Selasa, 28 April 2020
KAJIAN TENTANG HUKUM MASTURBASI ATAU ONANI SAAT BERPUASA
*(Menjawab Ust. Yazid Abdulqadir Jawaz yang mengatakan onani tidak membatalkan puasa)*
Sebuah video viral di jagat maya. Salah seorang dai yang biasa dipanggil Ustad Yazid mengatakan bahwa onani di siang hari saat puasa tidak membatalkan puasa.
Dia mengatakan bahwa, memang mayoritas ulama beranggapan onani membatalkan puasa, tetapi ada beberapa ulama yang juga beranggapan onani tidak membatalkan puasa.
“Istimna (onani) ini kalau jumhur ulama berpendapat batal, Tetapi imam ibnu Hazam Imam As-Syaukani dan Syekh Albani berpendapat bahwa itu tidak membatalkan puasa,” kata Yazid dalam video tersebut.
Puasa merupakan alat untuk mengontrol diri kita agar dapat mengendalikan hawa nafsu, sehingga hubungan suami istri termasuk hal yang membatalkan puasa, dan bahkan wajib membayar denda. Nah, apakah onani juga termasuk hal yang membatalkan puasa dan wajib bayar denda ketika melakukannya di siang hari Ramadan?
*Dasar Hukum Onani Membatalkan Puasa*
*Pertama,* terlebih dahulu kita pahami bahwa onani hukumnya haram. Baik dilakukan di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Allah berfirman menceritakan sifat orang yang beriman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-Mukminun : 5)
Diantara sifat orang beriman, mereka yang menjaga kemaluan. Mereka tidak mennyalurkan syahwatnya kecuali kepada istri dan budak. Allah nyatakan, perbuatan semacam ini tidak tercela. Kemudian Allah tegaskan, bahwa orang yang menyalurkan syahwatnya selain kepada istri dan budak maka dia melampaui batas. Melampaui batas dengan melanggar apa yang Allah larang. Onani termasuk bentuk menyalurkan syahwat kepada selain istri atau budak. (Simak Tafsir As-Sa’di, hlm. 547).
*Kedua,* tentang hukum onani ketika puasa
Jumhur ulama dari madzhab hanafiyah, malikiyah, syafiiyah, dan hambali, serta lainnya menegaskan bahwa mengeluarkan mani secara sengaja tanpa hubungan badan, membatalkan puasa, baik dengan cara onani maupun lainnya.
Dalil masalah ini adalah hadits qudsi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي
Allah berfirman, “Puasa itu milik-Ku, Aku sendiri yang akan membalasnya. Orang yang puasa meninggalkan syahwatnya, makan-minumnya karena-Ku.” (HR. Bukhari 7492, Muslim 1151 dan yang lainnya).
Allah menyebutkan secara beruntun sifat orang yang puasa adalah meninggalkan makan, minum, dan syahwat biologis. Sehingga siapa yang meninggalkan salah satunya, tidak lagi disebut berpuasa, alias puasanya batal.
Dr. Khalid Al-Muslih pernah menjelaskan hadits qudsi dari Abu Hurairah di atas. Beliau mengatakan,
أن من تعمد إنزال المني بالاستمناء أو المباشرة لم يدع شهوته وقصر ذلك على الجماع فقط فيه نظر ظاهر للمتأمل
“Orang yang sengaja mengeluarkan mani dengan onani atau bercumbu, berarti tidak meninggalkan syahwatnya. Pendapat sebagian ulama bahwa hadits ini hanya berlaku untuk jimak adalah pendapat yang jelas tidak kuat, bagi orang yang merenungkannya."
*Keterangan Jumhur Ulama*
Onani atau masturbasi adalah rangsangan fisik yang dilakukan terhadap kelamin untuk menghasilkan perasaan nikmat dan mani ketika itu dikeluarkan dengan paksa dengan cara disentuh atau digosok-gosok. Bagaimana jika perbuatan onani ini dilakukan saat puasa? Apakah puasa jadi batal?
Menurut mayoritas ulama, onani atau masturbasi termasuk pembatal puasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta’ala berfirman,
يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِى
“Orang yang berpuasa itu meninggalkan syahwat, makan dan minumnya.” (HR. Bukhari no. 7492). Dan onani adalah bagian dari syahwat.
Syekh Abu Bakar Syatha As-Syafi'i dalam I’anatut Thalibin menjelaskan bahwa melakukan onani saat puasa itu termasuk hal yang membatalkan puasa sebagaimana penjelasan yang sama dalam Ghoyah Al-Bayan Syarh Zaid Ibnu Ruslan hal. 233 dengan keterengan berikut,
ويفطر باستمناء، وهو استخراج المني بغير جماع – حراما كان كإخراجه بيده، أو مباحا كإخراجه بيد حليلته أو بلمس لما ينقض لمسه بلا حائل
"Puasa itu batal sebab melakukan onani, yaitu upaya mengeluarkan mani tanpa melalui jimak atau hubungan intim, baik onani yang haram, seperti mengeluarkan mani dengan cara menggerakkan kemaluan dengan tangannya sendiri, atau onani yang mubah, seperti meminta tolong istri melakukan onani dengan tangannya, atau menyentuh kulit seseorang yang membatalkan wudhu bila persentuhannya tanpa penghalang."
Dari penjelasan ini diketahui bahwa onani itu ada yang diperbolehkan, seperti meminta tolong istri melakukan onani terhadap alat kelamin suami, atau yang diharamkan, seperti melakukan onani dengan tangannya sendiri. Dua tipe onani ini dapat membatalkan puasa bila sampai mengeluarkan mani.
Sementara itu, keluar mani karena menyentuh kulit seseorang yang menimbulkan birahi itu terdapat rincian dari Syekh Al-Bujairimi sebagaimana berikut.
وأما إذا كان الإنزال باللمس من غير طلب الاستمناء – أي خروج المني – فتارة يكون مما تشتهيه الطباع السليمة، أو لا، فإن كان لا تشتهيه الطباع السليمة – كالإمرد الجميل، والعضو المبان – فلا يفطر بالإنزال مطلقا، سواء كان بشهوة أو لا، بحائل أو لا.
"Ketika keluar mani sebab menyentuh kulit seseorang itu tanpa ada upaya sengaja mengeluarkan mani itu ada dua perincian. Pertama, bila yang disentuh itu tidak mungkin membangkitkan birahi menurut kebanyakan psikologis orang normal, seperti menyentuh anak lelaki yang kemayu (kecewek-cewekan) atau organ kemaluan yang terpisah dari badan, maka keluar mani karena hal itu tidak membatalkan puasa, baik terdapat syahwat atau tidak, baik terdapat penghalang saat menyentuh atau tidak." (Bujairimi 'Alal Khathib juz 3 hal. 115)
وأما إذا كان الإنزال بلمس ما يشتهى طبعا: فتارة يكون محرما، وتارة يكون غير محرم، فإن كان محرما، وكان بشهوة وبدون حائل، أفطر، وإلا فلا. وأما إذا كان غير محرم – كزوجته – فيفطر الإنزال بلمسه مطلقا، بشهوة أو لا، بشرط عدم الحائل. وأما إذا كان بحائل، فلا فطر به مطلقا، بشهوة أو لا.
"Kedua, apabila keluar mani itu karena menyentuh sesuatu yang membangkitkan birahi secara psikologis orang normal itu terdapat dua rincian. Pertama, menyentuh yang diharamkan, dan kedua menyentuh yang tidak diharamkan. Bila termasuk menyentuh yang diharamkan, dan terdapat syahwat serta tanpa kain penghalang, maka hal ini dapat membatalkan puasa, dan bila tanpa syawat dan menggunakan kain penghalang, maka keluar mani itu tidak membatalkan. Namun, bila menyentuh hal yang tidak diharamkan, seperti menyentuh istri, maka itu keluar mani sebab hal itu dapat membatalkan puasa apabila terdapat syahwat maupun tidak saat dilakukan tanpa kain penghalang. Adapun bersentuhan dengan istri menggunakan kain penghalang itu tidak membatalkan puasa, baik terdapat syahwat maupun tidak." (Bujairimi 'Alal Khathib juz 3 hal. 115)
Selain itu, orang yang batal puasa karena melakukan onani hingga keluar mani itu hanya wajib menyesali perbuatannya dan diwajibkan mengqadha puasanya di selain bulan Ramadhan, tanpa harus membayar denda sebagaimana denda hubungan suami istri di siang Ramdahan.
Imam Ar-Rafi'i salah satu ulama besar Syafi'iyah mengatakan,
المنى إن خرج بالاستمناء افطر لان الايلاج من غير انزال مبطل فالانزال بنوع شهوة اولي أن يكون مفطرا
"Mani yang dikeluarkan dengan onani, membatalkan puasa. Karena jika hubungan intim tanpa terjadi keluar mani statusnya membatalkan puasa, maka onani dengan mencapai syahwat puncak lebih layak untuk membatalkan puasa." (Syarh Al-Wajiz Ar-Rafi'i, 6/396).
Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin - Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :
إذا قبل أو باشر فيما دون الفرج بذكره أو لمس بشرة امرأة بيده أو غيرها فإن أنزل المني بطل صومه وإلا فلا لما ذكره المصنف
"Jika seseorang berciuman atau menggauli prempuan pada selain kemaluannya atau meraba kulit tubuh wanita dengan tangannya ata yang lain, jia sampa mengeluarkan mani maka puasanya batal, namun jika tidak maka puasanya tidak batal sebagaimana disebutkan oleh mushannif." (Asy-Syairazi).
Dijelaskan dalam kitab Nihayatuz Zain karya Syaikh Nawawi,
(واستمناء) أى طلب خروج المني وهو مبطل للصوم مطلقا سواء كان بيده أو بيد حليلته أو غيرهما بحائل أولا بشهوة أولا
"(Istimna') atau sengaja mengeluarkan mani adalah membatalkan puasa secara mutlak sama saja mengeluarkannya dengan tangannya sendiri atau dengan tangan istrinya atau selain dengan keduanya baik dengan adanya penghalang dengan syahwat atau tidaknya."
Artinya jika tidak ada niat mengeluarkan air mani, tetapi keluar karena adanya persentuhan atau ‘kontak langsung antara kulit sebagai indera perasa dengan suatu barang. Semisal mencium, menggenggam tangan atau alat kelamin menempel pada sesuatu hingga kelar air mani, maka hal itu membatalkan puasa.
Imam An-Nawawi dalam Al Majmu’ (6: 322) berkata, “Jika seseorang mencium atau melakukan penetrasi selain pada kemaluan istri dengan kemaluannya atau menyentuh istrinya dengan tangannya atau dengan cara semisal itu lalu keluar mani, maka batallah puasanya. Jika tidak, maka tidak batal.”
Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
إذا قبل فأمنى أو أمذى، ولا يخلو المقبل من ثلاثة أحوال؛ أحدها، أن لا ينزل، فلا يفسد صومه بذلك، لا نعلم فيه خلافا، الحال الثاني، أن يمني فيفطر بغير خلاف نعلمه. الحال الثالث، أن يمذي فيفطر عند إمامنا ومالك. وقال أبو حنيفة، والشافعي: لا يفطر
"Jika seseorang berciuman hingga keluar mani atau madzi. Bagi orang yang berciuman ada tiga keadaan, pertama: berciuman namun tidak sampai keluar mani, maka puasanya tidak batal tanpa ada perbedaan pendapat yang kami tau, kedua: berciuman hingga keluar mani, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan pendapat yang kami tau, ketiga berciuman hingga keluar madzi, maka puasanya batal menurut Al-Imam Ahmad dan Malik, dan tidak batal menurut Al-Imam Abu Hanifah dan As-Syafi’i."
وَلَوْ اسْتَمْنَى بِيَدِهِ فَقَدْ فَعَلَ مُحَرَّمًا ، وَلَا يَفْسُدُ صَوْمُهُ بِهِ إلَّا أَنْ يُنْزِلَ ، فَإِنْ أَنْزَلَ فَسَدَ صَوْمُهُ ؛ لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى الْقُبْلَةِ فِي إثَارَةِ الشَّهْوَةِ
“Jika seseorang mengeluarkan mani secara sengaja dengan tangannya, maka ia telah melakukan suatu yang haram. Puasanya tidaklah batal kecuali jika mani itu keluar. Jika mani keluar, maka batallah puasanya. Karena perbuatan ini termasuk dalam makna qublah yang timbul dari syahwat.”
Sahnun (w. 240 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra menuliskan sebagai berikut :
قلت: أرأيت من قبل في رمضان فأنزل، أيكون عليه الكفارة في قول مالك؟ فقال: نعم والقضاء كذلك
Aku bertanya: bagaimana orang yang berciuman hingga menyebabkan keluar mani, apakah ia wajib bayar kafarat menurut Al-Imam Malik? Ia menjawab: iya (wajib bayar kafarat) dan begitu juga qadha.
Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menuliskan sebagai berikut :
ولو جامع امرأته فيما دون الفرج فأنزل أو باشرها أو قبلها أو لمسها بشهوة فأنزل يفسد صومه، وعليه القضاء ولا كفارة عليه
Jika seseorang bersetubuh dengan istrinya pada selanin kemaluannya kemudian keluar mani, atau mencumbunya atau menciumnya atau merabanya dengan syahwat lalu keluar mani, maka puasanya batal dan ia wajib mengqadha, tapi tidak wajib kafarat.
Al-Marghinani (w. 593 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi menuliskan sebagai berikut :
ولو أنزل بقبلة أو لمس فعليه القضاء دون الكفارة
Jika seseorang keluar mani karena berciuman atau meraba, maka ia wajib mengqadha tanpa bayar kafarat.
*Pendapat Ulama Salafi Wahabi*
Diantara ulama rujukan salafi wahabi sendiri Imam Ibnu Baz mengatakan pendapat yang sama,
على من استمنى في رمضان أن يقضي اليوم، عليه أن يتوب إلى الله وأن يقضي ذلك اليوم؛ لأنه أفطر فيه بهذا الاستمناء، يعني صار في حكم المفطرين وإن لم يأكل ويشرب لكنه صار في حكم المفطرين فعليه القضاء
"Orang yang melakukan onani ketika Ramadhan, dia wajib mengqadha puasanya. Dia harus bertaubat kepada Allah dan mengqadha puasanya. Karena pada hari itu dia membatalkan puasa dengan melakukan onani. Artinya, status dia sama denga orang yang tidak puasa, meskipun dia tidak makan, tidak minum. Namun statusnya sama dengan orang yang tidak puasa, dan dia wajib qadha."
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Jika seseorang memaksa keluar mani dengan cara apapun baik dengan tangan, menggosokkan ke tanah atau dengan cara lainnya, sampai keluar mani, maka puasanya batal."
Demikian pendapat ulama madzhab, yaitu Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, dan Ahmad. Sedangkan ulama Zhahiriyah (syiah) berpendapat bahwa onani tidak membatalkan puasa walau sampai keluar mani. Alasannya, tidak adanya dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang membuktikan bahwa onani itu membatalkan puasa.
Akan tetapi, alfaqir Asimun Mas'ud (Wallahu a’lam) berdalil dengan dua alasan (yang menunjukkan batalnya puasa karena onani) disamping penjelasan para ulama diatas,
1. Dalam hadits qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman,
يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى
“Orang yang berpuasa itu meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku.” (HR. Ahmad, 2: 393, sanad shahih).
Onani dan mengeluarkan mani dengan paksa termasuk bentuk syahwat. Mengeluarkan mani termasuk syahwat dibuktikan dalam sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ ».
“Menyetubuhi istri kalian (jima’) termasuk sedekah.” Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa salah seorang dengan syahwatnya mendatangi istrinya bisa mendapatkan pahala?” “Bukankah jika kalian meletakkan syahwat tersebut pada yang haram, maka itu berdosa. Maka jika diletakkan pada yang halal akan mendapatkan pahala,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 1006)
2. Dalil qiyas (analogi), yaitu dalam hadits telah disebutkan mengenai batalnya puasa karena muntah yang sengaja, bekam dengan mengeluarkan darah.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ, وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ - رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ
“Siapa saja yang muntah, maka ia tidak berkewajiban qadha (puasa). Tetapi siapa saja yang sengaja muntah, maka ia berkewajiban qadha (puasa),” (HR lima imam hadits, yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i).
Dan keduanya (muntah dan bekam) melemahkan badan. Sedangkan keluarnya makanan (dari muntah), itu jelas melemahkan badan karena badan menjadi kosong sehingga menjadi cepat lapar dan kehausan. Adapun keluarnya darah (lewat bekam), itu juga jelas melemahkan badan. Demikian halnya kita temukan pada onani yaitu keluarnya mani yang menyebabkan lemahnya badan. Oleh karenanya, ketika keluar mani diperintahkan untuk mandi agar kembali menfitkan badan. Inilah bentuk qiyas dengan bekam dan muntah.
Oleh karenanya, kami katakan bahwa keluarnya mani dengan syahwat membatalkan puasa karena alasan dari dalil maupun qiyas. Intinya, onani menyebabkan puasa batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh.
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bahasan singkat ini menjadi ilmu yang bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Jumat, 24 April 2020
KAJAIN TENTANG BENARKAH DOA HARIAN DI BULAN RAMADHAN DARI AJARAN SYIAH?
Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479)
Doa terbaik tentu saja doa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika memanjatkan do’a semacam ini, kita akan mendapatkan kebaikan yang amat banyak, tidak sebatas pada yang kita minta saja. Begitu pula kita nantinya tidak salah meminta karena tidak sedikit yang salah meminta dalam doanya. Doa dari Al-Qur’an dan Hadits pun tidak membuat kita salah dalam mengucap sehingga salah makna.
Jika orang sedang shalat harus berdoa dengan bahasa Arab, maka ia tidak boleh berdoa selain yang telah ada contohnya dan tidak boleh dengan bahasa selainnya. Adapun do’a di luar shalat, maka tidak mengapa berdoa sesuai hajat dan tujuan serta menggunakan bahasa non Arab.
Sejak beberapa tahun yang lalu beredar broadcast dengan *“Waspada Doa-Doa Versi Syiah Seputar Bulan Ramadhan”,* (doa hari ke-1 sampai hari ke-30 di bulan Ramadhan). Dari judulnya, kita sudah bisa langsung berkesimpulan ini pasti dari kaum takfiri penyebar kebencian. Dimana mereka sangat rajin menulis artikel-artikel tentang amalan ahlussunnah wal jama'ah yang dikaitkan dengan syiah tanpa dasar yang kuat dan cenderung fitnah.
Artikel tersebut secara terburu-buru mengulas beberapa hal dari doa yang diambil dari kitab “Mafatihul Jinan” karangan salah satu ulama syiah Syaikh Abbas al-Qummi. Diantaranya pertama adalah meragukan keshahihan dari mana doa ramadhan tersebut berasal. Dan tanpa melakukan tabayun artikel tersebut menuduh doa ramadhan tersebut hanya karangan ulama syiah. Hanya karena tidak ada dalam kitab 4 madzhab ahlussunah. Kedua, Artikel tersebut menuduh Abbas Qummi sebagai penyusun kitab Mafatihul Jinan telah “mengedit al-Qur’an” dalam salah satu doanya tentang ayat kursi, namun penulis artikel Al Ustadz Dr Wiranugraha MA tidak menyebutkan bab dan halamannya. Berikut tuduhan tersebut,
الله لا إله إلا هو الحي القيوم لا تأخذه سنة ولا نوم له ما في السماوات وما في الأرض وما بينهما وما تحت الثرى عالم الغيب والشهادة الرحمن الرحيم من ذا الذي .. إلى هم فيها خالدون
Padahal Ayat Kursi yang sebenarnya sebagaimana yang telah kita ketahui adalah
اللّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Namun saya belum menemukan ayat kursi dimaksud dalam kitab syiah Mafatihul Jinan karya Al-Qumi
Syaikh Abbas al-Qummi dikalangan syiah memang memiliki karya yang banyak, yang terpenting dan paling terkenal diantaranya adalah kitab Mafatih al-Jinan yang merupakan kumpulan doa-doa, ziarah-ziarah dan munajat-munajat yang berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memang sangat mendapatkan sambutan yang luar biasa dari penganut Syiah. Al-Qummi meninggal pada malam Rabu, 22 Dzulhijjah tahun 1359 H/21 Januari 1941 pada usia 65 tahun di Najaf.
Inilah salah satu link yang menuduh bahwa doa yang biasa dibaca oleh ahlussunnah wal jama'ah berasal dari ulama syiah Al-Qummi : https://www.annasindonesia.com/read/948-waspada-doa-doa-versi-syiah-seputar-bulan-ramadhan-nadzubillah-min-dzlik
Untuk mengkroscek kandungan doa dan dzikir dalam kitab Mafatihul Jinan karangan Al-Qumi bisa di download kitabnya untuk membuktikannya di link : https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://dl.aldhiaa.com/arabic/derasie-anel-masomin/doa/%25D9%2585%25D9%2581%25D8%25A7%25D8%25AA%25D9%258A%25D8%25AD%2520%25D8%25A7%25D9%2584%25D8%25AC%25D9%2586%25D8%25A7%25D9%2586%2520-%2520%25D8%25A7%25D9%2584%25D8%25B4%25D9%258A%25D8%25AE%2520%25D8%25B9%25D8%25A8%25D8%25A7%25D8%25B3%2520%25D8%25A7%25D9%2584%25D9%2582%25D9%2585%25D9%258A%2520%25D8%258C%2520%25D9%2586%25D8%25B3%25D8%25AE%25D8%25A9%2520%25D8%25A3%25D8%25AE%25D8%25B1%25D9%2589%2520%25D8%25AD%25D8%25AC%25D9%2585%2520%25D9%2588%25D8%25AC%25D9%2588%25D8%25AF%25D8%25A9%2520%25D8%25A3%25D9%2582%25D9%2584.pdf&ved=2ahUKEwjGtKvm0IHpAhWDgUsFHff4C0UQFjADegQIBRAB&usg=AOvVaw1gImoSkvEhDPEuUmAhGYtP&cshid=1587751040172
Kemudian setelah di download silahkan dibaca dan dipelajari bisa kita buktikan apakah doa harian yang biasa kita temukan tersebut apakah benar sama dengan yang ada dalam Mafatihul Jinan karya Al-Qumi atau hanya tuduan kedengkian semata.
Ternyata setelah alfaqir baca doa dan dzikir ramadhan dalam kitab Mafatihul Jinan pada halaman 239-259 bacaan doa harian ramadhan versi syiah disana berbeda dengan doa ahlussunah yang beredar selama ini dan saya tidak menemukan satupun doa yang sama.
Adapun doa harian bulan Ramadhan yang biasa kita temui dan baca adalah sebagai berikut,
*Doa Hari Pertama*
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ صِيَامِيْ فِيْهِ صِيَامَ الصَّائِمِيْنَ وَ قِيَامِيْ فِيْهِ قِيَامَ الْقَائِمِيْنَ وَ نَبِّهْنِيْ فِيْهِ عَنْ نَوْمَةِ الْغَافِلِيْنَ وَ هَبْ لِيْ جُرْمِيْ فِيْهِ يَا إِلَهَ الْعَالَمِيْنَ وَ اعْفُ عَنِّيْ يَا عَافِيًا عَنِ الْمُجْرِمِيْنَ
Ya Allah, jadikanlah puasa dan ibadahku di bulan ini seperti puasa orang-orang sejati, bangunkanlah aku di bulan ini dari kelelapan tidur orang-orang yang lupa ampunilah segala kesalahanku, wahai Tuhan semesta alam, dan ampunilah aku, wahai pengampun orang-orang yang bersalah.
*Doa Hari Kedua*
اَللَّهُمَّ قَرِّبْنِيْ فِيْهِ إِلَى مَرْضَاتِكَ وَ جَنِّبْنِيْ فِيْهِ مِنْ سَخَطِكَ وَ نَقِمَاتِكَ وَ وَفِّقْنِيْ فِيْهِ لِقِرَاءَةِ آيَاتِكَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Ya Allah, dekatkanlah aku di bulan ini dari ridha-Mu, hindarkanlah aku di bulan ini dari kemurkaan-Mu, dan anugerahkanlah taufik kepadaku di bulan ini untuk membaca ayat-ayat (kitab)-Mu. Dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Lebih Pengasih dari para pengasih.
*Doa Hari Ketiga*
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ الذِّهْنَ وَ التَّنْبِيْهَ وَ بَاعِدْنِيْ فِيْهِ مِنَ السَّفَاهَةِ وَ التَّمْوِيْهِ وَ اجْعَلْ لِيْ نَصِيْبًا مِنْ كُلِّ خَيْرٍ تُنْزِلُ فِيْهِ، بِجُوْدِكَ يَا أَجْوَدَ الْأَجْوَدِيْنَ
Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku di bulan ini kecerdasan dan kesadaran diri, jauhkanlah aku di bulan ini dari ketololan dan kesesatan, dan limpahkanlah kepadaku sebagian dari setiap kebajikan yang Engkau turunkan di bulan ini. Dengan kedermawanan-Mu, wahai Dzat Yang Lebih Dermawan dari para dermawan.
*Doa Hari Keempat*
اَللَّهُمَّ قَوِّنِيْ فِيْهِ عَلَى إِقَامَةِ أَمْرِكَ وَ أَذِقْنِيْ فِيْهِ حَلاَوَةَ ذِكْرِكَ وَ أَوْزِعْنِيْ فِيْهِ لِأَدَاءِ شُكْرِكَ بِكَرَمِكَ وَ احْفَظْنِيْ فِيْهِ بِحِفْظِكَ وَ سِتْرِكَ يَا أَبْصَرَ النَّاظِرِيْنَ
Ya Allah, kuatkanlah diriku di bulan ini untuk melaksanakan perintah-Mu, anugerahkan kepadaku di bulan ini kemanisan mengingat-Mu, dengan kemurahan-Mu berikanlah kesempatan kepadaku di bulan ini untuk bersyukur kepada-Mu demi kemurahan-Mu, dan dengan penjagaan dan tirai-Mu jagalah diriku di bulan ini, wahai Dzat Yang Lebih Melihat dari orang-orang yang melihat.
*Doa Hari Kelima*
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ الْقَانِتِيْنَ وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنْ أَوْلِيَائِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ بِرَأْفَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang memohon pengampunan, jadikanlah aku di bulan ini dari dari golongan hamba-hamba-Mu yang salih dan pasrah, dan jadikanlah aku di bulan ini dari golongan para kekasih-Mu yang dekat dengan-Mu. Dengan kasih sayang-mu wahai Dzat Yang Lebih Pengasih dari para pengasih.
*Doa Hari keenam*
اَللَّهُمَّ لاَ تَخْذُلْنِيْ فِيْهِ لِتَعَرُّضِ مَعْصِيَتِكَ وَ لاَ تَضْرِبْنِيْ بِسِيَاطِ نَقِمَتِكَ وَ زَحْزِحْنِيْ فِيْهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ سَخَطِكَ بِمَنِّكَ وَ أَيَادِيْكَ يَا مُنْتَهَى رَغْبَةِ الرَّاغِبِيْنَ
Ya Allah, jangan Kau hinakan aku di bulan ini karena keberanianku bermaksiat kepada-Mu, jangan Kau cambuk aku dengan cambuk kemurkaan-Mu dan jauhkanlah aku dari (segala perbuatan) yang menyebabkan murka-Mu. Dengan anugerah dan kekuasaan-Mu wahai Puncak Harapan para pengharap.
*Doa Hari Ketujuh*
اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ فِيْهِ عَلَى صِيَامِهِ وَ قِيَامِهِ وَ جَنِّبْنِيْ فِيْهِ مِنْ هَفَوَاتِهِ وَ آثَامِهِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ ذِكْرَكَ بِدَوَامِهِ بِتَوْفِيْقِكَ يَا هَادِيَ الْمُضِلِّيْنَ
Ya Allah, bantulah aku di bulan ini dalam melaksanakan puasa dan ibadah, jauhkanlah aku di bulan ini dari kesalahan dan doa-dosa (yang tidak pantas dilaksanakan) di dalamnya, dan anugerahkanlah kepadaku di bulan ini (kesempatan untuk) mengingat-Mu untuk selamanya. Dengan taufik-Mu, wahai penunjuk jalan orang-orang yang sesat.
*Doa Hari Kedelapan*
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ رَحْمَةَ الْأَيْتَامِ وَ إِطْعَامَ الطَّعَامِ وَ إِفْشَاءَ السَّلاَمِ وَ صُحْبَةَ الْكِرَامِ بِطَوْلِكَ يَا مَلْجَأَ الْآمِلِيْنَ
Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku di bulan ini untuk mengasihani anak-anak yatim, memberi makan, menebarkan salam dan bersahabat dengan orang-orang mulia. Dengan keutamaan-Mu, wahai Tempat Bernaung orang-orang yang berharap.
*Doa Hari Kesembilan*
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لِيْ فِيْهِ نَصِيْبًا مِنْ رَحْمَتِكَ الْوَاسِعَةِ وَ اهْدِنِيْ فِيْهِ لِبَرَاهِيْنِكَ السَّاطِعَةِ وَ خُذْ بِنَاصِيَتِيْ إِلَى مَرْضَاتِكَ الْجَامِعَةِ بِمَحَبَّتِكَ يَا أَمَلَ الْمُشْتَاقِيْنَ
Ya Allah, limpahkanlah kepadaku di bulan sebagian dari rahmat-Mu yang luas, tunjukanlah aku di bulan ini kepada tanda-tanda-Mu yang terang, dan tuntunlah aku kepada ridha-Mu yang maha luas. Dengan cinta-Mu wahai harapan orang-orang yang rindu.
*Doa Hari Kesepuluh*
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُتَوَكِّلِيْنَ عَلَيْكَ وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْفَائِزِيْنَ لَدَيْكَ وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ إِلَيْكَ بِإِحْسَانِكَ يَا غَايَةَ الطَّالِبِيْنَ
Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang bertawakal kepada-Mu, jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang jaya di haribaan-Mu, dan jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang telah dekat kepada-Mu. Dengan kebaikan-Mu wahai tujuan orang-orang yang berharap.
*Doa Hari Kesebelas*
اَللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيَّ فِيْهِ الْإِحْسَانَ وَ كَرِّهْ إِلَيَّ فِيْهِ الْفُسُوْقَ وَ الْعِصْيَانَ وَ حَرِّمْ عَلَيَّ فِيْهِ السَّخَطَ وَ النِّيْرَانَ بِعَوْنِكَ يَا غِيَاثَ الْمُسْتَغِيْثِيْنَ
Ya Allah, cintakanlah kepadaku di bulan ini berbuat kebajikan, bencikanlah kepadaku di bulan ini kefasikan dan maksiat, dan cegahlah dariku di bulan ini kemurkaan dan neraka-(Mu). Dengan pertolongan-Mu wahai Penolong para peminta pertolongan.
*Doa Hari Kedua Belas*
اَللَّهُمَّ زَيِّنِّيْ فِيْهِ بِالسِّتْرِ وَ الْعَفَافِ وَ اسْتُرْنِيْ فِيْهِ بِلِبَاسِ الْقُنُوْعِ وَ الْكَفَافِ وَ احْمِلْنِيْ فِيْهِ عَلَى الْعَدْلِ وَ الْإِنْصَافِ وَ آمِنِّيْ فِيْهِ مِنْ كُلِّ مَا أَخَافُ بِعِصْمَتِكَ يَا عِصْمَةَ الْخَائِفِيْنَ
Ya Allah, hiasilah diriku di bulan ini dengan menutupi (segala kesalahanku) dan rasa malu, pakaikanlah kepadaku di bulan ini pakaian qana’ah dan mencegah diri, tuntunlah aku di bulan ini untuk berbuat adil, dan kesadaran, dan jagalah aku di bulan ini dari setiap yang kutakuti. Dengan penjagaan-Mu wahai Penjaga orang-orang yang ketakutan.
*Doa Hari Ketiga Belas*
اَللَّهُمَّ طَهِّرْنِيْ فِيْهِ مِنَ الدَّنَسِ وَ الْأَقْذَارِ وَ صَبِّرْنِيْ فِيْهِ عَلَى كَائِنَاتِ الْأَقْدَارِ وَ وَفِّقْنِيْ فِيْهِ لِلتُّقَى وَ صُحْبَةِ الْأَبْرَارِ بِعَوْنِكَ يَا قُرَّةَ عَيْنِ الْمَسَاكِيْنِ
Ya Allah, sucikanlah aku di bulan ini dari segala jenis kotoran, jadikanlah aku di bulan ini sabar menerima setiap ketentuan-(Mu), dan anugerahkanlah taufik kepadaku di bulan ini untuk meraih takwa dan bersahabat dengan orang-orang yang bijak. Dengan pertolongan-Mu wahai Kententraman hati orang-orang miskin.
*Doa Hari keempat Belas*
اَللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِيْ فِيْهِ بِالْعَثَرَاتِ وَ أَقِلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْخَطَايَا وَ الْهَفَوَاتِ وَ لاَ تَجْعَلْنِيْ فِيْهِ غَرَضًا لِلْبَلايَا وَ الْآفَاتِ بِعِزَّتِكَ يَا عِزَّ الْمُسْلِمِيْنَ
Ya Allah, jangan Kau siksa aku di bulan ini karena kesalahan-kesalahanku, selamatkanlah aku di bulan ini dari segala kesalahan, dan jangan Kau jadikan aku di bulan ini tempat persinggahan malapetaka dan bala. Dengan kemuliaan-Mu wahai Kemuliaan muslimin.
*Doa Hari Kelima Belas*
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ طَاعَةَ الْخَاشِعِيْنَ وَ اشْرَحْ فِيْهِ صَدْرِيْ بِإِنَابَةِ الْمُخْبِتِيْنَ بِأَمَانِكَ يَا أَمَانَ الْخَائِفِيْنَ
Ya Allah, anugrahkanlah kepadaku di bulan ini ketaatan orang-orang yang khusyu’, dan lapangkanlah dadaku di bulan ini karena taubat orang-orang yang mencintai-Mu. Dengan perlindungan-Mu wahai Pengaman orang-orang yang takut.
*Doa Hari Keenam Belas*
اَللَّهُمَّ وَفِّقْنِيْ فِيْهِ لِمُوَافَقَةِ الْأَبْرَارِ وَ جَنِّبْنِيْ فِيْهِ مُرَافَقَةَ الْأَشْرَارِ وَ آوِنِيْ فِيْهِ بِرَحْمَتِكَ إِلَى (فِيْ) دَارِ الْقَرَارِ بِإِلَهِيَّتِكَ يَا إِلَهَ الْعَالَمِيْنَ
Ya Allah, berikanlah taufik kepadaku di bulan ini untuk berkumpul bersama orang-orang baik, jauhkanlah aku di bulan ini dari bersahabat dengan orang-orang jahat, dan dengan rahmat-Mu tampatkanlah aku di bulan ini di dalam rumah keabadian. Dengan ketuhanan-Mu wahai Tuhan sekalian alam.
*Doa Hari Ketujuh Belas*
اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْهِ لِصَالِحِ الْأَعْمَالِ وَ اقْضِ لِيْ فِيْهِ الْحَوَائِجَ وَ الْآمَالَ يَا مَنْ لاَ يَحْتَاجُ إِلَى التَّفْسِيْرِ وَ السُّؤَالِ يَا عَالِمًا بِمَا فِيْ صُدُوْرِ الْعَالَمِيْنَ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِهِ الطَّاهِرِيْنَ
Ya Allah, tunjukkanlah aku di bulan ini kepada amal yang salih, dan berikanlah kepadaku di bulan ini segala keperluan dan cita-citaku, wahai Dzat yang tidak membutuhkan penjelasan dan permintaan, wahai Dzat yang mengetahui segala rahasia yang ada di hati manusia, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya yang suci.
*Doa Hari Kedelapan Belas*
اَللَّهُمَّ نَبِّهْنِيْ فِيْهِ لِبَرَكَاتِ أَسْحَارِهِ وَ نَوِّرْ فِيْهِ قَلْبِيْ بِضِيَاءِ أَنْوَارِهِ وَ خُذْ بِكُلِّ أَعْضَائِيْ إِلَى اتِّبَاعِ آثَارِهِ بِنُوْرِكَ يَا مُنَوِّرَ قُلُوْبِ الْعَارِفِيْنَ
Ya Allah, beritahukanlah kepadaku di bulan ini segala berkah yang tersimpan di dua pertiga malamnya, terangkan hatiku di bulan ini dengan cahayanya, dan bimbinglah seluruh anggota tubuhku di bulan ini untuk mengikuti tanda-tanda keagungannya. Dengan cahaya-Mu wahai penerang hati para ‘arif.
*Doa Hari Kesembilan Belas*
اَللَّهُمَّ وَفِّرْ فِيْهِ حَظِّيْ مِنْ بَرَكَاتِهِ وَ سَهِّلْ سَبِيْلِيْ إِلَى خَيْرَاتِهِ وَ لاَ تَحْرِمْنِيْ قَبُوْلَ حَسَنَاتِهِ يَا هَادِيًا إِلَى الْحَقِّ الْمُبِيْنِ
Ya Allah, sempurnakanlah bagianku di bulan ini dengan berkahnya, permudahlah jalanku untuk menempuh kebaikannya, dan janganlah Kau halangi diriku untuk menerima kebaikannya, wahai Penunjuk Jalankepada kebenaran yang nyata.
*Doa Hari Kedua Puluh*
اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ فِيْهِ أَبْوَابَ الْجِنَانِ وَ أَغْلِقْ عَنِّيْ فِيْهِ أَبْوَابَ النِّيْرَانِ وَ وَفِّقْنِيْ فِيْهِ لِتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ يَا مُنْزِلَ السَّكِيْنَةِ فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ
Ya Allah, bukalah bagiku di bulan ini pintu-pintu surga, tutuplah untukku di bulan ini pintu-pintu neraka, dan berikanlah taufik kepadaku di bulan ini untuk membaca al-Quran, wahai Penurun ketenangan di hati Mukminin.
*Doa Hari Kedua Puluh Satu*
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لِيْ فِيْهِ إِلَى مَرْضَاتِكَ دَلِيْلاً وَ لاَ تَجْعَلْ لِلشَّيْطَانِ فِيْهِ عَلَيَّ سَبِيْلاً وَ اجْعَلِ الْجَنَّةَ لِيْ مَنْزِلاً وَ مَقِيْلاً يَا قَاضِيَ حَوَائِجِ الطَّالِبِيْنَ
Ya Allah, berikanlah kepadaku di bulan ini sebuah petunjuk untuk mencapai keridhaan-Mu, jangan Kau beri kesempatan kepada setan di bulan ini untuk menggodaku, dan jadikanlah surga sebagai tempat tinggal dan bernaungku, wahai Pemberi segala kebutuhan orang-orang yang meminta.
*Doa Hari Kedua Puluh Dua*
اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ فِيْهِ أَبْوَابَ فَضْلِكَ وَ أَنْزِلْ عَلَيَّ فِيْهِ بَرَكَاتِكَ وَ وَفِّقْنِيْ فِيْهِ لِمُوْجِبَاتِ مَرْضَاتِكَ وَ أَسْكِنِّيْ فِيْهِ بُحْبُوْحَاتِ جَنَّاتِكَ يَا مُجِيْبَ دَعْوَةِ الْمُضْطَرِّيْنَ
Ya Allah, bukalah bagiku di bulan ini pintu-pintu anugerah-Mu, turunkanlah kepadaku di bulan ini berkah-berkah-Mu, berikanlah taufik kepadaku di bulan ini untuk mencapai keridhaan-Mu, dan tempatkanlah aku di bulan ini di tengah-tengah surga-Mu, wahai Pengabul permintaan orang-orang yang ditimpa kesulitan.
*Doa Hari Kedua Puluh Tiga*
اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الذُّنُوْبِ وَ طَهِّرْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْعُيُوْبِ وَ امْتَحِنْ قَلْبِيْ فِيْهِ بِتَقْوَى الْقُلُوْبِ يَا مُقِيْلَ عَثَرَاتِ الْمُذْنِبِيْنَ
Ya Allah, sucikanlah aku di bulan ini dari dosa-dosa, bersihkanlah aku di bulan ini dari segala aib, dan ujilah aku di bulan ini dengan ketakwaan, wahai Pemaaf segala kesalahan orang-orang yang berdosa.
*Doa Hari Kedua Puluh Empat*
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ فِيْهِ مَا يُرْضِيْكَ وَ أَعُوْذُ بِكَ مِمَّا يُؤْذِيْكَ وَ أَسْأَلُكَ التَّوْفِيْقَ فِيْهِ لِأَنْ أُطِيْعَكَ وَ لاَ أَعْصِيَكَ يَا جَوَّادَ السَّائِلِيْنَ
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu di bulan ini segala yang mendatangkan keridhaan-Mu, aku berlindung kepada-Mu dari segala yang dapat menimbulkan murka-Mu, dan aku memohon kepada-Mu taufik untuk menaati-Mu dan tidak bermaksiat kepada-Mu, wahai Yang Maha Dermawan terhadap para pemohon.
*Doa Hari Kedua Puluh Lima*
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مُحِبًّا لِأَوْلِيَائِكَ وَ مُعَادِيًا لِأَعْدَائِكَ مُسْتَنّا بِسُنَّةِ خَاتَمِ أَنْبِيَائِكَ يَا عَاصِمَ قُلُوْبِ النَّبِيِّيْنَ
Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini pencinta para kekasih-Mu, pembenci para musuh-Mu, mengikuti sunnah penutup para nabi-Mu, wahai Penjaga hati para nabi.
*Doa Hari Kedua Puluh Enam*
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ سَعْيِيْ فِيْهِ مَشْكُوْرًا وَ ذَنْبِيْ فِيْهِ مَغْفُوْرًا وَ عَمَلِيْ فِيْهِ مَقْبُوْلاً وَ عَيْبِيْ فِيْهِ مَسْتُوْرًا يَا أَسْمَعَ السَّامِعِيْنَ
Ya Allah, jadikanlah usahaku di bulan ini disyukuri, dosaku diampuni, amalku diterima dan kejelekanku ditutupi, wahai Dzat Yang Lebih Mendengar dari orang-orang yang mendengar.
*Doa Hari Kedua Puluh Tujuh*
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ فَضْلَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَ صَيِّرْ أُمُوْرِيْ فِيْهِ مِنَ الْعُسْرِ إِلَى الْيُسْرِ وَ اقْبَلْ مَعَاذِيْرِيْ وَ حُطَّ عَنِّيَ الذَّنْبَ وَ الْوِزْرَ يَا رَؤُوْفًا بِعِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ
Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku di bulan ini keutamaan Lailatul Qadr, jadikanlah urusanku yang sulit menjadi mudah, terimalah ketidakmampuanku, dan hapuskanlah dosa dan kesalahanku, wahai Yang Maha Kasih kepada hamba-hamba-Nya yang salih.
*Doa Hari Kedua Puluh Delapan*
اَللَّهُمَّ وَفِّرْ حَظِّيْ فِيْهِ مِنَ النَّوَافِلِ وَ أَكْرِمْنِيْ فِيْهِ بِإِحْضَارِ الْمَسَائِلِ وَ قَرِّبْ فِيْهِ وَسِيْلَتِيْ إِلَيْكَ مِنْ بَيْنِ الْوَسَائِلِ يَا مَنْ لاَ يَشْغَلُهُ إِلْحَاحُ الْمُلِحِّيْنَ
Ya Allah, sempurnakanlah bagiku di bulan ini ibadah-ibadah sunnah, muliakanlah aku di bulan ini dengan memahami setiap masalah (yang kuhadapi), dan dekatkanlah di bulan ini perantaraku menuju ke haribaan-Mu, wahai Dzat yang tak disibukkan oleh rintihan para perintih.
*Doa Hari Kedua Puluh Sembilan*
اَللَّهُمَّ غَشِّنِيْ فِيْهِ بِالرَّحْمَةِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ التَّوْفِيْقَ وَ الْعِصْمَةَ وَ طَهِّرْ قَلْبِيْ مِنْ غَيَاهِبِ التُّهَمَةِ يَا رَحِيْمًا بِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ
Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu atasku, anugerahkanlah kepadaku di bulan ini taufik dan penjagaan, dan bersihkan hatiku di bulan ini dari mencela, wahai Dzat yang Maha Pengasih atas hamba-hamba-Nya yang Mukmin.
*Doa Hari Ketiga Puluh*
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ صِيَامِيْ فِيْهِ بِالشُّكْرِ وَ الْقَبُوْلِ عَلَى مَا تَرْضَاهُ وَ يَرْضَاهُ الرَّسُوْلُ مُحْكَمَةً فُرُوْعُهُ بِالْأُصُوْلِ بِحَقِّ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ آلِهِ الطَّاهِرِيْنَ وَ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Ya Allah, kabulkan puasaku di bulan ini sesuai dengan ridha-Mu dan ridha Rasul-Mu (sehingga) cabang-cabangnya kokoh karena pondasinya. Demi junjungan kami Muhammad dan keluarganya. Dan segala puja bagi Allah Tuhan semesta alam.
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Kamis, 23 April 2020
KAJIAN TENTANG HUKUM SHALAT JUM'AT DILAKSANAKAN DI LUAR MASJID
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Shalat Jum'at juga wajib berdasarkan hadits,
رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Pergi shalat Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang telah mimpi basah (sudah baligh).” (HR. An-Nasai, no.1371).
Mensikapi issu hangat boleh tidaknya shalat Jum’at di luar masjid, bahkan ada tokoh yang membid’ahkannya, maka perlu kiranya mengulas pendapat Imam Empat Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanabilah) mengenai hukum Shalat Jum’at di luar Masjid.
Sebelum menjelaskan lebih jauh, ada beberapa catatan penting yang perlu diketahui:
Pertama, keharusan shalat Jum’at di masjid masih ikhtilaf (ada perbedaan pendapat di kalangan Imam Empat).
Kedua, perbedaan ini disebabkan ada yang menganggap masjid sebagai syarat shalat Jum’at dan ada yang menganggapnya bukan syarat.
Ketiga, shalat Jum’at pertama tidak dilaksanakan di masjid.
Keempat, ada riwayat,
حدثنا عبد الله بن إدريس عن شعبة عن عطاء بن أبي ميمونة عن أبي رافع عن أبي هريرة أنهم كتبوا إلى عمر يسألونه عن الجمعة فكتب جمعوا حيث كنتم
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Syu’bah, dari ‘Athaa’ bin Abi Maimuun, dari Abu Raafi’, dari Abu Hurairah : Bahwasannya para shahabat menulis surat kepada ‘Umar (bin Al-Khaththaab) bertanya kepadanya tentang shalat Jum’at. Lalu ‘Umar menulis balasan : “Shalat Jum’atlah dimana saja kalian berada” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/101; sanadnya shahih].
Kelima, dalam sunnah dijelaskan bahwa dijadikan untuk umat Islam semua bumi masjid (tempat sujud) yang suci untuk shalat.
Di beberapa tempat, shalat Jum'at tidak didirikan di masjid. Keterbatasan lahan atau dana pembangunan masjid menjadi alasan mereka menunaikan Jum'atan di mushalla, kantor, sekolahan dan sejenisnya. Ada anggapan dari sebagian kalangan bahwa Jum'atan harus dilaksanakan di masjid. Sehingga menjadi tidak sah bila pelaksanaan shalat jum'at dilakukan di luar masjid. Sebenarnya, sahkah shalat jum'at di luar masjid?
Menurut mazhab Syafi’i, tidak ada persyaratan bahwa jum'at wajib dilakukan di masjid. Shalat Jumat bisa dilaksanakan di mana saja. Bisa di masjid, mushala, surau atau lapangan, asalkan masih dalam batas wilayah pemukiman warga.
Mayoritas ulama (Madzhab Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hambali) berpendapat, jumatan tidak harus dilakukan di masjid kecil atau masjid jami’.
Imam Zainudin Al-Iraqi mengatakan,
مذهبنا [ أي : مذهب الشافعية ] : أن إقامة الجمعة لا تختص بالمسجد ، بل تقام في خِطة الأبنية ؛ فلو فعلوها في غير مسجد لم يُصلّ الداخل إلى ذلك الموضع في حالة الخطبة ، إذ ليست له تحية
Madzhab kami (madzhab Syafiiyah), pelaksanaan shalat jumat tidak harus di masjid, namun bisa dilaksanakan di semua lokasi yang tertutup bangunan. Jika ada orang yang melakukan jumatan di selain masjid maka orang memasuki wilayah yang digunakan untuk shalat jumat itu ketika khutbah jumat telah dimulai, maka dia tidak disyariatkan shalat tahiyatul masjid, karena tempat itu bukan masjid yang disyariatkan untuk dilaksanakan tahiyatul masjid. (Tharh At-Tatsrib, 4/90).
Imam Al-Mardawi (ulama madzhab hambali) mengatakan,
قوله: ( ويجوز إقامتها في الأبنية المتفرقة , إذا شملها اسم واحد ، وفيما قارب البنيان من الصحراء ) وهو المذهب مطلقا . وعليه أكثر الأصحاب . وقطع به كثير منهم . وقيل : لا يجوز إقامتها إلا في الجامع
Keterangan penulis: “Boleh mengadakan jumatan di satu tempat yang terkepung beberapa bangunan, jika wiliyah jumatan itu masih satu tempat, boleh juga dilakukan di tanah lapang dekat bangunan pemukiman.” Inilah pendapat madzhab hambali, dan pendapat yang dipilih mayoritas ulama hambali. Ada juga yang mengatakan, ‘Tidak boleh mengadakan shalat jumat kecuali di masjid jami’.’ (Al-Inshaf, 4/23)
Berbeda dengan madzhab Malikiyah. Mereka mempersyaratkan bahwa jumatan harus dilakukan di masjid jami’.
Dalam At-Taj wal Iklil (kitab madzhab Maliki) disebutkan beberapa pendapat ulama Malikiyah,
ابْنُ بَشِيرٍ : الْجَامِعُ مِنْ شُرُوطِ الْأَدَاءِ ابْنُ رُشْدٍ : لَا يَصِحُّ أَنْ تُقَامَ الْجُمُعَةُ فِي غَيْرِ مَسْجِدٍ ( مَبْنِيٍّ ) الْبَاجِيُّ : مِنْ شُرُوطِ الْمَسْجِدِ الْبُنْيَانُ الْمَخْصُوصُ عَلَى صِفَةِ الْمَسَاجِدِ، فَإِنْ انْهَدَمَ سَقْفُهُ صَلَّوْا ظُهْرًا أَرْبَعًا
Ibnu Basyir mengatakan, ‘Masjid jami’ merupakan syarat pelaksanaan shalat jumat.’, Ibnu Rusyd mengatakan, ‘Tidak sah pelaksanaan shalat jum'at di selain masjid (yang ada bangunannya).’ Sementara Al-Baji mengatakan, ‘Diantara syarat masjid adalah adanya bangunan khusus dengan model masjid. Jika atapnya hancur maka diganti shalat dzuhur 4 rakaat.’ (At-Taj wal Iklil, 2/237)
Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mengatakan,
وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يُعْقَدَ الْجُمُعَةُ فِي رُكْنٍ أَوْ مَسْجِدٍ بَلْ يَجُوْزُ فِي الصَّحْرَاءِ إِذَا كاَنَ مَعْدُوْداً مِنْ خِطَّةِ الْبَلَدِ فَإِنْ بَعُدَ عَنِ الْبَلَدِ بِحَيْثُ يَتَرَخَّصُ الْمُسَافِرُ إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ لَمْ تَنْعَقِدْ اَلْجُمُعَةُ فِيْهَا
“Jumat tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bagian daerah pemukiman warga. Bila jauh dari daerah pemukiman warga, sekira musafir dapat mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut.” (Imam al-Ghazali, al-Wasith, juz 2, hal. 263, Kairo, Dar al-Salam, cetakan ketiga tahun 2012).
Sedangkan menurut mazhab Maliki, Jum'at wajib dilaksanakan di masjid. Maka menjadi tidak sah pelaksanaan Jum'at di selain masjid, seperti mushalla. Syekh al-Baji dari kalangan Malikiyyah memberikan syarat lebih ketat lagi, bahwa Jumat harus dilaksanakan di masjid yang masih berbentuk bangunan layaknya arsitektur masjid. Sehingga bila masjid roboh berpuing-puing, maka tidak sah melaksanakan Jumat di tempat tersebut. Pendapat al-Baji tidak disetujui Syekh Ibnu Rusydi. Menurut Ibnu Rusydi, Jum'atan di masjid yang roboh tetap sah, sebab statusnya tetap masjid, baik dari sisi penamaan dan hukumnya.
Keterangan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abu Abdillah Muhammad bi Yusuf al-Abdari al-Mawaq sebagai berikut,
(وَبِجَامِعٍ) ابْنُ بَشِيرٍ : الْجَامِعُ مِنْ شُرُوطِ الْأَدَاءِ ابْنُ رُشْدٍ : لَا يَصِحُّ أَنْ تُقَامَ الْجُمُعَةُ فِي غَيْرِ مَسْجِدٍ مَبْنِيٍّ
“Dan disyaratkan pelaksanaannya di masjid Jami’. Syekh Ibnu Basyir berkata, masjid Jami’ merupakan salah satu beberapa syarat pelaksanaan Jumat. Syekh Ibnu Rusydi berkata, tidak sah mendirikan Jumat di selain masjid yang dibangun.”
الْبَاجِيُّ : مِنْ شُرُوطِ الْمَسْجِدِ الْبُنْيَانُ الْمَخْصُوصُ عَلَى صِفَةِ الْمَسَاجِدِ فَإِنْ انْهَدَمَ سَقْفُهُ صَلَّوْا ظُهْرًا أَرْبَعًا
“Syekh al-Baji berkata, di antara syaratnya masjid yang dijadikan tempat Jumat adalah bangunan khusus yang sesuai sifatnya masjid. Maka, bila atapnya masjid roboh, jamaah berkewajiban shalat zhuhur empat rakaat.”
ابْنُ رُشْدٍ : هَذَا بَعِيدٌ ، لِأَنَّ الْمَسْجِدَ إذَا انْهَدَمَ بَقِيَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ التَّسْمِيَةِ وَالْحُكْمِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَصِحُّ أَنْ يُسَمَّى الْمَوْضِعُ الَّذِي يُتَّخَذُ لِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ مَسْجِدًا قَبْلَ أَنْ يُبْنَى وَهُوَ فَضَاءٌ
“Ibnu Rusydi berkata, pendapat al-Baji ini jauh dari kebenaran. Sebab bila masjid rubuh, penamaan dan hukumnya masih tetap. Meski tidak sah menamakan tempat yang hendak dibangun masjid sebagai masjid sebelum dibangun. Tempat tersebut disebut dengan tanah lapang.” (Syekh Abu Abdillah Muhammad bi Yusuf al-Abdari al-Mawaq, al-Taj wa al-Iklil, juz 2, hal. 237).
Adapun memfatwakan bahwa shalat Jum'at boleh di rumah, itu menyelisihi kesepakatan ulama madzhab.
Syaikh Khalid Al-Musyaiqih menjelaskan, “Menurut kesepakatan ulama, shalat Jum'at di rumah tidaklah sah. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sahnya shalat Jumat itu jika dihadiri oleh imam a’zham atau penggantinya. Ulama Malikiyyah menyaratkan bahwa shalat Jumat itu harus dilakukan di Masjid Jami’. Ulama Syafiiyah dan Hambali menyatakan bahwa shalat Jumat itu disyaratkan dengan jumlah empat puluh yang dihadiri oleh orang-orang yang diwajibkan shalat Jumat.”
*Perbedaan Pendapat Para Ulama*
Secara ringkas, ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyyah melarang shalat jum’at kecuali di al-Jami' atau Masjid Jami’. Sedangkan mayoritas ulama menyatakan bahwa Shalat Jum’at tak harus ditempat yang biasa disebut masjid. Artinya boleh shalat jum’at dilaksanakan di gedung auditorium, aula pertemuan, dsb. Lebih rincinya sebagai berikut:
*Madzhab Malikiyyah*
Disebutkan dalam kitab Mukhtahsar al-Khalil karya Syeikh Khalil bin Ishaq al-Maliki (w. 776 H):
....وبجامع مبني متحد
…(shalat jum’at harus) di al-Jami’ yang berbentuk bangunan dan menyatu..(Khalil bin Ishaq al-Maliki, Mukhtashar al-Khalil, h. 1/ 44)
Hal ini diperjelas dalam kitab al-Fawakih ad-Dawani karya Syeikh Ahmad bin Ghanim al-Azhari al-Maliki (w. 1126 H):
ووقوع الصلاة والخطبة في الجامع المبني على وجه العادة وأن يكون متحدا وأن يكون متصلا بالبلد أو في حكم المتصل حين بنائه
Shalat jum’at dan khutbahnya harus diadakan di al-Jami’ yang berupa bangunan sebagaimana biasanya, bangunan itu menyatu dan menyambung dengan suatu daerah tempat tinggal.. (Ahmad bin Ghanim al-Azhari al-Maliki w. 1126 H, al-Fawakih ad-Dawani, h. 1/ 260)
Hal yang sama juga disebutkan dalam kitab ad-Dzakhirah karya Imam Syihabuddin al-Qarafi al-Maliky (w. 684 H):
الشرط الرابع المسجد... وقال الباجي لا تقام إلا في الجامع
Syarat keempat adalah (jum’at) harus diadakan di masjid… al-Baji Abu al-Walid (w. 474 H) berkata: Shalat jum’at tak boleh diadakan kecuali di al-Jami’. (Syihabuddin al-Qarafi w. 474 H, ad-Dzakhirah, h. 2/ 335)
Bahkan disebutkan dalam kitab at-Taudhih karya Syeikh Khalil bin Ishaq al-Maliki (w. 776 H):
ولا يصح أن يقول أحد في المسجد أنه ليس من شرائط الصحة، إذ لا اختلاف في أنه لا يصح أن تقام الجمعة في غير مسجد
Tak ada ikhtilaf atau perbedaan para ulama (pent: dalam madzhab Maliki) bahwasanya shalat jum’at itu tidak sah shalat jum’at dilaksanakan di selain masjid. (Khalil bin Ishaq al-Maliki w. 776 H, at-Taudhih fi Syarh Mukhtashar ibn al-Hajib, h. 2/ 54).
Intinya, menurut ulama Malikiyyah, shalat jum’at hanya boleh dilaksanakan di masjid saja. Alasannya adalah karena Nabi dan para shahabatnya dahulu shalat jum’at di masjid.
*Madzhab Hanafiyyah*
Menurut ulama al-Hanafiyyah, shalat jum’at hanya diadakan jika mendapat ijin dari penguasa. Hanya hal ini berbeda dengan mayoritas ulama.
Maka dalam madzhab Hanafiyyah, jika penguasa mengadakan shalat jum’at di Istananya dan mengijinkan orang untuk shalat disana bukan di masjid, hukumnya boleh tetapi makruh.
Disebutkan dalam kitab Bahru ar-Raiq karya Ibnu Nujaim al-Hanafi (w. 970 H):
في المحيط: فإن فتح باب قصره وأذن للناس بالدخول: جاز ، ويكره ; لأنه لم يقض حق المسجد الجامع
Ketika sang pemimpin/ penguasa membuka pintu istananya dan mengijinkan masyarakat untuk masuk (untuk shalat jum’at disitu), maka hukumnya boleh tetapi makruh. Karena si pemimpin itu tidak menunaikan hak masjid Jami’. (Ibnu Nujaim al-Mishri al-Hanafi w. 970 H, Bahru ar-Roiq, h. 2/ 163).
*Madzhab Syafi’iyyah*
Dalam kitab Tharhu at-Tatsrib karya al-Hafidz Abu al-Fadhl Zainuddin al-Iraqi (w. 806 H) disebutkan:
مذهبنا أن إقامة الجمعة لا تختص بالمسجد بل تقام في خطة الأبنية فلو فعلوها في غير مسجد لم يصل الداخل إلى ذلك الموضع في حالة الخطبة إذ ليست له تحية فلا يترك استماع الخطبة لغير سبب وهذا الحديث محمول على الغالب من إقامة الجمعة في المساجد والله أعلم
Madzhab kami (as-Syafi’iyyah) berpendapat bahwa pelaksanaan shalat jum’at tak hanya khusus di masjid. Tetapi boleh dilaksanakan di suatu bangunan. Hanya saja ketika shalat jum’at dilakasanakan tidak di masjid, ketika ada orang masuk dan khatib telah naik keatas mimbar, maka dia tak disunnahkan shalat tahiyyat al-masjid. Karena hadits boleh shalat tahiyyat masjid walaupun khatib sedang berkhutbah itu untuk shalat jum’at di masjid. (Abu al-Fadhl Zainuddin al-Iraqi w. 806 H, Tharhu at-Tatsrib, h. 3/ 190).
Imam Nawawi as-Syafi’I (w. 676 H) menyebutkan:
الثاني: أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمعين
Kedua: (Shalat jum’at) dilaksanakn di suatu bangunan orang-orang yang mempunyai kewajiban shalat jum’at. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Minhaj at-Thalibin, h. 47)
Imam Nawawi as-Syafi’I (w. 676 H) menjelaskan lebih lanjut:
قال أصحابنا ولا يشترط إقامتها في مسجد ولكن تجوز في ساحة مكشوفة بشرط أن تكون داخلة في القرية أو البلدة معدودة من خطتها
Ulama-ulama syafi’iyyah berkata: (shalat jum’at) tidak harus dilaksanakan di masjid, tetapi boleh di pelataran, asalkan masih di tengah-tengah kampung atau suaru wilayah tertentu. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, al-Majmu’, h. 47).
Imam al-Khatib as-Syirbini (w. 977 H) menjelaskan perkataan Imam Nawawi (w. 676 H):
(الثاني) من الشروط (أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمعين) بتشديد الميم: أي المصلين الجمعة، وإن لم تكن في مسجد لأنها لم تقم في عصر النبي - صلى الله عليه وسلم - والخلفاء الراشدين إلا في مواضع الإقامة كما هو معلوم
Syarat kedua dari syaratnya shalat jum’at adalah diadakan di suatu bangunan orang yang mempunyai kewajiban shalat jum’at. Meskipun bangunan itu tidak masjid. (al-Khatib as-Syirbini w. 977 H, Mughni al-Muhtaj, h. 1/ 543).
*Mafzhab Hanbaliyyah*
Disebutkan dalam kitab al-Inshaf karya Alauddin al-Mardawi al-Hanbali (w. 885 H):
(ويجوز إقامتها في الأبنية المتفرقة، إذا شملها اسم واحد وفيما قارب البنيان من الصحراء) . وهو المذهب مطلقا. وعليه أكثر الأصحاب. وقطع به كثير منهم. وقيل: لا يجوز إقامتها إلا في الجامع
(shalat jum’at) boleh dilaksanakan di suatu bangunan yang terpisah-pisah. Asalkan namanya satu tempat. Ini adalah yang dipilih oleh kebanyakan ulama madzhab Hanbali. Meski ada yang mengatakan bahwa shalat jum’at harus di al-Jami’. (Alauddin al-Mardawi al-Hanbali w. 885 H, al-Inshaf, h. 2/ 378)
Bahkan Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H) membolehkan shalat jum’at tidak disebuah bangunan. Berbeda dengan ulama syafi’iyyah yang mensyaratkan harus di suatu bangunan. Ibnu Quddamah al-Maqdisi al-Hanbali (w. 620 H) berkata:
فصل: ولا يشترط لصحة الجمعة إقامتها في البنيان، ويجوز إقامتها فيما قاربه من الصحراء
Shalat jum’at tidak disyaratkan harus dilaksanakan di sautu bangunan, bahkan boleh dilakukan di suatu yang seperti bangunan di padang pasir. (Ibnu Quddamah al-Maqdisi al-Hanbali w. 620 H, al-Mughni, h. 2/ 246)
Alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Quddamah(w. 620 H) adalah suatu ketika seorang sahabat Nabi; Mush’ab bin Umair mengadakan jum’atan dengan para shahabat anshar di suatu tempat yang tak dihuni oleh manusia, atau disebut dengan Naqi’ al-Khadhimat .
Alasan lain adalah shalat jum’at itu seperti shalat ‘Id, dan shalat ‘Id boleh dilaksanakan di selain masjid. Secara teks dalil juga tak ada aturan harus disuatu tempat tertentu. (Ibnu Quddamah al-Maqdisi al-Hanbali w. 620 H, al-Mughni, h. 2/ 246).
Kesiimpulannya, persoalan ini tergolong hal yang diperselisihkan di antara ulama. Sehingga pelaksanaan Jum'at di sebagian tempat misal di lapangan, kantor, sekolahan, mushalla dan sejenisnya sudah benar dan tidak perlu diingkari. Meski bila ditilik dari pertimbangan keutamaan, lebih baik dilaksanakan di masjid, sebagai bentuk usaha untuk keluar dari ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Selasa, 21 April 2020
KAJIAN TENTANG PUASA SEBAGAI PENANGKAL VIRUS CORONA
Perjalanan virus corona tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Hingga Senin (13/4) kasus positif Covid-19 di Indonesia meningkat mencapai 4.557 kasus dengan 399 orang di antaranya meninggal dan 380 pasien berhasil sembuh.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengajak umat Islam untuk memetik hikmah dan menyongsong Ramadan yang lebih positif. Dan pandemi virus corona ini menurut Sekretaris Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh, semestinya tak jadi alasan bagi umat muslim untuk tidak berpuasa.
"Puasa Ramadan adalah benteng paparan Covid-19. Puasa membawa kesehatan,"kata sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (13/4).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dengan lafadz,
اغْزُوا تَغْنَمُوا، وَصُومُوا تَصِحُّوا، وَسَافِرُوا تَسْتَغْنُوا
“Berperanglah niscaya kalian akan mendapatkan harta rampasan, berpuasalah maka kalian akan sehat, dan bersafarlah maka kalian akan kaya.” (HR. At-Thabrani)
Sanad hadits ini: Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shaleh, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian.
Diriwayatkan Al-Uqaili dalam Ad-Dhu’afa al-Kabir, 2:92, At-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath 8:174, dan disebutkan dalam satu kumpulan hadis karya Abu ‘Arubah Al-Harrani no. 45.
Setiap perintah dan larangan Tuhan tidak ada yang sia-sia. Seluruhnya memiliki hikmah dan kemaslahatan. Kemaslahatan ini tidak hanya dirasakan di dunia, tetapi juga dirasakan kelak di akhirat. Demikian pula ibadah puasa, ada banyak hikmah dan manfaat mengerjakannya.
Hikmah puasa itu tidak hanya didapat dari penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi juga dari pengalaman orang yang mengerjakannya. Izzuddin bin Abdis Salam dalam kitab Maqashidus Shaum mengumpulkan banyak riwayat terkait manfaat dan hikmah ibadah puasa. Dari sekian banyak riwayat tersebut, ia menyimpulkan ada delapan manfaat puasa yang perlu kita perhatikan. Ia mengatakan.
للصوم فوائد: رفع الدرجات، وتكفير الخطيئات، وكسر الشهوات، وتكثير الصدقات، وتوفير الطاعات، وشكر عالم الخفيات، والانزجار عن خواطر المعاصي والمخالفات
“Puasa memiliki beberapa faidah: meningkatkan kualitas (iman), menghapus kesalahan, mengendalikan syahwat, memperbanyak sedekah, menyempurnakan ketaatan, meningkatkan rasa syukur, dan mencegah diri dari perbuatan maksiat.”
Bulan Ramadhan merupakan wadah untuk memperbaiki kualitas keimanan dan ketakwaan. Pada bulan ini dibuka pintu ampunan dan kebaikan seluas-luasnya. Dalam hadis, Rasulullah mengatakan, “Bila bulan Ramadhan telah datang, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu,” (HR Bukhari).
Selain ajang peningkatan iman dan takwa, puasa juga dapat menghapus dosa manusia. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,
من صام رمضان ايمانا واحتسابا غفر الله ماتقدم من ذنبه
“Siapa yang puasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka dosanya diampuni,” (HR Bukhari).
Puasa juga dapat difungsikan sebagai latihan mengendalikan syahwat, sebab syahwat sangat mudah dikendalikan dalam kondisi lapar. Pada saat lapar, pikiran manusia hanya tertuju pada makan dan minum. Dalam situasi seperti ini, hasrat untuk melakukan aktivitas lain atau maksiat dapat diminimalisasi.
Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam (qath’i) dalam Kitabullah yang mulia, memberikan anjuran untuk puasa sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan juga menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman Allah,
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta kaum wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu’, dan kaum pria serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yan berpuasa, dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat birahinya), dan kaum pria serta wanita yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. A-Ahzab : 35)
Dan firman Allah,
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan kalau kalian puasa, itu lebih baik bagi kalian kalau kalian mengetahuinya” (QS. Al-Baqarah : 184)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat, perisai dari neraka. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengkhususkan satu pintu surga untuk orang yang puasa. Puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya, menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang agung; dijelaskan secara rinci dalam hadits-hadits shahih berikut ini, dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.
*1. Puasa Adalah Perisai*
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang sudah kuat syahwatnya dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa' bagi syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol, menenangkan seluruh anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek) ditahan hingga bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang dhahir dan kekuatan bathin.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَامَعْشَرَالشَبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba’ah hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa’ (pemutus syahwat) baginya” (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas’ud)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi, dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian -wahai muslim- sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang puasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang dari neraka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ إِلاَّبَاعَدَ اللَّهُ بَذَلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا
“Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim” (HR. Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa’id Al-Khudry, ini adalah lafadz Muslim.
Sabda Rasulullah : “70 musim” yakni : perjalanan 70 tahun, demikian dikatakan dalam Fathul Bari 6/48)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدْ مِنَ النَّارِ
“Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka” (HR. Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dan Utsman bin Abil ‘Ash. Ini adalah hadits yang shahih)
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ جَعَلَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأرْض
“Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi” (HR. Tirmidzi no. 1624 dari hadits Abi Umamah)
Sebagian ahlul ilmi telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah Ta’ala, sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).
*2. Puasa Bisa Memasukkan Hamba Ke Surga*
قَالَ الإِمَامُ البُخَارِيُّ رَحِمَهُ الله تَعَالَى : حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنِي هِلَالٌ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ هَاجَرَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ جَلَسَ فِي أَرْضِهِ الَّتِي وُلِدَ فِيهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَبِّئُ النَّاسَ بِذَلِكَ قَالَ إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِهِ كُلُّ دَرَجَتَيْنِ مَا بَيْنَهُمَا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَسَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
Imam Al Bukhari Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al Mundzir telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Fulaih berkata, telah menceritakan kepadaku Ayahku telah menceritakan kepadaku Hilal dari ‘Atha bin Yasar dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, dan berpuasa pada bulan Ramadlan, maka Allah berkewajiban memasukkannya kedalam surga, baik ia berhijrah di jalan Allah atau duduk di tempat tinggalnya tempat ia dilahirkannya.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak sebaiknyakah kami mengabarkan orang-orang tentang hal ini?” Rasulullah Shallalahu Alaihi Wa Sallam menjawab: “Dalam surga terdapat seratus derajat yang Allah persiapkan bagi para mujahidin di jalan-Nya, yang jarak antara setiap dua tingkatan bagaikan antara langit dan bumi, maka jika kalian meminta Allah, mintalah surga firdaus, sebab firdaus adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi, di atasnya ada singgasana Arrahman, dan daripadanya sungai surga memancar.” (HR. Bukhari No. 6873 dan 2851, Ahmad No. 8067 dan 8119)
Dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu katanya, “Aku berkata (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke surga.? ; beliau menjawab : “Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu” (HR. Nasa’i 4/165, Ibnu Hibban hal. 232 Mawarid, Al-Hakim 1/421, sanadnya Shahih)
*3. Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas*
Rasulullah shallallahu ’alahi wa sallam mengabarkan,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى
“Setiap amalan kebaikan manusia akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat ganjaran, hingga sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman, “Kecuali puasa. Pahala puasa adalah untuk-Ku. Dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Ia telah meninggalkan syahwat dan makannya karena-Ku.” (HR. Muslim)
*4. Orang Puasa Punya Dua Kegembiraan*
Dalam hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman,
للصائم فرحتان، فرحة عند فطره، وفرحة عند لقاء ربه
“Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (muttafaq ‘alaihi)
*5. Bau Mulut Orang Yang Puasa Lebih Wangi dari Baunya Misk*
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
“Semua amalan bani Adam untuknya kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya, puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa'. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesunguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau misk orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan, jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya” (HR. Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini bagi Bukhari)
Di dalam riwayat Bukhari (disebutkan).
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya”
Di dalam riwayat Muslim.
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku” Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan ; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi daripada bau Misk”
*6. Puasa dan Al-Qur’an Akan Memberi Syafa’at Kepada Ahlinya di hari Kiamat*
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat kepada hamba di hari Kiamat, puasa akan berkata : “Wahai Rabbku, aku akan menghalanginya dari makan dan syahwat, maka berilah dia syafa’at karenaku”. Al-Qur’an pun berkata : “Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka berilah dia syafa’at karenaku” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Maka keduanya akan memberi syafa’at” [8]
*7. Puasa Sebagai Kafarat*
Diantara keistimewaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah ; Allah menjadikannya sebagai kafarat bagi orang yang memotong rambut kepalanya (ketika haji) karena ada udzur sakit atau penyakit di kepalanya, kaparat bagi yang tidak mampu memberi kurban, kafarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena membatalkan sumpah, atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kafarat zhihar.
Dalam kondisi lapar juga, manusia biasanya ingat dan sadar begitu berharganya nikmat Tuhan, walaupun sekilas terlihat sedikit. Melalui ibadah puasa, manusia bisa merasakan kelaparan dan rasa haus yang dirasakan oleh orang-orang miskin. Sehingga dengan perasaan tersebut mereka terdorong untuk memperbanyak sedekah.
Semoga kita dapat merasakan dan mewujudkan beberapa hikmah puasa yang disebutkan di atas, supaya puasa yang kita lakukan tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar, tetapi juga bisa meraih hikmah dan merasakan tujuan puasa itu sendiri. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Senin, 20 April 2020
KAJIAN TENTANG KORBAN COVID 19 APAKAH TERMASUK MATI SYAHID?
Di tengah pandemi Covid-19 alias wabah Virus Corona, banyak orang meninggal dunia. Selain itu, juga ada yang meninggal dunia disebabkan penyakit lain, yang sebelumnya sudah diderita. Di tengah masalah tersebut, kini banyak orang membincangkan kematian orang yang disebabkan wabah Corona.
Syahid secara bahasa merupakan turunan dari kata sya-hi-da [arab: شهد] yang artinya bersaksi atau hadir. Saksi kejadian, artinya hadir dan ada di tempat kejadian.
Istilah ini umumnya digunakan untuk menyebut orang yang meninggal di medan jihad dalam rangka menegakkan kalimat Allah.
Diantara maksud syahid (orang yang mati syahid) sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Ambari,
لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى وَمَلَائِكَته عَلَيْهِمْ السَّلَام يَشْهَدُونَ لَهُ بِالْجَنَّةِ . فَمَعْنَى شَهِيد مَشْهُود لَهُ
“Karena Allah Ta’ala dan malaikatnya ‘alaihimus salam menyaksikan orang tersebut dengan surga. Makna syahid di sini adalah disaksikan untuknya.” (Syarh Shahih Muslim, 2:142, juga disebutkan dalam Fath Al-Bari, 6:42).
Ibnu Hajar menyebutkan pendapat lain, yang dimaksud dengan syahid adalah malaikat menyaksikan bahwa mereka mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir hidup yang baik). (Lihat Fath Al-Bari, 6:43)
Ulama berbeda pendapat tentang alasan mengapa mereka disebut syahid. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan sekitar 14 pendapat ulama tentang makna syahid. Berikut diantaranya,
1. Karena orang yang mati syahid hakekatnya masih hidup, seolah ruhnya menyaksikan, artinya hadir. Ini merupakan pendapat An-Nadhr bin Syumail.
2. Karena Allah dan para malaikatnya bersaksi bahwa dia ahli surga. Ini merupakan pendapat Ibnul Anbari.
3. Karena ketika ruhnya keluar, dia menyaksikan bahwa dirinya akan mendapatkan pahala yang dijanjikan.
4. Karena disaksikan bahwa dirinya mendapat jaminan keamanan dari neraka.
5. Karena ketika meninggal tidak ada yang menyaksikannya kecuali malaikat penebar rahmat.
Dan masih beberapa pendapat lainnya yang dirinci oleh ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari syarh Shahih Bukhari (6/42 – 43).
*Hukum Khusus untuk Jenazah Mati Syahid*
Ada 4 kewajiban kaum muslimin terhadap jenazah muslim yang lain: dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikubur.
Khusus untuk jenazah muslim yang mati syahid, ada 2 hukum khusus:
*1. Tidak boleh dimandikan*
Jenazah ini dibiarkan sebagaimana kondisi dia meninggal, sehingga dia dimakamkan bersama darahnya yang keluar.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda terkait jenazaj korban perang Uhud,
لَا تُغَسِّلُوهُمْ، فَإِنَّ كُلَّ جُرْحٍ – أَوْ كُلَّ دَمٍ – يَفُوحُ مِسْكًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jangan kalian mandikan mereka, karena setiap luka atau darah, akan mengelluarkan bau harum minyak misk pada hari kiamat.” (HR. Ahmad 14189).
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika perang Uhud,
ادْفِنُوهُمْ فِي دِمَائِهِمْ
“Kuburkan mereka bersama darah mereka.” Jabir mengatakan: “Mereka tidak dimandikan.” (HR. Bukhari 1346)
*2. Boleh tidak dishalatkan*
Artinya, jenazah korban perang fi sabilillah tidak wajib dishalatkan, dan boleh juga dishalatkan.
Jenazah yang meninggal di perang Uhud, dimakamkan tanpa dishalatkan. Jabir mengatakan,
وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا، وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar memakamkan mereka bersama dengan darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. (HR. Bukhari 1343)
Sementara dalil bahwa mereka boleh dishalatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan jenazah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman beliau yang meninggal ketika perang Uhud. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
أنّ شهداء أُحد لم يغسّلوا، ودفنوا بدمائهم، ولم يُصَلَّ عليهم؛ غير حمزة
“Para syuhada perang Uhud tidak dimandikan, mereka dikuburkan bersama darahnya, tidak dishalatkan, selain Hamzah.” (Shahih Sunan Abu Daud no. 2688).
*Bukan Syahid tapi Mendapat Pahala Syahid*
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa orang yang mati di selain medan jihad, namun beliau menggelarinya sebagai syahid.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Siapakah syahid menurut kalian?”
‘Orang yang mati di jalan Allah, itulah syahid.’ Jawab para sahabat serempak.
“Berarti orang yang mati syahid di kalangan umatku hanya sedikit.” Lanjut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‘Lalu siapa saja mereka, wahai Rasulullah?’ tanya sahabat.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan daftar orang yang bergelar syahid,
مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَالْغَرِيقُ شَهِيدٌ
“Siapa yang terbunuh di jalan Allah, dia syahid. Siapa yang mati (tanpa dibunuh) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid. Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid.” (HR. Muslim 1915).
Dalam hadits lain, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“Siapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid.” (HR. Bukhari 2480).
Dari Jabir bin Atik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ
“Selain yang terbunuh di jalan Allah, mati syahid ada tujuh: mati karena tha’un syahid, mati karena tenggelam syahid, mati karena sakit tulang rusuk syahid, mati karena sakit perut syahid, mati karena terbakar syahid, mati karena tertimpa benda keras syahid, wanita yang mati karena melahirkan syahid.” (HR. Abu Daud 3111).
Mereka digelari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syahid, namun jenazahnya disikapi sebagaimana jenazah kaum muslimin pada umumnya. Artinya tetap wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan. Para ulama mengistilahkan dengan syahid akhirat. Di akhirat dia mendapat pahala syahid, namun di dunia dia ditangani sebagaimana umumnya jenazah.
Ketika mejelaskan hadits daftar orang yang mati syahid selain di medan jihad, Al-Hafidz Al-Aini mengatakan,
فهم شُهَدَاء حكما لَا حَقِيقَة، وَهَذَا فضل من الله تَعَالَى لهَذِهِ الْأمة بِأَن جعل مَا جرى عَلَيْهِم تمحيصاً لذنوبهم وَزِيَادَة فِي أجرهم بَلغهُمْ بهَا دَرَجَات الشُّهَدَاء الْحَقِيقِيَّة ومراتبهم، فَلهَذَا يغسلون وَيعْمل بهم مَا يعْمل بِسَائِر أموات الْمُسلمين
“Mereka mendapat gelar syahid secara status, bukan hakiki. Dan ini karunia Allah untuk umat ini, dimana Dia menjadikan musibah yang mereka alami (ketika mati) sebagai pembersih atas dosa-dosa mereka, dan ditambah dengan pahala yang besar, sehingga mengantarkan mereka mencapai derajat dan tingkatan para syuhada hakiki. Karena itu, mereka tetap dimandikan, dan ditangani sebagaimana umumnya jenazah kaum muslimin.” (Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 14/128).
*Macam-Macam Syahid*
Dari berbagai hadits yang menyebutkan tentang mati syahid, Al-Hafidz Al-Aini membagi syahid menjadi tiga macam. Beliau mengatakan dalam lanjutan penkelsannya,
وَفِي (التَّوْضِيح) : الشُّهَدَاء ثَلَاثَة أَقسَام: شَهِيد فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَة، وَهُوَ الْمَقْتُول فِي حَرْب الْكفَّار بِسَبَب من الْأَسْبَاب، وشهيد فِي الْآخِرَة دون أَحْكَام الدُّنْيَا، وهم من ذكرُوا آنِفا. وشهيد فِي الدُّنْيَا دون الْآخِرَة، وَهُوَ من غل فِي الْغَنِيمَة وَمن قتل مُدبرا أَو مَا فِي مَعْنَاهُ.
Dalam kitab ‘At-Taudhih’ disebutkan: Orang yang mati syahid ada 3:
1. Syahid dunia dan akhirat, merekalah orang yang terbunuh karena sebab apapun di medan perang melawan orang kafir.
2. Syahid akhirat, namun hukum di dunia tidak syahid. Mereka adalah orang yang disebut syahid, namun mati di selain medan perang.
3. Syahid dunia, dan bukan akhirat. Dialah orang yang mati di medan jihad, sementara dia ghulul (mencuri ghanimah), atau terbunuh ketika lari dari medan perang, atau sebab lainnya. (Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 14/128).
Untuk orang yang berstatus syahid dunia, namun bukan akhirat, karena ketika dia mati, kaum muslimin menyikapinya sebagaimana orang yang mati di medan perang, jasadnya tidak dimandikan. Namun mengingat orang ini melakukan pelanggaran ketika jihad, dia tidak mendapatkan pahala mati syahid di akhirat.
Macam-macam orang mati syahid ada tiga.
*Pertama, Syahid Dunia Akhirat*
Yaitu orang yang meninggal dalam perang di jalan Allah yang niatnya Karena menggapai ridla Allah. Orang ini tidak boleh dimandikan Dan dishalati. Tapi wajib dikafani Dan dikubur.
*Kedua, Syahid Dunia*
Yaitu orang yang meninggal dalam peperangan di jalan Allah, tapi tujuannya adalah mencari dunia (ghanimah-rampasan perang), bukan menggapai ridla Allah. Orang ini tidak boleh dimandikan Dan dishalati. Tapi wajib dikafani Dan dikubur.
*Ketiga, Syahid Akhirat*
Yaitu orang yang meninggal dalam banyak kondisi antara lain:
1. Perempuan yang meninggal dalam proses melahirkan anak, meskipun dari perbuatan zina.
2. Orang yang meninggal dalam keadaan tenggelam.
3. Orang yang meninggal dalam keadaan tertimbun tanah.
4. Orang yang meninggal dalam keadaan terbakar.
5. Orang yang meninggal dalam keadaan terisolasi-terasing.
6. Orang yang meninggal dalam posisi teraniaya.
7. Orang yang meninggal dalam posisi sakit perut (perut besar karena dizalimi orang).
8. Orang yang meninggal saat ada tha'un (wabah) yang dihadapi dengan sabar Dan mengharap ridla Allah.
9. Orang yang wafat dalam keadaan menuntut ilmu.
10. Orang yang meninggal dalam kondisi memendam rasa rindu dengan tetap menjaga diri, baik penglihatan atau yang lain dari hal-hal yang dilarang agama.
Orang-orang yang masuk syahid akhirat ini wajib dimandikan (atau gantinya Mandi, yaitu tayammum jika tidak mungkin karena alasan kesehatan), dikafani, dishalati, Dan dikubur. (Kitab Hasyiyah I'anatut Thalibin, Juz 2, h. 108).
*Apakah mati karena virus corona tergolong mati syahid?*
Pertama kali akan dikaji lebih dahulu, apakah virus corona masuk kategori ath-tha’un (wabah yang mematikan) ataukah tidak? Baru nanti akan dibahas apakah dapat dikatakan mati syahid jika ada yang mati karena corona? Lalu syarat disebut syahid apakah sama dengan syahid di medan perang?
Para ulama berbeda pendapat tentang pengeritan ath-tha’un dan al-waba’. Ada yang menganggap keduanya itu sama dan ada yang membedakan keduanya.
Menurut pakar bahasa arab dan pakar kesehatan, al-waba’ (wabah) adalah penyakit yang menular pada suatu wilayah, bisa penyebarannya cepat dan meluas. Sedangkan ath-tha’un adalah wabah yang menyebar lebih luas dan menimbulkan kematian. Inilah pengertian ath-tha’un menurut pakar bahasa dan ulama fikih.
Para ulama menganggap bahwa virus corona masuk dalam kategori ath-tha’un. Ulama saat ini yang berpendapat demikian adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (mufti ‘aam kerajaan Saudi Arabia), Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr (ulama besar di kota Madinah), juga Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily (ulama besar di kota Madinah).
Apalagi kalau kita melihat pandangan WHO bahwa virus corona sudah masuk pandemik, lebih jelas lagi kita menyebutnya sebagai ath-tha’un.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa syahid itu ada tiga macam:
1. Syahid yang mati ketika berperang melawan kafir harbi (yang berhak untuk diperangi). Orang ini dihukumi syahid di dunia dan mendapat pahala di akhirat. Syahid seperti ini tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.
2. Syahid dalam hal pahala namun tidak disikapi dengan hukum syahid di dunia. Contoh syahid jenis ini ialah mati karena melahirkan, mati karena wabah penyakit, mati karena reruntuhan, dan mati karena membela hartanya dari rampasan, begitu pula penyebutan syahid lainnya yang disebutkan dalam hadits shahih. Mereka tetap dimandikan, dishalatkan, namun di akhirat mendapatkan pahala syahid. Namun pahalanya tidak harus seperti syahid jenis pertama.
3. Orang yang khianat dalam harta ghanimah (harta rampasan perang), dalam dalil pun menafikan syahid pada dirinya ketika berperang melawan orang kafir. Namun hukumnya di dunia tetap dihukumi sebagai syahid, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Sedangkan di akhirat, ia tidak mendapatkan pahala syahid yang sempurna. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim, 2: 142-143).
Dari pembagian Imam Nawawi rahimahullah di atas, jika ada yang mati karena virus corona, makai a masuk dalam golongan syahid yang kedua.
*Syarat syahid adalah bersabar dan berharap pahala dari Allah*
Dari Yahya bin Ya’mar, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ath-tha’un (wabah yang menyebar dan mematikan), maka beliau menjawab,
كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ ، مَا مِنْ عَبْدٍ يَكُونُ فِى بَلَدٍ يَكُونُ فِيهِ ، وَيَمْكُثُ فِيهِ ، لاَ يَخْرُجُ مِنَ الْبَلَدِ ، صَابِرًا مُحْتَسِبًا ، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ
“Itu adalah adzab yang Allah turunkan pada siapa saja yang Allah kehendaki. Namun Allah menjadikannya sebagai rahmat kepada orang beriman. Tidaklah seorang hamba ada di suatu negeri yang terjangkit wabah di dalamnya, lantas ia tetap di dalamnya, ia tidak keluar dari negeri tersebut lalu bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, ia tahu bahwa tidaklah wabah itu terkena melainkan dengan takdir Allah, maka ia akan mendapatkan pahala syahid.” (HR. Bukhari, no. 6619)
Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud sebagai adzab adalah untuk orang kafir dan ahli maksiat. Sedangkan wabah itu jadi rahmat untuk orang beriman. Lihat Fath Al-Bari, 10:192. Wallahu a'lam
Demikianlah Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Minggu, 19 April 2020
MENYAMBUT RAMADHAN 1441 H DENGAN SALING MEMAAFKAN
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam Al-Mustadrak (8718) dan beliau menyatakan shahih al-Isnad dijelaskan,
8718- حَدَّثَنَا أَبُو مَنْصُورٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْقَاسِمِ الْعَتَكِيُّ ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ أَنَسٍ الْقُرَشِيُّ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ بَكْرٍ السَّهْمِيُّ ، أَنْبَأَ عَبَّادُ بْنُ شَيْبَةَ الْحَبَطِيُّ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَنَسٍ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : بَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ إِذْ رَأَيْنَاهُ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ ثَنَايَاهُ ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي ؟ قَالَ : رَجُلاَنِ مِنْ أُمَّتِي جَثَيَا بَيْنَ يَدَيْ رَبِّ الْعِزَّةِ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا : يَا رَبِّ خُذْ لِي مَظْلِمَتِي مِنْ أَخِي ، فَقَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلطَّالِبِ : فَكَيْفَ تَصْنَعُ بِأَخِيكِ وَلَمْ يَبْقَ مِنْ حَسَنَاتِهِ شَيْءٌ ؟ قَالَ : يَا رَبِّ فَلْيَحْمِلْ مِنْ أَوْزَارِي قَالَ : وَفَاضَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبُكَاءِ ، ثُمَّ قَالَ : إِنَّ ذَاكَ الْيَوْمَ عَظِيمٌ يَحْتَاجُ النَّاسُ أَنْ يُحْمَلَ عَنْهُمْ مِنْ أَوْزَارِهِمْ ، فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِلطَّالِبِ : ارْفَعْ بَصَرَكَ فَانْظُرْ فِي الْجِنَّانِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ ، فَقَالَ : يَا رَبِّ أَرَى مَدَائِنَ مِنْ ذَهَبٍ وَقُصُورًا مِنْ ذَهَبً مُكَلَّلَةً بِالُّلؤْلُؤِ لِأَيِّ نَبِيٍّ هَذَا أَوْ لِأَيِّ صِدِّيقٍ هَذَا أَوْ لِأَيِّ شَهِيدٍ هَذَا ؟ قَالَ : هَذَا لِمَنْ أَعْطَى الثَّمَنَ ، قَالَ : يَا رَبِّ وَمَنْ يَمْلِكُ ذَلِكَ ؟ قَالَ : أَنْتَ تَمْلِكُهُ ، قَالَ : بِمَاذَا ؟ قَالَ : بِعَفْوِكَ عَنْ أَخِيكَ ، قَالَ : يَا رَبِّ فَإِنِّي قَدْ عَفَوْتُ عَنْهُ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : فَخُذْ بِيَدِ أَخِيكَ فَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ : اتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُصْلِحُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ.
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ.
Dari Anas bin Malik ra berkata bahwa pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berkumpul dengan para sahabatnya.
Di tengah perbincangan dengan para sahabatnya, tiba-tiba Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa ringan sampai-sampai terlihat gigi beliau yang putih dan rapih. Sahabat
Umar ra. yang berada di di situ, bertanya, "Demi engkau, ayah dan ibuku sebagai tebusannya, apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Aku diberitahu bahwa pada hari kiamat nanti, ada dua orang yang duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala mereka di hadapan Allah. Salah satunya mengadu kepada Allah sambil berkata, ‘Ya Rabb, ambilkan kebaikan dari orang ini untukku karena dulu ia pernah berbuat zalim kepadaku’.
Allah Subhanahu wa Ta'qla berfirman, "Bagaimana mungkin saudaramu ini bisa melakukan itu, karena tidak ada kebaikan di dalam dirinya?"
Orang itu berkata, "Ya Rabb, kalau begitu, biarlah dosa-dosaku dipikul olehnya."
Sampai di sini, mata Rasulullah SAW berkaca-kaca. Beliau Rasulullah SAW tidak mampu menahan tetesan airmatanya. Beliau menangis...
Lalu, beliau Rasulullah berkata,
"Hari itu adalah hari yang begitu mencekam, di mana setiap manusia ingin agar ada orang lain yang memikul dosa-dosa nya."
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan kisahnya.
Lalu Allah berfirman kepada orang yang mengadu tadi,
"Angkat kepalamu..!"
Orang itu mengangkat kepalanya, lalu ia berkata, "Ya Rabb, aku melihat di depanku ada istana2 sangat megah yang terbuat dari emas, dan di dalamnya terdapat singgasana yang terbuat dari emas dan perak bertatahkan berlian, intan dan permata. Istana-istana itu untuk Nabi yang mana, ya Rabb? Untuk orang jujur yang mana, ya Rabb?, Untuk syuhada yang mana, ya Rabb?’
Allah berfirman, "Istana-istana itu diberikan kepada orang yang mampu membayar harganya."
Orang itu berkata, "Siapakah yang bakal mampu membayar harganya, ya Rabb?"
Allah berfirman, "Engkau juga mampu membayar harganya.
Orang itu terheran-heran, sambil berkata, "Dengan cara apa aku membayarnya, ya Rabb?"
Allah berfirman, "Caranya, engkau maafkan saudaramu yang duduk di sebelahmu, yang kau adukan kezalimannya kepada-Ku."
Orang itu berkata, "Ya Rabb, kini aku memaafkannya."_
Allah berfirman, "Kalau begitu, pegang tangan saudaramu itu, dan ajak ia masuk surga bersamamu."
Setelah menceritakan kisah itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya kalian saling berdamai, sesungguhnya Allah mendamaikan persoalan yang terjadi di antara kaum muslimin." (Kisah di atas terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim, dengan sanad yang shahih.)
===============>>>
Pekerjaan hati yg nilainya tinggi di hadapan Allah adalah minta maaf, memberi maaf, dan saling memaafkan.
Semoga lelah hati kita selama ini menjadi manfaat dihari perhitungan nanti....
Saudaraku yg terhormat dan yg tercinta....
Mari kita saling maaf memaafkan, tanpa harus menunggu Ramadhan atau Idul Fitri...
*MARHABAN YA RAMADHAN 1441 H MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN*
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Sabtu, 18 April 2020
NASEHAT INDAH IMAM AL-HASAN AL-BASRI
أيها الناس، إني أعظكم ولستُ بخيركم ولا أصلحكم، وإني لكثير الإسراف على نفسي، غير محكم لها، ولا حاملها على الواجب في طاعة ربها،
Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati kalian, bukan berarti aku orang yang terbaik diantara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya.
ولو كان المؤمن لا يعظ أخاه إلا بعد إحكام أمر نفسه، لعُدم الواعظون، وقلَّ المذكرون، ولما وجد من يدعو إلى الله - عز وجل - ويرغب في طاعته، وينهى عن معصيته،
Andaikata seorang mukmin tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk mentaati-Nya, tidak pula melarang dari bermaksiat kepada-Nya.
ولكن في اجتماع أهل البصائر، ومذاكرة المؤمنين بعضهم بعضًا حياة لقلوب المتقين، وادِّكار من الغفلة، وأمان من النسيان، فالزموا - عافاكم الله - مجالس الذكر؛ فرب كلمة مسموعة، ومحتقر نافع؛ ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ﴾ [آل عمران: 102]
Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati-hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta rasa aman dari lupa dan kekhilafan. Maka terus meneruslah -semoga Allah mengampuni kalian- engkau berada pada majelis-majelis dzikir (majelis ilmu), bisa jadi satu kata yang terdengar merendahkan diri kita sangat bermanfaat bagi kita. "Bertaqwalah kalian semua kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” QS. Ali Imran : 102 *(Mawai’zh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal.185)*