Senin, 26 Agustus 2019

HUKUM BERMAKMUM KEPADA IMAM YANG BACAANNYA TIDAK FASIH


Assalamu’alaikum wr.wb

Apakah hukumnya jika seseorang imam kedapatan membaca surat Al-Qur'an tidak fasih padahal di dalamnya terdapat makmum yang mengetahui hukum tajwid dan tartil bacaan tersebut dengan baik, lalu bagaimana hukumnya si makmum tersebut?

*Jawab*

Wa'alaikumussalam wr.wb. saudaraku....

Dalam Islam, Allah selaku syari’ (pembuat syari’at) menaruh perhatian yang cukup besar terhadap penentuan imam dalam shalat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad dari Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً، فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ» قَالَ الْأَشَجُّ فِي رِوَايَتِهِ: مَكَانَ سِلْمًا سِنًّا

Dari Ibnu Mas’ud, berkata bahwasannya Rasulullah SAW bersabda “yang paling berhak menjadi imam suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca Al Quran. Jika mereka setara dalam bacaan Al Quran yang menjadi imam adalah yang paling mengerti tentang sunnah Nabi. Apabila mereka setingkat tentang pengetahuan mengenai sunnah Nabi maka yang paling pertama melakukan hijrah. Jika mereka sama dalam amalan hijrah yang lebih dulu masuk Islam.
Berdasarkan hadis di atas, dapat kita pahami bahwa Allah secara syari’ telah memberikan petunjuk kepada kita dalam proses menentukan seorang imam. Bahwasannya, seseorang yang memiliki kefasihan dalam membaca surat al Fatihah dan ayat-ayat Al Quran adalah yang harus di dahulukan. Namun, dalam proses pengambilan natijah (kesimpulan hukum), ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat yang dipimpin oleh imam yang ummi (tidak fasih bacaan Al Qurannya) atau kebalikan dari qori’. (HR. Muslim)

Lalu, bagaimanakah hukum shalat seorang makmum yang qori’ kepada orang yang ummi? Dalam hal ini, Jumhur al-Fuqaha’ menyepakati bahwa tidak sah bermakmum kepada orang yang tidak fasih bacaan Al Qurannya, namun sebagian ulama membolehkan secara mutlak sebagaimana Imam al-Muzni. Imam Syafi’i memiliki dua pendapat yang berbeda antara qaul qadim dan jadidnya, dalam qaul jadidnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukumnya tidak sah, namun dalam qaul qadimnya justru berpendapat sah apabila dalam shalat sirriyah, semisal shalat Ashar dan Dhuhur.

Sebagaimana keterangan kitab Tuhfah al Muhtaj fii syarh al Minhaj juz 8 halaman 35 di bawah ini;

( ولا ) قدوة ( قارئ بأمّيّ في الجديد ) وإن لم يمكنه التّعلّم ولا علم بحاله لأنّه لا يصحّ لتحمّل القراءة عنه لو أدركه راكعا مثلا ومن شأن الإمام التّحمّل ويصحّ اقتداؤه بمن يجوز كونه أمّيّا إلّا إذا لم يجهر في جهريّة فتلزمه مفارقته فإن استمرّ جهلا حتّى سلّم لزمته الإعادة ما لم يبن أنّه قارئ

Sah bermakmum kepada orang yang ummi kecuali dalam shalat jahriyyah. Adapun dalam shalat jahriyyah maka wajib mufaroqoh, apabila orang tersebut terus melanjutkan dalam posisi jahl (tanpa mengetahui apakah imam tersebut ummi atau qori’) maka wajib mengulangi shalatnya sampai jelas bahwa imam tersebut qori’.

Dalam redaksi lain, kitab al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah juz 6 halaman 34  dijelaskan bahwa tidak boleh bermakmumnya qori’ dengan ummi menurut jumhurul fuqoha’ (hanafiah, malikiyah, hanabilah, dan qaul jadid dari madzhab syafii’yah) karena imam itu orang yang menanggung terhadap bacaannya makmum, dan tidak mungkin bagi seorang yang ummi untuk menanggung bacaan karena tidak mampunya membaca, dan yang di maksud dengan ummi di sini menurut fuqoha’yaitu “orang yang tidak bagus bacaannya dan dia berada dalam keadaan shalat”. Dan diperbolehkan bermakmumnya qori’ dengan ummi menurut qoul qodim dari madzhab syafi’iyah dalam shalat sirriyah bukan jahriyyah, dan menurut Imam Muzanni sah bermakmumnya secara mutlak.

Imam al-Nawawi dalam kitab Raudlat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin telah merinci penjelasan mengenai hukum bermakmum kepada imam yang tidak bias/baik membaca al-Fatihah.

فَإِنْ أَخَلَّ بِأَنْ كَانَ أُمِّيًّا، فَفِي صِحَّةِ اقْتِدَاءِ الْقَارِئِ بِهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ. الْجَدِيدُ الْأَظْهَرُ: لَا تَصِحُّ. وَالْقَدِيمُ: إِنْ كَانَتْ سِرِّيَّةً صَحَّ، وَإِلَّا فَلَا. وَالثَّالِثُ: مُخَرَّجٌ أَنَّهُ يَصِحُّ مُطْلَقًا.

“Jika orang yang menjadi Imam itu adalah yang tidak bisa membaca Alquran/al-Fatihah (Ummy), maka hukum sah salat bagi makmum yang lebih fasih ada tiga pendapat: pendapat pertama jadid tidak sah, sedang pendapat kedua sah jika sedang salat sirriyyah (tidak mengeraskan suara: Zuhur, Ashar), jika salat jahriyyah (Subuh, Magrib, Isya) tidak sah. Adapun pendapat ketiga, pendapat paling lemah (mukharraj/dha’if), sah secara mutlak”.

Dari keterangan di atas, Imam al-Nawawi selanjutnya menjelaskan bahwa ia lebih cenderung kepada pendapat yang pertama yakni tidak sah.

Akan tetapi, penulis berpendapat jika kita terlanjur bermakmum, tetapi tidak ingin membuat imam tersinggung, alangkah baiknya niat mufarraqah (berniat memisahkan diri dari jamaah) dan tetap mengikuti gerakan salat sesuai ritme imam. Agar hubungan sosial tidak rusak dengan berupaya sebisa mungkin mengajak si imam untuk belajar kembali membenarkan bacaan Al-Qur'annya. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*واللع الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar