Jumat, 12 Juli 2019
KAJIAN TENTANG KRITERIA MENJADI IMAM SHALAT
Bila kita hendak melakukan perjalanan, satu hal yang perlu kita persiapkan yakni alat transportasi. Saya tidak hendak membahas secara panjang lebar persiapan perjalanan, tetapi saya akan berbicara tentang satu hal yang tak mungkin di abaikan dalam sebuah perjalanan, alat transportasi.
Jika kedudukan kita sebagai penumpang, tak banyak persoalan. Namun bila posisi kita sebagai driver atau pengemudi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan aturan yang tidak boleh di langgar. Diantaranya, pengemudi harus memiliki surat izin mengemudi (SIM). Surat ini dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yaitu kepolisian setelah melalui beberapa tahapan tes keahlian mengemudi. Tentu, keahlian mengemudi diperoleh dengan belajar mengemudi, baik melalui kursus mengemudi ataupun belajar sendiri dengan dibimbing seorang instruktur yang ahli.
Shalat merupakan perjalanan spiritual seorang hamba kepada Tuhannya. Tentu, sebagaimana kita mempersiapkan segala sesuatu saat bepergian, begitu pula bila kita hendak shalat. Shalat ibarat kendaraan yang memerlukan seorang pengemudi yaitu Imam. Seperti halnya driver, Imam juga diharuskan memenuhi persyaratan tertentu. Diantaranya, ia harus mengetahui dan memahami seluk beluk shalat, syarat dan rukunnya serta hal-hal yang membatalkannya. Tidak hanya itu, ia juga dituntut bagus bacaan Al-Qur'annya. Sebab, ayat Al-Qur'an (Al-Fatihah) ibarat kemudi pada shalat. Tanpa kemudi, kendaraan tidak dapat dijalankan dan tanpa bacaan Al-Fatihah yang sempurna, shalat tidak sah.
Hadits Abu Sa’id al Khudri rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا كَانُوا ثَلاَثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ »
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Jika kalian berjumlah tiga orang (dan hendak mengerjakan shalat berjama'ah) makan hendaklah salah seorang dari kalian yang paling banyak hafalannya (qori’) menjadi imam”. (HR. Muslim no.672)
Hadits Amr bin Salamah,
صَلُّوا صَلاَةَ كَذَا فِى حِينِ كَذَا ، وَصَلُّوا كَذَا فِى حِينِ كَذَا ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ ، فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنً
“Shalatlah kalian pada keadaan demikian, Shalatlah kalian pada keadaan demikian, jika telah datang waktu shalat maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan dan hendaklah salah seorang dari kalian yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya menjadi imam”. (HR. Bukhari no.4302)
Kata imam dalam bahasa Arab adalah pemimpin, pemuka. Sedangkan imam menurut istilah, adalah pemuka di dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam. Sedangkan pengertian imam dalam konteks shalat atau imam shalat, adalah pimpinan dalam shalat jamaah, baik dalam kedudukannya yang tetap maupun dalam keadaan yang sementara, sang imam berdiri paling depan dari barisan jamaah shalat.
Seorang imam shalat, biasanya adalah orang yang dianggap baik dalam shalatnya, orang-orang yang berhati-hati mengerjakan shalat, yang memperbaiki cara-cara shalat, agar mendapat ganjaran orang-orang yang menjadi pengikut (makmum) dan bukan mendapat dosa dari kesalahan orang yang berada di belakangnya.
Di antara ulama yang enggan menjadi imam shalat berjama'ah karena dirinya merasa tidak pantas adalah Imam Syafi'i. Beliau lebih suka menjadi muadzin dibanding menjadi imam karena tanggung jawab seorang imam shalat berjema'ah sangat besar. Dalam kitab Al-Majmu', Imam Nawawi menukil perkataan Imam Syafi'i sebagai berikut,
أُحِبُّ الْأَذَانَ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” اللَّهُمَّ اغفر للمؤذين ” وَأَكْرَهُ الْإِمَامَةَ لِلضَّمَانِ وَمَا عَلَى الْإِمَامِ فِيهَا
“Saya senang azan karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdo'a, ‘Ya Allah, ampunilah orang-orang yang mengumandangkan adzan. Dan saya tidak suka menjadi imam karena tanggung jawab yang harus ditanggung seorang imam.”
Oleh karena itu, bagi seseorang yang tidak memenuhi kriteria menjadi imam, hendaknya dia mawas diri dan menyerahkan tugas imam kepada orang yang memang pantas menerimanya. Setidaknya, ada enam kriteria menjadi imam salat berjemaah, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ramli dalam kitab Syarh ‘Ala Hadiiyatin Nashih berikut,
لِلْإِمَامِ صِفَاتٌ : صِفَاتٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَصِفَاتٌ مَشْرُوْطَةٌ ، فَالْمُسْتَحَبَّةُ سِتَّةٌ وَهِيَ الْفِقْهُ وَالْقِرَاءَةُ وَالْوَرَعُ وَالسِّنُّ وَالنَّسَبُ وَالْهِجْرَةُ
“Imam memiliki beberapa kriteria, yaitu kriteria yang dianjurkan ada dan kriteria yang disyaratkan ada. Adapun kriteria yang dianjurkan ada adalah mengerti tentang hukum salat, benar dan fasih bacaan Al-Qur'annya, wara’, tua, memiliki keturunan mulia dan lebih dahulu hijrah.”
Jika seseorang sudah memenuhi enam kriteria ini, atau minimal memenuhi tiga kriteria pertama, maka dia pantas untuk menjadi imam salat berjemaah. Namun jika tiga kriteria pertama tidak terpenuhi, maka dia tidak pantas menjadi imam shalat berjema'ah. Jika tidak mengerti hukum-hukum shalat, atau bacaan Al-Qur'annya tidak fasih, atau tidak wara’ karena masih sering berbuat maksiat, maka sebaiknya tidak perlu menjadi imam shalat berjema'ah.
Kriteria seorang muslim yang berhak menjadi imam telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits secara berurutan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Yang berhak menjadi imam shalat untuk suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca Al-Qur’an. Jika mereka setara dalam bacaan Al- Qur’an, (yang menjadi imam adalah) yang paling mengerti tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila mereka setingkat dalam pengetahuan tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (yang menjadi imam adalah) yang paling pertama melakukan hijrah. Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang lebih dahulu masuk Islam.” (HR. Muslim no. 673 dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu) Dalam riwayat lain, ada tambahan lafadz,
فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا
“Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang paling tua di antara mereka.”
Dengan demikian, yang paling berhak menjadi imam shalat secara berurutan adalah;
1. Yang paling pandai membaca Al-Qur’an. Jika sama-sama pandai,
2. Yang paling mengerti tentang sunnah Nabi radhiyallahu ‘anhu. Jika sama-sama mengerti,
3. Yang paling pertama melaksanakan hijrah. Jika sama dalam hal hijrah,
4. Yang lebih dahulu masuk Islam. Jika bersama masuk Islam,
5. Yang lebih tua.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan Al-Aqra’, apakah yang paling baik bacaannya ataukah yang paling banyak hafalannya? Jawabannya adalah yang paling baik bacaannya. Maknanya, yang bacaannya sempurna dengan pengucapan huruf sesuai dengan makhrajnya. Adapun keindahan suara bukanlah syarat.
Kriteria Imam Shalat dalam kitab Fiqih Syafi'iah Syarah Sulam At-Taufiq dijelaskan sbb:
للامام صفات
Imam mempunyai berbagai sifat
صفات مستحبة و صفات مشروطة
1. Sifat-sifat Imam yang di sunnahkan/disukai (dianjurkan )
2. Sifat-sifat Imam yang di syaratkan/tidak boleh ditinggalkan
فالمستحبة ستة وهى الفقه و القراءة و الورع و السن و النسب و الهجرة
Sunah-sunnah Menjadi Imam ada 6 (sunnah bukan syarat, hanya makruh bila meningalkanya )
1. Faqih ( Faham ilmu agama )
2.Qira'ah ( banyak hafalan dan menurut Imam Subki yang bagus bacaan Al-Qur'annya)
3.Wara' (mempunyai sifat wara', hati-hati dalam mengamalkan agama)
4.Sinnun (Umur lebih tua)
5.Nasab (keturunan mulia)
6.Hijrah (yang melakukan hijrah dengan Nabi) sekarang sudah tidak ada dan qiyasnya lebih awal menjalankan perintah agama.
و المشروطة خمسة احدها و ثانيها ان لا يكون محدثا او جنبا و ثالثها ان لا يكون على ثوبه او بدنه نجاسة غير معفو عنها و رابعها ان لا يترك الاعتدال و الطمأنينة فى الصلاة و او نفلا و خامسها ان لا يترك قراءة الفاتحة مع امكانها
Syarat-syarat Imam 5 (yang tidak boleh di tinggalkan)
1 dan 2. Tidak berhadats kecil dan besar
3. Tidak ada najis di bajunya atau badanya (najis yang tidak dima'afkan )
4. Jangan meninggalkan Tuma'ninah (Ukuran Tuma'ninah ukuran membaca tasbih )
5. Tidak meninggalkan bacaan fatihah/imam hafal fatihah (ini mungkin ada yang belum hafal fatihah bagi muallaf musalnya yang dibolehkan dengan tasbih )
Jika di suatu desa terdapat masjid maka yang lebih berhak menjadi imam adalah pemimpinnya/kepala desa/DKM Masjid
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الأنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: لا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ (رواه مسلم)
Sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Abu Mas’ud ra, ”Tidak bemakmum seorang lelaki (pemimpin) kepada seorang lelaki dalam wilayah kekuasannya.” (HR Muslim).
Kemudian jika terdapat imam rawatibnya, maka yang lebih berhak menjadi imam adalah imam rawatib yang ditunjuk oleh penguasa atau pengurus masjid.
لِمَا رُوِيَ أَنَّ ابْنَ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا كَانَ لَهُ مَوْلًى يُصَلِّي فِي مَسْجِدٍ فَحَضَرَ فَقَدَّمَهُ مَوْلاَهُ ، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَر : أَنْتَ أَحَقَّ بِالإِمَامَةِ فِي مَسْجِدِكَ (الشافعي)
Diriwayatkan sesungguhnya Ibnu Umar ra mempunyai pembantu yang selalu mengimami di masjid (imam rawatib), lalu beliau datang dan menyuruh pembantunya menjadi imam, ia berkata ”Kamu lebih berhak menjadi imam di masjidmu.” (HR. Imam Syafi'i).
Jika kita bertamu ke rumah seseorang maka yang berhak menjadi imam adalah shahibul bait (pemilik rumah).
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الأنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: قال رَسُولُ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلا بِإِذْنِهِ (رواه مسلم)
Dari Abu Mas’ud ra, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Seseorang tidak boleh menjadi imam di dalam keluarga seseorang atau didalam kekuasanya dan tidak boleh duduk di majlisnya kecuali dengan seizinnya”. (HR.Muslim).
Namun perlu juga diketahui bahwa dalam kondisi tertentu saat kita shalat berjama'ah, kita boleh memisahkan diri dari imam dan melanjutkan shalat tersebut sendirian. Namun dalam kondisi yang lain, kita tidak boleh memisahkan diri dari imam. Dalam fiqih, memisahkan diri dari imam saat shalat berjamaah disebut dengan mufaraqah.
Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, Habib Abdurrahman (W. 1320 H) menjelaskan dengan terperinci terkait hukum dan kondisi-kondisi di mana kita boleh dan tidak boleh mufaraqah dari imam. Beliau berkata;
الْحَاصِلُ أَنَّ قَطْعَ الْقُدْوَةِ تَعْتَرِيْهِ اْلأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ وَاجِباً كَأَنْ رَأَى إِمَامَهُ مُتَلَبِّسًا بِمُبْطِلٍ وَسُنَّةٍ لِتَرْكِ اْلإِمَامِ سُنَّةً مَقْصُوْدَةً وَمُبَاحًا كَأَنْ طَوَّلَ اْلإِمَامُ وَمَكْرُوْهاً مُفَوِّتاً لِفَضِيْلَةِ الْجَمَاعَةِ إِنْ كَانَ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَحَرَاماً إِنْ تَوَقَّفَ الشِّعَارُ عَلَيْهِ أَوْ وَجَبَتِ الْجَمَاعَةُ كَالْجُمْعَةِ
“Kesimpulannya bahwa memutus ikatan dengan imam memliki lima hukum. Wajib, jika melihat imam melakukan perkara yang membatalkan shalat. Sunnah, karena imam meninggalkan perkara yang sangat disunnahkan. Mubah, jika imam memanjangkan shalat. Makruh dan bisa menggugurkan keutamaan berjemaah jika mufaraqah tanpa uzur. Haram, jika ada unsur syiar atau wajib berjema'ah seperti shalat Jumat.”
Pertama, wajib. Kondisi yang mewajibkan makmum mufaraqah adalah jika dia tahu bahwa shalat imam batal, baik karena imam terkena najis atau melakukan perkara yang membatalkan shalat. Misalnya, makmum melihat najis yang mengenai imam atau melihat sebagian aurat imam terbuka karena sarungnya bolong.
Kedua, sunnah. Jika imam sengaja meninggalkan perbuatan yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan di dalam shalat, maka makmum disunnahkan mufaraqah dari imam tersebut. Misalnya, imam sengaja meninggalkan tasyahud awal atau qunut, dalam kondisi seperti ini makmum disunnahkan mufaraqah agar bisa melakukan tasyahud awal atau qunut.
Ketiga, mubah. Jika imam memanjangkan shalat, maka makmum dibolehkan mufaraqah. Misalnya, imam sujud terlalu lama atau membaca surah yang panjang. Dalam kondisi seperti ini, makmum dibolehkan memilih antara terus berjemaah bersama imam atau mufaraqah.
Keempat, makruh. Makmum dihukumi makruh mufaraqah dari imam jika tidak ada udzur tertentu yang membolehkan mufaraqah. Misalnya, makmum mufaraqah dari imam padahal imam tidak melakukan perkara yang membatalkan shalat, tidak meninggalkan perkara yang sangat disunahkan dalam salat atau imam tidak memanjangkan bacaan surah Al-Qur'an. Dalam kondisi seperti ini, makmum dihukumi makruh mufaraqah dari imam.
Kelima, haram. Dalam shalat yang wajib dilaksanakan berjama'ah, maka makmum haram mufaraqah dari imam. Misalnya shalat Jum'at. Dalam shalat Jumat, makmum haram mufaraqah karena shalat Jum'at wajib dilakukan secara berjama'ah.
Satu hal yang perlu diketahui bagi para imam adalah bahwa jika seorang imam melakukan kesalahan dalam shalat, maka dia akan menanggung dosa kesalahan seluruh makmumnya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلُّونَ بِكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
Dari Abu Hurairah dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mereka shalat sebagai imam bagi kalian, maka jika mereka benar, pahalanya bagi kalian dan mereka, dan jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian, dosanya ditanggung mereka.” (HR. Bukhari No. 694)
Sahabat Sahal ra berkata,
إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْإِمَامُ ضَامِنٌ فَإِنْ أَحْسَنَ فَلَهُ وَلَهُمْ وَإِنْ أَسَاءَ يَعْنِي فَعَلَيْهِ وَلَا عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya aku mendengar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Imam itu adalah penanggung jawab, jika dia benar, maka pahalanya bagi dia dan bagi makmum, jika dia salah, maka tanggung jawabnya adalah kepadanya, bukan kepada makmum.” (HR. Ibnu Majah No. 981).
Singkatnya, untuk menjadi seorang imam shalat harus memiliki kriteria tertentu dan harus siap menanggung dosa kesalahan makmumnya. Jika masih merasa belum memahami syarat rukun menjadi imam dan syarat rukun shalat, alangkah lebih mulianya jika cukup menjadi seorang muadzin atau makmum dalam shalat berjama'ah saja. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar