Jumat, 22 Juni 2018

KESAMAAN AMALIYAH IBADAH MUHAMMADIYAH (MD) DAN NAHDLATUL ULAMA (NU)


*Kitab Fiqih Muhammadiyah Kuno yang Amaliyahnya Sama Persis Nahdliyyin*

Dalam "Kitab Fiqih Jilid III" terbitan Taman Poestaka Muhammadiyah (semacam lembaga pers/penerbitan organisasi) edisi 1343 H. (1925 M), Djokjakarta, ada hal menarik yang perlu Anda baca.

Beberapa poin dalam kitab yang kebanyakan berbahasa Jawa ngoko kuno itu berbeda dengan praktik amalan masyarakat Muhammadiyah yang selama ini dikenal dekat dengan modernisme ritual, anti-bid’ah. Tertulis dalam buku tersebut begini, soal Do’a Qunut dan Raka’at Tarawih dan lainnya. Berikut ini adalah ringkasan “Kitab Fiqih Muhammadiyyah” tersebut, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliyah kedua ulama besar di atas tidak berbeda:

1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha…” (halaman 25).
2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira…” (halaman 25).
3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 26).
4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).
5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).
6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).
7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).
8. Tentang shalat dan khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).

*Rincian kalimatnya, sampelnya berikut ini:*

"Dene cacahe sunnah ab'adl ono limo, yoiku
1. Moco tahiyat awal ono sak wuse reka'at kapindhone sholat fardlu kejobo fardlu shubuh.
2. Lungguhe tahiyat awal.
3. MOCO DUNGO QUNUT ONO I'TIDAL KANG KAPING PINDHO SABEN-SABEN SHOLAT SUBUH" (Bab Ab'adlus Sholat, hlm. 24-25)

*Terjemah:*
"Adapun jumlah sunnah ab'adl, ada lima.
1. Membaca tahiyat awal sesudah rekaat kedua sholat fardlu, kecuali fardlu shubuh.
2. Duduk tahiyat awal.
3. MEMBACA DOA QUNUT KETIKA I’TIDAL KEDUA DARI SETIAP SHALAT SHUBUH." (Bab Ab'adlus Sholat, hlm. 24-25)

Soal Sholat Tarawih, kitab itu juga menulis begini:
"6. Sholat Tarweh yoiku sholat rung puluh raka'at, saben-saben rung reka'at kudu salam. Wektune ono ing sasi poso saben-saben sak wuse sholat isya'" (Bab Sholat Sunnah, hlm. 51-52)

*Terjemah:*
"6. Sholat tarawih adalah sholat dua puluh raka'at yang tiap dua rekaat harus salam. Waktu (pelaksanaannya) ada di Bulan Puasa tiap-tiap habis sholat Isya'" (Bab Sholat Sunnah, hlm. 50-51)

Pada halaman pendahuluan, juga bertebaran kata Sayyidina, yang, menurut pemahaman umat Muhammadiyah Fanatik, disebut bid'ah. Bahkan kafir, karena kata tersebut bisa bermakna “Tuhan”. Terlalu berlebihan bila disematkan kepada manusia. Apalagi hal itu, menurut Muhammadiyah, tidak diajarkan secara langsung oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ada banyak hal yang membuat pembaca menemukan “sesuatu banget” di luar paradigma umum praktik ritual warga Muhammadiyah. Namun, Anda akan kesulitan membaca bila tanpa menguasai keterampilan Ilmu Arab Pegon. Apalagi sudah banyak yang tidak kelihatan dibaca kalau difotocopy.
Berikut adalah daftar isi “Kitab Fiqih Jilid III” setebal 80 halaman terbitan Taman Poestaka Muhammadiyah 1343 Hijriyah, yang sulit terlacak di kalangan petinggi Muhamadiyah sekalipun:

1. Bebuko (Pendahuluan)
2. Sesuci (thaharoh/ bersuci)
3. Banyu (pembagian air bersuci)
4. Najis (yang tidak suci)
5. Batang lan hukume (bangkai dan hukumnya)
6. Istinja’ (bersuci dengan selain air)
7. Sunnah lan mekruhe nekani hajat (sunnah dan makruhnya buang air)
8. Nuceni Najis (membersihkan najis)
9. Hadats (yang jadi penyebab tidak sah shalat)
10. Adus (mandi jinabat)
11. Sunnah lan mekruhe adus (sunnah dan makruhnya mandi jinabat)
12. Adus sunnah (mandi yang disunnahkan)
13. Tayammum (bersuci dengan abu tanah)
14. Ngusap setiyul (mengusap kaos kaki yang sulit dilepas saat wudlu)
15. Haidl dan nifas (haid dan habis melahirkan)
16. Larangane wong kang hadats (larangan orang ber-hadats)
17. Aurat (pemerincian tentang aurat)
18. Qiblat (arah sholat)
19. Ja’al mani’ zalal mani’ (yang terlarang sah sholat karena halangan ketikahalangan itu sirna)
20. Papirangane wektune sholat (pembagian waktu sholat)
21. Al-Adzan wal iqomah (adzan dan iqomat)
22. Ab’adlus Sholat (gerakan dalam sholat namun bukan rukun sholat)
23. Wacan sholat lan maknane (bacaan sholat dan maknanya)
24. Pirangane rukune sholat (pembagian rukun sholat)
25. Sunnate sholat (kesunnahan-kesunnahan sholat)
26. Makruhe sholat (kemakruhan sholat)
27. Batale sholat (batal-batal sholat)
28. Sujud sahwi (sujud ganti ab’adl sholat yang dilupakan)
29. Sitroh (batas garis tempat sholat, gantinya sajadah)
30. Sujud tilawah (sujud karena mendengar/ membaca ayat sajdah)
31. Sujud syukur (sujud karena menerima kenikmatan)
32. Sholat sunnah (macam-macam sholat sunnah)
33. Jama’ah (sholat jama’ah)
34. Qudwah lan masbuq (mengikuti gerakan imam sholat dan ma’mum yang datang terlambat setelah imam baca takbiratul ihram)
35. Imam (memilih imam sholat)
36. Sunnah lan makruhe jama’ah (kesunnahan dan kemakruhan jama’ah)
37. Sholat jumu’ah (sholat jum’at)
38. Syarate jumu’ah (syarat sah jum’atan)
39. Sunnah lan makruhe khutbah (kesunnahan dan kemakruhan khutbahjum’at)
40. Sunnate dino jum’at (kesunnahan-kesunnahan hari Jum’at)
41. Sholat musafir (aturan sholat ketika bepergian)
42. Syarate qoshor (syarat sholat dikompress/ diringkas)
43. Syarate sholat jama’ (syarat dua sholat yang disatukan)
44. Sholat khouf (sholat dalam situasi terancam)
45. Sholat ‘idaini (dua shalat hari raya)
46. Sholat istisqo’ (sholat meminta turunkan hujan)
47. Janazah (mayit yang ada di gendosa)
48. Mulosoro mayit (merawat jenazah)

Sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, KH. Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.

Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.

Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim Asy’ari. Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.

Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama.

Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”. Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.

Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya

Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya.

Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih.

Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi Shalallahu’alaihi wasallam.

Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.

Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan bahwa KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat.

Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya. "Doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat," kata Yunahar.

Sedangkan jawaban tentang yang dikemukan oleh dewan tarjih saat ditanyakan mengapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda? Alasan mereka adalah karena “Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah”. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar