Kamis, 08 Agustus 2019

KAJIAN TENTANG HUKUM UPAH PANITIA DAN JAGAL (TUKANG POTONG) KURBAN


Panitia kurban di tengah masyarakat biasanya merangkap sebagai tim jagal yang menyembelih, menguliti, mencincang, dan membuat paketan hewan kurban yang baru disembelih yang siap didistribusikan ke masyarakat. Kalau panitia kurban dipandang sebagai tim jagal, maka mereka tidak berhak menerima bagian hewan kurban (baik kulit, daging, maupun bagian lainnya) dari orang yang menunaikan ibadah kurban sebagai upah.

Pasalnya, orang yang menunaikan ibadah kurban diharamkan untuk memberikan sebagian dari hewan kurbannya kepada tim jagal sebagai upah bagi mereka. Orang yang menunaikan ibadah kurban harus menyiapkan dana atau benda berharga lainnya di luar daging atau kulit hewan kurbannya sebagai upah untuk mereka.

Kita akan melihat posisi panitia dalam kegiatan kurban,

*Pertama,* panitia adalah pihak yang diamanahi sohibul kurban untuk menangani hewan kurbannya, dari penyembelihan sampai distribusi hasil kurban. Ada juga yang diamanahi dari sejak pengadaan hewan.

*Kedua,* berdasarkan pengertian di atas, posisi panitia adalah wakil bagi sohibul kurban.

*Ketiga,* panitia berhak mendapatkan upah dari sohibul kurban, atas jasanya menangani hewan kurbannya. Statusnya transaksinya al-wakalah bil ujrah (mengambil upah karena telah mewakili)

Syekh Nawawi Al-Bantani menjelaskan alasan kenapa orang yang berkurban dilarang memberikan daging atau kulit hewan kurban kepada tim jagal sebagai upah. Tetapi jika orang yang berkurban itu memberikan daging atau kulit hewan kurban kepada panitia kurban yang merangkap tim jagal dengan niat sedekah, maka pemberian itu tidak dilarang.

ـ (ويحرم أيضا جعله) أي شيئ منها (أجرة للجزار) لأنه في معنى البيع (ولو كانت الأضحية تطوعا) فإن أعطى للجزار لا على سبيل الأجرة بل على سبيل التصدق جزءا يسيرا من لحمها نيئا لا غيره كالجلد مثلا، ويكفي الصرف لواحد منهم، ولا يكفي على سبيل الهدية

“(Menjadikannya) salah satu bagian dari kurban (sebagai upah bagi penjagal juga haram) karena pemberian sebagai upah itu bermakna ‘jual’, (meskipun itu ibadah kurban sunnah). Jika kurbanis memberikan sebagian daging kurban mentah, bukan selain daging seperti kulit, kepada penjagal bukan diniatkan sebagai upah, tetapi diniatkan sebagai sedekah [tidak masalah]. Pemberian daging kurban kepada salah satu dari penjagal itu memadai, tetapi tidak memadai bila diniatkan hadiah,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tausyih ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1417 H], halaman 272).

Berbeda dari Syekh Nawawi Banten yang menganggap pemberian kepada tim jagal dengan niat hadiah itu tidak memadai, Syekh M Ibrahim Al-Baijuri berpendapat lain.

Menurut Al-Baijuri, orang yang berkurban dilarang memberikan sesuatu dari hewan kurban kepada tim jagal dengan niat sebagai upah mereka. Kalau pemberian itu diniatkan sebagai sedekah atau hadiah untuk mereka, maka hal itu tidak masalah.

ـ (ويحرم أيضا جعله أجرة للجزار) لأنه في معنى البيع فإن أعطاه له لا على أنه أجرة بل صدقة لم يحرم  وله إهداؤه وجعله سقاء أو خفا أو نحو ذلك كجعله فروة وله إعارته والتصدق به أفضل

“(Menjadikan [daging kurban] sebagai upah bagi penjagal juga haram) karena pemberian sebagai upah itu bermakna ‘jual’. Jika kurbanis memberikannya kepada penjagal bukan dengan niat sebagai upah, tetapi niat sedekah, maka itu tidak haram. Ia boleh menghadiahkannya dan menjadikannya sebagai wadah air, khuff (sejenis sepatu kulit), atau benda serupa seperti membuat jubah dari kulit, dan ia boleh meminjamkannya. Tetapi menyedekahkannya lebih utama,” (Lihat Syekh M Ibrahim Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 311).

Dari berbagai keterangan di atas, kita dapat menarik simpulan bahwa orang yang berkurban dilarang memberikan sesuatu dari hewan kurbannya kepada tim jagal dengan niat sebagai upah kerja mereka. Tetapi ketika tim jagal itu tidak lain adalah tim panitia kurban sendiri, orang yang berkurban tetap dapat memberikan daging atau kulit mereka dengan niat sedekah, bukan niat sebagai upah.

Dengan asumsi bahwa tim jagal itu tidak lain adalah tim panitia kurban sendiri dan berbagai keterangan fiqih tersebut, kita dapat mengatakan bahwa panitia kurban tetap berhak menerima daging atau kulit hewan kurban yang diniatkan sedekah, bukan upah dari mereka yang berkurban. Dijelaskan dalam sebuah riwayat,

وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – أَمَرَنِي اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَقْوَمَ عَلَى بُدْنِهِ, وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا عَلَى اَلْمَسَاكِينِ, وَلَا أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئاً – مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan padaku untuk mengurus unta (unta hadyu yang berjumlah 100 ekor, -pen) milik beliau, lalu beliau memerintahkan untuk membagi semua daging kurban, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh di punggung unta untuk melindungi diri dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan aku tidak boleh memberikan bagian apa pun dari hasil kurban kepada tukang jagal (sebagai upah).” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 1707 dan Muslim no. 1317).

Hal penting yang bisa disimpulkan dari hadits di atas, “Boleh mewakilkan dalam pengurusan kurban, pembagian daging kurban, juga dalam menyedekahkan.”
(Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughil Marom, 9: 299).

Cara mewakilkan misalnya diserahkan pengurusan kurban tersebut kepada suatu kepanitiaan di masjid terdekat, bahkan tidak ada masalah jika mewakilkan ke daerah yang membutuhkan yang berbeda kota dengan cukup mentransfer uang.

Upah untuk Jagal dari hasil kurban
Hadits ‘Ali di atas juga menunjukkan, “Bolehnya mengupah orang lain untuk menyembelih kurban asalkan upahnya tidak diambil dari hasil sembelihan kurban. Tidak boleh memberi tukang jagal sedikit pun dari daging kurban. Karena kalau memberi dari hasil kurban pada tukang jagal, itu sama saja menjual bagian kurban.” (Minhatul ‘Allam, 9: 299).

Dari hadits tersebut, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan kurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 453)

Dalam Kifayatul Akhyar (hal. 489) karya Abu Bakr bin Muhammad Al Husayinniy Al Hushniy Asy Syafi’i disebutkan, “Yang namanya hasil kurban adalah dimanfaatkan secara cuma-cuma, tidak boleh diperjualbelikan. Termasuk pula tidak boleh menjual kulit hasil kurban. Begitu pula tidak boleh menjadikan kulit kurban tersebut sebagai upah untuk jagal, walau kurbannya adalah kurban yang hukumnya sunnah.” Hal yang serupa disebutkan pula dalam Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’ karya Muhammad bin Muhammad Al Khotib (juz 2 hal.452).

Kalau hasil kurban (seperti daging, kulit dan sejenisnya) diserahkan/dibagikan kepada panitia atau jagal karena alasan status sosialnya yaitu dia miskin atau sebagai hadiah/pemberian dan bukan sebagai upah, maka tidaklah mengapa.

*Bolehkah Panitia Memasak Daging Kurban?*

Panitia kurban dibolehkan mengambil dan memasak sebagian dari hewan kurban (daging, kulit, kepala, dan lainnya), selama bukan sebagai upah. Hal itu karena mereka menjadi wakil dari pengkurban.

Adapun jika mereka sudah mendapat upah berupa uang sebagai imbalan kerja, mereka tetap boleh menerima daging atau kulit sebagai pemberian/hadiah dari si pengkurban, bukan upah kerja.

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata:

أن نبي الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يقوم على بدنة وأمره أن يقسم بدنه كلها لحومها وجلودها وجلالها في المساكين ولا يعطي في جزارتها منها شيئا

”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi penyembelihan unta kurbannya dan juga membagikan semua kulit bagian tubuh dan kulit punggungnya. Dan aku tidak diperbolehkan untuk memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam lafaz lainnya nabi mengatakan,

نحن نعطيه الأجر من عندنا

”Kami mengupahnya (jagal) dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim).

Meski demikian, bukan berarti panitia kurban tidak berhak menerima sama sekali dari hasil kurban yang diurusnya. Panitia kurban boleh menerima hasil hewan kurban sebagai hadiah, sedekah, asal bukan sebagai upah dari pekerjaan mengurus pelaksanaan hewan kurban dari awal sampai akhir. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar