Kamis, 27 Juni 2019
EDISI KHUTBAH JUM'AT (Golongan Orang Yang Bangkrut)
*Khutbah Pertama*
اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم}، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صدَقَ اللهُ العَظِيمْ
*Jama'ah Jumát raakumullâh,*
Pada suatu kesempatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada para sahabat apakah mereka tahu yang disebut orang bangkrut. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anh sebagai berikut:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟
Sesungguhnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Tahukah kalian siapakah yang dinamakan orang bangkrut?”
قَالُوْا: اَلْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ
Mereka (para sahabat) menjawab: “Orang bangkrut menurut pendapat kami ialah mereka yang tidak mempunyai uang dan tidak pula mempunyai harta benda.”
Jawaban seperti itu ternyata bukan sebagaimana yang dimaksudkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Beliau tidak bertanya tentang ekonomi. Beliau ingin mengajak para sahabat mengetahui bahwa kebangkrutan bisa terjadi tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang agama. Jadi di dalam agama juga ada perhitungan matematis terkait pahala dan dosa, seperti penambahan dan pengurangan di antara sesama manusia. Hal ini terjadi pada saat semua manusia berada di Padang Makhsyar untuk menjalani hisab yang akan menentukan apakah seseorang akan masuk surga atau neraka.
*Jama'ah Jumát raakumullâh,*
Dengan perhitungan seperti itu, dapat diketahui apakah seseorang akan termasuk orang beruntung atau justru orang bangkrut di akherat kelak. Adapaun yang dimaksud bangkrut dalam agama adalah sebagaimana penjelasan Rasulullah dalam lanjutan hadits berikut:
فَقَالَ “إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي، يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هٰذَا، وَقَذَفَ هٰذَا، وَأَكَلَ مَالَ هٰذَا، وَسَفَكَ دَمَ هٰذَا، وَضَرَبَ هٰذَا. فَيُعْطِى هٰذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهٰذَا مِنٰ حَسَنَاتِهِ. فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ، قَبْلَ أَنْ يَقْضَى مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ”
Nabi menjelaskan: “Sesungguhnya orang bangkrut dari umatku ialah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa amal kebaikan dari shalat, puasa, dan zakat. Tetapi mereka dahulu pernah mencaci maki orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain dan memukul orang lain. Maka kepada orang yang mereka salahi itu diberikan pahala amal baik mereka; dan kepada orang yang lain lagi diberikan pula amal baik mereka. Apabila amal baik mereka telah habis sebelum hutangnya lunas, maka diambillah kesalahan orang yang disalahi itu dan diberikan kepada mereka; Sesudah itu, mereka akan dilemparkan ke dalam neraka.”
Jadi setiap orang dari umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendapatkan pahala dari ibadah-ibadah yang mereka lakukan semasa hidupnya seperti shalat, puasa, dan zakat. Namun pahala-pahala yang didapat dari ibadah-ibadah wajib itu akan dikonfrontir dengan dosa-dosa sosialnya akibat berbuat zalim kepada sesama manusia seperti mencaci maki, menuduh, memfitnah, memakan harta orang lain seperti mencuri atau korupsi, membunuh secara tidak sah, melukai atau menyakiti orang lain baik secara fisik maupun non-fisik, dan sebagainya.
Apabila besarnya dosa-dosa sosial akibat kezaliman tidak sebanding dengan kesalehan-kekesalehan yang dilakukannya karena banyaknya orang yang dizalimi atau tingginya tingkat kezaliman kepada orang tertentu, maka dosa-dosa dari orang-orang yang dizalimi akan diberikan kepada orang yang menzalimi hingga mencapai titik impas. Apabila titik impas tidak tercapai, maka Allah subhanahu wata'ala akan melemparkan orang yang menzalimi itu ke neraka. Orang seperti inilah yang disebut orang bangkrut dalam agama sebagaimana penjelasan Rasulullah dalam hadits di atas.
*Jama'ah Jumát raakumullâh,*
Kezaliman manusia terhadap manusia lainnya pada dasarnya merupakan urusan manusia karena termasuk wilayah muamalah. Namun demikian, Allah tidak membiarkannya hingga pihak yang melakukan kezaliman menyelesaikan masalahnya, misalnya dengan konpensasi tertentu dan/atau meminta maaf kepada pihak yang dizalimi semasa hidupnya. Apabila hal ini tidak dilakukan hingga masing-masing meninggal dunia, maka Allah akan memperhitungkannya di akherat kelak.
Jadi melakukan kezaliman terhadap sesama manusia bukanlah persoalan sepele karena urusannya bisa sampai ke akhirat. Allah memang memperhatikan dan memperhitungkan setiap kezaliman seperti itu sebagaimana juga disebutkan dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anh sebagai berikut:
وَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي لا يَتْرُكُهُ الله فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا حَتَّى يُدَبِّرُ لِبَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ
“Adapun kezaliman yang tidak akan dibiarkan oleh Allah adalah kezaliman manusia atas manusia lainnya hingga mereka menyelesaikan urusannya.”
Oleh karena itu siapa pun hendaknya bersikap hati-hati kepada orang lain dengan menjaga lisan, tangan dan anggota badan lainnya agar terhindar dari dosa-dosa sosial akibat berbuat kezaliman kepada mereka. Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Sabîlul Iddikâr wal I’tibâr bimâ Yamurru bil Insân wa Yanqadli Lahu minal A’mâr (Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal.100), juga menjelaskan bahwa di antara hal-hal yang amat diperhitungkan oleh Allah pada hari kiamat adalah perbuatan zalim manusia terhadap manusia lainnya sebagaimana kutipan berikut ini:
وَاعْلَمْ أَنَّ مِنْ أَشَدِّ الْأَشْيَاءِ وَأَشَقِّهَا فِيْ مَوْقِفِ اْلقِيَامَةِ: ظُلْمُ اْلعِبَادِ، فَإِنَّهُ اَلظُّلْمُ الَّذِيْ لَا يَتْرُكُهُ اللهُ
“Ketahuilah bahwa di antara hal-hal berat dan sangat diperhitungkan pada hari kiamat adalah perbuatan zalim terhadap sesama manusia sebab hal ini merupakan kezaliman yang tidak akan dibiarkan oleh Allah.”
*Jama'ah Jumát raakumullâh,*
Oleh karena itu apabila kita benar-benar sayang pada diri sendiri, maka hal-hal yang harus kita lakukan dalam rangka mencegah kebangkrutan amal adalah menjaga agar pahala dari ibadah-ibadah yang kita lakukan tidak ludes oleh dosa-dosa sosial akibat kezaliman-kezaliman kita kepada orang lain. Jadi memang pahala-pahala dari berbagai ibadah saja seperti shalat, puasa, haji dan bahkan zakat sekalipun belum cukup menjadi bekal kita di akherat hingga ada kepastian bahwa orang-orang lain selamat dari lisan dan tangan kita melakukan kezaliman-kezaliman kepada mereka.
Mudah-mudahan kita semua senantiasa diberi kekuatan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk mampu menjaga lisan, tangan dan anggota tubuh lainnya dari melakukan perbuatan-perbuatan yang menzalimi sesama manusia seperti: menyakiti hati orang lain, mencaci maki, memfitnah dan menuduh tanpa bukti, mengambil hak orang lain seperti mencuri dan korupsi, membunuh secara tidak sah, menyakiti secara fisik, dan sebagainya. Dengan cara ini semoga kita semua selamat dari predikat orang-orang bangkrut di akherat. Amin… amin ya rabbal ‘alamin.
جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
*Khutbah Kedua*
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Selasa, 25 Juni 2019
ISLAM RAHMATAN LIL'ALAMIN ALA NAHDLATUL ULAMA (NU)
*بسم الله الرحمن الرحيم*
Segala puji bagi Alloh yg Maha Pengasih dan Penyayang.
Sejak tahun 2006-2019 sy (Asimun Mas'ud) telah mensyahadatkan 16 Muallaf. 15 Muallaf adalah asli Indonesia dan 1 Muallaf diantaranya adalah warga negara Roma Italia
*Tahun 2006 Mensyahadatkan 1 Keluarga 5 orang yaitu :*
1. Tinus Duma (Muhammad Tinus Duma). Talian, 25 Sep 1961 (Flores)
2. Suwarni (Fatimah Suwarni). Kebumen, 07 Maret 1965 (Jateng)
3. Novicha Tandi Berung (Rahmad Novicha Tandi Berung). Jakarta, 26 Juli 1986
4. Hezron Tandi Berung (Ahmad Raffi Hezron Tandi Berung). Jakarta, 12 Juli 1990
5. Felesia Santi Widia Sari (Siti Rahmah Felesia Santi Widia Sari). Jakarta, 08 Februari 1996
*Tahun 2010 Mensyahadatkan 1 orang yaitu :*
6. Dwi Sakti Lestari (Niswatul Hidayah). Pekalongan, 01 Oktober 1980
*Tahun 2013 Mensyahadatkan 1 orang yaitu :*
7. Paolo Capitelli (Muhammad Nashrulloh). Vialle A. Ciamarra No. 96 Rome Italy Zip/Pos Code 00173
*Tahun 2014 Mensyahadatkan 2 orang yaitu :*
8. Jhanter M. Pandapotan (Ahmad Jhanter). Tanjung Pinang, 06 Desember 1991
9. Calwary Billy Kementas (Nashrulloh B. Kementas). Manado, 14 Agustus 1968
*Tahun 2015 Mensyahadatkan 1 orang yaitu :*
10. Kristianto Tri Nugroho (Muhammad Jamaluddin). Jakarta, 24 Mei 1981
*Tahun 2016 Mensyahadatkan 1 orang yaitu :*
11. Rahayu Murniati. Semarang, 09 September 1971
*Tahun 2017 Mensyahadatkan 3 orang yaitu :*
12. Selvie Margareta. Jakarta, 20 September 1994
13. Chandra Nevanti. Jakarta, 27 Mei 1992
14. Nana Kusmana. Jakarta, 15 Maret 1969
*Tahun 2018 Mensyahadatkan 1 orang yaitu :*
15. Benediktus Bawa (Muhammad Abbas). Reok, 27 Juli 1989
*Tahun 2019 Mensyahadatkan 1 orang yaitu :*
16. Yusup Suheri Sukarno. Jakarta, 06 Juni 1966
Dan Insya Alloh dalam waktu dekat sudah menghubungi sy calon Muallaf dari Afrika bernama Alex akan bersyahadat, mudah-mudahan Alloh meridhoi. Aamiin
Alhamdulillah 16 Muallaf tersebut bersertifikat Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kec. Cipayung Jakarta Timur
Mohon do'anya semoga saudara-saudara baru kita seiman seagama selalu istiqomah memegang dan menjalankan ajaran islam. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
#pcnu_jakarta_timur
#pwnu_dki_jakarta
#pbnu
Senin, 24 Juni 2019
KAJIAN TENTANG TUDUHAN ITU PERLU SAKSI DAN BUKTI DALAM PERSIDANGAN
Dalam Sidang Sengketa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum'at, 21 Juni 2019 masyarakat Indonesia tercerahkan dengan pemaparan Saksi Ahli TKN, Prof Eddy OS Hiariej sangatlah memukau perhatian akan kecerdasan dan wawasan yang luar biasa mematahkan argumen-argumen Tim Hukum Prabowo-Sandi.
Keahlian Prof Eddy membuat beliau saat ini jadi idola baru Netizen, bahkan ada yang menyebut ingin masuk Fakultas Hukum gara-gara kagum dengan ilmu yang disampaikannya.
Nama Lengkap beliau adalah Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH M.Hum. Lahir di Ambon, 10 April 1973 (46 tahun). Beliau adalah Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di UGM. Eddy meraih profesor dlm usia yg terbilang masih muda yaitu 37 tahun dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).
Salah satu pemaparan beliau dalam menjawab pertanyaan Tim Hukum Prabowo-Sandi Bambang Wijayanto dan Dedi Indrayana beliau memulai dengan menyampaikan sebuah ungkapan, "jangankan kejahatan yang canggih, kejahatan yang begitu sederhana saja apabila tidak bisa dibuktikan secara layak ya memang tidak bisa." Artinya jika kita mengetahui suatu kejahatan namun tidak bisa menghadirkan bukti dan saksi maka kejahatan yang kita ketahui tidak bisa diadili sesuai kejahatannya di pengadilan atau dihadapan hakim. Prof. Eddy mengambil sebuah analogi dimasa sahabat yang dialami oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra.
Dalam kitab Subulus Salam, karya al-Shan’ani dikisahkan, suatu hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib sedang berjalan-jalan di Kota Madinah. Ia memantau segala situasi dan kondisi masyarakat Madinah. Tak disangka, saat itu ia melihat seseorang sedang memakai baju besi.
Ali mengenali baju besi tersebut. Dirinya sangat yakin baju besi itu adalah miliknya yang telah hilang beberapa waktu sebelum peperangan Shiffin. Kisah tersebut juga diterangkan dalam Kitab Hilyah Al-Auliya' Wa Thobaqat Al-Ashfiya' juz 4 hal. 139-140 karangan Imam Ahmad bin Abdullah Al-Ashfahani Abu Nu'aim (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء المؤلف: أحمد بن عبد الله الأصفهاني أبو نعيم) dan dalam Kitab Qashash Al-Wahiyah juz 2 hal. 102-108
sebagai berikut,
أولا: متن القصة
رُوِي عن إبراهيم بن يزيد التيمي عن أبيه، قال: وجد علي بن أبي طالب درعًا له عند يهودي التقطها فعرفها، فقال: درعي سقطت عن جمل لي أورق، فقال اليهودي: درعي وفي يدي، ثم قال له اليهودي: بيني وبينك قاضي المسلمين، فأتوا شريحًا، فلما رأى عليّا قد أقبل تحرف عن موضعه وجلس عليَّ فيه ثم قال عليُّ: لو كان خصمي من المسلمين لساويته في المجلس، ولكني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «لا تساووهم في المجلس وألجئوهم إلى أضيق الطرق، فإن سبوكم فاضربوهم؛ وإن ضربوكم فاقتلوهم»، ثم قال شريح: ما تشاء يا أمير المؤمنين؟ قال: درعي سقطت عن جمل أورق، والتقطها هذا اليهودي. فقال شريح: ما تقول يا يهودي؟ قال: درعي وفي يدي. فقال شريح: صدقت والله يا أمير المؤمنين أنها لدرعك، ولكن لابد من شاهدين. فدعى قنبرا مولاه، والحسن بن علي وشهدا إنها لدرعه. فقال شريح: أما شهادة مولاك فقد أجزناها، وأما شهادة ابنك لك فلا نجيزها. فقال علي: ثكلتك أمك، أما سمعت عمر بن الخطاب يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنة»؟. قال شريح: اللهم نعم. قال علي: أفلا تجيز شهادة سيد شباب أهل الجنة؟ والله لأوجهنك إلى «بانقيا» تقضي بين أهلها أربعين يومًا، ثم قال لليهودي خذ درعك. فقال اليهودي: أمير المؤمنين جاء معي إلى قاضي المسلمين، فقضى عليه ورضي، صدقت والله يا أمير المؤمنين إنها لدرعك سقطت عن جمل لك، التقطتها، أشهد أن لا إله إلا الله، وأن محمدًا رسول الله، فوهبها له علي، وأجازه بتسعمائة، وقتل معه يوم صِفِّين.
*PERTAMA: MATAN (REDAKSI KISAH)*
Diriwayatkan dari Ibrahim bin Yazid at-Taimi dari ayahnya, dia berkata:
‘Ali bin Abu Thalib mendapati baju zirahnya berada di tangan seorang Yahudi yang menemukan baju zirah itu. ‘Ali bin Abu Thalib mengenali baju zirahnya itu, lalu berkata, “Itu baju zirahku yang terjatuh dari unta abu-abuku.” Orang Yahudi itu berkata, “Ini baju zirah milikku, (buktinya) ini ada di tanganku,” kemudian orang Yahudi itu berkata lagi kepada ‘Ali bin Abu Thalib, “Di antara aku dan kamu ada hakim kaum Muslimin (yang akan memutuskan perkara).”
Maka keduanya mendatangi Syuraih (yang menjabat sebagai hakim). Tatkala Syuraih melihat (kedatangan) ‘Ali, dia pun bergeser (memberi kelapangan) dalam tempat duduknya. ‘Ali duduk di tempat tersebut (di samping Syuraih) kemudian berkata, “Kalau saja yang menjadi seteruku dari kalangan kaum Muslimin, niscaya aku akan duduk sejajar dengannya dalam majelis (dan sama-sama duduk di hadapanmu). Akan tetapi aku mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: Janganlah kalian menyejajarkan mereka (orang kafir) dalam majelis. Desaklah mereka ke jalan yang sempit. Jika mereka mencaci kalian, maka pukullah mereka. Jika mereka memukul kalian, maka bunuhlah mereka.”
Kemudian Syuraih berkata, “Ada keperluan apakah, wahai Amir al-Mu’minin?”
‘Ali bin Abu Thalib berkata, “Baju zirahku terjatuh dari unta abu-abuku, lalu orang Yahudi ini menemukannya.”
Syuraih berkata, “Apa yang akan kau katakan, wahai orang Yahudi?”
Orang Yahudi itu berkata, “Ini baju zirahku, (buktinya) dia ada di tanganku.”
Syuraih berkata, “Kau benar, demi Allah, wahai Amir al-Mu’minin. Baju zirah itu memang milikmu, namun tak bisa tidak harus ada dua orang saksi (untuk menguatkannya).”
Maka ‘Ali pun memanggil Qanbar maula-nya dan al-Hasan bin ‘Ali. Mereka berdua bersaksi bahwa itu adalah baju besi milik ‘Ali bin Abu Thalib.
Syuraih berkata, “Adapun persaksian maula-mu, kami memperbolehkannya. Akan tetapi persaksian putramu ini, kami tak memperbolehkannya.”
‘Ali bin Abu Thalib berkata, “Betapa malang nasib ibumu! Tidakkah kau pernah mendengar ‘Umar bin al-Khaththab berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: al-Hasan dan al-Husain merupakan pemimpin para pemuda surga.”
Syuraih berkata, “Allahumma, benar.”
‘Ali bin Abu Thalib berkata, “Apakah kau tak memperbolehkan kesaksian pemimpin para pemuda surga? Demi Allah, aku benar-benar akan memindahkanmu ke wilayah Baniqiya (yakni wilayah yang berada di pinggir kota Kufah; lihat Mu’jam al-Buldan) untuk menjadi hakim di sana selama empat puluh hari,” kemudian ‘Ali bin Abu Thalib berkata kepada si orang Yahudi, “Ambillah baju zirahmu!”
Orang Yahudi itu berkata, “Amir al-Mu’minin datang bersamaku kepada hakim kaum Muslimin, lalu diputuskan perkara atasnya dan dia rela menerima (kekalahan)nya. Kau benar, demi Allah, wahai Amir al-Mu’minin! Sesungguhnya ini adalah baju zirah milikmu yang jatuh dari untamu dan aku menemukannya. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Lalu ‘Ali bin Abu Thalib memberikan baju zirah itu kepada si Yahudi, juga menghadiahinya dengan uang sebanyak sembilan ratus. (Di kemudian hari), si Yahudi itu terbunuh saat ikut serta bersama ‘Ali dalam perang Shiffin.
ثانيًا: التخريج
هذه القصة أخرجها أبو نعيم أحمد بن عبد الله الأصفهاني في «الحلية» (٤/١٣۹-١٤۰) قال: حدثنا محمد بن أحمد بن الحسن، حدثنا عبد الله بن سليمان بن الأشعث، ح. وحدثنا سليمان بن أحمد، حدثنا محمد بن عون السيرافي المقري، قالا: حدثنا أحمد بن المقدام، حدثنا حكيم بن خذام أبو سمير حدثنا الأعمش عن إبراهيم بن يزيد التيمي عن أبيه قال: فذكر القصة.
وأخرجها أيضا الإمام ابن الجوزي في «العلل المتناهية» (۲/٣۸۸) ح(١٤٦۰) قال: حدثت عن الحسن بن محمد بن حمويه الصفار، قال أخبرني أحمد بن علي بن فنجويه الأصبهاني، قال حدثنا أبو أحمد محمد بن محمد بن أحمد بن إسحاق الحافظ قال: أخبرنا علي بن عبد الله بن مبشر الواسطي قال حدثنا أبو الأشعث يعني: أحمد بن المقدام، قال حدثنا أبو سمير حكيم بن خِذام به.
*KEDUA: TAKHRIJ (SUMBER PENGAMBILAN KISAH)*
Kisah tersebut dikeluarkan oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdullah al-Ashfahani di kitab al-Hilyah (3/139-140), dia berkata:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin al-Hasan, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Sulaiman bin al-Asy’ats …; dan telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aun as-Sirafi al-Muqri, keduanya mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Miqdam, telah menceritakan kepada kami Hakim bin Khidzam Abu Sumair, telah menceritakan kepada kami al-A’masy dari Ibrahim bin Yazid at-Taimi dari ayahnya, dia berkata … -lalu menyebutkan kisah di atas.
Kisah tersebut juga dikeluarkan oleh al-Imam Ibn al-Jauzi di kitab al-‘Ilal al-Mutanahiyah (2/388; 1460), dia berkata: telah diceritakan kepadaku dari al-Hasan bin Muhammad bin Hammuwiyah ash-Shaffar, dia berkata: telah mengabarkan kepadaku Ahmad bin ‘Ali bin Fanjawaih al-Ashbahani, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Ishaq al-Hafizh, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah bin Mubasysyir al-Wasithi, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu al-Asy’ats, yaitu Ahmad bin al-Miqdam, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Sumair Hakim bin Khidzam dengan (kisah tersebut).
Dalam kisah peristiwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra. dan seorang yahudi diatas dimenangkan oleh yahudi karena Sayidina Ali ra. tidak bisa menghadirkan dua orang saksi karena satu saksi yaitu putranya sendiri syidina Hasan ra. yang ditolak kesaksiannya oleh hakim Syuraih dan Sayidina Ali menerima kekalahan dalam persidangan dan menyerahkan baju besinya kepada yahudi yang akhirnya dengan peristiwa itu yahudi masuk islam dan mengucapkan dua kalimah syahadat kemudian mendapat hadiah baju besi tersebut.
Singkatnya, islam dan ajarannya begitu indah dan mulia sehingga kejahatan apapun yang kita ketahui jika kita bawa dihadapan hakim (pengadilan) haruslah kita kuatkan dengan adanya bukti dan saksi, karena tanpanya seorang penjahat atau pelaku kejahatan tidak bisa dijerat dengan hukum yang berlaku karena kejahatannya. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Minggu, 23 Juni 2019
*HUKUM TAKHBIB (MENGGODA ISTRI ORANG)
Di era digital semua serba mudah untuk melakukan sesuatu yg bernilai ibadah atau pun sebaliknya. Demikian halnya yg marak terjadi saat ini adalah trend selingkuh via medsos.
Berawal dari komunikasi sederhana, dilanjut dengan saling curhat, hingga tertanam cinta karena syahwat. Lebih parah lagi, ketika kejadian itu dialami oleh mereka yg telah berkeluarga. Karena interaksi lawan jenis yg tidak halal, Alloh cabut rasa cintanya terhadap keluarganya, digantikan dengan kehadiran orang baru dalam hatinya. Disadari maupun tidak, sejatinya itu merupakan hukuman bagi orang yg telah bisa menikmati segala yg haram, Alloh hilangkan dari dirinya untuk bisa menikmati sesuatu yg halal.
Dosa Takhbib
Diantara dosa besar yg mungkin jarang diketahui oleh kaum muslimin adalah dosa takhbib. Menjadi penyebab percerian dan kerusakan rumah tangga. Karena kehadirannya, membuat seorang wanita menjadi benci terhadap suaminya dan meminta untuk berpisah dari suaminya.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits, memberikan ancaman keras untuk pelanggaran semacam ini. Diantaranya,
1. Dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امرَأَةً عَلَى زَوجِهَا
”Bukan bagian dariku seseorang yg melakukan takhbib terhadap seorang wanita, sehingga dia melawan suaminya.” (HR. Abu Daud)
2. Juga dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا
”Siapa yg merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia bukan bagian dariku.” (HR. Ahmad).
Dalam penjelasannya tentang bahaya cinta buta, Ibnul Qoyim menjelaskan tentang dosa takhbib,
وقد لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم من فعل ذلك ، وتبرأ منه ، وهو من أكبر الكبائر ، وإذا كان النبي صلى الله عليه وسلم قد نهى أن يخطب الرجل على خطبة أخيه وأن يستام على سومه : فكيف بمن يسعى بالتفريق بينه وبين امرأته وأمته حتى يتصل بهما
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah melaknat orang yg melakukan takhbib, dan beliau berlepas diri dari pelakunya. Takhbib termasuk salah satu dosa besar. Karena ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk meminang wanita yg telah dilamar oleh lelaki lain, dan melarang seseorang menawar barang yg sedang ditawar orang lain, maka bagaimana lagi dengan orang yg berusaha memisahkan antara seorang suami dengan istrinya, sehingga dia bisa menjalin hubungan dengannya. (al-Jawab al-Kafi, hlm. 154).
Makna Takhbib
Dalam Syarah Sunan Abu Daud Adzim Abadi (w. 1329 H) menjelaskan, takhbib secara bahasa artinya menipu dan merusak. Dengan menyebut-nyebut kejelekan seorang suami di hadapan istrinya atau kebaikan lelaki lain di depan wanita itu. (Aunul Ma’bud, 6/159).
Di bagian lain, beliau juga menyebutkan,
مَنْ خَبَّب زوجة امرئ أي خدعها وأفسدها أو حسن إليها الطلاق ليتزوجها أو يزوجها لغيره أو غير ذلك
‘Siapa yg melakukan takhbib terhadap istri seseorang’ maknanya adalah siapa yg menipu wanita itu, merusak keluarganya atau memotivasinya agar cerai dengan suaminya, agar dia bisa menikah dengannya atau menikah dengan lelaki lain atau cara yg lainnya. (Aunul Ma’bud, 14/52).
Ad-Dzahabi mendefinisikan takhbib,
إفساد قلب المرأة على زوجها
”Merusak hati wanita terhadap suaminya.” (al-Kabair, hal. 209).
Dalam Fatwa Islam, usaha memisahkan wanita dari suaminya, tidak hanya dalam bentuk memotivasi si wanita untuk menuntut cerai dari suaminya. Yang juga termasuk takhbib adalah ketika seseorang memberikan perhatian, empati, menjadi teman curhat terhadap wanita yg sedang ada masalah dengan keluarganya.
وإفساد الزوجة على زوجها ليس فقط بأن تطلب منها الطلاق ، بل إن محاولة ملامسة العواطف والمشاعر ، والتسبب في تعليقها بك أعظم إفساد ، وأشنع مسعى يمكن أن يسعى به بين الناس .
”Merusak hubungan istri dengan suaminya, tidak hanya dalam bentuk memotivasi dia untuk menggugat cerai. Bahkan semata upaya memberikan empati, belas kasihan, berbagi rasa, dan segala sebab yg membuat si wanita menjadi jatuh cinta kepadamu, merupakan bentuk merusak (keluarga) yg serius, dan usaha paling licik yg mungkin bisa dilakukan seseorang.” (Fatwa Islam)
Memahami hal ini, berhati-hatilah dalam bergaul dengan lawan jenis siapapun dia. Bisa jadi pada awalnya seseorang memiliki niat baik, niat saling menolong, niat merasa kasihan, perlu ada teman untuk berbagi rasa. Kan gak ada masalah kalo cuma jadi teman curhat, yang penting gak ada perasaan apa-apa. Kita kan niatnya baik, saling mengingatkan dan menasehati. Saya merasa dekat dengan Alloh semenjak kenal dia, kita saling mengingatkan untuk tahajud, untuk puasa sunah, saya menjadi rajin ibadah karena nasehatnya, hatiku merasa nyaman dan tentram bersamanya, semoga dia menjadi pasanganku di surga…, dan seabreg khayalan kasmaran lainnya.
Ibnul Jauzi menukil nasehat dari Al-Hasan bin Sholeh yg mengatakan,
إن الشيطان ليفتح للعبد تسعة وتسعين بابا من الخير يريد به بابا من الشر
“Sesungguhnya setan membukan 99 pintu kebaikan, untuk menjerumuskan orang ke dalam satu pintu keburukan.” (Talbis Iblis, hlm. 51).
Waspada bagi para lelaki, jangan sampai menerima curhat wanita tentang keluarganya. Bisa jadi ini langkah pembuka Iblis untuk semakin menjerumuskan anda. Terkecuali jika anda seorang ulama, tokoh agama, yg berhak memberikan fatwa dengan ilmunya. Anda bisa menjelaskan halal-haram satu masalah.
Semoga Allah, menyelamatkan kita dari bahaya besar lingkungan yg kurang memperhatikan adab pergaulan. Aamiin
Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga manfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Sabtu, 22 Juni 2019
KAJIAN TENTANG NAJISNYA KOTORAN KAMBING DAN KENCING ONTA*
*(Tanggapan Paham Salafi Wahabi Kotoran Hewan Tidak Najis)*
Ustadz salafi wahabi Firanda Andirja, Lc dalam sebuah video (lihat video yang saya upload) menyampaikan dalam dakwahnya bahwa kotoran kambing dan kencing onta tidaklah najis. Dia berhujjah dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْوُضُوءِ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ فَقَالَ « تَوَضَّئُوا مِنْهَا ». وَسُئِلَ عَنْ لُحُومِ الْغَنَمِ فَقَالَ « لاَ تَتَوَضَّئُوا مِنْهَا ». وَسُئِلَ عَنِ الصَّلاَةِ فِى مَبَارِكِ الإِبِلِ فَقَالَ « لاَ تُصَلُّوا فِى مَبَارِكِ الإِبِلِ فَإِنَّهَا مِنَ الشَّيَاطِينِ ». وَسُئِلَ عَنِ الصَّلاَةِ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ فَقَالَ « صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai wudhu karena memakan daging unta, beliau menjawab, ‘Berwudhulah karena memakan daging unta.’ Beliau ditanya mengenai berwudhu karena memakan daging kambing, beliau menjawab, ‘Tidak perlu berwudhu karena memakan daging kambing.’ Beliau ditanya tentang shalat di tempat menderumnya unta, beliau menjawab, ‘Jangan shalat di tempat menderumnya unta karena unta biasa memberikan was-was seperti setan.’ Beliau ditanya tentang shalat di kandang kambing, ‘Silakan shalat di kandang kambing, di sana mendatangkan keberkahan (ketenangan).’” (HR. Abu Daud, no. 184; Tirmidzi, no. 81; Ahmad, 4:288).
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كان انَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ ثُمَّ سَمِعْتُهُ بَعْدُ يَقُولُ كَانَ يُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ
Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Harb] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] dari [Abu At Tayyah] dari [Anas bin Malik] berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di kandang kambing.” Setelah itu aku mendengar Anas mengatakan, “Beliau shalat di kandang kambing sebelum masjid di bangun.” (HR. Bukhari)
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ
Sebelum masjid dibangun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di kandang kambing. (HR. Bukhari 234 dan Muslim 1202).
Dari hadits-hadits diatas memberikan pemahaman bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencontohkan dan memerintahkan shalat dikandang kambing sebelum dibangunnya masjid untuk shalat.
*Kencing Onta Najis*
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan sekelompok orang untuk meminum air kencing dan susu unta. Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan sebagai berikut,
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِيْنَةَ، فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِلِقَاحٍ، وَأَنْ يَشْرَبُوْا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا، فَانْطَلَقُوْا فَلَمَّا صَحُّوْا قَتَلُوْا رَاعِيَ النَّبِيِّ، وَاسْتَاقُوْا النَّعَمَ، فَجَاءَ الْخَبَرُ فِيْ أَوَّلِ النَّهَارِ، فَبَعَثَ فِيْ آثَارِهِمْ، فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيْئَ بِهِمْ، فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ وَأُلْقُوْا فِيْ الْحَرَّةِ يَسْتَسْقُوْنَ فَلَا يُسْقَوْنَ، الحديث. (رواه البخاري)
Dari Anas ra. berkata: Sekelompok orang datang dari Suku ‘Ukl atau ‘Urainah, lalu mereka merasa tidak nyaman di Madinah (hingga sakit). Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya, lalu mereka pergi menuju kandang unta. Ketika sudah sembuh, mereka membunuh penggembala unta Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membawa kabur unta-unta tersebut. Kemudian kabar tersebut datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelang siang, lalu beliau mengutus orang untuk menelusuri jejak mereka. Ketika matahari sudah meninggi, utusan tersebut datang membawa mereka. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki mereka, mencongkel mata mereka, lalu mereka dibuang di padang pasir yang panas. Mereka meminta minum namun tidak diberi (minum)." (HR. Al-Bukhari)
Bagi kita yang meyakini bahwa air kencing unta itu najis, maka peristiwa dalam hadits diatas adalah karena darurat. Sehingga dibolehkan berobat dengan air kencing unta -walaupun menurut mereka najis- karena darurat.
Berkata Khatib As-Syarbini,
وَ أَمَّا أَمرُه صلَّى اللُهُ عَليه وسلم العُرنِيِين بِشُربِ أَبوَالِ الإبل فَكَان لِلتّدَاوِى و التَّدَاوِي بِالنَّجَس جَائزٌ عِند فَقدِ الطَاهِرِالذي يَقُوم مَقَامَه
“Adapun perintah Rasulullah saw kepada al-‘Arayinin untuk meminum kencing unta, tujuannya adalah untuk pengobatan. Dan pengobatan dengan sesuatu yang najis dibolehkan, jika memang yang suci tidak bisa menggantikannya.“ (Khatib Syarbini, Mughni Muhtaj : 1/ 233)
Hadist Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah bersabda,
إِنَّ فِي أَبْوَالِ الْإِبِلِ وَأَلْبَانِهَا شِفَاءً لِلذَّرِبَةِ بُطُونُهُمْ
“Sesungguhnya dalam air kencing unta dan susunya bisa untuk mengobati sakit perut mereka (rusak pencernaannya)“. (HR. Ahmad dan Thabrani)
Hadist di atas secara tegas menyatakan bahwa air kencing unta dan susunya adalah obat untuk sakit pencernaan, dan ini menunjukkan kebolehan hanya untuk berobat dengan keduanya.
Air kencing unta termasuk kategori yang diperselisihkan para ulama. Hal ini disebutkan secara rinci oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli sebagai berikut:
ثانياً ـ النجاسات المختلف فيها: اختلف الفقهاء في حكم نجاسة بعض الأشياء… بول الحيوان المأكول اللحم وفضلاته ورجيعه: هناك اتجاهان فقهيان: أحدهما القول بالطهارة، والآخر القول بالنجاسة، الأول للمالكية والحنابلة، والثاني للحنفية والشافعية.
“Jenis kedua adalah najis yang masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ahli fikih berbeda pendapat perihal status najis sejumlah benda ini... Salah satunya adalah air kencing, kotoran, dan zat sisa tubuh hewan yang boleh dimakan. Di sini pandangan ulama fikih terbelah menjadi dua. Satu pandangan menyatakan suci. Sementara pandangan lainya menyatakan najis. Pandangan pertama dianut oleh madzhab Maliki dan Hanbali. Sedangkan pandangan kedua diwakili oleh madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‘i,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405, juz I, halaman 160).
Adapun Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i memandang status kotoran dan air kencing unta adalah najis sehingga keduanya memasukkan kotoran dan air kencing unta ke dalam kategori benda yang haram dikonsumsi. Mereka mendasarkan pandangannya pada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa kotoran hewan itu najis. Sedangkan kedua madzhab ini memahami hadits perihal masyarakat Uraiyin sebagai izin darurat Rasulullah untuk kepentingan pengobatan.
وقال الشافعية والحنفية: البول والقيء والروث من الحيوان أو الإنسان مطلقاً نجس، لأمره صلّى الله عليه وسلم بصب الماء على بول الأعرابي في المسجد، ولقوله صلّى الله عليه وسلم في حديث القبرين: «أما أحدهما فكان لا يستنزه من البول»، ولقوله صلّى الله عليه وسلم السابق: «استنزهوا من البول» وللحديث السابق: «أنه صلّى الله عليه وسلم لما جيء له بحجرين وروثة ليستنجي بها، أخذ الحجرين ورد الروثة، وقال: هذا ركس، والركس: النجس». والقيء وإن لم يتغير وهو الخارج من المعدة: نجس؛ لأنه من الفضلات المستحيلة كالبول. ومثله البلغم الصاعد من المعدة، نجس أيضاً، بخلاف النازل من الرأس أو من أقصى الحلق والصدر، فإنه طاهر. وأما حديث العرنيين وأمره عليه السلام لهم بشرب أبوال الإبل، فكان للتداوي، والتداوي بالنجس جائز عند فقد الطاهر الذي يقوم مقامه.
“Madzhab Syafi’i dan Hanafi berpendapat bahwa air kencing, muntah, dan kotoran baik hewan maupun manusia mutlak najis sesuai perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membasuh air kencing Arab badui di masjid, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam perihal ahli kubur, ‘salah satunya tidak bersuci dari air kencing,’ sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebelumnya, ‘Bersucilah dari air kencing,’ dan hadits sebelumnya bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam –ketika dua buah batu dan sepotong kotoran binatang yang mengering dihadirkan di hadapannya untuk digunakan istinja– mengambil kedua batu, dan menolak kotoran. ‘Ini adalah najis,’ kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sementara muntah –sekalipun tidak berubah bentuk adalah sesuatu yang keluar dari dalam perut– adalah najis karena ia termasuk sisa tubuh yang ‘berubah’ seperti air kencing. Hal ini sama najisnya dengan lender yang keluar dari dalam perut. Lain soal dengan lendir yang turun dari kepala, pangkal tenggorokan atau dada. Lendir ini suci. Sedangkan terkait perintah Rasulullah kepada warga Uraniyin untuk meminum air kencing unta, maka ini berlaku untuk pengobatan. Pengobatan dengan menggunakan benda najis boleh ketika obat dari benda suci tidak ditemukan dan benda najis dapat menggantikannya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405, juz I, halaman 160).
Kalau mau diperjelas, kita dapat mencari tahu alasan empat madzhab ini ke dalam dua pandangan yang berbeda. Ibnu Rusyd mencoba memetakan persoalan yang melahirkan dua pandangan berbeda. Ia mengidentifikasi dua sebab yang memicu perbedaan tajam di kalangan ulama perihal status najis kotoran dan air kencing unta sebagai berikut,
وسبب اختلافهم شيئان: أحدهما اختلافهم في مفهوم الإباحة الواردة في الصلاة في مرابض الغنم وإباحته عليه الصلاة والسلام للعرنيين شرب أبوال الإبل وألبانها وفي مفهوم النهي عن الصلاة في أعطان الإبل. والسبب الثاني اختلافهم في قياس سائر الحيوان في ذلك على الإنسان فمن قاس سائر الحيوان على الإنسان ورأى أنه من باب قياس الأولى والأحرى ولم يفهم من إباحة الصلاة في مرابض الغنم طهارة أرواثها وأبوالها جعل ذلك عبادة، ومن فهم من للعرنيين أبوال الإبل لمكان المداواة على أصله في إجازة ذلك قال: كل رجيع وبول فهو نجس ومن فهم من حديث إباحة الصلاة في مرابض الغنم طهارة أرواثها وأبوالها وكذلك من حديث العرنيين وجعل النهي عن الصلاة في أعطان الإبل عبادة أو لمعنى غير معنى النجاسة، وكان الفرق عنده بين الإنسان وبهيمة الأنعام أن فضلتي الإنسان مستقذرة بالطبع وفضلتي بهيمة الأنعام ليست كذلك جعل الفضلات تابعة للحوم والله أعلم.
“Sebab perbedaan pandangan mereka terdiri atas dua hal. Pertama, perbedaan mereka dalam memahami status mubah shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di kandang kambing, izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Uraniyin untuk meminum susu dan air kencing unta, dan larangan Rasul untuk shalat di kandang unta. Kedua, perbedaan mereka dalam menganalogi semua jenis hewan dalam konteks air kencing dengan jenis manusia. Ulama yang menganalogi semua jenis hewan dalam konteks air kencing dengan jenis manusia dan memandangnya dari qiyas aulawi atau lebih-lebih lagi utama–, dan tidak memahami dari status mubah shalat di kandang kambing sebagai kesucian kotoran dan kencingnya di mana itu menjadi ibadah–, dan orang yang memahami izin meminum air kencing unta sebagai kepentingan pengobatan, akan berpendapat bahwa semua kotoran dan kencing makhluk hidup dari jenis apapun adalah najis. Sedangkan ulama yang memahami kesucian kotoran dan kencing kambing dari hadits yang membolehkan shalat di kandang kambing, dari hadits masyarakat Uraniyin, atau larangan shalat di kandang unta sebagai makna lain selain najis, di mana baginya jelas perbedaan antara jenis manusia dan jenis hewan di mana kotoran sisa dari manusia dianggap kotor secara alamiah, tidak berlaku pada kotoran sisa dari jenis hewan, memandang status kotoran sisa jenis makhluk apapun sesuai dengan kategori daging tersebut (halal atau haram di makan)." (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan kelima, 2013 M/1434 H, halaman 79-80). Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
BENARKAH DARAH TIDAK NAJIS KECUALI DARAH HAIDH?*
(Tanggapan Tentang Orang Yang Mengatakan Darah Tidak Najis)
Dalam sebuah video seorang ustadz menyampaikan bahwa darah tidak ada yang najis kecuali darah haidh. Dia menukil sebuah riwayat hadits untuk dijadikan landasan hujjahnya, yaitu tentang peristiwa yang dialami seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tetap melanjutkan shalatnya ketika kena anak panah. Adapun hadits yang dimaksudkan saya kutibkan lengkapnya sebagai berikut :
عن ابن اسحاق عن جابر رضي الله عنه قال : لما كان الرسول صلى الله عليه و سلم لما قفل عائدا من غزوة ذات الرقاع نزل بالمسلمين فى شعب من الشعاب ليقضوا ليلتهم فيه , و كان أحد المسلمين قد سبى أثناء الغزوة أمرأة من نساء المشركين فى غيبة زوجها فلما حضر الزوج المشرك و لم يجد زوجته أقسم باللات و العزى ليلحقن بمحمد و أصحابه و ألا يعود الا اذا أراق منهم دما.
فما كاد المسلمون ينيخون رواحلهم فى الشعب حتى قال لهم الرسول صلى الله عليه و سلم : من يحرسنا فى ليلتنا هذه ؟؟؟؟
فقام اليه عباد بن بشر و عمار بن ياسر و قالا : نحن يا رسول الله - و قد كان رسول الله صلى الله عليه و سلم قد آخى بينهما حين هاجر المهاجرون الى المدينة المنورة - فلما خرجا الى فم الشعب قال عباد بن بشر لأخيه عمار بن ياسر : أى شطرى الليل تؤثر أن تنام فيه , أوله أم آخره ؟؟
فقال عمار بن ياسر : بل أنام أوله , ثم أضطجع غير بعيد عنه .
كان الليل ساجيا هادئا وادعا و كان النجم و الشجر و الحجر تسبح بحمد ربها و تقدس له , فتاقت نفس عباد بن بشر الى العبادة و اشتاق قلبه الى القرآن و كان أحلى ما يحلو له القرآن اذا رتله مصليا فيجمع متعة الصلاة الى متعة التلاوة , فتوجه الى القبلة و دخل فى الصلاة و طفق يقراء من سورة الكهف بصوته الشجى النقى العذب , و فيها هو سابح فى هذا النور الألهى غارق فى لألاء ضيائه اذا أقبل الرجل وزج المرأة السبية فلما رأى عباد بن بشر من بعيد يصلى منتصبا على فم الشعب عرف ان النبى صلى الله عليه و سلم و أصحابة بداخل الشعب و أدرك أن هذا الواقف ( عباد بن بشر ) هو حارس القوم فقام بتجهيز قوسه و تناول سهما من كنانته و رماه به فأصابه السهم فانتزعه عباد بن بشر من جسده و مضى مكملا لتلاوته غارقا فى صلاته ... فرماه الرجل بسهم آخر فأصابه ففعل عباد كما فعل فى الأولى فرماه الرجل بسهم ثالث فانتزعه عباد كما انتزع سابقيه و زحف حتى غدا قريبا من صاحبه و أيقظه قائلا : انهض فقد أثخنتنى الجراح .
فلما رآهما الرجل ولى هاربا
و التفت عمار بن ياسر الى عباد بن بشر فرأى الدماء تنزف غزيرة من جراحه الثلاثة فقال له : يا سبحان الله , هلا أيقظتنى عند أول سهم رماك به ؟؟؟؟؟
فقال عباد : كنت فى سورة أقرأها فلم أحب أن اقطعها حتى أفرغ منها و أيم الله لولا خوفى من أن أضيع ثغرا من ثغور المسلمين أمرنى رسول الله صلى الله عليه و سلم بحفظه لكان قطع النفس أحب الىَ من قطعها
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Jabir. ra katanya, 'Kami keluar bersama Rasulullah di dalam perang Dzatur Riqa'. Beliau pergi bersama orang-orang Muslim di suatu tempat untuk menghabiskan malam mereka di dalamnya. Ketika itu seorang lelaki telah menyakiti istri dari seorang laki-laki musyrik. Ketika Rasulullah bertolak dari tempat itu untuk pulang, maka kembalilah suami wanita itu yang tidak hadir di tempat itu ketika kejadian itu terjadi. Ketika ia diberitahu mengenai kejadian itu, ia bersumpah tidak akan berhenti sampai berhasil menumpahkan darah sahabat Muhammad. Kemudian ia keluar mengikuti jejak Rasulullah.
Rasulullah singgah di suatu tempat untuk istirahat dan berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Siapa lelaki yang bersedia menjaga keselamatan kami pada malam ini?"
Seorang lelaki Anshor dan seorang lelaki Muhajrin bersedia utnuk memikul tugas itu, seeraya berkata kepada Rasulullah, "Kami, wahai Rasulullah."
Rssulullah berkata kepada keduanya, "Berjagalah kalian di pintu Syai'b."
Kedua sahabat itu adalah Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr.
Ketika keduanya pergi menuju pintu syi'b itu, sahabat Anshor bertanya kepada sahabat Muhajirin, "Pada bagian manakah yang kamu inginkan aku untuk berjaga, pada awal atau akhir malam?"
"Berjaglah pada akhir malam." Jawab sahabat Muhajrin itu. Maka sahabat Muhajrin itu berbaring lalu tidur. Sedangkan sahabat Anshar bangun dan mendirikan shalat. Ketiak sedang shalat, lelaki musyrikin yang telah bersumpah untuk membunuh sahabat Rasulullah itu datang. Ketika ia melihat bayangan dua orang sahabat itu, ia mengetahui bahwa keduanya adalah pengawal bagi pasukan orang islam. Lalu ia pun memanah sahabat yang sedang mengerjakan shalat dan mengenai tubuhnya.
Sahabat itu mencabut anak panahdari tubuhnya lalu melanjutkan shalatnya. Kemudian orang musyrik itu melontarkan anak panah lainnya dan mengenainya. Sahabat itu mencabut anak panah itu dari tubuhnya lagi dan melanjutkan shlatnya. Kemudian orang musyrik itu mengulanginya untuk yang ketiga kalinya, dan tepat mengenainya. Kemudian sahabat itu mencabutnya, dan membuangnya, lalu ruku' dan sujud. Kemudian ia membangunkan sahabatnyayang sedang tidur seraya berkata, "Duduklah, aku telah terpanah dan tertahan ditempatku ini."
Lelaki musyrik itu melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Ketika ia melihat kedua orang sahabat itu, ia mengetahui bahwa kedua orang sahabat itu telah mengetahui kehadirannya. Karena itu ia melarikan diri.
Ketika sahabat Muhajir melihat keadaan sahabat Anshor itu berlumuran darah, ia berkata, "Subhanallah, mengapa engkau tidak membangunkan aku ketika pertama kali dia memanahmu?"
Jawab sahabat itu, "Saat itu aku sedang membaca satu surat, maka aku tidak suka untuk menghentikannya hingga tamat. Ketika aku dipanah berturut-turut aku pun ruku' lalu membangunkanmu. Demi Allah! Jika tidak karena khawatir aku melalaikan perintah Rasulullah untuk berjaga, sudah pasti aku lebih menyukai mati daripada harus menghentikan bacaan al-Qur'an itu." (HR. Abu Dawud (1/29) melalui Jabir - Sebagaimana tersebut dalam al Bidayah (4/86)
*Darah itu Najis*
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (21/25) disebutkan bahwa para fuqaha sepakat, darah itu dihukumi haram dan najis, darah tersebut tidak boleh dimakan, dan tidak boleh dimanfaatkan. Para ulama hanya berbeda pendapat pada darah yang sedikit. Tentang kadar sedikit pun, mereka berselisih pendapat.
Dalilnya di antaranya adalah,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu rijsun (kotor).” (QS. Al-An’am: 145). Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari menyatakan bahwa yang dimaksud rijsun di sini adalah najis dan kotor. (Jami’ Al-Bayan, 8:93)
Dari Asma’ radhiyallahu anha, ia berkata,
جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
“Seorang perempuan datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Pakaian salah seorang dari kami terkena darah haid, apa yang harus ia lakukan?’ Beliau menjawab, ‘Keriklah darah itu terlebih dahulu, kemudian bilaslah dengan air, kemudian cucilah ia. Setelah itu engkau boleh memakainya untuk shalat.” (HR. Bukhari, no. 330 dan Muslim, no. 291)
Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam Bab “Mencuci Darah”. Imam Nawawi juga membuat judul untuk hadits di atas, Bab “Najisnya darah dan cara mencucinya”. Walaupun penyebutan hadits tersebut membicarakan tentang darah haidh. Namun semua darah itu sama, tidak dibedakan darah yang satu dan darah lainnya, juga tidak dibedakan dari mana darah itu keluar.
Ada atsar dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa jika ia melihat di bajunya itu darah saat ia shalat, beliau meletakkannya dan beliau melanjutkan shalat. (HR. Bukhari secara mu’allaq tanpa sanad dibawakan dalam Bab “Jika seseorang yang shalat menemukan di punggungnya kotoran najis atau bangkai, shalatnya tidaklah rusak”)
Imam Ahmad pernah ditanya, “Bagaimanakah hukum darah dan muntah, apakah sama menurutmu?” Imam Ahmad menjawab, “Darah tidak ada beda pendapat di kalangan para ulama (mengenai najisnya). Sedangkan muntah, para ulama memiliki beda pendapat.” (Syarh ‘Umdah Al-Fiqh karya Ibnu Taimiyah, 1:105)
Imam Al-Qarafi dalam Al-Furuq (2/119) sampai mengatakan, “Adapun darah, aku tidaklah melihat ada ulama yang menganggapnya suci.”
Imam Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Ada ijmak di antara para ulama, bahwa darah yang mengalir itu rijsun najis.” (At-Tamhid, 22/230)
Imam Nawawi menyatakan, “Darah itu najis dan ini adalah ijmak kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, 3/177)
Imam Al-‘Aini dalam ‘Umdah Al-Qari (3/141) menyatakan bahwa darah itu najis berdasarkan ijmak para ulama.
*Darah yang Tidak Najis*
1. Darah yang ada di urat setelah penyembelihan karena darah tersebut bukanlah darah al-masfuh (darah yang mengalir). Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari menyatakan, “Haramnya darah adalah darah yang mengalir. Adapun daging yang bercampur dengan darah, maka tidaklah mengapa.” (Jami’ Al-Bayan, 8/92)
2. Darah orang yang mati syahid. Dalilnya, para sahabat yang mati syahid ketika perang Uhud diperintahkan untuk dikubur dengan darah mereka, tidak dimandikan, dan tidak dishalatkan. (HR. Bukhari, no. 4079)
3. Darah ikan. Karena kalau bangkai ikan itu halal tanpa jalan penyembelihan, maka tentu darahnya pun dihukumi suci.
4. Darah hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti kutu dan lalat. Sebagian ulama menyebutkan bahwa darahnya tetap najis namun dimaafkan seperti pendapat dalam madzhab Syafi’iyah.
5. Darah yang dianggap sedikit sesuai dengan kaedah fikih “al-masyaqqah tajlibut taysir” (المشقة تجلب التيسر), yaitu kesulitan itu mendatangkan kemudahan. Dalilnya adalah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan,
مَا كَانَ لإِحْدَانَا إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ تَحِيضُ فِيهِ ، فَإِذَا أَصَابَهُ شَىْءٌ مِنْ دَمٍ ، قَالَتْ بِرِيقِهَا فَقَصَعَتْهُ بِظُفْرِهَا
“Kami terbiasa mengenakan satu pakaian yang kami kenakan saat haidh. Jika pakaian kami terkena darah, cukup menuangkan air, lalu darah tersebut dikerik dengan kuku.” (HR. Bukhari, no. 312). Kalau dikatakan dengan kalimat riiq (menuangkan), maka berarti tidak bisa bersih secara total, ada darah sedikit yang tersisa dan malah kuku yang membawa najisnya. Lihat Al-Mughni, 2:482.
Dalam Kitab Asbah Wa An-Nadhair disebutkan,
تقسيم النجاسات
أقسامأحدها : ما يعفى عن قليله وكثيره في الثوب والبدن وهو : دم البراغيث والقمل والبعوض والبثرات والصديد والدماميل والقروح وموضع الفصد والحجامة ولذلك شرطان :
أحدهما : أن لا يكون بفعله ، فلو قتل برغوثا فتلوث به وكثر : لم يعف عنه
والآخر : أن لا يتفاحش بالإهمال فإن للناس عادة في غسل الثياب ، فلو تركه سنة مثلا وهو متراكم لم يعف عنه قال الإمام : وعلى ذلك حمل الشيخ جلال الدين المحلي قول المنهاج إن لم يكن بجرحه دم كثير.
الثاني : ما يعفى عن قليله دون كثيره وهو : دم الأجنبي وطين الشارع المتيقن نجاسته.
الثالث : ما يعفى عن أثره دون عينه وهو : أثر الاستنجاء ، وبقاء ريح أو لون عسر زواله.
الرابع : ما لا يعفى عن عينه ولا أثره وهو ما عدا ذلك.
Pembagian Najis diantaranya :
1. Najis yang di ma'fu (dima'afkan) baik sedikit maupun banyaknya, baik di baju maupun di badan, yaitu darahnya kutu loncat, kutu rambut, nyamuk, jerawat, nanah, bisul, cacar dan darah tempatnya bekam. Dima'funya najis-najis tersebut dengan 2 syarat :
a) Bukan atas perbuatan diri sendiri, jadi misalnya membunuh kutu kemudian darahnya mengotori baju dan banyak darahnya maka tudak di ma'fu.
b) Tidak melampaui batas dalam membiarkannya, karena manusia mempunyai kebiasaan mencuci baju,jika baju ditinggalkan tanpa dicuci selama setahun misalnya, dan dibiarkan bertumpuk2 maka tidak dima'fu.
2. Najis yang sedikitnya dima'fu, jika banyak tidak dima'fu, yaitu darahnya orang lain dan tanah jalanan yg diyakini kenajisannya.
3. Najis yang dima'fu bekasnya dan tidak dima'fu dzatnya, yaitu bekas istinja' dan sisa bau atau warna najis yang sulit hilangnya.
4. Najis yang tidak dima'fu dzatnya dan bekasnya, yaitu selain najis-najis yang disebut diatas.
Jadi tidaklah benar jika dikatakan bahwa darah itu tidak najis kecuali darah haidh sebagaimana anggapan seorang ustadz sebagaimana dalam video tersebut. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
KAJIAN TENTANG ZAMAN INI ILMU LEBIH UTAMA DARIPADA AMAL
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadalah : 11)
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ» [سنن الترمذي: صحيح]
"Keutamaan seorang ulama dibandingkan dengan seorang ahli ibadah seperti keutamaanku dibandingkan dengan orang yang paling rendah dari kalian". (HR. At-Tirmidzi: Shahih)
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
فَضْلُ الْعِلْمِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ ، وَخَيْرُ دِينِكِمُ الْوَرَعُ [مسند البزار]
“Keutamaan ilmu lebih saya sukai daripada keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama (amalan) kalian adalah sifat wara'”. (HR. Al-Bazzar: Shahih)
Dari Abu Ad-Darda' radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ، كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ» [سنن أبى داود]
“Sesungguhnya keutamaan seorang ulama terhadap seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan malam purnama dibandingkan dengan bintang lainnya”. (HR. Abu Daud: Shahih)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah telah mengatakan,
تعوذوا بالله من فتنةِ العابد الجاهل ، وفتنة العالم الفاجر ، فإنَّ فتنتهما فتنةٌ لكلِّ مفتون
Berlindunglah kalian kepada Allah dari fitnahnya seorang ahli ibadah yang bodoh dan fitnahnya seorang alim yang pendosa. Karena fitnah keduanya merupakan fitnah bagi orang-orang yang terfitnah.” (Akhlaqul Ulama’ karya al-Ajurry hal.63)
Ada seseorang yang bercerita, dalam sebuah perjalanan manasik haji, para jamaah haji secara bertubi-tubi mengajukan banyak pertanyaan kepada pembimbing haji. Hampir semua permasalahan yang mereka jumpai dalam pelaksanaan ibadah haji, selalu dikonsultasikan kepada pembimbing. Kita yakin, suasana semacam ini hampir dialami oleh semua jamaah haji. Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya hanya ada dua kemungkinan; pertama, mereka khawatir jangan-jangan ibadah haji yang mereka lakukan batal dan tidak diterima oleh Allah. Atau kedua, mereka takut dan khawatir jangan sampai melakukan tindakan pelanggaran yang menyebabkan mereka harus membayar denda.
Demikianlah gambaran semangat orang terhadap ilmu ketika melaksanakan ibadah haji. Suasana itu terbentuk disebabkan kekhawatiran mereka agar hajinya tidak batal. Mereka sadar, ibadah ini telah memakan banyak biaya dan tenaga, sehingga sangat disayangkan ketika ibadah yang sangat mahal nilainya ini, tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi dirinya.
Pernahkah sikap dan perasaan semacam ini hadir dalam diri kita dalam setiap melaksanakan ibadah, atau bahkan dalam setiap amal perbuatan kita? Ataukah sebaliknya, justru kita begitu menganggap enteng setiap amal, sehingga tidak mempedulikan pondasi ilmunya. Inilah yang penting untuk kita renungkan. Semangat untuk mendasari setiap amal dengan ilmu merupakan cerminan perhatian seseorang terhadap kesempurnaan beramal. Untuk menunjukkan sikap ini, seorang ulama, yang bernama Sufyan at-Tsauri mengatakan:
إِنْ اسْتَطَعتَ ، أَلَّا تَحُكَّ رَأسَكَ إِلَّا بِأَثَرٍ فَافعَلْ
Jika kamu mampu tidak akan menggaruk kepala kecuali jika ada dalilnya maka lakukanlah
(Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab as-Sami’, Khatib al-Baghdadi, Mauqi Jami’ al-Hadis: 1/197)
Ulama ini menasehatkan agar setiap amal yang kita lakukan sebisa mungkin didasari dengan dalil. Sampai pun dalam masalah kebiasaan kita, atau bahkan sampai dalam masalah yang mungkin dianggap sepele. Apalagi dalam masalah ibadah. Karena inilah syarat mutlak seseorang dikatakan mengamalkan dalil.
Namun sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang kurang mempedulikan landasan ilmu ketika beramal yang sifatnya rutinitas. Jarang kita temukan orang yang melaksanakan ibadah rutin, semacam shalat misalnya, kemudian dia berusaha mencari tahu, apa landasan setiap gerakan dan bacaan shalat yang dia kerjakan. Bisa jadi ini didasari anggapan, amal rutinitas ini terlalu ringan dan mudah untuk dilakukan.
*Ilmu Syarat Sah Amal*
Mengapa harus berilmu sebelum beramal? Pada bagian inilah yang akan melengkapi keterangan di atas, yang mengajak untuk senantiasa mendasari amal dengan ilmu. Inti dari penjelasan ini adalah kesimpulan bahwa ilmu adalah syarat sah amal.
Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari mengatakan:
بَابٌ العِلمُ قَبلَ القَولِ وَالعَمَلِ
“Bab: Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan”
(Shahih al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab al-Ilmu Qobla al-Qoul wa al-Amal)
Sahabat ‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu meriwayatkan suatu hadits,
وقال صلى الله عليه وسلم إنكم أصبحتم في زمن كثير فقهاؤه قليل قراؤه وخطباؤه قليل سائلوه كثير معطوه العمل فيه خير من العلم وسيأتي على الناس زمان قليل فقهاؤه كثير خطباؤه قليل معطوه كثير سائلوه العلم فيه خير من العمل
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "kalian semua (para sahabatku) berada di zaman yang banyak para ahli fikihnya (ulama), sedikit ahli membaca Al-Qur'an, dan (sedikit) orang yabg pandai bicara. Sedikit para peminta-minta, banyak para pemberi. Amal pada masa ini lebih baik daripada ilmu. Dan kelak akan datang, masa dimana sedikit ahli fikihnya, banyak orang yang pandai bicara, sedikit yang memberi, dan banyak yang meminta. Ilmu akan lebih utama daripada amal.” (HR. Thabrani)
Pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diisi oleh orang-orang yang masih “berfikir sederhana” (para sahabat). Meskipun tak banyak orang yang pandai bicara dihadapan umum, dan jarang sahabat yang mau berfatwa, tak lantas berbanding lurus dengan kenyataan bahwa sedikit orang yang mengerti agama. Dulu, masa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap disebut sebagai masa yang terbaik. Karena pada waktu itu, mudah kita temukan ahli ilmu yang sejati. Sementara zaman sekarang ini banyak orang yang pandai bicara dan berfatwa tanpa ilmu yang memadai dan menjadi ulama dan ustadz dadakan. Na'udzubillahi min dzalil
Generasi zaman ini telah mulai banyak yang tidak mengenal lagi ulama. Mereka hanya mengenal ustadz dan da'i melalui media sosial dan televisi. Apalagi jika telah ada orang-orang yang menyamar sebagai ulama dengan modal ilmu yang minimalis. Bahkan, belajar agama mereka cukupkan dengan melalui media sosial dan internet.
Maka, dalam hal ini Imam Nawawi berpendapat bahwa meyibukkan dengan mencari ilmu lebih afdhal daripada sibuk beribadah sunnah, seperti shalat, puasa sunnah dan menbaca tasbih.
Ada beberapa alasan yang diungkapkan oleh Imam Nawawi.
*Pertama,* manfaat ilmu lebih meluas kepada kaum Muslimin. Sedangkan ibadah sunnah manfaatnya hanya untuk perorang, yaitu orang yang melakukan ibadah sunnah tersebut.
*Kedua,* karena ilmu itu mengoreksi ibadah sedangkan ibadah sunnah itu membutuhkan ilmu.
*Ketiga,* ulama merupakan warisan Nabi.
*Keempat,* karena ilmu tetap kekal meskipun ahli ilmu meninggal dunia. Sedangkan ibadah sunnah terputus jika seseorang meninggal dunia (Imam Nawawi, Muqaddimah Syarah Majmu’, hal. 48). Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Jumat, 21 Juni 2019
KAJIAN TENTANG BATASAN AURAT LAKI-LAKI
*(Tanggapan Pendapat Bahwa Paha Laki-Laki Bukan Aurat)*
*Ta’rif (definisi) Aurat*
Aurat secara bahasa artinya bagian yang ditutupi manusia karena malu jika ditampakkan. Sedangkan secara istilah adalah bagian badan yang diwajibkan Allah Azza wa Jalla untuk ditutupi.
*Perintah Menutup Aurat*
Dalam Al Qur’an, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ...
"Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al A’raaf: 31)
Ayat di atas turun berkenaan dengan kaum musyrik yang berthawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang karena menganggap bahwa pakaian yang biasa mereka pakai adalah pakaian yang biasa digunakan untuk maksiat sehingga mereka tanggalkan, maka dalam ayat di atas Allah memerintahkan manusia untuk menutup auratnya.
Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan, dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kami perbuat terhadap aurat kami?” Beliau menjawab,
«احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ»
“Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali terhadap istrimu atau budak yang kamu miliki.”
Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika antara sesama kami?”
Beliau menjawab,
«إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا»
“Jika engkau mampu untuk tidak memperlihatkannya, maka jangan perlihatkan.”
Aku bertanya kembali, “Wahai Rasulullah, jika salah seorang di antara kami sedang sendiri?”
Beliau menjawab,
«اللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاسِ»
“Allah lebih berhak untuk malu kepada-Nya daripada kepada manusia.” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ،وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
“Laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki, wanita tidak boleh melihat aurat wanita. Laki-laki tidak boleh telanjang dengan laki-laki lainnya dalam satu selimut, dan wanita tidak boleh telanjang dengan wanita dalam satu selimut.” (HR. Muslim)
Ayat dan hadits di atas merupakan dalil wajibnya menutup aurat, dan masih banyak lagi dalilnya.
*Pembagian Aurat*
Ahli Ilmu menyebutkan, bahwa aurat itu terbagi dua, yaitu Aurat Nazhar dan Aurat Shalat. Aurat nazhar maksudnya aurat yang wajib ditutupi dari pandangan orang lain (agar orang lain tidak terfitnah), sedangkan aurat shalat adalah aurat yang wajib ditutupi di dalam shalat (sebagai bentuk memenuhi hak Allah Ta’ala). Sebagian ulama memberikan contoh aurat nazhar dan aurat shalat, yaitu wajah wanita, ia tidak boleh menampakkannya di luar shalat kepada laki-laki asing (karena sebagai aurat nazhar), tetapi boleh menampakkannya di dalam shalat (karena aurat shalat seluruh tubuhnya selain muka dan telapak tangan). Demikian pula pundak laki-laki, ia boleh menampakkannya di luar shalat kepada sesamanya, tetapi tidak boleh menampakkannya di dalam shalat karena sebagai aurat shalat.
*Aurat Laki-Laki*
Aurat laki-laki adalah bagian antara pusar dan lututnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَا بَيْنَ السُّرَّةِ إِلَى الرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ»
“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” (HR. Hakim).
Berdasarkan hadits ini, maka lutut dan pusar bukanlah aurat (ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i). Bahkan yang menjadi aurat adalah bagian antara pusar dan lutut.
Dari Jarhad, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewatinya ketika pahanya terbuka, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّهَا مِنَ العَوْرَةِ»
“Tutuplah pahamu. Sesungguhnya ia bagian dari aurat.” (HR. Malik, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, ia berkata, “Hasan,” dan disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq dalam Shahihnya).
Akan tetapi di dalam shalat, bagi laki-laki harus tertutup pula pundaknya ketika sanggup menutupnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ»
“Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu kain, sedangkan di pundaknya tidak ada sesuatu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
«إذَا كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعًا فَالْتَحِفْ بِهِ فِي الصَّلَاةِ»
“Jika kain itu luas maka berselimutlah dengannya –yakni dalam shalat-.”
Sedangkan dalam riwayat Muslim lafaznya,
فَخَالِفْ بَيْنَ طَرْفَيْهِ، وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاِتَّزِرْ بِهِ
“Maka rentangkanlah kedua ujungnya, namun jika sempit maka jadikanlah sarung.”
Hadits di atas menunjukkan, bahwa jika kainnya luas, maka ia selempangkan di pundaknya setelah menjadikannya sarung agar bagian atas badannya juga tertutupi. Jumhur berpendapat, bahwa perintah ini sunah, namun Imam Ahmad berpendapat, bahwa hal itu hukumnya wajib, dan bahwa tidak sah shalat seorang yang mampu melakukan hal itu tetapi malah meninggalkannya. Namun menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad, sah tetapi berdosa.
Jika sempit, maka ia menjadikannya sebagai sarung untuk menutup auratnya.
Di samping itu, dalam shalat, hendaknya kita memakai pakaian yang rapi dan sopan, serta berhias untuknya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلىَّ أحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ أَنْ يُتَزَيَّنَ لَهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka pakaialah kedua pakaiannya, karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk berhias kepada-Nya.” (Hasan, diriwayatkan oleh Thahawiy, Thabrani dan Baihaqi, lihat Silsilah Ash Shahiihah 1369)
Syekh Said bin Muhammad Ba’ali al-Hadrami dalam kitab Busyra al-Karîm (Jeddah: Dar al-Minhâj, 2004), hal. 262, tentang apa itu aurat:
و (العورة) لغة: النقص، والشيء المستقبح، وسمي المقدار الآتي بها؛ لقبح ظهوره. وتطلق شرعاً: على ما يحرم نظره،
“Secara etimologis, aurat berarti kurang, sesuatu yang menjijikan, dan terkadang sesuatu yang dianggap jijik akan dinamai dengan “aurat” karena dianggap jelek untuk diperlihatkan. Dalam terminologi syara’, aurat berarti sesuatu yang haram untuk dilihat.”
Dalam bab shalat, batasan aurat secara syara’ bisa kita lihat penjelasannya pada penuturan Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarîb (Surabaya: Kharisma, tt), hal. 12:
وعورة الذكر ما بين سرته وركبته، …؛ وعورة الحُرَّة في الصلاة ما سوى وجهها وكفيها ظهرا وبطنا إلى الكوعين؛
“Aurat lelaki (yang wajib ditutupi) ialah anggota tubuh antara pusar hingga lutut,.. dan aurat perempuan dalam shalat ialah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya baik luar maupun dalam hingga batas pergelangan.”
Dari penuturan di atas bisa dipahami bahwa ketika shalat, seorang lelaki harus menutupi area tubuh dari pusar hingga lutut. Demikian ini menurut kepatutan syariat. Namun demikian, ada kepatutan yang lain yang mesti diperhatikan, yakni kepatutan adab atau kesopanan. Maka bagi lelaki seyogianya menggunakan pakaian yang memenuhi standar syariat dan kesopanan. Adapun perempuan, ketika shalat harus menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Sudut pandang ketertutupan aurat ini ialah ketika tak terlihat dari sisi atas dan seputarnya (kanan, kiri, depan dan belakang), bukan dari sisi bawah. Sehingga, bila aurat terlihat dari bawah seperti terlihat dari bawah saat sujud atau yang lainnya, hal tersebut tidak menjadi masalah, sebagaimana dijelaskan Syekh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), juz I, hal. 113:
قوله لا من الأسفل - أي فلو رؤيت من ذيله كأن كان بعلو والرائي بسفل لم يضر أو رؤيت حال سجوده فكذلك لا يضر
“(Pernyataan ‘bukan dari bawah’) maksudnya apabila terlihat dari bawah seperti ketika shalat di tempat tinggi dan terlihat dari bawah, maka tidak masalah sebagaimana jika terlihat saat sujud.”
Mayoritas ulama sepakat bahwa batas aurat lelaki adalah antara pusar hingga lutut. Dalam ensiklopedi fikih dinyatakan,
عورة الرّجل في الصّلاة وخارجها ما بين السّرّة والرّكبة عند الحنفيّة والمالكيّة والشّافعيّة والحنابلة، وهو رأي أكثر الفقهاء
"Aurat laki-laki dalam shalat maupun di luar shalat, antara pusar hingga lutut, menurut hanafiyah, malikiyah, syafiiyah dan hambali. Dan ini pendapat mayoritas ulama." (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 22/118)
Artikel saya ini sebagai bentuk tanggapan terkait video viral seorang ustadz yang menjelaskan bahwa paha laki-laki bukanlah aurat dengan berlandasan hadits dibawah ini tanpa melihat dan mempertimbangkan faktor apa yang menjadi penyebab sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperlihatkan paha beliau. (lihat videonya)
Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ’anhu ia berkata:
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان قاعداً في مكان فيه ماء قد انكشف عن ركبته أو ركبتيه فلما دخل عثمان غطاها
“Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam pernah duduk di suatu tempat yang terdapat air dalam keadaan terbuka lututnya atau kedua lututnya. Ketika Utsman datang, beliau menutup lututnya” (HR. Al Bukhari no. 3695).
Dari Anas radhiyallahu ’anhu yang panjang tentang kisah perang Khaibar, di antara redaksinya:
وَإِنَّ رُكْبَتِى لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِىِّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، ثُمَّ حَسَرَ الإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِىِّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
“Dan saat itu (ketika di Khaibar) sungguh lututku menyentuh paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat melihat paha Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang putih.” (HR Bukhari: 371)
Meskipun dua hadits ini shahih, tapi tidak mesti menunjukkan secara pasti bahwa paha bukanlah aurat, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa aurat laki-laki memiliki dua jenis:
*Pertama :* ‘Aurah Mugalladzhah atau aurat yang berat. Yaitu, qubul dan dubur beserta bagian di sekitar keduanya. Aurat ini tidak boleh ditampakkan kecuali kepada istri atau hamba sahaya. Ia tidak boleh disingkap di depan orang lain kecuali bila dalam kondisi darurat. Adapun kalau hanya dalam kondisi yang diperlukan seperti mengangkat pakaian agar tidak terkena tanah becek, atau ketika mandi di kolam, atau keperluan/hajat lainnya maka tetap tidak boleh, karena kalau hanya sekedar hajat maka sama sekali tidak membolehkan pelaksanaan amalan haram, tetapi yang bisa membolehkan pelaksanaannya adalah bila dalam kondisi darurat seperti pada kondisi pengobatan atau operasi atau perkara darurat lainnya.
*Kedua:* ‘Aurah Mukhaffafah atau aurat yang ringan. Yaitu bagian paha hingga ke atasnya. Aurat jenis ini boleh diperlihatkan bila diperlukan, namun biasanya keperluan/hajat ini kondisinya hanya sekali-sekali dan bukan menjadi kebiasaan. Artinya, kalau ada yang keluar dengan memakai pakaian pendek yang memperlihatkan pahanya, maka ini tidak boleh karena ia merupakan pakaian yang menjadi kebiasaannya. Dalil utama yang menunjukkan bahwa paha adalah aurat yang ringan adalah:
- Bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menampakkan pahanya pada orang lain dalam kondisi membutuhkan penyingkapannya, sebagaimana dalam hadits Anas ra di atas ketika beliau melewati atau melompati' benteng Khaibar.
- Juga Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menyingkap sarung (izar)nya sebentar dan bukan terus menerus menyingkapnya seperti ketika hanya duduk sebentar sebagaimana dalam hadits Abu Musa Al-Asy'ari ra diatas. Dalam hadits ini beliau menyingkapnya dalam kondisi duduk, dan bukan berdiri atau berjalan. Sebab itu, ketika beliau melihat Abu Bakr radhiyallahu ’anhu yang menyingkap pahanya dalam keadaan berdiri tanpa hajat tertentu seperti melompati pagar atau tempat tinggi, beliau lantas bersabda:
أما صاحبكم فقد غامر
“Teman kalian ini telah menjerumuskan dirinya dalam perkara yang berbahaya.” (HR Bukhari: 3661).
Dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra. yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,
لاَ تُبْرِزُ فَخِذَكَ وَلاَ تَنْظُرُإِلَى فَخِذِ حَيٍّ وَلاَ مَيِّتٍ
"Janganlah kamu menampakkan pahamu dan jangan pula kamu melihat paha orang yang masih hidup maupun telah mati." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Muhammad bin Jahsy berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salkam pernah berjalan berpapasan dengan Ma’mar ra, sementara kedua pahanya terbuka. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ياَ مَعْمَرُ غَطِّ فَخِذَيْكَ فَإِنَّ الْفَخِذَيْنِ عَوْرَةٌ
Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu karena kedua paha itu adalah aurat." (HR. Ahmad dan Al-Bukhari).
Juga dalam hadits Anas dan Abu Musa di atas, mereka berdua menyebutkan penyingkapan paha Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dengan menyebutkan faktornya. Hal ini mengisyaratkan bahwa keauratan paha itu ringan, hanya boleh ditampakkan kalau ada hajat atau faktor tertentu, dan tidak boleh ditampakkan secara terus menerus.
*Kesimpulannya,* pendapat yang menyatakan bahwa paha adalah aurat merupakan pendapat yang benar dan penuh kehati-hatian. Adapun orang-orang yang menganggapnya bukan aurat maka akan kesulitan menentukan batasan aurat pada paha, sebab paha merupakan satu anggota badan yang panjang dan bersambung, sehingga bila menganggap bahwa bagian paha bawah bukan aurat maka serta merta akan menganggap bahwa pangkal paha yang dekat selangkangan juga bukanlah aurat . Tentunya ini merupakan pendapat yang tidak benar.
Pendapat yang menyatakan bahwa paha adalah aurat ringan merupakan pendapat Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, dengan berdalil hadis populer:
الفخذ عورة
“Paha itu aurat.” (HR Ahmad: 1/275 dan Tirmidzi: 2796 dari hadis Ibnu Abbas, dan HR Ahmad: 3/478, Abu Daud: 4014, dan Tirmidzi: 2795 dari hadis Jarhad)
Adapun lutut dan pusar, maka para ulama berbeda dalam dua pendapat; apakah keduanya merupakan aurat atau bukan? Imam Malik, Syafii dan Ahmad berpandangan bahwa keduanya bukanlah aurat, sedangkan Abu Hanifah memandang keduanya sebagai aurat. Wallaahu a’lam. (Diringkas dari At-Tafsir wa Al-Bayan: 3/1293-1296) Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Kamis, 20 Juni 2019
EDISI KHUTBAH JUM'AT (Keutamaan Hari Jum'at Yang Dilupakan)
*Khutbah Pertama*
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلِ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ، فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*
Hari Jum'at tergolong unik dalam Islam. Dari segi penamaan, pilihan nama “Jum'at” berbeda dari nama-nama hari lainnya. Kata “Jum'at “ Qamus Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Ma'ashir dapat dibaca dalam tiga bentuk: Jumu'ah, Jum'ah, dan Juma'ah, yang berarti berkumpul. Sementara hari-hari lain memiliki makna yang mirip dengan urutan angka hari dalam sepekan: Ahad (hari pertama), Isnain (hari kedua), tsulatsa (hari ketiga), arbi’a (hari keempat) dan khamis (hari kelima), serta sabt yang berakar kata dari sab’ah (hari ketujuh).
Pada masa Arab Jahiliyah nama-nama hari terdiri dari Syiyar (Sabtu), Awwal (Ahad), Ahwan (Senin), Jubar (Selasa), Dubar (Rabu), Mu’nis (Kamis), dan ‘Arubah (Jum'at). Nama-nama tersebut kemudian diubah dengan datangnya Islam. Rasulullah tidak hanya melakukan revolusi moral tapi juga revolusi bahasa. Kata-kata dianggap kurang tepat dimaknai ulang sehingga sesuai dengan nilai-nilai Islam. Di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah, ‘Arubah merupakan momentum untuk menampilkan kepongahan, kebanggaan, berhias, dan semacamnya.
Dalam Islam ‘Arubah berubah menjadi Jumu‘ah yang mengandung arti berkumpul. Tentu saja lebih dari sekadar berkumpul, karena dalam syari’at, Jum'at mendapatkan julukan sayyidul ayyâm atau rajanya hari. Dengan kata lain, Jum'at menduduki posisi paling utama di antara hari-hari lainnya dalam sepekan.
Al-Imam al-Syafi’i dan al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Ubadah sebuah hadits:
سَيِّدُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَهُوَ أَعْظَمُ مِنْ يَوْمِ النَّحَرِ وَيَوْمُ الْفِطْرِ وَفِيْهِ خَمْسُ خِصَالٍ فِيْهِ خَلَقَ اللهُ آدَمَ وَفِيْهِ أُهْبِطَ مِنَ الْجَنَّةِ إِلَى الْأَرْضِ وَفِيْهِ تُوُفِّيَ وَفِيْهِ سَاعَةٌ لَا يَسْأَلُ الْعَبْدُ فِيْهَا اللهَ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ مَا لَمْ يَسْأَلْ إِثْمًا أَوْ قَطِيْعَةَ رَحِمٍ وَفِيْهِ تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَمَا مِنْ مَلَكٍ مُقّرَّبٍ وَلَا سَمَاءٍ وَلَا أَرْضٍ وَلَا رِيْحٍ وَلَا جَبَلٍ وَلَا حَجَرٍ إِلَّا وَهُوَ مُشْفِقٌ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Rajanya hari di sisi Allah adalah hari Jum'at. Ia lebih agung dari pada hari raya kurban dan hari raya Fithri. Di dalam Jum'at terdapat lima keutamaan. Pada hari Jum'at Allah menciptakan Nabi Adam dan mengeluarkannya dari surga ke bumi. Pada hari Jum'at pula Nabi Adam wafat. Di dalam hari Jum'at terdapat waktu yang tiada seorang hamba meminta sesuatu di dalamnya kecuali Allah mengabulkan permintaannya, selama tidak meminta dosa atau memutus tali shilaturrahim. Hari kiamat juga terjadi di hari Jum'at. Tiada Malaikat yang didekatkan di sisi Allah, langit, bumi, angin, gunung dan batu kecuali ia khawatir terjadinya kiamat saat hari Jum'at.”
*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*
Di antara kita kadang lupa, tak merasakan, keutamaan hari Jum'at karena tertimbun oleh rutinitas sehari-hari. Kesibukan yang melingkupi kita tiap hari sering membuat kita lengah sehingga menyamakan hari Jumat tak ubahnya hari-hari biasa lainnya. Padahal, di tiap tahun ada bulan-bulan utama, di tiap bulan ada hari-hari utama, dan di tiap hari ada waktu-waktu utama. Masing-masing keutamaan memiliki kekhususan sehingga menjadi momentum yang sangat baik untuk merenungi diri, berdoa, bermunajat, berdzikir, dan meningkatkan ibadah kepada Allah ﷻ.
Keistimewaan hari Jum'at bisa dilihat dari disunnahkannya mandi Jum'at. Dalam Al-Hawi Kabir karya al-Mawardi, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa kendati shalat Jum'at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur, mandi Jum'at boleh dilakukan semenjak dini hari, setelah terbit fajar. Mandi adalah simbol kebersihan dan kesucian diri. Setelah mandi, seseorang dianjurkan untuk memakai pakaian terbaik, terutama warna putih, sebelum berangkat menuju shalat Jum'at.
Dalam hal ini, umat Islam diperingatkan untuk menyambut hari istimewa itu dengan kesiapan dan penampilan yang juga istimewa.
Dalam Bidâyatul Hidâyah, Imam Abu Hamid al-Ghazali menyebut hari Jumat sebagai hari raya kaum mukmin (‘îdul mu’minîn). Imam al-Ghazali bahkan menyarankan agar umat Islam mempersiapkan diri menyambut hari Jum'at sejak hari Kamis, dimulai dengan mencuci baju, lalu memperbanyak membaca tasbih dan istighfar pada Kamis petang karena saat-saat tersebut sudah memasuki waktu keutamaan hari Jum'at. Selanjutnya, kata Imam al-Ghazali, berniatlah puasa hari Jumat sebagai rangkaian dari puasa tiga hari berturut-turut Kamis-Jumat-Sabtu, sebab ada larangan puasa khusus hari Jumat saja.
*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*
Hari Jum'at juga menjadi semacam konferensi mingguan bagi umat Islam, karena di hari Jum'at lah ada shalat berjama'ah dan khutbah Jum'at. Setiap umat Islam laki-laki yang tak memiliki udzur syar’i wajib ‘ain melaksanakannya. Artinya, lebih dari sebatas berkumpul, Jum'at adalah momen konsolidasi persatuan umat sekaligus memupuk ketakwaan melalui nasihat-nasihat positif dari sang khatib. Tentu keutamaan ini bersamaan dengan asumsi bahwa jama'ah melaksanakan shalat Jum'at dengan kesungguhan penuh, menyimak khutbah secara baik, bukan cuma rutinitas sekali sepekan untuk sekadar menggugurkan kewajiban.
Amalan-amalan utama hari Jum'at juga bertebaran. Di antaranya adalah memperbanyak baca shalawat, memperbanyak do'a, bersedekah; membaca Surat al-Kahfi, Surat al-Ikhlas, Surat al-Falaq, dan Surat an-Naas, serta ibadah-ibadah lainnya. Masing-masing amalan memiliki fadhilah yang luar biasa.
Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, ‘Amal Yaum wa Lailah, mengatakan:
ويقرأ بعد الجمعة قبل أن يتكلم: الإخلاص والمعوذتين (سبعا سبعا). ويكثر من الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم سوم الجمعة وليلة الجمعة.ويصلى راتبة الجمعة التي بعدها في بيته لا في المسجد. وما ذا يفعل بعدها؟ ويمشى بعدها لزيارة أخ أو عيادة مريض أو حضور جنازة أو عقد نكاح
“Nabi ﷺ membaca Surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas usai shalat Jumat sebanyak tujuh kali dan beliau juga memperbanyak shalawat pada hari Jum'at dan malamnya. Ia juga mengerjakan shalat sunah setelah shalat Jum'at di rumahnya, tidak di masjid. Setalah itu apa yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam? Beliau mengunjungi saudaranya, menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah (berta'ziah), atau menghadiri akad nikah.”
*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*
Dengan demikian, umat Islam seolah diajak untuk menjadikan hari Jum'at sebagai hari khusus untuk memperbanyak ibadah. Tidak jarang, Jum'at dijadikan oleh para ulama untuk mengistirahatkan diri sejenak dari hiruk-pikuk kesibukan duniawi, untuk mengkhususkan diri beramal saleh di hari Jum'at. Sebagaimana dilakukan Rasulullah, hari Jum'at bukan semata untuk meningkatkan ritual ibadah kepada Allah tapi juga berbuat baik kepada sesama, seperti bersilaturahim, berempati kepada orang yang kena musibah, dan lain-lain.
Karena itu pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Qadla’i dan ibnu Asakir dari Ibnu Abbas disebutkan:
الجمعة حج الفقراء
“Jumat adalah hajinya orang-orang fakir.”
Hadits tersebut adalah penegasan tentang betapa istimewanya hari Jum'at dibanding hari-hari biasa lainnya. Karena itu patut bagi kita untuk meluangkan waktu sejenak untuk berkontemplasi (muhasabah), menaikkan kualitas ibadah kepada Allah, memperbaiki hubungan sosial, serta memperbanyak amal-amal sunnah lainnya. Cukuplah enam hari kita sibuk dan larut dalam kesibukan duniawi. Apa salahnya menyisihkan satu hari untuk menyegarkan kondisi rohani kita agar tidak layu, kering, atau bahkan mati. Semoga kita semua dapat melaksanakan anjuran ini dengan sungguh-sungguh dan penuh kesadaran diri.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
*Khutbah Kedua*
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
عباد الله إن الله يأمر باالعدل والاحسان وإيتاء ذى القربى وينهى عن الفخشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون، فاالذكرواالله يذكركم واشكرواه على نعامه يزدكم ولذكروا الله أكبر.
أقموا الصلاة...