).

Sedangkan menurut mazhab Maliki, Jum'at wajib dilaksanakan di masjid. Maka menjadi tidak sah pelaksanaan Jum'at di selain masjid, seperti mushalla. Syekh al-Baji dari kalangan Malikiyyah memberikan syarat lebih ketat lagi, bahwa Jumat harus dilaksanakan di masjid yang masih berbentuk bangunan layaknya arsitektur masjid. Sehingga bila masjid roboh berpuing-puing, maka tidak sah melaksanakan Jumat di tempat tersebut. Pendapat al-Baji tidak disetujui Syekh Ibnu Rusydi. Menurut Ibnu Rusydi, Jum'atan di masjid yang roboh tetap sah, sebab statusnya tetap masjid, baik dari sisi penamaan dan hukumnya.

Keterangan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abu Abdillah Muhammad bi Yusuf al-Abdari al-Mawaq sebagai berikut,

(وَبِجَامِعٍ) ابْنُ بَشِيرٍ : الْجَامِعُ مِنْ شُرُوطِ الْأَدَاءِ ابْنُ رُشْدٍ : لَا يَصِحُّ أَنْ تُقَامَ الْجُمُعَةُ فِي غَيْرِ مَسْجِدٍ مَبْنِيٍّ 

“Dan disyaratkan pelaksanaannya di masjid Jami’. Syekh Ibnu Basyir berkata, masjid Jami’ merupakan salah satu beberapa syarat pelaksanaan Jumat. Syekh Ibnu Rusydi berkata, tidak sah mendirikan Jumat di selain masjid yang dibangun.”

  الْبَاجِيُّ : مِنْ شُرُوطِ الْمَسْجِدِ الْبُنْيَانُ الْمَخْصُوصُ عَلَى صِفَةِ الْمَسَاجِدِ فَإِنْ انْهَدَمَ سَقْفُهُ صَلَّوْا ظُهْرًا أَرْبَعًا

“Syekh al-Baji berkata, di antara syaratnya masjid yang dijadikan tempat Jumat adalah bangunan khusus yang sesuai sifatnya masjid. Maka, bila atapnya masjid roboh, jamaah berkewajiban shalat zhuhur empat rakaat.”

ابْنُ رُشْدٍ : هَذَا بَعِيدٌ ، لِأَنَّ الْمَسْجِدَ إذَا انْهَدَمَ بَقِيَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ التَّسْمِيَةِ وَالْحُكْمِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَصِحُّ أَنْ يُسَمَّى الْمَوْضِعُ الَّذِي يُتَّخَذُ لِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ مَسْجِدًا قَبْلَ أَنْ يُبْنَى وَهُوَ فَضَاءٌ

“Ibnu Rusydi berkata, pendapat al-Baji ini jauh dari kebenaran. Sebab bila masjid rubuh, penamaan dan hukumnya masih tetap. Meski tidak sah menamakan tempat yang hendak dibangun masjid sebagai masjid sebelum dibangun. Tempat tersebut disebut dengan tanah lapang.” (Syekh Abu Abdillah Muhammad bi Yusuf al-Abdari al-Mawaq, al-Taj wa al-Iklil, juz 2, hal. 237).

Adapun memfatwakan bahwa shalat Jum'at boleh di rumah, itu menyelisihi kesepakatan ulama madzhab.

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih menjelaskan, “Menurut kesepakatan ulama, shalat Jum'at di rumah tidaklah sah. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sahnya shalat Jumat itu jika dihadiri oleh imam a’zham atau penggantinya. Ulama Malikiyyah menyaratkan bahwa shalat Jumat itu harus dilakukan di Masjid Jami’. Ulama Syafiiyah dan Hambali menyatakan bahwa shalat Jumat itu disyaratkan dengan jumlah empat puluh yang dihadiri oleh orang-orang yang diwajibkan shalat Jumat.”

*Perbedaan Pendapat Para Ulama*

Secara ringkas, ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyyah melarang shalat jum’at kecuali di al-Jami' atau Masjid Jami’. Sedangkan mayoritas ulama menyatakan bahwa Shalat Jum’at tak harus ditempat yang biasa disebut masjid. Artinya boleh shalat jum’at dilaksanakan di gedung auditorium, aula pertemuan, dsb. Lebih rincinya sebagai berikut:

*Madzhab Malikiyyah*

Disebutkan dalam kitab Mukhtahsar al-Khalil karya Syeikh Khalil bin Ishaq al-Maliki (w. 776 H):

....وبجامع مبني متحد

…(shalat jum’at harus) di al-Jami’ yang berbentuk bangunan dan menyatu..(Khalil bin Ishaq al-Maliki, Mukhtashar al-Khalil, h. 1/ 44)

Hal ini diperjelas dalam kitab al-Fawakih ad-Dawani karya Syeikh Ahmad bin Ghanim al-Azhari al-Maliki (w. 1126 H):

ووقوع الصلاة والخطبة في الجامع المبني على وجه العادة وأن يكون متحدا وأن يكون متصلا بالبلد أو في حكم المتصل حين بنائه

Shalat jum’at dan khutbahnya harus diadakan di al-Jami’ yang berupa bangunan sebagaimana biasanya, bangunan itu menyatu dan menyambung dengan suatu daerah tempat tinggal.. (Ahmad bin Ghanim al-Azhari al-Maliki w. 1126 H, al-Fawakih ad-Dawani, h. 1/ 260)

Hal yang sama juga disebutkan dalam kitab ad-Dzakhirah karya Imam Syihabuddin al-Qarafi al-Maliky (w. 684 H):

الشرط الرابع المسجد... وقال الباجي لا تقام إلا في الجامع

Syarat keempat adalah (jum’at) harus diadakan di masjid… al-Baji Abu al-Walid (w. 474 H) berkata: Shalat jum’at tak boleh diadakan kecuali di al-Jami’. (Syihabuddin al-Qarafi w. 474 H, ad-Dzakhirah, h. 2/ 335)

Bahkan disebutkan dalam kitab at-Taudhih karya Syeikh Khalil bin Ishaq al-Maliki (w. 776 H):

ولا يصح أن يقول أحد في المسجد أنه ليس من شرائط الصحة، إذ لا اختلاف في أنه لا يصح أن تقام الجمعة في غير مسجد

Tak ada ikhtilaf atau perbedaan para ulama (pent: dalam madzhab Maliki) bahwasanya shalat jum’at itu tidak sah shalat jum’at dilaksanakan di selain masjid. (Khalil bin Ishaq al-Maliki w. 776 H, at-Taudhih fi Syarh Mukhtashar ibn al-Hajib, h. 2/ 54).

Intinya, menurut ulama Malikiyyah, shalat jum’at hanya boleh dilaksanakan di masjid saja. Alasannya adalah karena Nabi dan para shahabatnya dahulu shalat jum’at di masjid.

*Madzhab Hanafiyyah*

Menurut ulama al-Hanafiyyah, shalat jum’at hanya diadakan jika mendapat ijin dari penguasa. Hanya hal ini berbeda dengan mayoritas ulama.

Maka dalam madzhab Hanafiyyah, jika penguasa mengadakan shalat jum’at di Istananya dan mengijinkan orang untuk shalat disana bukan di masjid, hukumnya boleh tetapi makruh.

Disebutkan dalam kitab Bahru ar-Raiq karya Ibnu Nujaim al-Hanafi (w. 970 H):

في المحيط: فإن فتح باب قصره وأذن للناس بالدخول: جاز ، ويكره ; لأنه لم يقض حق المسجد الجامع

Ketika sang pemimpin/ penguasa membuka pintu istananya dan mengijinkan masyarakat untuk masuk (untuk shalat jum’at disitu), maka hukumnya boleh tetapi makruh. Karena si pemimpin itu tidak menunaikan hak masjid Jami’. (Ibnu Nujaim al-Mishri al-Hanafi w. 970 H, Bahru ar-Roiq, h. 2/ 163).

*Madzhab Syafi’iyyah*

Dalam kitab Tharhu at-Tatsrib karya al-Hafidz Abu al-Fadhl Zainuddin al-Iraqi (w. 806 H) disebutkan:

مذهبنا أن إقامة الجمعة لا تختص بالمسجد بل تقام في خطة الأبنية فلو فعلوها في غير مسجد لم يصل الداخل إلى ذلك الموضع في حالة الخطبة إذ ليست له تحية فلا يترك استماع الخطبة لغير سبب وهذا الحديث محمول على الغالب من إقامة الجمعة في المساجد والله أعلم

Madzhab kami (as-Syafi’iyyah) berpendapat bahwa pelaksanaan shalat jum’at tak hanya khusus di masjid. Tetapi boleh dilaksanakan di suatu bangunan. Hanya saja ketika shalat jum’at dilakasanakan tidak di masjid, ketika ada orang masuk dan khatib telah naik keatas mimbar, maka dia tak disunnahkan shalat tahiyyat al-masjid. Karena hadits boleh shalat tahiyyat masjid walaupun khatib sedang berkhutbah itu untuk shalat jum’at di masjid. (Abu al-Fadhl Zainuddin al-Iraqi w. 806 H, Tharhu at-Tatsrib, h. 3/ 190).

Imam Nawawi as-Syafi’I (w. 676 H) menyebutkan:

الثاني: أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمعين

Kedua: (Shalat jum’at) dilaksanakn di suatu bangunan orang-orang yang mempunyai kewajiban shalat jum’at. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Minhaj at-Thalibin, h. 47)

Imam Nawawi as-Syafi’I (w. 676 H) menjelaskan lebih lanjut:

قال أصحابنا ولا يشترط إقامتها في مسجد ولكن تجوز في ساحة مكشوفة بشرط أن تكون داخلة في القرية أو البلدة معدودة من خطتها

Ulama-ulama syafi’iyyah berkata: (shalat jum’at) tidak harus dilaksanakan di masjid, tetapi boleh di pelataran, asalkan masih di tengah-tengah kampung atau suaru wilayah tertentu. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, al-Majmu’, h. 47).

Imam al-Khatib as-Syirbini (w. 977 H) menjelaskan perkataan Imam Nawawi (w. 676 H):

(الثاني) من الشروط (أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمعين) بتشديد الميم: أي المصلين الجمعة، وإن لم تكن في مسجد لأنها لم تقم في عصر النبي - صلى الله عليه وسلم - والخلفاء الراشدين إلا في مواضع الإقامة كما هو معلوم

Syarat kedua dari syaratnya shalat jum’at adalah diadakan di suatu bangunan orang yang mempunyai kewajiban shalat jum’at. Meskipun bangunan itu tidak masjid. (al-Khatib as-Syirbini w. 977 H, Mughni al-Muhtaj, h. 1/ 543).

*Mafzhab Hanbaliyyah*

Disebutkan dalam kitab al-Inshaf karya Alauddin al-Mardawi al-Hanbali (w. 885 H):

(ويجوز إقامتها في الأبنية المتفرقة، إذا شملها اسم واحد وفيما قارب البنيان من الصحراء) . وهو المذهب مطلقا. وعليه أكثر الأصحاب. وقطع به كثير منهم. وقيل: لا يجوز إقامتها إلا في الجامع

(shalat jum’at) boleh dilaksanakan di suatu bangunan yang terpisah-pisah. Asalkan namanya satu tempat. Ini adalah yang dipilih oleh kebanyakan ulama madzhab Hanbali. Meski ada yang mengatakan bahwa shalat jum’at harus di al-Jami’. (Alauddin al-Mardawi al-Hanbali w. 885 H, al-Inshaf, h. 2/ 378)

Bahkan Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H) membolehkan shalat jum’at tidak disebuah bangunan. Berbeda dengan ulama syafi’iyyah yang mensyaratkan harus di suatu bangunan. Ibnu Quddamah al-Maqdisi al-Hanbali (w. 620 H) berkata:

فصل: ولا يشترط لصحة الجمعة إقامتها في البنيان، ويجوز إقامتها فيما قاربه من الصحراء

Shalat jum’at tidak disyaratkan harus dilaksanakan di sautu bangunan, bahkan boleh dilakukan di suatu yang seperti bangunan di padang pasir. (Ibnu Quddamah al-Maqdisi al-Hanbali w. 620 H, al-Mughni, h. 2/ 246)

Alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Quddamah(w. 620 H) adalah suatu ketika seorang sahabat Nabi; Mush’ab bin Umair mengadakan jum’atan dengan para shahabat anshar di suatu tempat yang tak dihuni oleh manusia, atau disebut dengan Naqi’ al-Khadhimat .

Alasan lain adalah shalat jum’at itu seperti shalat ‘Id, dan shalat ‘Id boleh dilaksanakan di selain masjid. Secara teks dalil juga tak ada aturan harus disuatu tempat tertentu. (Ibnu Quddamah al-Maqdisi al-Hanbali w. 620 H, al-Mughni, h. 2/ 246).

Kesiimpulannya, persoalan ini tergolong hal yang diperselisihkan di antara ulama. Sehingga pelaksanaan Jum'at di sebagian tempat misal di lapangan, kantor, sekolahan, mushalla dan sejenisnya sudah benar dan tidak perlu diingkari. Meski bila ditilik dari pertimbangan keutamaan, lebih baik dilaksanakan di masjid, sebagai bentuk usaha untuk keluar dari ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar