Rabu, 29 Januari 2020
KAJIAN TENTANG KEKELIRUAN PEMBAGIAN TAUHID MENJADI TIGA)
Tauhid (bahasa Arab: توحيد). Menurut bahasa, tauhid berasal dari kata وحد – يوحد – توحيدا , yaitu bentuk masdar dari fi'il wahhada, yuwahhidu yang artinya menjadikan sesuatu jadi satu saja. Dalam konsep Islam tauhid adalah konsep dalam akidah Islam yang menyatakan keesaan Allah. Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).
Tulisan ini saya tulis berdasarkan pada karya Dr. Abdullah Umar Kamil yang berjudul “Bayanul Khatha’ fi Taqsim al-Tsalatsi li al-Tauhid”
(Penjelasan Kekeliruan Pembagian Tauhid menjadi Tiga).
Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya memunculkan dan mengembangkan teori ini berdasar pada penafsiran secara sepotong dari Surat Luqman ayat 25, Al-Mu’minun 86-87, dan surat Yusuf ayat 106. Berikut cuplikan ayat-ayat tersebut :
و لئن سألتهم من خلق السماوات و الأرض ليقولنّ الله
“Jika kamu (Muhammad) menanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik) “Siapa yang menciptakan langit dan bumi?” pastilah mereka akan menjawab “Allah”.” (QS: Luqman: 25)
قل من رب السماوات السبع و رب العرش العظيم () سيقولون لله
“Katakan lah “Siapa Tuhan langit yang tujuh dan Tuhan Arsy yang agung?” Mereka akan menjawab “(Itu semua) milik Allah”.” (QS: Al-Mu’minun: 86-87)
و ما يؤمن أكثرهم بالله إلّا و هم مشركون
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam Keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS: Yusuf: 106)
Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya menjadikan ketiga ayat ini sebagai landasan pemikiran mereka dalam menyerang kelompok di luar kelompok mereka, utamanya adalah pengikut madzhab Abu Hassan Al-‘Asy’ari secara khusus dan Ahlussunnah Wal Jama’ah secara umum. Ayat ini oleh Ibnu Taymiyyah ditafsirkan sebagai isyarat tentang tauhid rububiyyah yang mana juga diyakini oleh orang-orang musyrik. Dengan kata lain orang musyrik juga bertauhid tapi tauhid rububiyyah. Sangat rancu sekali bukan?
Pada abad ketujuh hijriah, Ibnu Taimiyah membuat sebuah konsep tauhid yang mempunyai beberapa konsekuensi sangat berat. Konsep yang ia karang dikenal dengan pembagian tauhid menjadi tiga macam, yakni rububiyah, uluhiyah dan al-asmâ’ was-shifât. Sebelum era Ibnu Taimiyah, ketiga istilah ini sudah dikenal dan beredar luas, tetapi hanya sebagai istilah lepas yang mandiri, bukan sebagai istilah yang terintegrasi dalam sebuah konsep berjenjang tentang tauhid yang mempunyai beberapa agenda serius sebagaimana disebutkan nanti.
Dalam perspektif Ibnu Taimiyah yang juga diamini sepenuhnya oleh para pengikutnya, Tauhid rububiyah sebagai jenjang pertama tauhid adalah keyakinan bahwa pencipta dan pengatur alam semesta hanyalah Allah saja. Dalam hal ini, diklaim bahwa seluruh golongan manusia sudah bertauhid. Ibnu Abdil Izz, salah satu pendukung fanatik Ibnu Taimiyah menjelaskan,
وَأَمَّا الثَّانِي: وَهُوَ تَوْحِيدُ الرُّبُوبِيَّةِ، كَالْإِقْرَارِ بِأَنَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ، وَأَنَّهُ لَيْسَ لِلْعَالَمِ صَانِعَانِ مُتَكَافِئَانِ فِي الصِّفَاتِ وَالْأَفْعَالِ، وَهَذَا التَّوْحِيدُ حَقٌّ لَا رَيْبَ فِيهِ، وَهُوَ الْغَايَةُ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ النَّظَرِ وَالْكَلَامِ وَطَائِفَةٍ مِنَ الصُّوفِيَّةِ، وَهَذَا التَّوْحِيدُ لَمْ يَذْهَبْ إِلَى نَقِيضِهِ طَائِفَةٌ مَعْرُوفَةٌ مِنْ بَنِي آدَمَ، بَلِ الْقُلُوبُ مَفْطُورَةٌ عَلَى الْإِقْرَارِ بِهِ أَعْظَمَ مِنْ كَوْنِهَا مَفْطُورَةً عَلَى الْإِقْرَارِ بِغَيْرِهِ مِنَ الْمَوْجُودَاتِ
“Yang kedua adalah tauhid rububiyah, seperti pengakuan bahwasanya Allah adalah pencipta segala sesuatu dan bahwasanya alam semesta tidak mempunyai dua pencipta yang setara dalam sifat dan perbuatannya. Tauhid ini adalah benar tanpa diragukan lagi. Ia adalah puncak menurut banyak pemikir dan ahli kalam serta segolongan Sufi. Tauhid jenis ini tidak ditentang oleh kelompok Bani Adam mana pun yang dikenal, tetapi sudah ada fitrah dalam hati untuk mengakuinya lebih besar dari fitrah untuk mengakui seluruh eksistensi lain.” (Ibnu Abdil Izz, Syarh at-Thahawiyah, 79)
Lebih lanjut, Ibnu Abdil Izz mengklaim bahwa seluruh kaum musyrik non-Muslim tak ada yang meyakini Tuhan mereka sebagai sekutu Allah dalam menciptakan alam semesta. Dia berkata,
وَلَمْ يَكُونُوا يَعْتَقِدُونَ فِي الْأَصْنَامِ أَنَّهَا مُشَارِكَةٌ لِلَّهِ فِي خَلْقِ الْعَالَمِ، بَلْ كَانَ حَالُهُمْ فِيهَا كَحَالِ أَمْثَالِهِمْ مِنْ مُشْرِكِي الْأُمَمِ مِنَ الْهِنْدِ وَالتُّرْكِ وَالْبَرْبَرِ وَغَيْرِهِمْ
“Mereka (kaum musyrik jahiliyah) tidak meyakini bahwa berhala-berhala mereka adalah sekutu Allah dalam penciptaan Alam semesta, tetapi keyakinan mereka sama seperti keyakinan kaum musyrik lain dari berbagai umat, dari India, Turki, Barbar dan selainnya.” (Ibnu Abdil Izz, Syarh at-Thahawiyah, 81)
Sedangkan tauhid uluhiyah, sebagai jenjang kedua, menurut mereka adalah ajaran untuk menyembah Allah semata, berdoa kepada Allah semata, mencintai Allah semata dan seterusnya. Tauhid jenis ini yang dianggap sebagai misi utama Rasulullah, bukan tauhid rububiyah yang memang sudah diakui. Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَإِنَّمَا التَّوْحِيدُ الَّذِي أَمَرَ اللَّهُ بِهِ الْعِبَادَ هُوَ تَوْحِيدُ الْأُلُوهِيَّةِ، الْمُتَضَمِّنُ لِتَوْحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ، بِأَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُونَ بِهِ شَيْئًا، فَيَكُونُ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ، وَلَا يُخَافُ إِلَّا اللَّهُ، وَلَا يُدْعَى إِلَّا اللَّهُ، وَيَكُونُ اللَّهُ أَحَبَّ إِلَى الْعَبْدِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، فَيُحِبُّونَ لِلَّهِ، وَيُبْغِضُونَ لِلَّهِ، وَيَعْبُدُونَ اللَّهَ وَيَتَوَكَّلُونَ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya tauhid yang diperintahkan oleh Allah kepada para hamba-Nya hanyalah Tauhid Uluhiyah yang sudah mencakup tauhid rububiyah, dengan cara menyembah Allah tanpa menyekutukannya dengan sesuatu pun sehingga agama seluruhnya menjadi milik Allah, tak ditakuti selain Allah, tak diseru kecuali Allah, Allah menjadi yang paling dicintai dari apa pun sehingga cinta dan marah karena Allah, dan menyembah Allah dan pasrah terhadap Allah.” (Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah, juz III, halaman 289-290)
Sedangkan tauhid al-asma’ was-shifat mereka definisikan sebagai,
توحيد الأسماء والصفات: وهو الإيمان بكل ما ورد في القرآن الكريم والأحاديث النبوية الصحيحة من أسماء الله وصفاته التي وصف بها نفسه أو وَصفه بها رسوله على الحقيقة.
“Tauhid al-Asma’ was-Shifat, yakni beriman pada semua yang ada dalam al-Qur’an yang mulia dan hadits-hadits nabi yang sahih yang terdiri dari nama-nama Allah dan sifat-sifatnya yang disifati sendiri oleh Allah dan Rasul secara hakikat.” (Syahatah Muhammad Saqar, Kasyf Syubahât as-Shûfiyah, halaman 27).
Sepintas, tak ada yang bermasalah dari klasifikasi ini. Inti dari kesemuanya adalah ajakan untuk menyembah Allah saja tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun dan ajakan untuk mengimani seluruh nama dan sifat Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Namun, kalau hanya ajakan seperti ini tentu bukan hal baru sebab seluruh kaum muslimin akan mengakuinya sebagai kebenaran. Yang menjadi objek sesungguhnya dari pembagian tauhid ini tak sesederhana itu, tetapi ada agenda tersembunyi di balik klasifikasi ini, yaitu :
1. Mengklaim bahwa mayoritas manusia, bahkan seluruhnya, sudah mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengurus alam semesta (rabb).
2. Menuduh bahwa mayoritas ulama ahli kalam dan tasawuf—bahkan mayoritas kaum Muslimin—masih belum bertauhid dalam arti mereka masih belum menyerukan untuk menyembah Allah saja. Mereka dituduh masih dalam level yang sama dengan kaum musyrik di seluruh dunia sebab mengabaikan apa yang mereka sebut sebagai “tauhid uluhiyah” yang menjadi misi para Rasul.
3. Mempropagandakan bahwa lawan-lawan Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya belumlah mengimani seluruh nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits shahih.
Simak pernyataan Ibnu Taimiyah berikut ini yang menyebutkan para filsuf islam dan ahli kalam, di antaranya yang ia sebutkan adalah Imam al-Ghazali, Imam Fakhruddin ar-Razi, dan Imam al-Amidi, mengeluarkan ajakan untuk menyembah Allah semata—yang ia istilahkan sebagai tauhid uluhiyah—dari ranah tauhid. Ia juga menuduh bahwa para tokoh tersebut hanya tahu tauhid rububiyah saja dan mengabaikan hakikat nama-nama dan sifat Allah. Berikut pernyataanya,
وَهَذِهِ الطَّرِيقَةُ هِيَ الْمَعْرُوفَةُ لَهُ وَلِمَنِ اتَّبَعَهُ كَالسُّهْرَوَرْدِيِّ الْمَقْتُولِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْفَلَاسِفَةِ، وَأَبِي حَامِدٍ وَالرَّازِيِّ وَالْآمِدِيِّ وَغَيْرِهِمْ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَهْلِ الْكَلَامِ، الَّذِينَ خَلَطُوا الْفَلْسَفَةَ بِالْكَلَامِ....هَذَا مَعَ أَنَّ فِي الْمُتَكَلِّمِينَ مِنْ أَهْلِ الْمِلَلِ مِنَ الِاضْطِرَابِ وَالشَّكِّ فِي أَشْيَاءَ، وَالْخُرُوجِ عَنِ الْحَقِّ فِي مَوَاضِعَ، وَاتِّبَاعِ الْأَهْوَاءِ فِي مَوَاضِعَ، ... وَأَخْرَجُوا مِنَ التَّوْحِيدِ مَا هُوَ مِنْهُ كَتَوْحِيدِ الْإِلَهِيَّةِ، وَإِثْبَاتِ حَقَائِقِ أَسْمَاءِ اللَّهِ وَصِفَاتِهِ، وَلَمْ يَعْرِفُوا مِنَ التَّوْحِيدِ إِلَّا تَوْحِيدَ الرُّبُوبِيَّةِ، وَهُوَ الْإِقْرَارُ بِأَنَّ اللَّهَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَرَبُّهُ
“Metode ini yang diketahui oleh Ibnu Sina dan orang-orang yang mengikutinya seperti Suhrawardi dan filsuf lain sepertinya, Abu Hamid al-Ghazali, ar-Razi, al-Amidi dan lain-lain dari ahli kalam muta’akhirin yang mencampur aduk filsafat dan kalam. Hal ini terjadi meskipun sesungguhnya para ahli kalam dari berbagai aliran punya kerancuan dan keraguan dalam berbagai hal dan keluar dari kebenaran dalam berbagai tema, .... dan mereka masuk dalam sebagian kebathilan yang dibuat-buat, dan mereka mengeluarkan bagian tauhid yang sebenarnya menjadi bagiannya, seperti tauhid uluhiyah serta penetapan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan mereka tak kenal dari tauhid kecuali tauhid rububiyah saja, yakni pengakuan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu dan pemeliharanya.” (Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah, juz III, halaman 288-289)
Jadi, klasifikasi pembagian tauhid tak hanya berisi ajakan untuk menyembah Allah tanpa menyekutukannya dengan apa pun sebagaimana disangka beberapa orang, tapi ada agenda melempar klaim dan tuduhan pada orang-orang yang dianggap berlawanan dengan Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Tuduhan dan klaim ini kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri sekte Wahabiyah, beberapa abad setelah Ibnu Taimiyah wafat. Adapun para ulama sebelum Ibnu Taimiyah, mereka hanya menyebutkan istilah uluhiyah dan rububiyah dalam konteks ketuhanan secara umum tanpa menjadikan mereka sampai pada tuduhan dan klaim sebagaimana di atas.
Konsep pembagian tauhid menjadi tiga tersebut akan batal pula apabila kita mengkaitkannya dengan hadits-hadits nabi saw. Misalnya hadits shohih berikut ini:
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ { يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ } قَالَ نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّيَ اللَّهُ وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Al-Barra’ Bin Azib, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu” (QS. Ibrahim: 27). Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “ayat ini turun mengenai adzab kubur. Orang-orang didalam kubur itu ditanya, “siapa tuhanmu (rabb)? Lau dia menjawab Allah rabbku, dan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam nabiku.”(HR. Muslim, 5117)
Hadits diatas memberikan pengertian, bahwa malikat mungkar dan nakir akan bertanya kepada si mayyit tentang rabb, bukan ilah, karna kedua malaikat tersebut tidak membedakan antara rabb dan ilah atau antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiiyah.
Seandainya pandangan Ibnu Taymiyyah dan Wahabi yang membedakan antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiiyah itu benar, tentunya kedua malaikat itu akan bertanya kepada si mayit, “man ilahuka” (siapa Tuhan Uluhiyyahmu?) Bukan “man rabbuka” (siapa tuhan Rububiyyahmu?)” Atau mungkin keduanya menayakan semuanya “Man Rabbuka wa Man Ilahuka? (siapa Tuhan Rububiyyahmu dan Tuhan Uluhiyyahmu?). (lihat Kalimah Hadi’ah fi Bayan Khata’ al-Taqsim al-Tsulatsiy lil-Tauhid, hal. 13)
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar