Sabtu, 09 September 2017
KAJIAN TENTANG KHITAN BAGI WANITA
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرهِيْمَ حَنِيْفًا. وَمَا كَانَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ. النحل:123
"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”. [QS. An-Nahl : 123]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
الفِطْرَةُ خَمْسُ : الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Lima dari fitrah (kesucian) yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis” (HR. Muslim)
Khitan perempuan adalah terjemahan dari bahasa Arab ختان الأنثى atau ختان البنات (khitan anak perempuan).
Dan dikatakan juga خفض البنات (khitan perempuan menurunkan kepekaan alat kelamin perempuan) yang juga disebut *"Khifadh"*. Karena dengan mengkhitankan anak perempuan, berarti kepekaan alat kelaminnya tidak terlalu tinggi, sehingga libido (kekuatan seksualnya) dimasa remaja dapat terkendalikan.
Tetapi Imam Al-Mawardhi merumuskan definisi khitan perempuan sebagai berikut:
ختان الأنثى قطع الجلدة الّتى تكون فى اعل العضو كالنّوات اوكعرف الدّيك, والواجب قطع الجلدة المستعلية منه دون استئصاله.
“Khitan perempuan adalah memotong kulit yang paling atas pada alat kelamin yng berbentuk seperti biji-bijian (clitoris), atau bagaikan jengger ayam jago. Dan yang menjadi kewajiban adalah memotoong kulit bagian atas alat tersebut dengan tidak melepaskan potongannya”.
Dari definisi khitan perempuan tersebut, dapat ditarik pemahaman bahwa syarat utama dalam khitan perempuan adalah cukup dengan memotong sedikit alat kelamin tersebut (clitoris) pada definisi di atas sampai berdarah, dan tidak perlu membuangnya.
*Hukum Khitan Perempuan*
Sebenarnya, ajaran khitan adalah warisan dari ajaran Nabi Ibrahim as yang turun temurun, dianut oleh ummat-ummat sesudahnya sampai dikuatkan lagi dalam ajaran Islam, sehingga menjadi ajaran yang harus dianut oleh ummat Islam.
Dan riwayat yang paling kuat menunjukkan bahwa khitan itu pertama kali dilakukan oleh Nabi Ibrahim as, sebagaimana riwayat berikut :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بَعْدَ ثَمَانِيْنَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُوْمِ. البخارى 7: 143
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Nabi Ibrahim as berkhitan setelah berusia delapan puluh tahun dan beliau khitan dengan menggunakan kampak”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 143]
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَ هُوَ ابْنُ ثَمَانِيْنَ سَنَةً بِالْقَدُوْمِ. مسلم 4: 1839
Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Nabi Ibrahim as berkhitan saat beliau berusia delapan puluh tahun dengan menggunakan kampak". [HR. Muslim juz 4, hal. 1839]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kata بالقدوم disini bukan dimaksudkan kapak, tetapi nama suatu desa yang berada di wilayah negeri Syam. Maka desa itulah tempat Nabi Ibarahim Dikhitan. Karena perkara khitanan termasuk salah satu dari beberapa ajaran Nabi Ibrahim, maka hal itu diterapkan pula kepada anaknya yang bernama ishaq dan ismail, sebagaiman riwayat Mak-huul yang telah dikemukakan oleh ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang mengatakan:
جَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ اِبْنَهُ اِسْاقَ لِسَبْعَةِ اَيَّامٍ وَخَتَنَ اِسْمَاعِيْلَ لِثَلاَثِ عَشَرَسَنَةً.
“Nabi Ibrahim mengkhitankan anaknya (yang bernama) ishaq ketika berumur 7 hari, dan mengkhitankan Ismail ketika berumur 13 tahun”.
Pendapat Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan wajib hukumnya menghitankan anak laki-laki. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Husnain Muhammad Makhluuf yang mengatakan:
وَاِنَّ خِتَانَ الزَّكَرِ وَاجِبٌ شَرْعًا, وَهُوَشِعَارُ اْلمُسْلِمِيْنَ, وَفِى مِلَّةِ اِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ, وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ وَاْلحَنَابِلَةِ.
“Dan sesungguhnya khitanan anak laki-laki, diwajibkan menurut syara’ (agama), karena termasuk syi’ar islam dan ikutan kepada ajaran Nabi Ibrahim as hal ini termasuk penetapan Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah.
Imam Nawawi menjelaskan sebagai berikut :
اَلْخِتَانُ هُوَ فِى الذَّكَرِ قَطْعُ جَمِيْعِ اْلجِلْدَةِ الَّتِى تُغَطّى اْلحَشَفَةَ حَتَّى تَنْكَشِفَ جَمِيْعُ اْلحَشَفَةِ، وَ فِى اْلاُنْثَى قَطْعُ اَدْنَى جُزْءٍ مِنَ اْلجِلْدَةِ الَّتِى فِى اَعْلاَ اْلفَرْجِ.
Khitan bagi laki-laki ialah memotong semua kulit yang menutupi kepala dzakar, sehingga terbuka kepala dzakar seluruhnya. Sedangkan bagi wanita ialah memotong sedikit bagian berupa kulit yang berada di atas lubang kemaluan (yang menutup kelenthit). [Diambil dari Syarah Muslim oleh Imam Nawawiy]
Tentang wajibnya khitanan laki-laki, berdasarkan pada sebuah ayat yang berbunyi:
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٩٥)
“Katakanlah: benarlah (apa yang di firmankan) Allah. Maka ikutilah agama ibrahim yang lurus, bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik”.
Maksud perintah (kewajiban) mengikuti agama Nabi ibrahim pada ayat tersebut adalah melaksanakan seluruh ajarannya, termasuk di dalamnya khitanan. Maka ayat ini termasuk dasar kewajibannya khitanan bagi laki-laki dalam agama islam. Kalau status hukum tentang khitanan laki -laki tidak di sepakati oleh Ulama Mazhab beserta pengikut- pengikutnya, maka terhadap khitanan perempuan juga demikian halnya.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ اْلَأنْصَارِيَة أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تًخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةَ فَقَالَ لَهَا النَّبِي صلى الله عليه وسلم : لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى اْلبَعْلِ
“Dalam hadits Ummu `Athiah, bahwa seorang wanita di Madinah berprofesi sebagai pengkhitan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Janganlah dihabiskan. Sesungguhnya, itu akan menguntungkan wanita dan lebih dicintai suami” (HR. Abu Daud)
Maksud perkataan Nabi yang mengatakan: janganlah engkau merusak alat kelamin perempuan itu, bukan melarang mengkhitankannya, tetapi hanya perintah untuk berhati-hati ketika melaksanakan khitanan itu. Dan hadits tersebut diatas, tidak terdapat unsur kewajiban, kecuali hanya unsur legalitas (pengakuan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perbuatan perempuan yang mengadakan khitanan di Madinah ketika itu. Hadits ini menunjukkan sebagai dasar disunnatkannya mengkhitankan perempuan.
Riwayat lain mengatakan :
الختان سنة للرجال مكرمة للنساء
"Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita.`
من أسلم فليختتن, ولو كان كبيرا.
"Barangsiapa masuk Islam hendaknya berkhitan sekalipun telah dewasa."
عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ اَنَّهُ جَاءَ اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَ: قَدْ اَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ. يَقُوْلُ احْلِقْ. قَالَ: وَ اَخْبَرَنِي آخَرُ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ ِلآخَرَ مَعَهُ: اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَ اخْتَتِنْ. ابو داود 1: 98، رقم: 356
Dari 'Utsaim bin Kulaib dari Ayahnya dari kakeknya bahwasanya dia pernah datang kepada Nabi SAW seraya berkata; Saya masuk Islam. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, "Buanglah rambut kafirmu". Maksudnya, "Cukurlah". Dan (ayahnya ‘Utsaim) berkata : Shahabat yang lain telah mengkhabarkan kepadaku bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada orang lain yang bersamanya, "Cukurlah rambut kafirmu dan berkhitanlah". [HR. Abu Dawud juz 1, hal. 98, no. 356]
Telah disebutkan diatas bahwa hanya khitanan laki-laki pun tidak disepakati oleh ulama Madzhab tentang status hukumnya. Dimana Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan wajib, sedangkan Madzhab Hanafiyah dan malikiyah menetapkan sunnat, meskipun kesemuanya mengakui bahwa perkara khitanan itu merupakan ikutan terhadap ajaran Nabi Ibarahim dan perlakuan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan kajiannya semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar