Minggu, 07 April 2019
HUKUM IKHTILATH ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI MUSIM PEMILU
Ada sebagian orang di musim pemilu yang membolehkan ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) baik dalam beribadah shalat maupun lainnya berdalih dengan hadits shahih . Di antaranya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا
“Abdullah bin Yusuf bercerita kepada kami, “Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa dia berkata: “Sesungguhnya dulu pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, laki-laki dan perempuan berwudhu’ secara bersama-sama.” (HR. Al-Bukhari)
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits diatas di dalam kitab tentang Wudhu’ bab *“Bolehnya seorang laki-laki berwudhu’ bersama istrinya” (4/43, 193).* Ulama kita menjelaskan bahwa fiqh atau madzhab Al-Imam Al-Bukhari dapat dilihat dari judul bab (yang beliau buat). Dengan demikian terlihatlah dengan jelas bahwa Al-Imam Al-Bukhari sama sekali tidak mendukung bolehnya ikhtilath. Lalu apa hubungannya antara hadits dengan judul bab? Mengapa Al-Imam Al-Bukhari bisa mengambil kesimpulan dengan membuat judul yang lebih khusus cakupannya berdalil dengan hadits yang bersifat umum?
Di antara sekian banyak riwayat, ada sebuah riwayat yang menegaskan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma melihat mereka (para sahabat) bersama istri-istri mereka berwudhu’ bersama-sama dalam satu bejana yang sama. Riwayat ini shahih diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya. Lalu mari sejenak kita berfikir, mungkinkah seluruh para sahabat bersama istri mereka berwudhu’ secara bersama-sama dalam satu bejana (إناء) yang dikenal kala itu berukuran relatif kecil? Ataukah maksud Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma adalah masing-masing sahabat bersama istrinya berwudhu’ bersama-sama, kemudian sahabat yang lain berwudhu’ bersama istrinya, lalu sahabat yang lain lagi dan seterusnya? Tentu yang terakhir disebutkan lebih logis dan lebih mendekati kebenaran. Inilah yang dipilih oleh Al-Imam Al-Bukhari yang sekaligus menunjukkan kejelian dan kecerdasan Al-Imam Al-Bukhari dalam beristidlal dan menempatkan hadits-hadits shahih yang sesuai dengan syarat-syaratnya pada judul bab (tarjamah) yang merupakan cerminan fiqh dan madzhab beliau dalam suatu masalah tertentu.
*Urgennya belajar bahasa arab*
Alif lam pada kata-kata الرجال dan النساء dalam hadits diatas bukan alif lam Al-Istighraqiyyah (menunjukkan keumuman). Tetapi alif lam Al-Jinsiyyah (menunjukkan jenis). Sebagai contoh misalnya:
فلان يلبس الثياب
Si Fulan memakai baju.
Ats-Tsaub (الثوب) bentuk jama'nya Ats-Tsiyab (الثياب). Maksud dari pernyataan di atas bukan berarti si Fulan memakai semua baju. Tetapi yang dimaksud adalah keterangan jenis objek (maf’ul)nya. Si Fulan memakai baju, bukan sandal.
Untuk lebih jelasnya lagi, perhatikan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:
لكنى أصلى وأنام وأصوم وأفطر وأتزوج النساء
“Akan tetapi aku shalat dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku menikahi wanita.”
Apakah النساء yang dimaksudkan Nabi tersebut adalah “bilangannya”, atau yang dimaksudkan beliau adalah menerangkan “jenis objeknya”? Tentu yang dimaksudkan adalah jenis objeknya.
Kemudian lagi kata-kata جميعا (bersama-sama) merupakan hal (menerangkan keadaan) bukan sebagai ta’kid (penguat). Karena jika lah memang maksudnya ta’kid, maka Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tentunya menyebutkan أجمعون (semuanya) bukan جميعا.
Perbedaannya sangat jelas, جميعا menjelaskan fa’il pada fi’il يتوضئون. Sedangkan أجمعون menjelaskan/menguatkan isim كان . Dengan begitu menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma adalah perbuatan wudhu’ itu dilakukan secara bersama-sama antara laki-laki dengan istrinya atau mahramnya, bukan seluruh sahabat baik laki-laki maupun perempuan bercampur baur berwudhu’ bersama-sama dalam satu bejana yang sama pula.
Bagaimana dengan hadits riwayat Abu Dawud di dalam Sunan, dan Bukhari di dalam Al-Kuna, dengan sanad keduanya dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari, dari bapaknya Radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ
“Bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melarang para wanita ikhthilath di jalan karena hal itu akan menyeret kepada fitnah (kemaksiatan; kesesatan), maka bagaimana dikatakan boleh ikhthilath pada selain itu. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar