Rabu, 23 Mei 2018

KAJIAN ASAL MULA SHALAT TARAWIH 20, 36, DAN 8 RAKAAT


Shalat tarawih adalah bagian dari shalat nafilah (tathawwu’). Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan Ramadhan, dan sunnah muakkadah, meski dimasa Nabi belum dikenal dengan sebutan *Shalat Tarawih tetapi Qiyamu Lail atau Qiyamu Ramadhan.*

Disebut tarawih, karena setiap selesai dari empat rakaat, para jama’ah duduk untuk istirahat.
Tarawih adalah bentuk jama’ dari tarwihah. Menurut bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu, orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan.

Di zaman Rasulullah ﷺ masih hidup, beliau memerintahkan untuk memperbanyak salat malam di bulan Ramadhan dalam bentuk yang muthlaq tanpa disertai penjelasan berapa rakaatnya. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (1/ 65)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.

Dalam hadits di atas, Rasulullah ﷺ mendorong kaum muslimin untuk melakukan qiyam Ramadhan, yakni salat malam di bulan Ramadhan atau salat tarawih dengan dorongan yang bersifat muthlaq, tanpa disertai penjelasan berapa rakaatnya. Dengan perintah yang seperti ini, mudah dipahami jika para shahabat melaksanakan perintah itu sesuai kemampuannya. Bagi yang merasa kuat mungkin akan salat dengan banyak rakaat dan bagi yang merasa lemah mungkin akan salat dengan rakaat dengan jumlah yang sedikit.

Rasulullah ﷺ sendiri pernah mengimami kaum muslimin salat malam di bulan Ramadhan selama tiga hari. Peristiwa ini dilaporkan Aisyah Radhiyallahu ‘anha sebagaimana diriwayatkan Muslim. Namun laporan Aisyah Radhiyallahu ‘anha tidak disertai keterangan berapa rakaat yang dijalankan Rasulullah ﷺ. Seakan-akan jumlah rakaat di zaman itu bukan suatu hal yang ditekankan sehingga tidak perlu dibahas. Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (4/ 148)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

“Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya pada suatu malam (di bulan Ramadhan), Rasulullah ﷺ salat di Masjid, lalu diikuti oleh beberapa orang sahabat. Kemudian (pada malam kedua) beliau salat lagi, dan ternyata diikuti oleh banyak orang. Dan pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul, namun Rasulullah ﷺ tidak keluar salat bersama mereka. Maka setelah pagi, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan salat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (salat malam Ramadhan itu) akan diwajibkan atas kalian.”

Pada 10 terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah ﷺ juga sempat mengimami kaum muslimin salat malam selama tiga hari pada tanggal-tanggal ganjil. Namun, peristiwa ini juga dilaporkan tanpa ada keterangan jumlah rakaat yang dilakukan Nabi ﷺ . Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (1/ 521)
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ». قَالَ فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاَحُ. قَالَ قُلْتُ مَا الْفَلاَحُ قَالَ السُّحُورُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا بَقِيَّةَ الشَّهْرِ.

“Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata; “Kami pernah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah ﷺ , dan beliau tidak pernah mengerjakan salat malam bersama kami dalam bulan Ramadhan itu sampai tersisa tujuh malam. Maka (di malam ketujuh tanggal 23 Ramadhan) beliau salat malam mengimami kami sampai berlalu sepertiga malam. Ketika tiba malam keenam (yakni tanggal 24 Ramadhan) beliau tidak mengimami kami salat malam.Ketika tiba malam kelima (yakni tanggal 25 Ramadhan), beliau salat malam mengimami kami hingga tengah malam berlalu. Aku (Abu Dzarr) berkata; “wahai Rasulullah, alangkah baiknya sekiranya engkau menambahi lagi salat malam ini.” Abu Dzar berkata; Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila seseorang salat (malam) bersama imam hingga selesai, maka akan di catat baginya seperti bangun (untuk mengerjakan salat malam) semalam suntuk.” Kata Abu Dzar; “Ketika tiba malam ke empat (yakni tanggal 26 Ramadhan) beliau tidak mengimami kami salat malam. Ketika tiba malam ketiga (yakni tanggal 27 Ramadhan), beliau mengumpulkan keluarganya, isteri-isterinya dan orang-orang, lalu salat malam mengimami kami, sampai kami khawatir ketinggalan “Al Falah.” Jabir bertanya; “Apakah al falah itu?” Jawabnya; “Waktu sahur. Setelah itu beliau tidak lagi mengimami salat malam bersama kami pada hari-hari sisanya di bulan tersebut (yakni tanggal 28 dan 29 Ramadhan).”

Demikianlah kondisi salat tarawih di masa Nabi ﷺ . Kita tidak mendapatkan data yang tegas dan pasti berapa jumlah rakaat yang dilakukan oleh beliau. Kaum muslimin pun melakukan salat tarawih dengan kondisi yang bermacam-macam. Ada yang salat sendirian, ada yang berjamaah. Ada yang melakukannya di rumah dan ada yang melakukannya di masjid. Semuanya tanpa disertai informasi yang jelas berapa jumlah rakaat yang mereka kerjakan. Kondisi ini berlanjut di zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu sampai beliau dipanggil oleh Allah ﷻ.

Ketika datang di zaman Umar Radhiyallahu ‘anhu, beliau berinisiatif untuk membuat salat tarawih lebih teratur lagi. Beliau memerintahkan agar salat tarawih disatukan di bawah pimpinan satu imam di dalam masjid. Mulai hari itulah salat tarawih dilakukan secara berjamaah selama sebulan penuh. Hal baru yang belum pernah ada di zaman Nabi ﷺ ini diakui Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa hal itu baru, namun beliau menegaskan itu adalah hal baru yang baik karena tidak bertentangan dengan petunjuk Nabi ﷺ . Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (7/ 135)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ

“Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; “Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob Radhiyallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang salat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang salat sendiri dan ada seorang yang salat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya salat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang salat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang salat awal malam’ Beliau memaksudkan orang yang mendirikan salat di akhir malam (lebih baik dari pada yang melakukannya di akhir malam), sedangkan orang-orang secara umum melakukan salat pada awal malam”

Di masa Umar Radhiyallahu ‘anhu inilah, mulai ada informasi jelas terkait jumlah rakaat yang dilakukan. Yazid bin Ruman meriwayatkan bahwa jumlah rakaat yang dilakukan di zaman Umar adalah 23 rakaat (20 salat tarawih dan 3 rakaat salat witir). Malik meriwayatkan;

موطأ مالك (1/ 342)
عَنْ مَالِك عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً

“Dari Yazid bin Ruman dia berkata; “Para sahabat pada masa Umar bin Khatthab mengerjakan shalat malam sebanyak dua puluh tiga rakaat.”

Yazid bin Ruman, perawi tsiqoh dalam riwayat di atas, meskipun tidak pernah bertemu Umar, tetapi tidak diragukan lagi beliau pasti bertemu dengan sekolompok orang-orang yang sempat mengalami zaman Umar sehingga informasinya bisa dipegang.

Informasi yang senada juga disampaikan Abu Al-Hasna’, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

مصنف ابن أبي شيبة (2/ 393)
عَنِ أَبِي الْحَسْنَاءِ : أَنَّ عَلِيًّا أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً.

“Dari Abu Al-Hasna’ bahwasanya Ali memerintahkan seorang lelaki untuk mengimami mereka di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat”

Demikian pula riwayat Abdul Aziz bin Rufai’;

مصنف ابن أبي شيبة (2/ 393)
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ ، قَالَ : كَانَ أُبَيّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ بِالْمَدِينَةِ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِثَلاَثٍ.

“Dari Abdul Aziz bin Rufai’ dia berkata, ‘Ubay bin Ka’ab mengimami orang-orang di bulan Ramadhan di Madinah sebanyak 20 rakaat dan berwitir tiga rakaat”

Demikian pula riwayat As-Saib bin Yazid;

مصنف عبد الرزاق الصنعاني (4/ 260)
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، ” أَنَّ عُمَرَ: جَمَعَ النَّاسَ فِي رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَعَلَى تَمِيمٍ الدَّارِيِّ عَلَى إِحْدَى وَعِشْرِينَ رَكْعَةُ يَقْرَءُونَ بِالْمِئِينَ وَيَنْصَرِفُونَ عِنْدَ فُرُوعِ الْفَجْرِ ”

“Dari As-Saib bin Yazid, bahwasanya Umar mengumpulkan orang-orang di bulan Ramadhan untuk diimami Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari sebanyak 21 rakaat. Mereka membaca surat-surat mi-in dan pulang menjelang fajar”
Dalam riwayat As-Saib ini, tarawih disebut 21 rakaat. Hal ini tidak masalah, karena salat tarawihnya 20 rakaat sementara witirnya 1 rakaat. Jadi yang disepakati adalah 20 rakaat. Riwayat yang menyebut 21 atau 23 itu maksudnya adalah perbedaan jumlah rakaat witirnya .

Asy-Syafi’i juga bersaksi bahwa salat tarawih 20 rakaat itu dipraktekkan di negeri tempat beliau tinggal; Mekah. At-Tirmidzi meriwayatkan;

سنن الترمذى (3/ 299)
و قَالَ الشَّافِعِيُّ وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً

“Syafi’i berkata; “Demikian juga kami dapati penduduk kota Makkah, mereka shalat sebanyak dua puluh rakaat.”
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas dan yang semisal dengannya, sejumlah imam madzhab menegaskan bahwa salat tarawih disunnahkan dilakukan sebanyak 20 rakaat. 3 imam madzhab berpendapat dengan pendapat ini, yaitu Abu Hanifah, Asy-Syafi’I, dan Ahmad. Ats-Tsauri sependapat dengan 3 imam tersebut. Menurut At-Tirmidzi, salat tarawih 20 rakaat ini bahkan menjadi pendapat mayoritas ulama. At-Tirmidzi berkata;

سنن الترمذى (3/ 299)
وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِشْرِينَ رَكْعَةً

“Sebagian besar ulama berpendapat dua puluh rakaat dengan berdasarkan riwayat dari ‘Umar, Ali dan lainnya dari kalangan sahabat Nabi ﷺ ”

Ibnu Abdil Barr memerinci sebagian nama-nama mereka. Beliau berkata;

الاستذكار (2/ 69)
وَرُوِيَ عِشْرُونَ ركعة عن علي وشتير بن شكل وبن أَبِي مُلَيْكَةَ وَالْحَارِثِ الْهَمْدَانِيِّ وَأَبِي الْبَخْتَرِيِّ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَبِهِ قَالَ الْكُوفِيُّونَ وَالشَّافِعِيُّ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ وَهُوَ الصَّحِيحُ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ (مِنْ غَيْرِ خِلَافٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَقَالَ عَطَاءٌ أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ يُصَلُّونَ ثَلَاثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ

“Diriwayatkan 20 rakaat dari Ali, Syittir bin Syakl, Ibnu Abi Mulaikah, Al-Harits Al-Hamdani dan Abu Al-Bakhtari. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan ini adalah pendapat ulama-ulama Kufah, Asy-Syafi’i, dan mayoritas fuqoha’. Ini adalah riwayat shahih dari Ubay bin Ka’ab tanpa ada pengingkaran dari para shahabat. ‘Atho’ berkata; Aku mengalami masa orang-orang yang salat 23 rakaat sekalian witirnya”

Demikianlah asal-usul munculnya pendapat tarawih 20 rakaat.

Ada pula riwayat mengenai shalat tarawih 11 raka’at di masa shahabat ‘Umar bin Khathab radhiyallahu 'anhu.

Disebutkan dalam Muwaththo’ Imam Malik riwayat sebagai berikut,

وَحَدَّثَنِى عَنْ مَالِكٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِىَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِىِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلاَّ فِى فُرُوعِ الْفَجْرِ.

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (HR. Malik dalam Al Muwaththo’ 1/115)

Hanya saja, penduduk kota Madinah sedikit berbeda dengan penduduk Mekah. Asy-Syafi’I telah bersaksi bahwa pada zamannya penduduk Mekah salat tarawih sebanyak 20 rakaat. Ini juga disaksikan penduduk Madinah. Sudah diketahui bahwa salat tarawih di zaman itu selalu disertai jeda istirahat setiap selesai mengerjakan 4 rakaat yang disebut dengan istilah tarwihah. Malahan, dari jeda istirahat ini nama salat tarawih diambil, karena tarawih adalah bentuk jamak dari tarwihah itu. Oleh karena jeda istirahat dilakukan setiap selesai mengerjakan empat rakaat, sementara jumlah rakaat tarawih yang dikerjakan ada 20 rakaat, berarti mereka melakukan jeda istirahat sebanyak empat kali. Waktu jeda istirahat ini cukup lama, sehingga penduduk Mekah masih sempat melakukan tawaf 7 kali putaran dan salat dua rakaat. Penduduk Madinah melihat ini. Oleh karena mereka di Madinah tidak mungkin mengerjakan tawaf, maka mereka mengganti tawaf dan dua rakaat yang dilakukan penduduk Mekah dengan salat empat rakaat. Karena ada empat kali tarwihah, maka mereka melakukan salat empat rakaat sebanyak empat kali sehingga mereka menambah rakaat salat tarawih sebanyak 16 rakaat. Jadi totalnya mereka mengerjakan 20 + 16 = 36 rakaat. An-Nawawi berkata;

المجموع شرح المهذب (4/ 33)
وَأَمَّا مَا ذَكَرُوهُ مِنْ فِعْلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فَقَالَ أَصْحَابُنَا سَبَبُهُ أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ كَانُوا يَطُوفُونَ بَيْنَ كُلِّ تَرْوِيحَتَيْنِ طَوَافًا وَيُصَلُّونَ رَكْعَتَيْنِ وَلَا يَطُوفُونَ بَعْدَ التَّرْوِيحَةِ الْخَامِسَةِ فَأَرَادَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مُسَاوَاتَهُمْ فَجَعَلُوا مَكَانَ كُلِّ طَوَافٍ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَزَادُوا سِتَّ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثٍ فَصَارَ الْمَجْمُوعُ تِسْعًا وَثَلَاثِينَ

“Adapun riwayat yang mereka ceritakan terkait amalan penduduk Madinah, ulama yang semadzhab dengan kami menjelaskan sebabnya (sebagai berikut). Penduduk Mekah melakukan tawaf di antara dua tarwihah dan melakukan salat dua rakaat. Namun mereka tidak melakukan tawaf pada tarwihah kelima. Maka penduduk Madinah ingin menyamai mereka sehingga mereka melakukan salat empat rakaat sebagai kompensasi tawaf tersebut. Akibatnya, mereka menambah 16 rakaat dan melakukan salat witir 3 rakaat. Totalnya menjadi 39 rakaat”

Akhirnya inilah yang menjadi amalan penduduk Madinah sebagaimana yang diriwayatkan dari imam Malik. Ibnu Abdil Hadi berkata;

شرح كتاب الصيام من المحرر لابن عبدالهادي (ص: 51)
وقال مالك: أدركت الناس يصلون في المدينة ستاً وثلاثين ركعة

“Malik berkata, “aku mengalami masa orang-orang di madinah yang salat sebanyak 36 rakaat”

Ini pula yang difatwakan Imam Malik terkait jumlah rakaat salat tarawih, dan itu pula yang menjadi madzhabnya. Ketika mereka mendapati riwayat bahwa Nabi ﷺ kadang-kadang berwitir dengan 3 rakaat, sementara di lain waktu beliau berwitir 5 rakaat maka mereka mereka pun menutup salat witir karang-kadang 3 rakaat sehingga totalnya 39 rakaat, dan kadang-kadang menutupnya dengan 5 rakaat sehingga totalnya 41 rakaat. Demikianlah asal-usul pendapat salat tarawih 36 rakaat.

Sampai di sini bisa disimpulkan, bahwa ikhtilaf fikih di masa generasi tabi’ut tabi’in dan sesudahnya adalah perbedaan jumlah rakaat antara 20 ataukah 36 rakaat. Waktu itu belum dikenal pendapat 8 rakaat untuk salat tarawih.
Setelah itu, di masa belakangan muncullah upaya meneliti kembali masalah ini di kalangan ahli hadis. Mereka menyelidiki bagaimana salat malam Rasulullah ﷺ baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hasil kajian mereka menyimpulkan bahwa Rasulullah ﷺ dalam melakukan salat malam tidak pernah melebihi 8 rakaat. Riwayat terbaik dan paling lugas yang mereka jadikan dasar adalah hadis Aisyah berikut ini;

صحيح البخاري (4/ 319)
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا

“Dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bahwasanya dia mengabarkan kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha tentang cara salat Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan. Maka ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha menjawab: “Tidaklah Rasulullah ﷺ melaksanakan salat malam di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka’at, Beliau salat empat raka’at, dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau salat empat raka’at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga raka’at”.

Demikian kajian tentang shalat tarawih bahwa sebenarnya tidak ada masalah dalam kuantitas raka’at, baik 11 atau 23 raka’at tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah mereka yang tidak mengerjakannya. Sehingga tidaklah tepat jika shalat tarawih 23 raka’at dikatakan bid’ah. Lihat saja sejak masa sahabat dan tabi’ain mereka pun melaksanakan shalat malam lebih dari 11 raka’at.

Dari sini juga tidaklah tepat jika seseorang bubar terlebih dahulu pada shalat imam padahal masih 8 raka’at karena ia berkeyakinan bahwa shalat malam hanya 11 raka’at sehingga ia tidak mau mengikuti shalat imam yang 23 raka’at. Jika memang shalat imam itu thuma’ninah, maka bermakmum di belakangnya adalah pilihan yang tepat. Jika seseorang bubar dulu sebelum imam selesai, sungguh ia telah kehilangan pahala yang teramat besar sebagaimana disebutkan dalam hadits,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Bukhari no.1220 dan Muslim no.545)

Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam, meskipun itu 23 raka’at. Itulah yang lebih tepat selama shalat 23 raka’at itu thuma’ninah. Jika shalatnya terlalu cepat, sebaiknya cari jama’ah yang lebih thuma’ninah dalam kondisi seperti itu. Wallahu ‘alam bish showab.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

والله الموفق الى أقوم الطريق

Tidak ada komentar:

Posting Komentar