Kamis, 30 Januari 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM NAZHOR (MELIHAT) CALON ISTRI SEBELUM MENIKAH*


(Status Request)

Ada beberapa adab dan batasan yang perlu diperhatikan ketika seorang lelaki melakukan nazhor dengan wanita yang dia lamar,

*Pertama, pihak laki-laki harus benar-benar serius dan memiliki keinginan untuk menikahinya.*

Berdasarkan hadits dari sahabat Abu Humaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً، فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَعْلَم

“Apabila kalian melamar seorang wanita, tidak ada dosa baginya untuk me-nazhor-nya, jika tujuan dia melihatnya hanya untuk dipinang. Meskipun wanita itu tidak tahu.”(HR. Ahmad 23603, At-Thabrani dalam Al-Ausath 911).

*Kedua, ada peluang untuk menikahinya*

Seperti, memungkinkan untuk diizinkan walinya, atau memungkinkkan untuk diterima pihak wanita. Jika kemungkinan besar pasti ditolak, baik oleh pihak wali atau wanita yang dinazhor maka tidak boleh tetap nekad untuk nazhor.

Ibnul Qatthan Al-Fasi dalam Ahkam An-Nazhor mengatakan,

لو كان خاطب المرأة عالما أنها لا تتزوجه ، وأن وليها لا يجيبه ، لم يجز له النظر ، وإن كان قد خطب [ يعني : وإن كان يطلب خِطبتها ] ؛ لأنه إنما أبيح له النظر ليكون سببا للنكاح، فإذا كان على يقين من امتناعه ، بقي النظر على أصله من المنع

"Jika lelaki yang hendak meminang wanita mengetahui bahwa pihak wanita tidak akan bersedia nikah dengannya, atau pihak wali tidak akan mengabulkan pinanganya, maka tidak boleh dia melakukan nadzar. Meskipun dia sudah menyampaikan lamarannya. Karena dibolehkannya nadzar, hanya karena menjadi sebab untuk menikah. Jika dia yakin bahwa dia pasti ditolak, maka kembali pada hukum asal melihat wanita, yaitu dilarang." (Kitab An-Nazhor fi Ahkam An-Nazhor, hal. 391)

Nazhor (melihat) calon istri atau calon suami, disyariatkan dalam islam. Agar tidak ada istilah menyesal di belakang, memastikan bahwa mereka menikah karena saling mencintai.

Diceritakan oleh al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau hendak melamar seorang wanita. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi saran kepadanya,

انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

"Lihat dulu calon istrimu, karena itu akan lebih bisa membuat kalian saling mencintai." (HR. Ahmad 18154, Turmudzi 1110)

Dalam hadits lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, bahwa ada seseorang yang menyampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dirinya telah menikah dengan wanita anshar. Nabi pun bertanya,

أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا

“Apakah kamu telah melihatnya?”
Jawab orang ini, “Belum.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan,

فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِى أَعْيُنِ الأَنْصَارِ شَيْئًا

"Lihatlah calon istrimu, karena di bagian mata orang anshar ada sesuatu…" (HR. Muslim 3550)

*Nazhor itu Ada 2 :

*[1] Nazhor resmi*

Nazhor yang pertemuannya disepakati kedua belah pihak. Sehingga keduanya persiapan. Misalnya nazhor di rumah orang tua si wanita.

*[2] Nazhor tidak resmi*

Nazhor yang dilakukan secara diam-diam oleh pihak lelaki, sementara pihak wanita tidak tahu.

Sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

فخطبت جارية فكنت أتخبأ لها ، حتى رأيت منها ما دعاني إلى نكاحها وتزوجتها

"Ketika aku melamar seorang gadis, aku sembunyi-sembunyi untuk menadzarnya. Hingga aku bisa melihatnyaa, yang membuatku tertarik untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya." (HR. Abu Daud 2084)

Dalam riwayat lain, Jabir menceritakan,

فَخَطَبْتُ جَارِيَةً مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا تَحْتَ الْكَرَبِ حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا بَعْضَ مَا دَعَانِى إِلَى نِكَاحِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا

"Aku melamar seorang gadis dari bani Salimah. Aku sembunyi-sembunyi untuk mengintipnya di balik pelepah kurma, hingga aku bisa melihat bagian anggota badannya yang membuatku tertarik untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya." (HR. Ahmad 14960).

Di posisi nazhor tidak resmi, lelaki boleh melihat bagian yang umumnya terlihat ketika wanita di rumahnya, seperti kepala, leher, atau kaki.

*Anggota Badan Yang Boleh Dinampakkan ketika Nazhor*

Dalam Ensiklopedi Fiqh disebutkan perbedaan ulama mengenai batasan anggota tubuh yang boleh dinampakkan,

1. Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan sebagian Hambali sepakat bahwa bagian anggota badan yang boleh dinazhor ketika lelaki melamar adalah wajah dan telapak tangan (termasuk punggungnya), sampai ke pergelangan. Wajah untuk menilai kecantikan, sementara telapat tangan untuk menilai kesuburan badan.

Setelah Imam Turmudzi membawakan hadits di atas, beliau mengatakan,

وقد ذهب بعض أهل العلم إلى هذا الحديث وقالوا لا بأس أن ينظر إليها ما لم ير منها محرما. وهو قول أحمد وإسحاق

"Sebagian ulama berpendapat sesuai hadits ini. Mereka mengatakan, tidak masalah lelaki melihat calon istrinya, selama tidak melihat yang haram darinya. Dan ini pendapat Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah. (Jami’ at-Turmudzi, 4/370)

2. Sementara Madzhab Hanafiyah dalam sebagian riwayat membolehkan melihat kaki, karena kaki dalam Madzhab Hanafiyah bukan aurat.

3. Hambali membolehkan melihat bagian yang biasa nampak, seperti kepala (tanpa jilbab), leher, atau kaki.
(al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 19/199).

Dan yang lebih tepat, bahwa pendapat jumhur diterapkan untuk nazhor resmi. Ketika lelaki yang melamar ingin bertemu dengan wanita yang dilamar, dia bisa datang ke rumahnya dan melihat wajah dan telapak tangan.

Sementara anggota tubuh lainnya (yang tidak haram dilihat), hanya boleh terlihat ketika nazhor dilakukan secara tidak resmi (sembunyi-sembunyi alias ngintip).

Mengenai soal hikmah dari melihat wajah perempuan yang dikhitbah adalah jelas sekali berkaitan dengan soal kecantikan si perempuan tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh penulis kitab al-Iqna`,

 وَالْحِكْمَةُ فِي الْاِقْتِصَارِ عَلَيْهِ أَنَّ فِي الْوَجْهِ مَا يَسْتَدِلُّ بِهِ عَلَى الْجَمَالِ وَفِي الْيَدَيْنِ مَا يَسْتَدِلُّ بِهِ عَلَى خِصْبِ الْبَدَنِ

“Hikmah melihat sebatas wajah dan telapak tangan baginya adalah bahwa pada wajah terdapat sesuatu yang menujukkan atas kecantikan dan pada kedua telapak tangan terdapat sesuatu yang menunjukkan kesuburan badan.” (Muhammad al-Syarbini al-Khatib, al-Iqna` fi Halli Alfazhi Abi Syuja`, Bairut-Dar al-Fikr, 1415 H, juz, 2, h. 405-406)

Namun secara spesifik dijelaskan dalam berbagai kitab hasil penelitian ahli firasat dan para peneliti menggeluti wajah perempuan menyimpulakn bahwa bagian-bagian dari wajah perempuan seperti mulut, bibir, lidah, dagu, dan mata memiliki keterkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan keintiman hubungan suami-istri.

Syekh Sulaiman al-Bujairimi, misalnya dalam kitab Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khathib antara lain menjelaskan misalnya menjelaskan soal ukuran bibir, warna lidah bentuk hidung, mata, dagu dan lain-lain berkaitan dengan keintiman hubungan suami-istri. Beberapa hal tidak bisa kami jelaskan karena terlalu vulgar. (Lihat lebih lengkap dalam Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khathib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1996 M, juz, 4, h. 109)

Namun demikian, hasil penelitian yang dipaparkan dalam kitab tersebut tidak serta-merta bisa anggap benar semuanya. Sebab, ada banyak wanita yang berciri-ciri seperti disebutkan di atas, tetapi dalam faktanya tidak sesuai dengan ciri-ciri tersebut. Kendati demikian hasil penelitian tersebut bisa kita jadikan untuk menambah wawasan bagi para calon suami yang melakukan khitbah. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 29 Januari 2020

KAJIAN TENTANG KEKELIRUAN PEMBAGIAN TAUHID MENJADI TIGA)


Tauhid (bahasa Arab: توحيد‎). Menurut bahasa, tauhid berasal dari kata وحد  – يوحد  – توحيدا , yaitu bentuk masdar dari fi'il wahhada, yuwahhidu yang artinya menjadikan sesuatu jadi satu saja. Dalam konsep Islam tauhid adalah konsep dalam akidah Islam yang menyatakan keesaan Allah. Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).

Tulisan ini saya tulis berdasarkan pada karya Dr. Abdullah Umar Kamil yang berjudul “Bayanul Khatha’ fi Taqsim al-Tsalatsi li al-Tauhid”
(Penjelasan Kekeliruan Pembagian Tauhid menjadi Tiga).

Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya memunculkan dan mengembangkan teori ini berdasar pada penafsiran secara sepotong dari Surat Luqman ayat 25, Al-Mu’minun 86-87, dan surat Yusuf ayat 106. Berikut cuplikan ayat-ayat tersebut :

و لئن سألتهم من خلق السماوات و الأرض ليقولنّ الله

“Jika kamu (Muhammad) menanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik) “Siapa yang menciptakan langit dan bumi?” pastilah mereka akan menjawab “Allah”.” (QS: Luqman: 25)

قل من رب السماوات السبع و رب العرش العظيم () سيقولون لله

“Katakan lah “Siapa Tuhan langit yang tujuh dan Tuhan Arsy yang agung?” Mereka akan menjawab “(Itu semua) milik Allah”.” (QS: Al-Mu’minun: 86-87)

و ما يؤمن أكثرهم بالله إلّا و هم مشركون

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam Keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS: Yusuf: 106)

Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya menjadikan ketiga ayat ini sebagai landasan pemikiran mereka dalam menyerang kelompok di luar kelompok mereka, utamanya adalah pengikut madzhab Abu Hassan Al-‘Asy’ari secara khusus dan Ahlussunnah Wal Jama’ah secara umum. Ayat ini oleh Ibnu Taymiyyah ditafsirkan sebagai isyarat tentang tauhid rububiyyah yang mana juga diyakini oleh orang-orang musyrik. Dengan kata lain orang musyrik juga bertauhid tapi tauhid rububiyyah. Sangat rancu sekali bukan?

Pada abad ketujuh hijriah, Ibnu Taimiyah membuat sebuah konsep tauhid yang mempunyai beberapa konsekuensi sangat berat. Konsep yang ia karang dikenal dengan pembagian tauhid menjadi tiga macam, yakni rububiyah, uluhiyah dan al-asmâ’ was-shifât. Sebelum era Ibnu Taimiyah, ketiga istilah ini sudah dikenal dan beredar luas, tetapi hanya sebagai istilah lepas yang mandiri, bukan sebagai istilah yang terintegrasi dalam sebuah konsep berjenjang tentang tauhid yang mempunyai beberapa agenda serius sebagaimana disebutkan nanti.

Dalam perspektif Ibnu Taimiyah yang juga diamini sepenuhnya oleh para pengikutnya, Tauhid rububiyah sebagai jenjang pertama tauhid adalah keyakinan bahwa pencipta dan pengatur alam semesta hanyalah Allah saja. Dalam hal ini, diklaim bahwa seluruh golongan manusia sudah bertauhid. Ibnu Abdil Izz, salah satu pendukung fanatik Ibnu Taimiyah menjelaskan,

وَأَمَّا الثَّانِي: وَهُوَ تَوْحِيدُ الرُّبُوبِيَّةِ، كَالْإِقْرَارِ بِأَنَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ، وَأَنَّهُ لَيْسَ لِلْعَالَمِ صَانِعَانِ مُتَكَافِئَانِ فِي الصِّفَاتِ وَالْأَفْعَالِ، وَهَذَا التَّوْحِيدُ حَقٌّ لَا رَيْبَ فِيهِ، وَهُوَ الْغَايَةُ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ النَّظَرِ وَالْكَلَامِ وَطَائِفَةٍ مِنَ الصُّوفِيَّةِ، وَهَذَا التَّوْحِيدُ لَمْ يَذْهَبْ إِلَى نَقِيضِهِ طَائِفَةٌ مَعْرُوفَةٌ مِنْ بَنِي آدَمَ، بَلِ الْقُلُوبُ مَفْطُورَةٌ عَلَى الْإِقْرَارِ بِهِ أَعْظَمَ مِنْ كَوْنِهَا مَفْطُورَةً عَلَى الْإِقْرَارِ بِغَيْرِهِ مِنَ الْمَوْجُودَاتِ

“Yang kedua adalah tauhid rububiyah, seperti pengakuan bahwasanya Allah adalah pencipta segala sesuatu dan bahwasanya alam semesta tidak mempunyai dua pencipta yang setara dalam sifat dan perbuatannya. Tauhid ini adalah benar tanpa diragukan lagi. Ia adalah puncak menurut banyak pemikir dan ahli kalam serta segolongan Sufi. Tauhid jenis ini tidak ditentang oleh kelompok Bani Adam mana pun yang dikenal, tetapi sudah ada fitrah dalam hati untuk mengakuinya lebih besar dari fitrah untuk mengakui seluruh eksistensi lain.” (Ibnu Abdil Izz, Syarh at-Thahawiyah, 79)

Lebih lanjut, Ibnu Abdil Izz mengklaim bahwa seluruh kaum musyrik non-Muslim tak ada yang meyakini Tuhan mereka sebagai sekutu Allah dalam menciptakan alam semesta. Dia berkata,

 وَلَمْ يَكُونُوا يَعْتَقِدُونَ فِي الْأَصْنَامِ أَنَّهَا مُشَارِكَةٌ لِلَّهِ فِي خَلْقِ الْعَالَمِ، بَلْ كَانَ حَالُهُمْ فِيهَا كَحَالِ أَمْثَالِهِمْ مِنْ مُشْرِكِي الْأُمَمِ مِنَ الْهِنْدِ وَالتُّرْكِ وَالْبَرْبَرِ وَغَيْرِهِمْ

“Mereka (kaum musyrik jahiliyah) tidak meyakini bahwa berhala-berhala mereka adalah sekutu Allah dalam penciptaan Alam semesta, tetapi keyakinan mereka sama seperti keyakinan kaum musyrik lain dari berbagai umat, dari India, Turki, Barbar dan selainnya.” (Ibnu Abdil Izz, Syarh at-Thahawiyah, 81)

Sedangkan tauhid uluhiyah, sebagai jenjang kedua, menurut mereka adalah ajaran untuk menyembah Allah semata, berdoa kepada Allah semata, mencintai Allah semata dan seterusnya. Tauhid jenis ini yang dianggap sebagai misi utama Rasulullah, bukan tauhid rububiyah yang memang sudah diakui. Ibnu Taimiyah mengatakan,

 وَإِنَّمَا التَّوْحِيدُ الَّذِي أَمَرَ اللَّهُ بِهِ الْعِبَادَ هُوَ تَوْحِيدُ الْأُلُوهِيَّةِ، الْمُتَضَمِّنُ لِتَوْحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ، بِأَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُونَ بِهِ شَيْئًا،  فَيَكُونُ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ، وَلَا يُخَافُ إِلَّا اللَّهُ، وَلَا يُدْعَى إِلَّا اللَّهُ، وَيَكُونُ اللَّهُ أَحَبَّ إِلَى الْعَبْدِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، فَيُحِبُّونَ لِلَّهِ، وَيُبْغِضُونَ لِلَّهِ، وَيَعْبُدُونَ اللَّهَ وَيَتَوَكَّلُونَ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya tauhid yang diperintahkan oleh Allah kepada para hamba-Nya hanyalah Tauhid Uluhiyah yang sudah mencakup tauhid rububiyah, dengan cara menyembah Allah tanpa menyekutukannya dengan sesuatu pun sehingga agama seluruhnya menjadi milik Allah, tak ditakuti selain Allah, tak diseru kecuali Allah, Allah menjadi yang paling dicintai dari apa pun sehingga cinta dan marah karena Allah, dan menyembah Allah dan pasrah terhadap Allah.” (Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah, juz III, halaman 289-290)

Sedangkan tauhid al-asma’ was-shifat mereka definisikan sebagai,

 توحيد الأسماء والصفات: وهو الإيمان بكل ما ورد في القرآن الكريم والأحاديث النبوية الصحيحة من أسماء الله وصفاته التي وصف بها نفسه أو وَصفه بها رسوله على الحقيقة.

“Tauhid al-Asma’ was-Shifat, yakni beriman pada semua yang ada dalam al-Qur’an yang mulia dan hadits-hadits nabi yang sahih yang terdiri dari nama-nama Allah dan sifat-sifatnya yang disifati sendiri oleh Allah dan Rasul secara hakikat.” (Syahatah Muhammad Saqar, Kasyf Syubahât as-Shûfiyah, halaman 27).

Sepintas, tak ada yang bermasalah dari klasifikasi ini. Inti dari kesemuanya adalah ajakan untuk menyembah Allah saja tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun dan ajakan untuk mengimani seluruh nama dan sifat Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Namun, kalau hanya ajakan seperti ini tentu bukan hal baru sebab seluruh kaum muslimin akan mengakuinya sebagai kebenaran. Yang menjadi objek sesungguhnya dari pembagian tauhid ini tak sesederhana itu, tetapi ada agenda tersembunyi di balik klasifikasi ini, yaitu :
1. Mengklaim bahwa mayoritas manusia, bahkan seluruhnya, sudah mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengurus alam semesta (rabb).
2. Menuduh bahwa mayoritas ulama ahli kalam dan tasawuf—bahkan mayoritas kaum Muslimin—masih belum bertauhid dalam arti mereka masih belum menyerukan untuk menyembah Allah saja. Mereka dituduh masih dalam level yang sama dengan kaum musyrik di seluruh dunia sebab mengabaikan apa yang mereka sebut sebagai “tauhid uluhiyah” yang menjadi misi para Rasul.
3. Mempropagandakan bahwa lawan-lawan Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya belumlah mengimani seluruh nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits shahih.

Simak pernyataan Ibnu Taimiyah berikut ini yang menyebutkan para filsuf islam dan ahli kalam, di antaranya yang ia sebutkan adalah Imam al-Ghazali, Imam Fakhruddin ar-Razi, dan Imam al-Amidi, mengeluarkan ajakan untuk menyembah Allah semata—yang ia istilahkan sebagai tauhid uluhiyah—dari ranah tauhid. Ia juga menuduh bahwa para tokoh tersebut hanya tahu tauhid rububiyah saja dan mengabaikan hakikat nama-nama dan sifat Allah. Berikut pernyataanya,

 وَهَذِهِ الطَّرِيقَةُ هِيَ الْمَعْرُوفَةُ لَهُ وَلِمَنِ اتَّبَعَهُ كَالسُّهْرَوَرْدِيِّ الْمَقْتُولِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْفَلَاسِفَةِ، وَأَبِي حَامِدٍ وَالرَّازِيِّ وَالْآمِدِيِّ وَغَيْرِهِمْ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَهْلِ الْكَلَامِ، الَّذِينَ خَلَطُوا الْفَلْسَفَةَ بِالْكَلَامِ....هَذَا مَعَ أَنَّ فِي الْمُتَكَلِّمِينَ مِنْ أَهْلِ الْمِلَلِ مِنَ الِاضْطِرَابِ وَالشَّكِّ فِي أَشْيَاءَ، وَالْخُرُوجِ عَنِ الْحَقِّ فِي مَوَاضِعَ، وَاتِّبَاعِ الْأَهْوَاءِ فِي مَوَاضِعَ، ... وَأَخْرَجُوا مِنَ التَّوْحِيدِ مَا هُوَ مِنْهُ كَتَوْحِيدِ الْإِلَهِيَّةِ، وَإِثْبَاتِ حَقَائِقِ أَسْمَاءِ اللَّهِ وَصِفَاتِهِ، وَلَمْ يَعْرِفُوا مِنَ التَّوْحِيدِ إِلَّا تَوْحِيدَ الرُّبُوبِيَّةِ، وَهُوَ الْإِقْرَارُ بِأَنَّ اللَّهَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَرَبُّهُ

“Metode ini yang diketahui oleh Ibnu Sina dan orang-orang yang mengikutinya seperti Suhrawardi dan filsuf lain sepertinya, Abu Hamid al-Ghazali, ar-Razi, al-Amidi dan lain-lain dari ahli kalam muta’akhirin yang mencampur aduk filsafat dan kalam. Hal ini terjadi meskipun sesungguhnya para ahli kalam dari berbagai aliran punya kerancuan dan keraguan dalam berbagai hal dan keluar dari kebenaran dalam berbagai tema, .... dan mereka masuk dalam sebagian kebathilan yang dibuat-buat, dan mereka mengeluarkan bagian tauhid yang sebenarnya menjadi bagiannya, seperti tauhid uluhiyah serta penetapan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan mereka tak kenal dari tauhid kecuali tauhid rububiyah saja, yakni pengakuan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu dan pemeliharanya.” (Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah, juz III, halaman 288-289)

Jadi, klasifikasi pembagian tauhid tak hanya berisi ajakan untuk menyembah Allah tanpa menyekutukannya dengan apa pun sebagaimana disangka beberapa orang, tapi ada agenda melempar klaim dan tuduhan pada orang-orang yang dianggap berlawanan dengan Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Tuduhan dan klaim ini kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri sekte Wahabiyah, beberapa abad setelah Ibnu Taimiyah wafat. Adapun para ulama sebelum Ibnu Taimiyah, mereka hanya menyebutkan istilah uluhiyah dan rububiyah dalam konteks ketuhanan secara umum tanpa menjadikan mereka sampai pada tuduhan dan klaim sebagaimana di atas.

Konsep pembagian tauhid menjadi tiga tersebut akan batal pula apabila kita mengkaitkannya dengan hadits-hadits nabi saw. Misalnya hadits shohih berikut ini:

عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ { يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ } قَالَ نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّيَ اللَّهُ وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Al-Barra’ Bin Azib, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu” (QS. Ibrahim: 27). Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “ayat ini turun mengenai adzab kubur. Orang-orang didalam kubur itu ditanya, “siapa tuhanmu (rabb)? Lau dia menjawab Allah rabbku, dan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam nabiku.”(HR. Muslim, 5117)

Hadits diatas memberikan pengertian, bahwa malikat mungkar dan nakir akan bertanya kepada si mayyit tentang rabb, bukan ilah, karna kedua malaikat tersebut tidak membedakan antara rabb dan ilah atau antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiiyah.

Seandainya pandangan Ibnu Taymiyyah dan Wahabi yang membedakan antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiiyah itu benar, tentunya kedua malaikat itu akan bertanya kepada si mayit, “man ilahuka” (siapa Tuhan Uluhiyyahmu?) Bukan “man rabbuka” (siapa tuhan Rububiyyahmu?)” Atau mungkin keduanya menayakan semuanya “Man Rabbuka wa Man Ilahuka? (siapa Tuhan Rububiyyahmu dan Tuhan Uluhiyyahmu?). (lihat Kalimah Hadi’ah fi Bayan Khata’ al-Taqsim al-Tsulatsiy lil-Tauhid, hal. 13)

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 27 Januari 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMEGANG KEMALUAN SAAT BUANG AIR KECIL


Semakin hari semakin banyak yang aneh dalam menyampaikan dakwah islam yang justru bukan memberikan solusi tapi menambah masalah. Salah satunya adalah sebagaimana yang disampaikan oleh seorang ustadz yang mengatakan bahwa memegang kemaluan saat buat air kecil adalah hal yang diharamkan alasannya bisa mendatangkan maksiat dengan tangannya sendiri. Benarkah demikian?

Memegang kemaluan sendiri hukumnya boleh. Sama seperti memegang anggota tubuh yang lain. Yang tidak boleh adalah memegang kemaluan orang lain.

Memegang kemaluan dengan tangan kiri ketika sedang hajat bukan suatu keharusan, begitu pula memegang dengan tangan kanan bukanlah suatu larangan.

Hal semacam ini menyangkut kenyamanan seseorang ketika melepas hajatnya. Silakan gunakan tangan yang paling nyaman untuk memegang atau membasuhnya. Yang penting jagalah selalu kebersihan kemaluan dan lingkungan Anda.

Memang dianjurkan ketika melakukan suatu kebajikan seperti sedekah, makan, minum, berwudlu, memakai pakaian, dst…untuk dilakukan dengan tangan kanan, atau tangan kanan yang didahulukan. Sementara untuk hal-hal yang berurusan dengan bersih-bersih dilakukan oleh tangan kiri seperti cebok, membersihkan kotoran dll.

Dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِذَا أَتَى الْخَلَاءَ فَلَا يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَلَا يَتَمَسَّحْ بِيَمِينِه

“Apabila kalian masuk toilet, janganlah menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya, dan jangan cebok dengan tangan kanannya.” (HR. Bukhari 194 dan Muslim 393).

Dalam riwayat lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ

“Janganlah kalian menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya, ketika dia sedang kencing.” (HR. Muslim 392).

Dijelaskan dalam kitab Minhah al-Allam, Syarh Bulugh Maram sbb :

الحديث دليل على نهي البائل أن يمسك ذكره بيمينه حال البول ؛ لأن هذا ينافي تكريم اليمين .وقد حمل جمهور العلماء هذا النهي على الكراهة ـ كما ذكر النووي وغيره ـ ؛ لأنه من باب الآداب والتوجيه والإرشاد ، ولأنه من باب تنزيه اليمين وذلك لا يصل النهي فيه إلى التحريم

Hadits di atas merupakan dalil larangan memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing. Karena perbuatan ini tidak memuliakan tangan kanan. Mayoritas ulama memahami larangan dalam hadis ini sebagai larangan makruh, sebagaimana ditegaskan an-Nawawi dan yang lainnya. Karena hadits ini berbicara masalah adab, dan arahan. Disamping itu, larangan ini terait sikap memuliakan tangan kanan, dan sifat larangan itu tidak sampai pada hukum haram.

وذهب داود الظاهري وكذا ابن حزم إلى أنه نهي تحريم ، بناءً على أن الأصل في النهي التحريم .وقول الجمهور أرجح ، وهو أنه نهيُ تأديب وإرشاد ، ومما يؤيده قوله صلّى الله عليه وسلّم في الذَّكَرِ: “هل هو إلا بضعة منك….”

Sementara Daud az-Zhahiri, demikian pula Ibnu Hazm, menilai larangan ini sebagai larangan yang statusnya haram. Berdasarkan prinsip, hukum asal larangan adalah haram. Namun pendapat mayoritas ulama lebih kuat, bahwa larangan ini sifatnya adalah arahan terkait masalah adab. Dan diantara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang hukum memegang kemaluan, “Bukankah itu bagian dari anggota badamu?..” (Minhah al-Allam, Syarh Bulugh Maram, 1/312).

Imam Al-Khithabi mengatakan,

إنما كره مس الذكر باليمين تنزيها لها عن مباشرة العضو الذي يكون منه الأذى والحدث ، وكان صلى الله عليه وسلم يجعل يمناه لطعامه وشرابه ولباسه ويسراه لما عداها من مهنة البدن…

Menyentuh kemaluan dengan tangan kanan hukumnya makruh, untuk melindungi tangan kanan agar tidak menyentuh anggota badan yang menjadi saluran kotoran dan najis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tangan kanan beliau untuk makanan, minuman, didahulukan ketika memakai baju. Sementara beliau gunakan tangan kirinya untuk hal-hal yang kurang terhormat. (Ma’alim as-Sunan, 1/23)

Satu hal yang sangat menyulitkan jika seorang laki-laki diharamkan memegang kemaluannya saat buang air kecil dan bisa dibayangkan jika sedang memakai celana panjang harus buang air kecil tanpa dipegang pasti akan kencing di dalam celana. Intaha ! Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 25 Januari 2020

KAJIAN TENTANG MENERIMA HADIAH DARI ORANG KAFIR



Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap menjalin hubungan baik dengan orang kafir selama mereka tidak mengganggu dakwah Islam. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa ada beberapa orang kafir yang memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah seperti Abu Thalib (paman Rasulullah), Abdul Quddus (pembantu Rasulullah yang beragama Yahudi), Mukhairiq (seorang pendeta Yahudi), dan lainnya.

Sebagian dari mereka akhirnya ada yang masuk Islam seperti Abdul Quddus. Ada juga yang tetap memeluk agama yang dianutnya seperti Abu Thalib dan Mukhairiq. Meski demikian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mempermasalahkan keimanan mereka. Beliau sadar bahwa urusan hidayat adalah urusan Allah, sementara tugasnya adalah hanya menyampaikan Islam.

Islam tidak melarang kita untuk bersikap baik terhadap orang non muslim yang tidak mengganggu. Salah satunya adalah dengan menerima hadiah dari orang kafir. Allah berfirman,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanan: 8)

Simak beberapa riwayat berikut untuk menyimpulkan bagaimana hukum menerima hadiah dari orang kafir,

*Hadits yang melarang menerima hadiah dari orang kafir*

[1] Hadits dari Abdurrahman bin Kaab bin Malik, beliau bercerita,

جَاءَ مُلاعِبُ الْأَسِنَّةِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَدِيَّةٍ ، فَعَرَضَ عَلَيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الإِسْلامَ ، فَأَبَى أَنْ يُسْلِمَ ، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَإِنِّي لا أَقْبَلُ هَدِيَّةَ مُشْرِكٍ

“Ada seorang yang bergelar ‘pemain berbagai senjata’ (yaitu ‘Amir bin Malik bin Ja’far) menghadap Rasulullah dengan membawa hadiah. Nabi lantas menawarkan Islam kepadanya. Orang tersebut menolak untuk masuk Islam. Rasulullah lantas bersabda, “Sungguh aku tidak menerima hadiah yang orang musyrik.” (HR. al-Baghawi, 3/151).

[2] Hadits dari Irak bin Malik, bahwa Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أَن مُحَمَّدٌ -صلى الله عليه وسلم- أَحَبَّ رَجُلٍ فِى النَّاسِ إِلَىَّ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمَّا تَنَبَّأَ وَخَرَجَ إِلَى الْمَدِينَةِ شَهِدَ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ الْمَوْسِمَ وَهُوَ كَافِرٌ فَوَجَدَ حُلَّةً لِذِى يَزَنَ تُبَاعُ فَاشْتَرَاهَا بِخَمْسِينَ دِينَاراً لِيُهْدِيَهَا لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

“Sungguh Muhammad adalah manusia yang paling aku cintai di masa jahiliyyah”. Setelah Muhammad mengaku sebagai nabi yang pergi ke Madinah, Hakim bin Hizam berjumpa dengan musim haji dalam kondisi masih kafir. Saat itu Hakim mendapatkan satu stel pakaian yang dijual. Hakim lantas membelinya dengan harga 50 dinar untuk dihadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

فَقَدِمَ بِهَا عَلَيْهِ الْمَدِينَةَ فَأَرَادَهُ عَلَى قَبْضِهَا هَدِيَّةً فَأَبَى. قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ « إِنَّا لاَ نَقْبَلُ شَيْئاً مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَلَكِنْ إِنْ شِئْتَ أَخَذْنَاهَا بِالثَّمَنِ ». فَأَعْطَيْتُهُ حِينَ أَبِى عَلَىَّ الْهَدِيَّةَ.

Akhirnya Hakim tiba di Madinah dengan membawa satu stel pakaian tersebut. Hakim menyerahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hadiah namun beliau menolaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Sungguh kami tidak menerima sedikit pun dari orang kafir. Akan tetapi jika engkau mau pakaian tersebut akan kubeli”. Karena beliau menolak untuk menerimanya sebagai hadiah aku pun lantas memberikannya sebagai objek jual beli. (HR Ahmad 15323).

[3] Hadits dari Iyadh bin Himar, dia menceritakan pengalaman beliau sebelum masuk islam,

“Aku bermaksud memberi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seekor onta betina sebagai hadiah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

” أَسْلَمْتَ؟”. فَقُلْتُ لاَ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- “إِنِّى نُهِيتُ عَنْ زَبْدِ الْمُشْرِكِينَ “

“Apakah kamu sudah masuk Islam?”.

“Belum”, jawabku.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh aku dilarang menerima hadiah dari orang musyrik” (HR. Abu Daud 3059, Tirmidzi 1672).

Ketiga hadits di atas secara tegas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak hadiah dari non muslim.

Kemudian, terdapat hadits lain yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dari orang kafir.

*Hadits yang membolehkan menerima hadiah dari orang kafir*

Dalam kitab shahihnya, Imam Al-Bukhari membuat judul bab :

بَابُ قَبُولِ الهَدِيَّةِ مِنَ المُشْرِكِينَ

Bab: Bolehnya menerima hadiah dari orang musyrik (Al-Jami’ As-Shahih, 3/163).

Selanjutnya, Imam Bukhari menyebutkan beberapa riwayat tentang menerima hadiah dari orang kafir. Berikut diantaranya,

1. Hadits dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

غَزَوْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – تَبُوكَ ، وَأَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بَغْلَةً بَيْضَاءَ ، وَكَسَاهُ بُرْدًا ، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

“Kami mengikuti perang Tabuk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Raja negeri Ailah memberi hadiah kepada beliau berupa baghal berwarna putih dan kain. Sang raja juga menulis surat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari 1481).

2. Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِنَّ أُكَيْدِرَ دُومَةَ أَهْدَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Bahwa Ukaidir Dumah (raja di daerah dekat tabuk) memberi hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وأما قبول الهدية منهم يوم عيدهم فقد قدمنا عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه أتي بهدية النيروز فقبلها .

“Menerima hadiah orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau menerimanya.”

وروى ابن أبي شيبة .. أن امرأة سألت عائشة قالت إن لنا أظآرا [جمع ظئر ، وهي المرضع] من المجوس ، وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا فقالت : أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا ، ولكن كلوا من أشجارهم .

Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, Kami memiliki seorang ibu susu beragama majusi. Ketika hari raya, mereka memberi hadiah kepada kami. Kemudian Aisyah menjelaskan, “Jika itu berupa hewan sembelihan hari raya maka jangan dimakan, tapi makanlah buah-buahannya.”

وعن أبي برزة أنه كان له سكان مجوس فكانوا يهدون له في النيروز والمهرجان ، فكان يقول لأهله : ما كان من فاكهة فكلوه ، وما كان من غير ذلك فردوه .

Dari Abu barzah, bahwa beliau memiliki sebuah rumah yang dikontrak orang majusi. Ketika hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka memberi hadiah. Kemudian Abu Barzah berpesan kepada keluarganya, “Jika berupa buah-buahan, makanlah. Selain itu, kembalikan.”

فهذا كله يدل على أنه لا تأثير للعيد في المنع من قبول هديتهم ، بل حكمها في العيد وغيره سواء ؛ لأنه ليس في ذلك إعانة لهم على شعائر كفرهم … “.

Semua riwayat ini menunjukkan bahwa ketika hari raya orang kafir, tidak ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima ketika hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama saja. Karena menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka dalam menyebar syiar agama mereka. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:5).

Penjelasan di atas, terkait hukum menerima hadiah dari orang kafir. Namun hukum ini tidak berlaku untuk kasus sebaliknya, memberikan hadiah kepada orang kafir ketika hari raya mereka. Ulama Hanafi menegaskan, memberi hadiah dari orang kafir dalam rangka memeriahkan hari raya mereka, hukumnya terlarang, dan bahkan mereka anggap sebagai pembatal islam. Az-Zaila’i (ulama hanafi) mengatakan,

(والإعطاء باسم النيروز والمهرجان لا يجوز) أي الهدايا باسم هذين اليومين حرام بل كفر , وقال أبو حفص الكبير رحمه الله لو أن رجلا عبد الله خمسين سنة ثم جاء يوم النيروز , وأهدى لبعض المشركين بيضة ، يريد به تعظيم ذلك اليوم ، فقد كفر , وحبط عمله .

“(Hadiah dengan nama Nairuz dan Mihrajan, hukumnya tidak boleh). Maksudany, hadiah dalam rangka memeriahkan dua hari ini hukumnya haram bahkan kekafiran. Abu Hafs Al-Kabir mengatakan, ‘Jika ada orang yang beribadah kepada Allah selama 50 tahun. Kemudian dia datang pada hari Nairuz, dan memberikan hadiah telur kepada orang musyrik, dalang rangka memeriahkan dan mengagungkan hari raya itu maka dia telah murtad dan amalnya terhapus.” (Tabyin Al-Haqaiq, 6/228).

Kesimpulan yang bisa kita catat dari penjelasan di atas, bahwa kita dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir pada hari raya mereka, dengan syarat,

1. Dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir, bukan termasuk sembelihan mereka
2. Hadiah itu bukan termasuk benda yang memfasilitasi orang untuk meniru ciri khas mareka saat hari raya.
3. Menerima hadiah itu sama sekali tidak dikesankan mendukung acara mereka.
4. Menerima hadiah itu dalam rangka mengambil hati mereka, dengan harapan, mereka bisa simpati kepada islam.

Dengan demikian, jika menerima hadiah angpao (di hari imlek misalnya) jika memenuhi beberapa persyaratan di atas, hukumnya dibolehkan.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

DASAR PEMIKIRAN DAN TUJUAN MKNU


*DASAR PEMIKIRAN DAN TUJUAN UMUM MADRASAH KADER NAHDLATUL 'ULAMA (MKNU)*

*Mukaddimah*

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَماواتٍ طِباقاً مَا تَرى فِي خَلْقِ الرَّحْمنِ مِنْ تَفاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرى مِنْ فُطُورٍ (3) ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خاسِئاً وَهُوَ حَسِيرٌ (4)

"Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah." (QS. Al-Mulk : 3-4)
========

*Institusi Khusus*

*Institusi Khusus* adalah norma atau aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. ... Pranata bersifat mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri-ciri tertentu yaitu simbol, nilai, aturan main, tujuan, kelengkapan, dan umur.

*Institusi khusus* ini mencakup tiga hal dalam masalah *Pengelolaan, Penyelenggaraan dan Pengembangan Kebijakan Nahdlatul 'Ulama.*
=========

*Tujuan Umum Madrasah Kader Nahdlatul 'Ulama (MKNU)*

*MEMBENTUK, MENYATUKAN, MENYELARASKAN DAN MEMPERTAHANKAN :*
- Karakter Aswaja
*(Akhlaqul Karimah)*
*1. Ahlul Hadits/Atsariyah (Literalis)*
*2. Ahlun Nazhor Wal 'Aqli/Nazhoriyah 'Aqliyah (Rasionalis), dan*
*3. Ahlul Wijdan Wal Kasyf/Syufiyah (Sufiyah)*

- Sikap Militansi
*(Amaliah, Harakah dan Fikrah Nahdliyah)*

- Pola Pikir/Cara Pandang
*Berkembang/Dinamis (تطوريا), Penjernihan (تصويفيا), Moderat (توسطيا), dan Manhaj/Metodilogis (منهجيا)*
*المحافظة على القديم الصالح والأخذ باالجديد الأصلح، ألإصلاح الى ما هو الأصلح ثم الأصلح فالأصلخ*

- Harakah/Pergerakan
*Menjaga (تحفيظا), Menguatkan  (تقويا), Mendengar (سمعا), Kesetiaan (طاعة), Ramah (تودديا), dan Kasih Sayang (ترحميا)*

- Gaya Hidup
*Beradaptasi & Menjaga Tradisi (عرفيا), Bermadzhab  (مذهبيا), Kesinambungan (سنديا), Seimbang (توازن, Toleransi (تسامح), Pertengahan, dan Adil (إعتدل) serta Dakwah Bil Hikmah Wal Mau'izhoh Hasanah*

- Kecakapan & Kesejahteraan Hidup

*فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ (24) أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا (25) ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا (26) فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا (27) وَعِنَبًا وَقَضْبًا (28) وَزَيْتُونًا وَنَخْلًا (29) وَحَدَائِقَ غُلْبًا (30) وَفَاكِهَةً وَأَبًّا (31) مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ (32)*

*"Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit). kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-mayur, zaitun dan pohon kurma. kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenangan kalian dan untuk binatang-binatang ternak kalian." (QS. Abasa : 24-32)*

*Bagaimana NU memandang kemandirian ekonomi ummatnya?*

Sebelum NU lahir, *Mbah Wahab Chasbullah dan kiai lainnya mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para pedagang).* Ini adalah cikal bakal dari NU. Maka dari itu, di dalam sejarahnya para pendiri NU memiliki perhatian yang lebih terhadap perekonomian dan kesejahteraan ummat. Karena apabila Nahdliyin ekonominya kuat, maka NU dan Indonesia akan juga kuat. Begitu juga sebaliknya.

*Kalau saat ini?*

Sebagaimana yang telah disepakati saat Muktamar Jombang bahwa ada tiga (3) amanah yang menjadi perhatian khusus, yaitu *pertama,* peningkatan bidang pendidikan. Saat ini, ada puluhan ribu sekolah Ma’arif dan ada tiga puluh satu perguruan tinggi NU yang sudah dibangun. *Kedua,* peningkatan bidang kesehatan. NU juga sudah membangun rumah sakit, klinik kesehatan, dan pelayanan-pelayanan kesehatan lainnya.

*Ketiga,* peningkatan bidang ekonomi. PBNU juga berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan Nahdliyin dalam bidang ekonomi. Ekonomi Nahdliyin kebanyakan di sektor-sektor informal dan masih menengah ke bawah seperti pedagang kecil, petani, nelayan, dan lainnya. Kita terus dorong mereka agar bisa naik ke level menengah.

*Caranya?*

Dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dan juga meningkatkan mutu kualitas hasil produksinya. Misalnya, kalau dulu menggunakan plastik biasa dalam mengemas produk, sekarang bisa menggunakan plastik yang menarik. Pengolahannya dan hasilnya juga dibaguskan. Sehingga nilainya juga akan lebih bagus juga.

Distribusi hasil produksi juga harus diperluas. Kalau dulu hanya dijajakan di kampungnya saja, sekarang bisa dipasarkan kemana-mana dan murah dengan menggunakan internet seperti toko online di website ataupun media sosial.

Di era globalisasi ini, warga NU harus berani mengambil langkah-langkah strategis di berbagai bidang, baik itu bidang perdagangan, pertanian, perikanan, dan nelayan. Selain itu, pemerintah juga harus mendukung pelaku ekonomi menengah ke bawah yang mayoritas adalah warga NU tersebut.
===========

*Bauran Capaian*
1. Efektifitas Organisasi
2. Penguatan Kapasitas Sumberdaya Pengurus (SDM)
3. Penyelarasan Pemahaman Aswaja An-Nahdliyah
==========

*Atribusi*

Atribusi adalah bagaimana kita membuat keputusan tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita/ merasa dan mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka berperilaku seperti itu.

*1. Fikrah*

*- Berkembang/Dinamis (تطوريا),*
*- Penjernihan (تصويفيا),*
*- Moderat (توسطيا), dan*
*- Manhaj/Metodilogis (منهجيا)*

*المحافظة على القديم الصالح والأخذ باالجديد الأصلح، ألإصلاح الى ما هو الأصلح ثم الأصلح فالأصلخ*

*2. Harakah*

*- Menjaga (تحفيظا),*
*- Menguatkan  (تقويا),*
*- Mendengar (سمعا),*
*- Kesetiaan (طاعة),*
*- Ramah (تودديا),* dan
*- Kasih Sayang (ترحميا)*

*3. Amaliah*

*- Beradaptasi & Menjaga Tradisi (عرفيا),*
*- Bermadzhab  (مذهبيا),*
*- Kesinambungan (سنديا),*
*- Seimbang (توازن,*
*- Toleransi (تسامح),*
*- Pertengahan (تواسط), dan*
*Adil (إعتدل) serta*
*- Dakwah Bil Hikmah Wal Mau'izhoh Hasanah*
==========

*Bauran Atribusi*

1. As-Shidqu (Jujur)
2. Al-'Adalah (Adil)
3. Al-Istiqomah (Konsisten)
4. At-Ta'awun (Saling Menolong), dan
5. Al-Amanah Wal Wafa Bil 'Ahdi (Dapat Dipercaya dan Menepati Janji)
===========

*Topik-Topik*

1. Al-Adzkar Al-Imam Nawawi Al-Bantani
2. Ihya 'Ulumuddin Al-Imam Abu Hamid Al-Ghozali
3. Shofwatut Tafassir Al-Imam Muhammad 'Ali As-Shobuni, dan
4. Al-Muhadzab Al-Imam Syairozi

Demikian Asumun Mas'ud memaparkan materi Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻

Rabu, 22 Januari 2020

KAJIAN TENTANG CARA MELURUSKAN SHOF; MENEMPELKAH?


Bukan hal yg aneh kalau sebelum shalat, pak imam mengingatkan para jamaah sambil memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat dan diluruskan”.

Tapi pernahkan berdiri di samping Anda jamaah yg suka memepet-mepetkan kakinya ke kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda atau kaki jamaah lain?

Kalau Anda pernah mengalaminya, dan agak merasa risih, terus terang Penulis juga pernah mengalaminya. Dan ternyata tidak sedikit mereka yg mengalami dipepet-pepet seperti itu.

Sampai ada seorang jamaah di satu masjid curhat, ”Pokoknya saya tidak mau shalat di samping dia!”, katanya. ”Kenapa?” tanya Penulis. ”Kakinya itu lho, masak saya dipepet-pepet terus sampai mau diinjak. Shalat saya malah jadi tidak khusyu’.”

Beberapa hari yg lalu sy ditanya seseorang tentang hadits keharusan mata kaki, sebagai bentuk kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya shahih diriwyatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Dan ternyata memang hadits inilah yg disinyalir menjadi pijakan teman2 yg beranggapan bahwa kaki harus benar2 nempel dengan kaki jamaah lain.

Masalah ini mari kita bahas dengan kepala dingin, dengan merujuk ke kitab2 para ulama yg mu'tamad. Mari kita telusuri dan dengan seksama apa komentar para ulama dalam hal ini.

*A. Nash Hadits*

Tidak keliru kalau dikatakan bahwa keharusan menempel itu berdasarkan hadits2 yg shahih, bahkan diriwayatkan oleh Bukhari. Dan jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak kita temukan.
Namun kalau kita teliti di hulunya, rata2 semuanya kembali kepada dua di level shahabat; yaitu riwayat Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma.

Sampai disini, kita semua sepakat bahwa urusan menempel ini memang ada haditsnya dan statusnya adalah hadits yg shahih.

Tetapi apakah kalau suatu hadits itu shahih, lantas bisa langsung menjadi dipastikan hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa kalau tidak diamalkan?

Jawabnya tentu tidak sekedar bilang iya. Kita perlu lihat dulu apa dan bagaimana penjelasan dari para fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian hadits ini.

Sebab kajian yg ilmiyah adalah kajian yg berciri hati2 dan tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Mari kita bahas dahulu analisa para ulama.

*1. Hadits Riwayat Anas bin Malik*

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»

Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallallah alaih wa sallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami orang yg menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari)

Al-Imam Al-Bukhari mencantumkan teks hadits ini dalam kitab As-Shahih, pada , hal. 1/146.

*Catatan*
Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu menggunakan redaksi [القدم], sehingga Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan judul merapatkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki.

*2. Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir*

وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ

An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki2 diantara kami ada yg menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya. (HR. Bukhari)
Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab yg sama dengan hadits di atas.

*Catatan*
Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah,

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ

An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki2 menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.

Selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits2 ini juga diriwayatkan oleh para ulama hadits, diantaranya Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178,Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378, Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28, Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123]

*Catatan*
Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhu melihat seorang laki2 yg menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada temannya.

*B. Kajian dan Pembahasan Hadits*

Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan kemukakan dahulu komentar para ulama terkait implementasi hukum dari hadits ini.
Memang para ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta menarik kesimpulan hukum. Ada yg cenderung agak galak mengharuskan kita melihat tektualnya, dan dan ada juga yg melihat maqashidnya. Kita mulai dari yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini.

1. Syeikh Bakr Abu Zaid : Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama Saudi Arabia
Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yg pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang berjudul (tidak ada yg baru dalam hukum shalat), hal. 13. Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat Al-Albani,

وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذر والتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.

Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yg nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yg mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yg susah dilakukan.

Bakr Abu Zaid melanjutkan,

فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق

Inilah yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela2. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela2, istiqamah dalam shaf, bukan benar2 menempelkan.

Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan berarti dipahami harus benar2 menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf.

2. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (ulama wahabi)

Mari kita telusuri lagi pendapat yg lain, kita temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga pernah ditanya tentang menempelkan mata kaki.

أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.

Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar2 lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat. (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311)

Ternyata Shaleh Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimaan agar shaf shalat bisa benar2 lurus.

Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkna kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya.

4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali
Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yg menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan,

حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام.

Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yg dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki. (Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282.)

Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki.

Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H). Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan,

الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]

Memang disini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya.

*C. Point-Point Penting*

Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf.

Sekarang mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita sendiri. Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi atau bentuk perintah yang secara nash beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut : HARUS MENEMPEL, kalau tidak nanti masuk neraka?

1. Menempelkan mata kaki dalam shaf bukan tindakan atau anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud?

Iya sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yg benar terhadap hadits shahih.

Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam anjurkan adalah menegakkan shaf.

Perhatikan redaksinya,

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ

"Tegakkah barisan kalian."

Itu yang beliau Shallahu 'alaihi wa sallam katakan. Sama sekali beliau tidak berkata, ”Tempelkanlah mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yg tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat2 Allah. Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid2 pendukungnya saja.

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu.

2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat

Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya disebutkan,
[وَكَانَ أَحَدُنَا]
"dan salah satu dari kami"
 [رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا]
"saya melihat seorang laki-laki dari kami"
 [فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ]
"saya melihat seorang laki-laki"

Meskipun dengan redaksi yg berbeda, tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yg melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf.

Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan,

ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم

Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain. (Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99)

Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki2 pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?

3. Anas tidak melakukan hal itu
Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yg mereka lihat.

*Kenapa?*

Karena yang melakukannya bukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri. Dan para shahabat yg lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.

Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik,

وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس

Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yg lepas. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]

Jika menempelkan mata kaki itu sungguh2 anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yg shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.

Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.

4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?

Barangkali para pembela pendapat tempe-menempel matakaki itu berhujjah, jika ada suatu perbuatan yg dilakukan di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedang beliau diam saja dan tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga.

Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya hal itu.
Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yg dianjurkan, dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main ancam bahwa orang yg tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada sifat2 Allah. Ini adalah sebuah fatwa yg agak emosional dan memaksakan diri. Dan yg pasti fatwa seperti ini sifatnya menyendiri tanpa ada yg pernah mendukungnya.

Tidak bisa kita bayangkan, cuma gara2 ada shahabat makan daging dhob (biawak), dan kebetulan memang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarangnya, lantas kita berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia sepanjang zaman sering2 makan daging biawak. Yang tidak doyan makan daging biawak divonis telah ingkar kepada sifat2 Allah.

5. Susah Dalam Prakteknya

Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yg bisa mempraktekannya.

Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam shaf.

*D. Kesimpulan"

Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel dalam shaf shalat?

Ada dua pendapat; pertama yg mengatakan harus menempel. Ini adalah pendapat Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan dia mengatakan bahwa yg mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil sifat Allah.

Pendapat kedua, yg mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan tidak harus.
Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jika pun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid.

Sampai saat ini belum ditemukan pendapat ulama madzhab empat yg mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat.

Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki, malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf juga tidak baik. Wallahu a’lam

Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskam dan semoga bermanfa’at. Aamiin

*والله الموفق الى اقوم الطريق*

Selasa, 21 Januari 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MENUTUP AURAT DAN BERJILBAB


Masih ingatkah kita video viral dialog Ibu Hj. Sinta Nuriah Wahid (istri Gus Dur) dengan Deddy Corbuzier beberapa waktu lalu. Dimana beliau jadi bahan bullying netizen. Diantara apa yang beliau katakan yaitu,

"Istilah jilbab dengan hijab itu beda sekali pengertiannya. Kalau jilbab itu untuk menutup kepala, hijab itu pembatas. Karena hijab itu pembatas, maka bahannya dari bahan keras seperti kayu dan sebagainya. Kalau jilbab itu barang-barang yang tipis seperti kain dan sebagainya. Itu saja sudah kesalahan," kata Ibu Sinta dalam video yang diunggah di kanal Youtube Deddy Corbuzier, Rabu (15/1/2020).

"Apakah semua orang Islam itu harus memakai jilbab? Tidak juga. Kalau kita mengartikan ayat dalam Al-Qur'an itu secara benar," kata Ibu Sinta. (spontan saya langsung paham karena sesungguhnya tidak semua umat islam itu perempuan 😊)

*Bagaimana jika bicara hukum menutup aurat?*

Aurat adalah suatu angggota badan yang tidak boleh di tampakkan dan di perlihatkan oleh lelaki atau perempuan kepada orang lain. [Lihat al-Mausû’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, 31/44]

Menutup aurat hukumnya wajib sebagaimana kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Katakanlah kepada orang laki–laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allâh maha mengatahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." [QS. an-Nûr/24:31]

Dan Allâh Azza wa Jalla juga berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

"Wahai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." [QS. al-A’râf/7:31]

Sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang di sebutkan dalam Shahîh Muslim dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

كَانَتْ الْمَرْأَةُ تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَهِيَ عُرْيَانَةٌ … فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

"Dahulu para wanita tawaf di Ka’bah tanpa mengenakan busana"… kemudian Allâh menurunkan ayat :

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

"Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid"…[HR. Muslim, no. 3028]

Bahkan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada istri-istri nabi dan wanita beriman untuk menutup aurat mereka sebagaimana firman-Nya :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka !” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [al-Ahzâb/33:59]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menegur Asma binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma ketika beliau datang ke rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengenakan busana yang agak tipis. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memalingkan mukanya sambil berkata,

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا

"Wahai Asma ! Sesungguhnya wanita jika sudah baligh maka tidak boleh nampak dari anggota badannya kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan ke muka dan telapak tangan)." [HR. Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah didatangi oleh seseorang yang menanyakan perihal aurat yang harus di tutup dan yang boleh di tampakkan, maka beliau pun menjawab,

احْفَظْ عَوْرَتَكَ إلَّا مِنْ زَوْجِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ.

"Jagalah auratmu kecuali terhadap (penglihatan) istrimu atau budak yang kamu miliki." [HR. Abu Dâwud, no.4017; Tirmidzi, no. 2794; Nasa’i dalam kitabnya Sunan al-Kubrâ, no. 8923; Ibnu Mâjah, no. 1920]

Wanita yang tidak menutup auratnya di ancam tidak akan mencium bau surga sebagaimana yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu beliau berkata,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَمْثَالِ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَتُوجَدُ مِنْ مَسِيْرةٍ كَذَا وَكَذَا

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (yang pertama adalah) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (yang kedua adalah) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berpaling dari ketaatan dan mengajak lainnya untuk mengikuti mereka, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” [HR. Muslim, no. 2128]

Pada awalnya, penetapan syariat tentang pemakaian jilbab dalam Islam dilakukan secara bertahap. Pertama, dalam surat al-A'raf ayat 26, dijelaskan bahawa Allah Ta'ala telah menurunkan (menyediakan) pakaian bagi manusia untuk menutupi aurat. Kedua, dalam surat  an-Nur ayat 30, Allah Ta'ala memberi petunjuk kepada kaum Mukminin dan Mukminat untuk menjaga pandangan dan kemaluannya.

Ketiga, pada Alquran surat al-Ahzab ayat 33, Allah Ta'ala mengajurkan kepada istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam agar tetap di rumah dan tak berhias seperti orang Jahiliyah yang cenderung mempertontonkan perhiasan/tubuhnya. Larangan itu  oleh Allah SWT dimaksudkan sebagai usaha menghilangkan dosa dari keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Keempat, perintah mengenakan jilbab barulah semakin jelas sesuai yang tercantum dalam Al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 59. Dalam surat itu, Allah memerintahkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyerukan agar istri-istrinya, anak-anak perempuannya dan istri-istri orang Mukmin untuk menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.

Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh atau aurat wanita dan setiap wanita muslim wajib mengenakannya. Dalam bahasa Arab jilbab atau jamaknya Jalabib artinya selendang. Adapun menurut Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa pengertian jilbab adalah pakaian kurung yang tidak sempit atau  longgar dan dilengkapi dengan penutup kepala, leher dan dada atau yang disebut kerudung. Dengan kata lain, jilbab itu sendiri adalah baju atau pakaian yang menutupi seluruh bagian tubuh wanita dan longgar.

Pengertian ini tentunya sedikit berbeda dengan anggapan masyarakat Indonesia saat ini yang menganggap bahwa jilbab hanya penutup kepala saja, sedangkan pakaian panjang dan longgar atau long dress yang dipakai dengan kerudung atau penutup kepala disebut dengan istilah busana muslim. wanita yang mengenakan kerudung di Indonesia meskipun pakaiannya tidak sesuai syariah atau bukanlah pakaian yang longgar terkadang tetap disebut sebagai wanita berjilbab. Hal ini tentunya berbeda atau melenceng dari pengertian jilbab yang sebenarnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)

Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir, 4/275)

Imam Al-Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)

Islam merupakan agama yang berarti selamat. Selamat baik untuk urusan dunia dan akhirat. Dalam Islam telah dijelaskan secara rinci apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh muslim dan muslimah, termasuk urusan batasan aurat wanita serta cara berpakaian yang benar secara Islami. Semoga penjelasan ini dapat menjadikan kaum wanita muslimah lebih menjaga auratnya sehingga menjadikannya termasuk ke dalam orang-orang yang bertaqwa sekaligus beruntung baik di dunia maupun di akhirat.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 20 Januari 2020

KAJIAN TENTANG DOSA RIBA LEBIH BESAR DARI ZINA DENGAN IBU KANDUNG, BENARKAH?


Seorang tabi’in yang bernama Ka’ab Al-Ahbar, seorang mantan pendeta Yahudi yang paham akan kitab-kitab Yahudi, bahkan bisa mengetahui secara umum manakah yang shahih dan batil dari kitab tersebut (Lihat Siyar A’lam An-Nubala’, 3: 489-894).

Ka'ab al-Ahbar (Arab: كعب الأحبار), atau nama lengkapnya Abu Ishaq Ka'ab bin Mati' al-Humyari al-Ahbar, adalah seorang rabbi Yahudi yang berpindah menjadi muslim pada masa awal Khulafaur Rasyidin di Madinah. Ia disebutkan berasal dari suku Dhu Ra'in atau Dhu al-Kila. Ia dapat digolongkan sebagai Tabi'in karena tidak pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Ia meriwayatkan banyak hadist Israiliyat.

Satu hal yang paling menghebohkan dan viral adalah Ka’ab pernah mengabarkan bahwa ia lebih suka melakukan zina berpuluh-puluh kali daripada memakan barang riba. Sebagaimana ia mengatakan,

لأَنْ أَزْنِىَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ أَنْ آكُلَ دِرْهَمَ رِباً يَعْلَمُ اللَّهُ أَنِّى أَكَلْتُهُ حِينَ أَكَلْتُهُ رِباً

“Aku berzina sebanyak 33 kali lebih aku suka daripada memakan satu dirham riba yang Allah tahu aku memakannya ketika aku memakan riba.” (HR. Ahmad, 5: 225).

Keharaman riba telah disepakati oleh para ulama. Namun apakah bunga bank itu termasuk riba? Para ulama berbeda pandangan. MUI mengatakan: Iya, termasuk riba. Namun para ulama Mesir yang tergabung dalam Majma’ al-Buhuts Islamiyah (MBI) mengatakan tidak. Mufti Taqi Usmani dari Pakistan mengatakan Iya. Namun Mufti Nasr Farid Wasil dari Mesir mengatakan Tidak. Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan Iya. Sayyid Thantawi (Grand Syekh al-Azhar) mengatakan Tidak.

Jadi, buat ulama yang menganggap bunga bank termasuk riba, maka hukumnya haram, dengan segala konsekuensinya termasuk bekerja di bank konvensional. Sementara buat ulama yang menganggap bunga bank bukan termasuk riba maka hukumnya boleh, termasuk boleh bekerja di bank konvensional.

Namun belakangan ini beredar meme/gambar sampai baliho/spanduk yang mengutip hadits Nabi yang mengatakan 1 dirham riba lebih besar dosanya dari perbuatan zina sebanyak 36 kali. Bahkan ada hadits yang lebih serem lagi: Riba memiliki 72 pintu. Yang paling rendah seperti menzinahi ibu kandung.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)

Dari ‘Abdullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا

“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah, no. 2275).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

“Riba itu ada tujuh puluh dosa. Yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Ibnu Majah, no. 2274).

Mari kita bahas sanad dan matan hadits di atas. Sahihkah haditsnya?

Hadits dengan redaksi yang mirip banyak diriwayatkan melalui berbagai jalur periwayatan: Abu Hurairah, Ibn Mas’ud, dan Siti Aisyah. Para ulama sudah membahasnya dan mereka berselisih mengenai sahih atau tidaknya hadits-hadits tersebut. Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak mengatakan haditsnya sahih sesuai kriteria Bukhari-Muslim. Namun ulama lain mengatakan tidak sahih.

Hasil pelacakan saya, hadits seputar dosa riba yang melebihi dosa perbuatan zina itu sanadnya lemah dan matannya mungkar. Ini alasannya:

1. Ibn al-Jauzi menjelaskan kedhaifan riwayat-riwayat hadits semacam ini dalam kitabnya al-Maudhu’at (juz 2, halaman 247):

ليس في هذه الاحاديث شئ صحيح

‘Gak ada satupun yang sahih dalam kumpulan hadits seputar masalah ini.’

Ibn Al-Jauzi mengutip bagaimana Imam Bukhari mengomentari sejumlah perawi hadits yang bermasalah.

Abu Mujahid: haditsnya munkar.
Thalhah bin Zaid: munkar.

Jadi bagaimana mungkin dikatakan haditsnya sahih sesuai syarat Bukhari-Muslim?

2. Syaikh Abdur Rahman al-Mu’alimi al-Yamani ketika mentahqiq kitab al-Fawa’id al-Majmu’ah fi al-Hadits al-Maudhu’ah (juz 1, halaman 150) menulis

‎والذي يظهر لي أن الخبر لا يصح عن النبي صلى الله عليه وسلم البتة

“yang jelas tampak bagiku bahwa khabar (seputar topik ini) tidak benar sama sekali berasal dari Nabi SAW.”

3. Ahli hadits lainnya Abu Ishaq al-Huwaini dalam kitab Ghauts al-Makdud bi Takhrij al-Muntaqa Libnil Jarud membuat kesimpulan:

‎أن الحديث لا يمكن نسبته إلى النبي صلى الله عليه وسلم ، لا تصحيحاً ولا تحسيناً ، وأحسن أحواله أن يكون ضعيفا ، وعندي أنه باطل ، وفي متنه اضطراب كثير

“Hadits semacam ini tidak mungkin dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, statusnya tidak sahih dan juga tidak hasan. Paling banter dikatakan dha’if. Tapi buat saya haditsnya batil, dan di matan (teks)nya terdapat perbedaan redaksi yang banyak (mudtarib).”

4. Terakhir, Syekh ‘Ali as-Shayyah, dosen ilmu hadits di Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia melakukan riset tentang hadits seputar ini. Beliau menyimpulkan:

‎لم يصح شيء مرفوع إلى النبي صلى الله عليه وسلم في تَعْظيمِ الرّبَا على الزنا

“Tidak satupun hadits yang marfu’ bersambung kepada Nabi dalam topik lebih besarnya dosa riba daripada perbuatan zina”.

Jadi, dari segi sanad, hadits seputar topik ini dianggap lemah, batil, dan tidak sampai ke Nabi, oleh para ulama hadits di atas.

Dari sisi teks atau matan, hadits seputar ini juga bermasalah. Perbuatan zina itu termasuk dalam hal jinayat (pidana Islam). Sedangkan riba itu tidak termasuk dalam jinayat. Bagaimana mungkin dosa riba melebihi dosa perbuatan zina, apalagi dikaitkan dengan melebihi dosa menzinahi ibu kandung. 36 kali dosanya lebih besar. Jadi bagaimana hukuman cambuknya? 36 dikali 100 cambuk? Tidak masuk akal. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 19 Januari 2020

KAJIAN TENTANG MENJAGA LISAN DI MEDIA SOSIAL


Dalam pepatah Arab, ”lisan lebih tajam daripada pedang”. Lisan merupakan anggota badan manusia yang kecil, namun memiliki pengaruh besar pada pemiliknya antara menjadi ahli surga atau dilemparkannya ke api Neraka.

Lidah adalah anggota badan yang benar-benar perlu dijaga dan dikendalikan. Sesungguhnya lidah adalah penerjemah hati dan pengungkap isi hati. Oleh karena itulah, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan istiqamah, beliau mewasiatkan untuk menjaga lisan. Dan lurusnya lidah itu berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang. Di dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas bin Malik , dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

"Iman seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga hatinya istiqamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga lisannya istiqamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga." (HR. Ahmad, no. 12636)

Dan di dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id Al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

"Jika anak Adam memasuki pagi hari sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lesan, “Takwalah kepada Allah di dalam menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqamah, maka kami juga istiqamah, jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang." (HR. Tirmidzi, no. 2407)

Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata,

اعلم أنه لكلّ مكلّف أن يحفظَ لسانَه عن جميع الكلام إلا كلاماً تظهرُ المصلحة فيه، ومتى استوى الكلامُ وتركُه في المصلحة، فالسنّة الإِمساك عنه، لأنه قد ينجرّ الكلام المباح إلى حرام أو مكروه، بل هذا كثير أو غالب في العادة، والسلامة لا يعدلُها شيء

“Ketahuilah bahwa hendaknya setiap mukallaf menjaga lisannya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang memang tampak ada maslahat di dalamnya. Ketika sama saja nilai maslahat antara berbicara atau diam, maka yang dianjurkan adalah tidak berbicara (diam). Hal ini karena perkataan yang mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram, atau minimal (menyeret kepada perkataan) yang makruh. Bahkan inilah yang banyak terjadi, atau mayoritas keadaan demikian. Sedangkan keselamatan itu tidaklah ternilai harganya.” (Al-Adzkaar, hal. 284)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak ada manfaatnya.” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976, shahih)

Hendaknya setiap kita senantiasa menjaga diri dari berbicara atau menuliskan komentar yang tidak jelas manfaatnya. Kita tidaklah berbicara kecuali dalam hal-hal yang memang kita berharap ada manfaat untuk agama (diin) kita. Ketika kita melihat bahwa suatu perkataan itu tidak bermanfaat, maka kita pun menahan diri dari berbicara (alias diam). Kalaupun itu bermanfaat, kita pun masih perlu merenungkan: apakah ada manfaat lain yang lebih besar yang akan hilang jika saya tetap berbicara?

Sampai-sampai ulama terdahulu mengatakan bahwa jika kita ingin melihat isi hati seseorang, maka lihatlah ucapan yang keluar dari lisannya. Ucapan yang keluar dari lisan seseorang akan menunjukkan kepada kita kualitas isi hati seseorang, baik orang itu mau mengakui ataukah tidak. Jika yang keluar dari lisan dan komentarnya hanyalah ucapan-ucapan kotor, sumpah serapah, celaan, hinaan, makian, maka itulah cerminan kualitas isi hatinya.

Yahya bin Mu’adz rahimahullahu Ta’ala berkata,

القلوب كالقدور في الصدور تغلي بما فيها ومغارفها ألسنتها فانتظر الرجل حتى يتكلم فأن لسانه يغترف لك ما في قلبه من بين حلو وحامض وعذب وأجاج يخبرك عن طعم قلبه اغتراف لسانه

“Hati itu bagaikan periuk dalam dada yang menampung isi di dalamnya. Sedangkan lisan itu bagaikan gayung. Lihatlah kualitas seseorang ketika dia berbicara. Karena lisannya itu akan mengambil apa yang ada dari dalam periuk yang ada dalam hatinya, baik rasanya itu manis, asam, segar, asin (yang sangat asin), atau selain itu. Rasa (kualitas) hatinya akan tampak dari perkataan lisannya.” (Hilyatul Auliya’, 10: 63)

Sebagian orang bersikap ceroboh dengan tidak memperhatikan apa yang keluar dari lisan dan komentar-komentarnya. Padahal, bisa jadi ucapan lisan itu akan mencampakkan dia ke jurang neraka sejauh jarak timur dan barat. Contohnya, dalam hadits Jundab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ رَجُلًا قَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلَانٍ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ

“Pada suatu ketika ada seseorang yang berkata, “Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni si fulan.” Sementara Allah Ta’ala berfirman, “Siapa yang bersumpah dengan kesombongannya atas nama-Ku bahwasanya Aku tidak akan mengampuni si fulan? Ketahuilah, sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan telah menghapus amal perbuatanmu.” (HR. Muslim no. 2621)

Hamba tersebut, yang rajin beribadah, hapuslah seluruh amalnya hanya karena satu kalimat atau satu ucapan yang ceroboh tersebut.

Maka benarlah bahwa keselamatan itu adalah dengan menjaga lisan. Sahabat ‘Uqbah bin ‘Aamir radhiyallahu ‘anhu bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ

“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ

“Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu membuatmu merasa lapang (artinya: betahlah untuk tinggal di rumah), dan menangislah karena dosa-dosamu.” (HR. Tirmidzi no. 2406, shahih)

Betapa banyak kita ceroboh dalam memposting, berkomentar di sana sini, namun tulisan-tulisan itu berbuah penyesalan, kemudian kita pun harus sibuk klarifikasi sana-sini, sibuk mencari-cari alasan agar bisa dimaklumi, juga sibuk meminta maaf atas perasaan saudara dan teman yang terluka atas komentar dan ucapan kita. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi ketika kita selalu menimbang dan berpikir atas setiap ucapan dan komentar yang hendak kita ucapkan dan tuliskan.

Oleh karena itu, ketika salah seorang sahabat datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ

“Ajarkanlah (nasihatilah) aku dengan ringkas saja.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعْ الْيَأْسَ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ

“Apabila kamu (hendak) mendirikan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah. Janganlah kamu mengatakan suatu perkataan yang akan membuatmu harus meminta maaf di kemudian hari. Dan kumpulkanlah rasa putus asa dari apa yang di miliki oleh orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 4171, hadits hasan)

Betapa banyak kita men-share dan menuliskan berita-berita yang tidak (atau belum) jelas kebenarannya, kemudian penyesalan itu datang ketika kita harus berurusan dengan pihak berwajib karena dampak buruk tulisan-tulisan kita di media sosial. Dan kemudian kita pun sibuk meminta maaf, sama persis dengan nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Jumat, 17 Januari 2020

NASEHAT ANAK KECIL MEMBUAT IMAM ABU HANIFAH MENANGIS


جاء في "مقدمة حاشية ابن عابدين" (1/67) ما نصه: «رأى الإمام أبو حنيفة غلامًا يلعب بالطين ، فقال له : يا غلام ، إياك والسقوط في الطين , فقال الغلام للإمام : إياك أنت من السقوط ، لأن سقوط العالِم سقوط العالَم .

فكان أبو حنيفة لا يفتي بعد سماع هذه الكلمة إلا بعد مدارسة المسألة شهرًا كاملاً مع تلامذته

Terdapat dalam Muqaddimah Hasyiah Ibnu Abidin (1/67) dijelaskan bahwa Imam Abu Hanifah melihat seorang anak laki-laki bermain dengan lumpur, dan beliau berkata kepadanya, "Wahai anak lelaki, berhati-hatilah kamu jangan sampai jatuh ke dalam lumpur."

Dan anak lelaki itu berkata kepada Imam (Abu Hanifah), "Takutlah Engkau dari terjatuh, karena jatuhnya orang yang berilmu adalah kejatuhan alam dunia."

Abu Hanifah tidak membuat fatwa setelah mendengar perkataan (anak laki-laki) ini, kecuali setelah mempelajari masalah ini selama sebulan penuh dengan murid-muridnya. (Muqaddimah Hasyiah Ibnu Abidin (1/67)

Suatu hari juga, Nu'man bin Tsabit atau yang biasa kita kenal sebagai Imam Abu Hanifah Rahimahullah atau Imam Hanafi Rahimahullah, bertemu dengan seorang anak kecil yang berjalan dengan sepatu kayu.

Sang Imam berkata kepada anak kecil itu, “Hai nak, hati-hati dengan sepatu kayumu itu. Jangan sampai kamu tergelincir.”

Anak kecil itu pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas perhatian Abu Hanifah.

“Bolehkan saya Tanya nama anda, tuan?” Tanya si anak kecil itu.

“Namaku Numan”, jawab sang Imam.

“Jadi, tuan lah yang selama ini terkenal dengan gelar al-Imam al-A’dhom (Imam Agung) itu?” Tanya si anak kecil.

“Bukan aku yang memberi gelar itu, masyarakatlah yang berprasangka baik dan memberi gelar itu kepadaku”, jawab sang Imam.

“Wahai Imam, hati-hatilah dengan gelar anda, jangan sampai tuan tergelincir ke neraka karena gelar itu”, nasehat sang anak kecil.

Kemudian anak kecil itu melanjutkan, “Sepatu kayuku ini mungkin hanya menggelincirkanku di dunia. Tapi gelar anda itu dapat menjerumuskan anda ke dalam api neraka yang kekal jika kesombongan dan keangkuhan yang menyertainya.”

Abu Hanifah Rahimahullah pun langsung tersungkur menangis. Beliau sangat bersyukur, siapa sangka peringatan itu ternyata datang dari seorang anak kecil.

Begitu tawadhunya (rendah diri) seorang Imam Mujtahid (Abu Hanifah Rahimahullah) yang mau menerima ilmu dan nasehat dari siapa saja selama itu benar, termasuk nasehat dari anak kecil tadi.

Begitu juga dengan gelar, julukan, pangkat dan jabatan yang ditujukan kepada kita. Jangan pernah kita merasa berbangga diri dari padanya, apalagi sampai sombong dan angkuh. Semua itu hanyalah pemberian dari manusia, dan sesungguhnya hanya Allah lah yang tahu siapa diri kita, bagaimana aib kita, dan dosa-dosa yang ada pada diri kita. Segala puji dan puja yang kita terima selama ini, sesungguhnya bukanlah karena kehebatan yang kita miliki, namun karena sesungguhnya Allah masih menutupi aib diri kita.

Teruslah untuk bersikap tawadhu (rendah diri), jangan sombong dan angkuh. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar biji sawi dari sombong.” (HR. Thabrani).

Imam Abu Hanifah memiliki nama lengkap Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi. Lahir di kota Anbar, Kufah pada tahun 80 H/699 M.

Seiring berjalannya waktu, dengan keilmuannya yang mumpuni, Abu Hanifah kemudian dikenal luas sebagai ulama yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan dalam segala bidang. Tak heran, jika akhirnya ia mendapat gelar Imam al-a‘dham (imam agung) yang menjadi panutan kaum Muslimin.

Bahkan, Muhammad ibn Maslamah berkata: “Ilmu agama diturunkan oleh Allah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian diturunkan kepada para sahabat. Kemudian diturunkan kepada tabi’in. Kemudian diturunkan kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya.”

Hal ini diaminkan oleh Imam As-Syafi’i Rahimahullah dengan mengatakan, “Barangsiapa hendak mengetahui ilmu fiqih, maka belajarlah kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya. Karena manusia dalam bidang fiqih membutuhkan Abu Hanifah.” Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud memyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 14 Januari 2020

KAJIAN TENTANG KHITBAH (MEMINANG)


*WANITA-WANITA YANG DIANJURKAN UNTUK DIKHITHBAH (DIPINANG)*
(Request Jones)

Khithbah (خطبة) adalah bahasa yang sering kita terjemahkan dengan pinangan atau lamaran. Akar katanya di dalam Bahasa Arab adalah berasal dari huruf kho’, tho’ dan ba’ (خطب) yang bermakna berbicara. Dari akar kata yang sama pula diambil kata khuthbah, yang bermakna pembicaraan yang dilakukan oleh seorang juru dakwah, pada Hari Jum’at atau yang lainnya. Sedangkan khitbah ini ketika diucapkan, maka konotasinbya adalah pembicaraan yang memiliki makna khusus, yang maknanya adalah pembicaraan untuk melakukan permohonan restu kepada seorang wanita atau walinya untuk menikahinya.

Menurut As-Siba’i (Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah, I: 57)  pengertian khithbah ialah,

اَنْ يَطْلُبَ الرَّجُلُ مِنَ الْمَرْاَةِ الزَّوَاجَ بِهَا

“Laki-laki mengajukan permintaan kepada perempuan untuk dijadikan isterinya”.

التماس الخاطب النكاح من المخطوبة أو من وليها

“[Khithbah adalah] permintaan menikah dari pihak laki-laki yang mengkhithbah kepada perempuan yang akan dikhitbah atau kepada wali perempuan itu.” (Mughni Al-Muhtaj, 3/135).

Khithbah ada dua cara yaitu dengan jelas (Tashrih) atau dengan sindiran (Ta'ridh).

Khithbah Tashrih adalah ungkapan yang jelas dan tegas, dimana khitbah disampaikan dengan menggunakan ungkapan yang tidak bisa ditaafsirkan apapun kecuali hanya khithbah. Seperti kalimat berikut ini,
"Aku melamar dirimu untuk menjadi istriku."

Khithbah Ta’ridh. Yang dimaksud dengan ta’ridh (تعريض) adalah penyampaian khitbah yang menggunakan kata sindiran, sehingga bisa ditafsirkan menjadi khitbah atau juga bisa bermakna sesuatu yang lain di luar khithbah. Contoh kata sindiran seperti,

اني أريد التزوج. او: لوددت أن يسرالله لي امرأة صالحة.

“Sesungguhnya aku ingin menikah," atau "Semoga Allah memudahkanku untuk mencari wanita shalihah”.

Khitbah disyari’atkan di dalam Islam berdasarkan firman Allah Ta’ala,

 وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

 “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma`ruf. Dan janganlah kamu ber`azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (QS. Al-Baqarah : 235)

Ada beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang anjuran wanita yang harus dikhithbah sebagai berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْهم عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wanita itu dinikahi karena empat hal : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Carilah wanita yang beragama, maka kamu akan beruntung”. [HR Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’I, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Ad Darimi]

عَنِ ابْنِ عَمْرُو رََضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ نَكَحَ الْمَرْأَةَ لِمَالِهَا وَجَمَالَهَا حُرِمَ مَالُهَا و جَمَالُهَا وَمَنْ نَكَحَ لِدِيْنِهَا رَزَقَه اللهُ مَالَهَا وَجَمَالَهَا

Dari Abdullah bin Amru ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menikahi seorang perempuan karena hartanya dan kecantikannya, maka dia tidak akan mendapatkan hartanya dan kecantikannya. Dan barangsiapa yang menikahinya karena agamanya, maka Allah akan mengkaruniakan kepadanya kecantikannya dan hartanya”. [HR Thabrani]

عَنْ أنَسِ بْنِ مَالِك رََضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأةً لِعِزِّهَا لَمْ يَزِدهُ اللهُ إلاَّ ذُلاًّ , وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لَمَالِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إلاَّ فَقْرًا , وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِحَسَبِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إلاَّ دَنَاءَةً , وَمَنْ تَزَوَّجَ امْرَأةً لَمْ يُرِدْ بِهَا إلاَّ أنْ يَغُضَّ بَصَرَهُ وَيُحْصِنَ فَرْجَهُ أوْ يَصِلَ رَحِمَهُ بَرَكَ اللهُ لَهُ فِيْهَا وَبَارَكَ اللهُ لَهَا فِيْهِ

Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena kemulyaannya, maka Allah hanya akan menambahkan kehinaan untuknya. Barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena hartanya, maka Allah hanya akan menambahkan kefakiran untuknya.  Barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena keturunannya, maka Allah hanya akan menambahkan kerendahan untuknya. Dan barangsiapa yang menikahi seorang wanita dan dia berkeinginan untuk menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya atau untuk menjalin silarurahmi, maka Allah akan memberikan berkah kepada keduanya”. [HR. Ibnu Hibban]

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مَئُونَةً

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Wanita yang paling besar berkahnya adalah yang paling mudah mahar dan biaya hidupnya”. [HR. Ahmad]

عَنْ عاَئشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مِنْ يُمْنِ الْمَرْأةِ أنْ تَتَيَسَّرَ خِطْبَتُهَا وَأنْ يَتَيَسَّرَ خِطْبَتُهَا وَأنْ يَتَيَسَّرَ رَحِمُهَا

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Diantara tanda keberkahan seorang wanita adalah jika mudah pinangannya, mudah mudah maharnya dan mudah rahimnya (subur rahimnya)." [HR. Ahmad dan Baihaqi]

Berdasarkan hadits-hadits diatas, maka kriteria wanita yang dianjurkan untuk dikhithbah adalah sebagai berikut :
1). Beragama baik dan shalehah. Terlebih lagi jika berasal dari keturunan yang baik, memiliki harta dan cantik.
2). Mudah pinangannya dan maharnya
3). Subur kandungannya
4). Dalam pesan Bangsa Arab disebutkan bahwa ada lima jenis wanita yang seharusnya dihindari untuk dijadikan istri, yaitu :
a. ANNANAH, yaitu wanita yang senantiasa mengeluh setiap harinya, karena sakit-sakitan atau pura-pura sakit,
b. MANNANAH, yaitu wanita yang suka mengungkit-ungkit jasa yang pernah dia lakukan untuk suaminya atau keluarganya,
c. HANNANAH, yaitu wanita yang selalu menyatakan rindu kepada suaminya yang terdahulu,
d. BARRAQAH, yaitu wanita menghabiskan waktunya sepanjang hari dihadapan cermin untuk merias wajahnya dan tubuhnya.
e. SYADDAQAH, yaitu wanita yang cerewet dan bawel. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*