Sabtu, 11 April 2020
KAJIAN TENTANG HUKUM MENINGGALKAN SHALAT BAGI PARAMEDIK COVID 19
Shalat lima waktu termasuk pada tenaga kesehatan tetap dilakukan mesti dalam keadaan darurat, walaupun harus dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) secara lengkap. Shalatnya bisa jadi dengan menjamak dua shalat sekaligus (Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya). Jika tidak bisa berwudhu dan tayammum dalam kondisi seperti ini, shalat tetap dilakukan. Di antara bentuk kasih sayang Allah adalah kita tidak dibebani di luar kemampuan kita.
Dalilnya ialah firman Allah,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidaklah membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
Demikian pula firman-Nya,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Tagabun : 16).
Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika kalian kuperintahkan melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari, no. 7288).
Setiap kewajiban shalat yang tidak mampu dilakukan oleh seorang hamba, maka kewajiban itu gugur darinya. Oleh karenanya, ia tidak diperbolehkan menunda pelaksanaan shalat hingga keluar dari waktunya, namun ia tetap harus shalat pada waktunya semampunya.”
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) tengah membahas ketentuan bersuci dan shalat bagi tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19. LBM PBNU melakukan musyawarah secara rinci tata cara bersuci dan tata cara shalat bagi tenaga medis di tengah aktivitas penanganan pasien Covid-19.
Adapun secara normatif, shalat lima waktu adalah fardhu ain atau kewajiban individu bagi setiap orang Islam yang aqil dan baligh, kapan pun dan di mana pun. Hanya dalam kondisi tertentu umat Islam diperbolehkan mengambil rukhsah (dispensasi) untuk menjamak dan mengqashar shalat. Orang yang boleh jamak shalat adalah orang yang sedang bepergian dan orang yang dalam keadaan masyaqqah atau kesulitan seperti orang sakit. Pembahasan ini berangkat dari peningkatan jumlah pasien yang terjangkit virus Corona (Covid-19) di Indonesia dengan sebarannya saat ini mencapai 20 provinsi. Ini menjadi tantangan bagi para tenaga medis yang harus berjuang menyelamatkan nyawa ratusan pasien terinfeksi Covid-19.
Pembasahan ini memberikan panduan bagi profesi tenaga kesehatan yang dalam perjuangannya penuh risiko tertular Covid-19. Setidaknya sudah ada sembilan dokter gugur per 24 Maret 2020 dalam upaya menyelamatkan para pasien Corona, karena tertular Covid-19 maupun karena kelelahan dalam mengobatinya. Mereka terpapar saat menangani pasien Covid-19 tanpa alat pelindung diri (APD) yang memadai. Padahal tenaga medis Covid-19 membutuhkan alat proteksi diri sesuai standar, mulai dari masker sampai baju pelindung. “Tashawwurnya (gambarannya) meliputi uzur yang kompleks baik subyektif maupun obyektif bagi tenaga medis dengan APD sehingga menimbulkan konsekuensi logis dalam melaksanakan shalat. Dalam hal ini memang ada beberapa pandangan ulama.
Pada dasarnya, tenaga medis dan dokter yang mengurus pasien Covid-19 tetap berkewajiban melaksanakan shalat fardhu lima waktu. Pasalnya, kewajiban shalat tidak dapat digugurkan oleh ruang, waktu, dan keadaan sesuai firman Allah Surat An-Nisa ayat 103,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa' : 103)
*Cara Shalat Tenaga Medis saat Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)*
Saya akan mulai dari bersuci terlebih dahulu. Bagi para petugas kesehatan yang sudah menggunakan APD sejak sebelum waktu masuknya waktu shalat baik yang bisa dijamak (zhuhur-ashar ; maghrib-isya’) atau bukan (seperti subuh), maka yang lebih utama seseorang untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum menggunakan APD.
Namun, ketika sudah menggunakan APD, mulai bekerja lalu wudhunya batal dan tidak memungkinkannya untuk berwudhu, maka ia berada dalam kondisi Faaqidh at-Thohurayn (luput dari dua sarana mensucikan diri). Maka, shalat tetap dilaksanakan dan hukumnya tetap sah. Seperti disebutkan dalam fatwa MUI no. 17 tahun 2020, orang yang wudhunya batal maka tetap dapat melaksanakan shalat dan shalatnya sah.
Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari ‘Aisyah RA.
أنها استعارت من أسماء رضي الله عنها قلادة فهلكت – أي ضاعت – فبعث رسول الله صلى الله عليه رجالاً فوجدوها فأدركتهم الصلاة وليس معهم ماء فصلوا وشكوا ذلك إلى الرسول صلى الله عليه وسلم فأنزل الله آية التيمم. فقال أسيد بن حضير لعائشة: جزاك الله خيرا، فوالله ما نزل بك أمر تكرهينه إلا جعل الله ذلك لك وللمسلمين فيه خيرا
‘Aisyah pernah meminjam kalung dari Asma’ binti Abu Bakar lalu kalungnya hilang. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus sejumlah orang untuk mencarinya. Lalu mereka menemukannya dan saat itu waktu shalat sudah tiba dan tidak ada air untuk berwudhu. Mereka lalu tetap melaksanakan shalat dan mengadukan soal itu ke Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian turunlah ayat tayammum. Usaid bin Khudair berkata kepada ‘Aisyah Ra.: “Semoga Allah membalas kebaikan padamu. Demi Allah, kejadian yang engkau tidak sukai ini malah menjadi sebab Allah menurunkan kebaikan kepadamu dan muslimin.
Imam al-Bukhari mengambil kesimpulan “hukum shalat orang yang tidak mendapati air atau tanah” dengan menggunakan hadits ini. Memang para ulama tidak satu suara dalam memahami hadits ini, seperti dirangkum oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari.
Konsep fikih tentang bolehnya seseorang shalat tanpa wudlu’ dan tayammum bila dalam kondisi sebagai faqid ath-thahurain. Pertanyaannya, apakah benar kondisi tenaga medis tersebut bisa dikategorikan sebagai faqid ath-thahurain?
Faqid ath-thahurain secara harfiah berarti orang yang kehilangan dua alat sesuci, yaitu air dan debu. Dari pengertian secara harfiah ini, beberapa orang salah paham sehingga tetap mengharuskan tenaga medis untuk tetap berwudlu, sebab masih bisa menemukan air dan debu. Ini bisa dimaklumi mengingat bahwa beberapa kitab fiqh secara eksplisit menyebutkan faqid ath-thahurain dalam arti sempit, seperti yang dapat kita baca dalam kitab Hasyiayh al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib (1/250):
(تَتِمَّةٌ) عَلَى فَاقِدِ الطَّهُوْرَيْنِ وَهُمَا الـمَاءُ وَالتُّرَابُ أَنْ يُصَلِّيَ الفَرْضَ لِحُرْمَةِ الوَقْتِ وَيُعِيْدَهَا إِذَا وَجَدَ أَحَدَهُمَا.
“Wajib bagi orang yang tidak menemukan dua alat sesuci, yaitu air dan debu, untuk shalat fardlu karena menghormati waktu shalat. Ketika sudah menemukan salah satunya, maka ia wajib mengulanginya kembali.”
Padahal literatur fikih lain mengartikan faqid ath-thahurain lebih luas lagi. Seperti yang termaktub dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah (14/273):
فَاقِدُ الطَّهُوْرَيْنِ هُوَ الَّذِيْ لَمْ يَجِدْ مَاءً وَلَا صَعِيْدًا يَتَيَمَّمُ بِهِ، كَأَنْ حَبَسَ فِيْ مَكَانٍ لَيْسَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا، أَوْ فِيْ مَوْضِعٍ نَجِسٍ لَيْسَ فِيْهِ مَا يَتَيَمَّمُ، وَكَانَ مُحْتَاجًا لِلْماءِ الَّذِيْ مَعَهُ لِعَطْشٍ، وَكَالـمَصْلُوْبِ وَرَاكِبِ سَفِيْنَةٍ لَا يَصِلُ إِلَى الـمَاءِ، وَكَمَنْ لَا يَسْتَطِيْعُ الوُضُوْءَ وَلَا التَّيَمُّمَ لِـمَرَضٍ وَنَحْوِهِ.
“Faqid ath-thahurain adalah orang yang tidak menemukan air atau debu yang digunakan untuk tayammum, seperti ia dalam kondisi terkurung dalam tempat yang tidak terdapat salah satu dari kedua hal tersebut (air dan debu). Atau ia terkurung dalam tempat najis yang tidak ada debu untuk bertayammum, sedangkan ia butuh pada air yang ia bawa karena kehausan. Atau seperti orang yang disalib dan penumpang perahu yang tidak bisa mencapai air. Atau seperti orang yang tidak bisa berwudlu’ dan bertayammum sebab sakit dan lainnya”
Menurut al-Qaul al-Jadid Imam Syafi’i, shalat tetap dilaksanakan sekadar untuk memenuhi kewajiban di waktu tersebut (li hurmati al-waqti) namun setelah tidak ada kesulitan mengulang shalat dalam kondisi hadats tersebut.
Selain pendapat qaul jadid, pendapat ini juga menjadi salah satu pendapat Imam Malik dan pendapat Imam Ahmad menurut kebanyakan muridnya.
Pendapat kedua, mengatakan tetap melaksanakan shalat di saat itu tanpa mengulangi lagi (qadha’). Ini adalah pendapat al-Bukhari, pendapat yang kuat dalam mazhab Malik, Ahmad, Abu Tsaur, al-Muzani, dan disebut-sebut adalah pendapat lama (al-qaul al-qadim) Imam as-Syafi’i.
Pendapat ketiga, mengqadha’ shalat di waktu setelah tidak ada masyaqqah (kesulitan). Ini adalah pendapat at-Tsauri al-Awza’I, Abu Hanifah, dan disebutkan sebagai qaul qadim as-Syafi’i.
Pendapat terakhir yang mengatakan tidak perlu shalat dan tidak perlu mengulang disaat tidak ada kesulitan. Ini disebut-sebut adalah salah satu riwayat pendapat Imam Malik, sebagian Mazhab Zhahiriyah, dan diceritakan adalah riwayat Abu Tsaur. Pendapat terakhir, menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani adalah pendapat paling lemah.
Bagaimana jika saat mau melaksanakan shalat, sudah menggunakan APD, lalu pakaian terkena najis atau menjadi najis (karena misal, tidak tahan menahan kencing dan sebagainya), apakah tetap melaksanakan shalat ? Jawabannya tetap melaksanakan shalat namun harus mengulang shalatnya (I’aadah) saat sudah tidak mengunakan APD tersebut.
Mengenai kewajiban shalat serta mengqadla’nya bagi orang yang berada dalam kondisi uzur seperti ini, ulama dalam mazhab Syafi’i berselisih pendapat. Setidaknya ada 4 (empat) pendapat yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj (3/103):
أَمَّا الـمَعْذُوْرُ كَمَنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً وَلَا تُرَابًا فَفِيْهِ أَرْبَعةُ أَقْوَالٍ لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى… أَصَحُّهَا عِنْدَ أَصْحَابِنَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى حَالهِ وَيَجِبُ أَنْ يُعِيْدَ إِذَا تَمَكَّنَ مِنَ الطَّهَارَةِ، وَالثَّانِيْ يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ وَيَجِبُ القَضَاءُ، وَالثَّالِثُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُصَلِّيَ وَيَجِبُ القَضَاءُ، وَالرَّابِعُ يَجِبُ أَنْ يُصَلِّيَ وَلَا يَجِبُ القَضَاءُ وَهَذَا القَوْلُ اخْتِيَارُ الـمُزَنِّيْ وَهُوَ أَقْوَى الأَقْوَالِ دَلِيْلًا.
"Adapun orang yang memiliki uzur, seperti orang yang tidak menemukan air maupun debu, maka dalam hal ini ada 4 pendapat imam Syafi’i …Pendapat paling shahih menurut ulama ashhab kita adalah ia wajib menunaikan shalat dalam kondisinya sekarang (uzur) dan wajib untuk mengulanginya bila memungkinkan untuk bersesuci. Pendapat kedua, haram baginya untuk shalat tapi ia wajib mengqadla’nya.Pendapat ketiga, ia disunahkan untuk melaksanakan shalat dan wajib mengqadla’nya. Pendapat keempat, ia wajib menunaikan shalat dan tidak wajib mengqadla’nya. Pendapat (terakhir) ini merupakan pendapat yang dipilih oleh imam al-Muzanni sekaligus pendapat yang lebih kuat dalilnya."
Atas pertimbangan pendapat Imam an-Nawawi ini, maka tenaga medis yang memakai APD boleh memilih pendapat yang lebih kuat dalilnya, yaitu pendapat wajibnya shalat ketika masuk waktu sesuai dengan keadaan dan tidak wajib untuk mengulanginya atau mengqadla’.
Bila ia ingin solusi lain, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan untuk menjama’ shalat walaupun dalam kondisi tidak sedang bepergian, asalkan ada hajat dan tidak dijadikan kebiasaan yang terus-menerus dilakukan meski sudah dalam kondisi normal (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/219).
Semua keringanan ini merupakan refleksi prinsip kemudahan (taysir) dalam pelaksanaan hukum Islam yang terangkum dalam salah satu dari 5 kaidah dasar fikih, yaitu
المشقة تجلب التيسر
(al-masyaqqah tajlib at-taysir) "Kesulitan menyebabkan adanya kemudahan."
*Bolehkah Menjamak Shalat?*
Bagaimana dengan menjamak shalat saat menggunakan APD? MUI dalam Fatwa No. 17 Tahun 2020 menyatakan boleh untuk melakukan jamak shalat ketika waktu jaga petugas kesehatan berada di rentang waktu shalat yang bisa dijamak.
Meskipun, sebisa mungkin petugas kesehatan bisa melakukan jamak takdim saat waktu Zhuhur sudah tiba baru setelah itu bisa melaksanakan tugas jaga tanpa perlu mengkhawatirkan meninggalkan shalat Asharnya.
Dasar kebolehan menjamak shalat Dhuhur dan Ashar sebenarnya adalah pendapat dalam mazhab Ahmad yang membolehkan untuk menjamak shalat tidak dalam keadaan sakit atau perjalanan.
Dasarnya adalah hadits riwayat Ibn ‘Abbas RA bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zhuhur dan Ashar tanpa ada sebab rasa takut atau hujan,
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: جمع رسول الله صلى الله عليه وسلم بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة في غير خوف ولا مطر في حديث وكيع. قال: قلت لابن عباس: لم فعل ذلك؟ قال: كي لا يحرج أمته، وفي حديث أبي معاوية قيل لابن عباس: ما أراد إلى ذلك؟ قال: أراد أن لا يحرج أمته.
Dari Ibn Abbas RA, beliau berkata, “Rasulullah menjamak antara Dhuhur dan Ashar lalu Maghrib dan Isya’ saat di Madinah bukan di dalam kondisi ketakutan atau karena hujan deras.” Dalam riwayat Waki’, dia berkata, “Aku bertanya pada Ibn ‘Abbas: kenapa beliau melakukan itu?” Ibn ‘Abbas menjawab, “Agar beliau tidak membuat umatnya dalam keadaan kesulitan.” Dalam riwayat Abu Mu’awiyah, Ibn ‘Abbas bertanya, “Kenapa beliau melakukan itu?” Ibn ‘Abbas menjawab, “Nabi ingin tidak menyusahkan umatnya”
Hadits diatas menjadi dasar bagi mereka yang membolehkan menjamak shalat tidak dalam perjalanan, atau dalam kondisi takut atau sakit. Ulama yang membolehkan menyebutkan ‘illat (sebab) kebolehannya adalah al-haraj atau kondisi yang sulit.
Selama ada kondisi sulit, di situlah menjamak shalat menjadi boleh. Meskipun tidak semua ulama setuju pendapat ini. Umar bin Khattab mengatakan kalau menjamak shalat tanpa ada kondisi uzur itu termasuk dosa besar. At-Tirmidzi juga punya riwayat tentang ini. Namun Imam An-Nawawi dalam Rawdhotu at-Thalibin mendasari dengan hadits diatas tentang kebolehan menjamak shalat dalam kondisi sulit (sakit atau jalan berlumpur sehingga kondisi perjalanan sulit).
المعروف في المذهب أنه لا يجوز الجمع بالمرض ولا الخوف ولا الوحل. وقال جماعة من أصحابنا: يجوز بالمرض والوحل. ممن قاله من أصحابنا: أبو سليمان الخطابي والقاضي حسين، واستحسنه الروياني. فعلى هذا يستحب أن يراعي الأرفق بنفسه، فإن كان يُحَمُّ مثلًا في وقت الثانية قدَّمها إلى الأولى بالشرائط المتقدمة، وإن كان يُحَمُّ في وقت الأولى أخرها إلى الثانية. قلتُ: القول بجواز الجمع بالمرض ظاهر مختار
Yang umum dikenal dalam mazhab Syafi’i, tidak boleh menjamak shalat karena sakit, merasa takut, atau terhambat karena jalanan berlumpur (sehingga sulit berjalan). Sebagian ulama mazhab Syafi’i mengatakan, “Boleh jamak shalat bagi orang sakit atau terhambat tadi. Yang berpendapat demikian: Abu Sulaiman al-Khattabi, al-Qadhi Husain. Ar-Ruyani menganggap baik pendapat ini. Maka atas dasar ini, dianjurkan untuk mempertimbangkan kondisi yang paling pas baginya. Maka jika sakit panas terjadi di waktu shalat yang kedua (Ashar atau Isya’) maka jamak takdim dengan prasyarat yang sudah dijelaskan. Jika sakit panas terjadi di waktu shalat yang pertama (Dhuhur atau Maghrib) maka jamak ta’khir. Saya (Imam Nawawi) mengatakan: “pendapat yang membolehkan jamak dikarenakan sakit adalah pendapat yang jelas dan yang dipilih.
Dalam Kitab Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdab Juz 5 halaman 503-505, juga menyampaikan bahwa Imam Ibnu Sirin membolehkan jama’ lil hajah (menjamak shalat karena ada kepentingan tertentu) dengan ketentuan serupa yaitu asal tidak dijadikan kebiasaan.
Maka, jika sakit atau ada hajat saja dibolehkan, apalagi kenyataan orang yang menggunakan APD yang sulit berwudhu atau meluangkan waktu untuk melaksanakan shalat jika kondisi pasien sangat banyak, tentu sudah jelas sama dengan kondisi uzur. Dan yang lebih baik, bisa melakukan jamak takdim di waktu Dhuhur, sebelum penuh menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). shalat tenaga medis APD
Pada akhirnya, semua orang saat ini berharap agar kondisi yang berat ini segera berakhir. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa merahmati semua orang yang telah berkontribusi untuk mencari jalan keluar permasalahan Covid-19 ini, sekaligus menjadi momen untuk kita memohon ampun kepada Allah Ta'ala agar segera diangkat penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obat spesifiknya ini. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar