Jumat, 14 Juni 2019
HUKUM MEMAKAI PAKAIAN TRANSPARAN SAAT SHALAT
Saudaraku, ketahuilah bahwa memakai gamis adalah suatu yang disunnahkan. Namun kadang memakainya melihat keadaan masyarakat, jangan sampai terjerumus dalam pakaian yang tampil beda (pakaian syuhroh).
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ أَحَبَّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْقَمِيصُ
“Pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu gamis.” (HR. Tirmidzi no. 1762 dan Abu Daud no. 4025. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Hadits di atas disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin di mana hadits tersebut menunjukkan bahwa pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pakaian gamis.
Karena gamis di sini lebih menutupi diri dibanding dengan pakaian yang dua pasang yaitu izar (pakaian bawah/sarung), rida’ (pakaian atas/baju/koko) atau sirwal (celana panjang). Namun para sahabat di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang memakai pakaian atas dan bawah seperti itu. Terkadang mereka mengenakan gamis. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyukai gamis karena lebih menutupi. Karena pakaian gamis hanyalah satu dan mengenakannya pun hanya sekali. Memakai gamis di sini lebih mudah dibanding menggunakan pakaian atas bawah (baju dan sarung/baju dan celana panjang), di mana yang dipakai adalah bagian celana terlebih dahulu lalu memakai pakaian bagian atas.
Akan tetapi jika engkau berada di daerah (negeri) yang terbiasa memakai pakaian atasan dan bawahan, memakai semisal mereka tidaklah masalah. Yang terpenting adalah jangan sampai menyelisihi pakaian masyarakat di negeri kalian agar tidak terjerumus dalam larangan memakai pakaian yang tampil beda. Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pakaian syuhroh (pakaian yang tampil beda). (Lihat Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 284-285, terbitan Madarul Wathon).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ
“Barangsiapa memakai pakaian syuhroh, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” (HR. Abu Daud no. 4029 dan Ibnu Majah no. 360. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Pada dasarnya Islam membolehkan penggunaan segala jenis pakaian , kecuali pakaian-pakaian tertentu yang dilarang berdasarkan ketentuan syara'. Islam juga tidak menetapkan model pakaian tertentu untuk shalat. Selama pakaian tersebut memenuhi syarat menutup aurat maka boleh dipakai untuk shalat, apapun modelnya.
Maka, pegangan kita adalah bahwa hukum asal memakai celana panjang adalah mubah.
Meski demikian, para ulama memang membahas keabsahan shalat orang yang saat shalat dengan memakai celana panjang pada 2 keadaan berikut:
*1. Memakai Gamis/Sarung/Celana Panjang Yang Taransparan*
Celana panjang kebanyakan orang Indonesia sebenarnya sudah memenuhi syarat. Sedangkan contoh celana ketat yang menampakkan bentuk tubuh adalah celana jeans yang sangat ketat, celana olahraga balap sepeda, celana senam aerobik. Pada kondisi ini para ulama ijma (bersepakat) bahwa hukumnya haram dan shalatnya tidak sah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi, ulama besar mahdzab Syafi’i, beliau berkata:
لو ستر بعض عورته بشيء من زجاج بحيث ترى البشرة منه لم تصح صلاته بلا خلاف
“Jika sebagian aurat sudah tertutupi dengan sesuatu yang berbahan kaca, sehingga masih terlihat warna kulitnya, maka tidak sah shalatnya tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama” (Al Majmu’, 3/173)
والواجب الستر بما يستر لون البشرة فإن كان خفيفا يبين لون الجلد من ورائه فيعلم بياضه أو حمرته لم تجز الصلاة فيه لأن الستر لا يحصل بذلك
“Menutup aurat sampai warna kulit tertutupi secara sempurna, hukumnya wajib. Jika warna kulit masih tampak oleh orang dibelakangnya namun samar, yaitu masih bisa diketahui warna kulitnya putih atau merah, maka tidak sah shalatnya. Karena pada kondisi demikian belum dikatakan telah menutupi aurat” (Al Mughni, 1/651)
*2. Memakai Gamus/Sarung/Celana Panjang Yang Ketat*
Pada kondisi ini terjadi ikhtilaf diantara para ulama. Sebagian mengatakan shalatnya tidak sah. Diantaranya Ibnu Hajar Al Asqalani, ulama besar mahdzab Syafi’i, beliau berkata:
عن أشهب، فيمن اقتصر على الصلاة في السراويل مع القدرة: يعيد في الوقت، إلا إن كان صفيقاً
“Aku mendengar ini dari Asyhab, bahwa orang yang mencukupkan diri shalat dengan memakai celana panjang padahal ia sanggup memakai pakaian yang tidak ketat, ia wajib mengulang shalatnya pada saat itu juga, kecuali jika ia tidak tahu malu” (Fathul Bari, 1/476)
Meski demikian sebagian ulama berpendapat shalatnya tetap sah jika ia telah menutupi warna kulit dengan sempurna walaupun bentuk tubuh masih terlihat (ketat). Sebagaimana pendapat Imam An Nawawi, bahkan beliau membantah ulama yang berpendapat shalatnya tidak sah:
فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والألية ونحوهما صحت الصلاة فيه لوجود الستر ، وحكى الدارمي وصاحب البيان وجها أنه لا يصح إذا وصف الحجم ، وهو غلط ظاهر
“Jika warna kulit telah tertutupi secara sempurna dan bentuk tubuh semisal paha dan daging betis atau semacamnya masih nampak, shalatnya sah karena aurat telah tertutupi. Memang Ad Darimi dan penulis kitab Al Bayan menyampaikan argumen yang menyatakan tidak sahnya shalat memakai pakaian yang masih menampakkan bentuk tubuh. Namun pendapat ini jelas-jelas sebuah kesalahan” (Al Majmu’, 3/173)
Demikian juga pendapat Ibnu Qudamah, beliau menyatakan sahnya shalat memakai pakaian yang ketat namun beliau tidak menyukai orang yang melakukan hal tersebut:
وأن كان يستر لونها ويصف الخلقة جازت الصلاة لأن هذا لا يمكن التحرز منه وإن كان الساتر صفيقا
“Jika warna kulit sudah tertutupi dan bentuk tubuh masih nampak, shalatnya sah. Karena hal tersebut tidak mungkin dihindari (secara sempurna). Namun orang yang shalat memakai pakaian ketat adalah orang yang tidak tahu malu” (Al Mughni, 1/651)
Letak perbedaan pendapat di antara para ulama adalah dalam memutuskan apakah memakai pakaian ketat dalam shalat itu sudah termasuk menutup aurat atau tidak. Dengan demikian ini adalah perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, yang masing-masing pendapat dari ulama tersebut harus dihormati.
Syekh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), juz I, hal. 134:
يجب ستر العورة بما - أي بجرم - يمنع إدراك لونها لمعتدل البصر عادة، فلا يكفي ما لا يمنع ذلك… (قوله: ويكفي ما يحكي لحجم الأعضاء لكنه خلاف الأولى أي للرجل، وأما المرأة والخنثى فيكره لهما).
“Wajib menutup aurat dengan sesuatu yang mencegah mata melihat warna kulit, maka tidak cukup menggunakan bahan yang tidak mencegahnya…(Pernyataan: Dan cukup menggunakan sesuatu yang memperlihatkan lekuk tubuh… namun hal semacam ini dihukumi khilaful aula bagi lelaki dan makruh bagi wanita dan khuntsa/banci).”
Dari penjelasan di atas bisa kita pahami bahwa hukum shalat dengan pakaian yang tembus pandang, yang membuat orang lain masih bisa melihat warna kulit kita, adalah tidak sah, baik bagi lelaki maupun perempuan.
Sedangkan menggunakan pakaian ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh, hukumnya tetap sah, namun khilaful aula (dianjurkan meninggalkannya) bagi lelaki dan makruh bagi perempuan dan khuntsa (berkelamin ganda/tidak berkelamin). Karena itu, sebaiknya tetap dihindari.
Jika kita berbicara soal keutamaan, maka beberapa pertimbangan yang bisa kita jadikan panduan dalam memilih pakaian ketika akan shalat ialah pakaian yang polos tanpa banyak motif dan garis-garis, tidak tembus pandang, dan tidak ketat. Pertimbangan yang lain juga ialah menggunakan pakaian yang sopan secara syariat maupun secara adat. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar