Kamis, 22 Agustus 2019

KAJIAN TENTANG DAKWAH YANG MENIMBULKAN KERESAHAN DAN KETAKUTAN


Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An Nahl : 125).

Tatkala mendengar kata dakwah, yang terbesit dalam benak kita mungkin sebuah aktifitas keagamaan yang diisi dengan ceramah atau pengajian di dalamnya. Dalam sejarahnya, para ulama atau da’i dalam melakukan dakwah bertujuan utama mengajak manusia menuju jalan yang diridhoi oleh Allah dalam naungan agama Islam dengan tuntunan aqidah dan syariat di dalamnya. Selain itu, tujuan dakwah juga untuk menumbuhkan pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Realisasi dari tujuan dakwah dapat dilihat dari bagaimana seorang muslim berperilaku dan beraktifitas dalam kesehariannya.

Penyebaran Islam di Indonesia tidak bisa mengesampingkan proses dakwah, dimana dakwah pada masa silam berjalan secara gradual dalam arti prosesnya secara bertahap menyesuaikan kondisi masyarakat dan adat istiadat di dalamnya, sehingga Islam dapat diterima dan bahkan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kuantitas muslim terbesar di dunia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika beliau mengutus Mu'ad bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy'ari ra dakwah ke Yaman,

يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلاَ تَخْتَلِفَا

“Mudahkanlah (dalam dakwahmu) janganlah mempersulit dan gembirakanlah jangan membikin manusia lari (dari kebenaran) dan saling membantulah (dalam melaksanakan tugas) dan jangan berselisih” [HR. Bukhari dan Muslim]

Realita terkini, pergerakan dakwah di Indonesia semakin ekspansif, terlebih setelah berakhirnya rezim orde baru yang ditandai dengan era reformasi yang mengusung konsep demokrasi, seakan membuka ruang aktifitas dakwah menjadi tak terbendung hingga beberapa individu memunculkan beberapa macam aliran keagamaan baru di kalangan masyarakat Islam serta mengklaim sebagai aliran paling benar.

Orientasi dakwah yang terjadi saat ini cenderung bertujuan pada perlombaan memperbanyak pengikut, jamaah, aliran atau kelompok tertentu. Selain itu, antara satu aliran dengan yang lain seringkali terjadi perselisihan yang berakibat pada saling menyalahkan dan menganggap sesat dengan dasar argumen masing-masing, bahkan yang lebih parah adalah munculnya vonis “kafir” terhadap sesama umat Islam yang tidak satu aliran, apalagi sikap dan pandangan mereka terhadap non-muslim tentu lebih buruk lagi bahkan sampai mencela atau mencaci. Padahal Allah Ta'ala melarangnya,

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. Al-An'am : 108).

Jika pergerakan dakwah tetap mengusung kekerasan atas nama kebenaran, maka dimanakah letak agama Islam yang mengusung konsep “Rahmatan lil ‘Alamin”? Sungguh sangat mengkhawatirkan jika aplikasi dakwah yang berorientasi pada konsep Hikmah dan Mauidhah Al-Hasanah berubah menjadi media yang membuat umat resah.

Maraknya juru dakwah yang belakangan dinilai meresahkan, baik karena materi yang disampaikan menuai pro-kontra atau bahkan profokatif mengilhami kalangan elit pesantren untuk segera mengambil alih posisi strategis dalam berdakwah untuk mengambil alih dakwah radikal menuju Dakwah Bil Hikmah Wal Mauidhoh Al-Hasanah. Sikap radikal dalam dakwah islam yang artinya sikap dan cara berdakwah yang mengajarkan dan menuntut perubahan dengan cara keras dan kasar baik ucapan maupun tindakan. Sementara ajaran islam melarang tindakan radikal atau kekerasan dalam dakwahnya. Islam mengajarkan kelembutan dan itu tanda kasih sayang.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS. Ali Imran : 159)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya sikap lemah lembut tidak akan berada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (dengan kebaikan). Sebaliknya, jika lemah lembut itu dicabut dari sesuatu, melainkan ia akan membuatnya menjadi buruk.” (HR. Muslim no. 2594)

Meneror atau menakut-nakuti orang lain itu termasuk berbuat dosa. Pernah di antara sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama beliau, lalu ada seseorang di antara mereka yang tertidur dan sebagian mereka menuju tali yang dimiliki orang tersebut dan mengambilnya. Lalu orang yang punya tali tersebut khawatir (takut). Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Abu Daud no. 5004 dan Ahmad 5: 362).

Dalam sebuah riwayat yang tertulis pada kitab Musnad Ahmad bin Hambal tertulis:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ : حَدَّثَنَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كَانُوا يَسِيرُونَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسِيرٍ ، فَنَامَ رَجُلٌ مِنْهُمْ ، فَانْطَلَقَ بَعْضُهُمْ إِلَى نبْلٍ مَعَهُ ، فَأَخَذَهَا ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ فَزِعَ ، فَضَحِكَ الْقَوْمُ ، فَقَالَ : مَا يُضْحِكُكُمْ ؟ ، فَقَالُوا : لا ، إلا أَنَّا أَخَذْنَا نبْلَ هَذَا فَفَزِعَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

Dari Abdurrahman bin Abi Laila berkata: suatu ketika sejumlah sahabat melakukan perjalanan bersama Rasulullah. Ketika beristirahat, salah satu di antara mereka tertidur pulas. Sedang beberapa sahabat yang lain masih terjaga. Kemudian mereka mengambil tombak seseorang yang tertidur itu dengan maksud menggodanya (bercanda). Maka ketika yang tertidur itu bangun, paniklah ia karena tombaknya hilang. Kemudian sahabat-sahabat yang lain tertawa. Maka Nabi bertanya, “apa yang membuat kalian tertawa?” Para Sahabat menjelaskan candaan tadi. Lalu Nabi pun bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim membuat panik muslim lainnya! ” (HR. Ahmad)

Riwayat tersebut patut kita renungi secara lebih mendalam. Peristiwa dalam riwayat itu sekilas nampak merupakan peristiwa biasa, bahkan terkesan hanya sebuah candaan, yaitu beberapa orang sahabat Nabi menggoda teman mereka yang ketiduran dengan menyembunyikan tombaknya. Namun sikap Nabi kemudian tiba-tiba menjadi sangat serius. Dan bahkan kemudian Nabi bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim membuat panik muslim lainnya!”

Dengan kata lain, “membuat panik orang lain” adalah memang persoalan besar yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini berarti pula harus kita garis bawahi, bahwa kalau dalam rangka bercanda saja kita tidak boleh membuat orang lain panik atau ketakutan, maka apalagi jika dalam kondisi serius. Tentu adalah sangat haram membuat orang lain ketakutan.

Lebih jauh dalam riwayat Imam Al-Bazzar dan At-Tabrany tertulis berikut ini,

أن رجلًا أَخَذَ نَعْلَ رَجُلٍ فَغَيَّبَهَا أي أَخْفَاهَا وَهُوَ يَمْزَحُ، فَذَكَرَ ذلك لِرسولِ الله فقال: لا تُرَوِّعُوْا المسلمَ، فإنَّ رَوْعَةَ المسلمِ ظُلْمٌ عظيمٌ

Seseorang mengambil sandal orang lain dengan bercanda. Lalu hal itu dibicarakan kepada Nabi dan Nabi pun bersabda, “Jangan kalian membuat panik seorang muslim. Sebab membuat panik seorang muslim adalah kedhaliman yang besar!” (HR. Al-Bazzar)

Riwayat ini juga jelas senada dengan riwayat Imam Ahmad di atas. Dan untuk melengkapi dalil-dalil yang mengharamkan kita menakut-nakuti atau membuat panik orang lain, maka mari kita baca hadits riwayat Abu Syaikh dan At-Tabrani berikut,

مَنْ نَظَرَ إلى مُسلمٍ نَظْرَةً يُخِيْفُهُ فِيْهَا بِغيرِ حَقٍّ أَخَافَهُ اللهُ تعالى يومَ القيامة

"Barangsiapa melihat muslim lainnya dengan penglihatan yang menakutkan tanpa alasan yang dibenarkan, maka  nanti di hari kiamat Allah akan menakut-nakutinya." (HR. Tgabrani)

Dari beberapa riwayat hadits diatas, menjadi sangat jelas bagi kita bahwa haram hukumnya membuat orang lain ketakutan atau panik, meskipun itu hanya sekedar dalam rangka bercanda. Maka yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah, mengapa akhir-akhir ini semakin marak gejala dakwah yang radikal, kasar, bahkan menakutkan? Bukankah terorisme berasal dari kata teror yang artinya adalah menakut-nakuti? Jadi paham atau dakwah yang radikal adalah paham yang menimbulkan rasa ketakutan kepada orang lain akibat dampak dakwah, ucapan dan tindakan seseorang ataupun kelompok. Wallahu a'lam bis-Shawab

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar