Rabu, 24 Februari 2016

KAJIAN TENTANG SUNNAH MEMELIHARA JENGGOT


Jenggot (lihyah) adalah rambut yg tumbuh pada kedua pipi dan dagu. Jadi, semua rambut yg tumbuh pada dagu, di bawah dua tulang rahang bawah, pipi, dan sisi2 pipi disebut lihyah (jenggot) kecuali kumis.
Perintah Nabi Agar Memelihara Jenggot
Hadits pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Muslim)
Hadits kedua, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Selisilah orang2 musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim)
Hadits ketiga, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot.” (HR. Muslim)
Hadits keempat, dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (HR. Muslim)
Hadits kelima, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Bukhari)
Hadits keenam, dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisilah orang2 musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari)
Di samping hadits2 yg menggunakan kata perintah di atas, memelihara jenggot juga merupakan sunnah fithroh. Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
“Ada sepuluh macam fitroh, yaitu memendekkan kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” (HR. Muslim)
Dewasa ini banyak muncul tulisan (terutama kalangan salafi wahabi) yg membahas tentang kewajiban memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya. Sebenarnya isi tulisan tersebut tidak perlu dipersoalkan selama masih dalam koridor ijtihad masing2 umat Islam dan itu didukung oleh argumentasi yg dapat dipertanggung jawabkan, meskipun kita tidak sependapat dengan kesimpulan argumentasi yg dikemukakannya. Namun ini menjadi masalah ketika orang yg berpendapat wajib memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya mengklaim bahwa pendapat tersebut merupakan ijma' ulama, dimana konsekuensinya, maka barangsiapa yg menyalahinya, maka ia telah menyalahi ijma', pelaku bid’ah dan kemungkaran yg wajib dicegah serta merupakan pendapat sesat dan menyesatkan. Ini tentu sangat berbahaya bagi akidah umat Islam, karena itu, melalui tulisan ini sy mencoba menempatkan masalah ini (hukum memelihara dan mencukur jenggot) pada posisi yg sebenarnya dengan mengutip pendapat ulama2 mazhab dan ahli ilmu.
Pendapat para ulama mengenai hukum mencukur jenggot
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mencukur jenggot. Dr. Wahbah Zuhaili memaparkan bahwa ulama Malikiyah dan Hanabilah mengharamkan mencukur jenggot, sedangkan Hanafiyah menganggapnya sebagai makruh tahrim dan makruh tanzih di sisi Syafi’iyah. Pernyataan Wahbah Zuhaili tersebut dapat dilihat dalam kitabnya, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, sebagai berikut:
اما إرخاء أو إعفاء اللحية: فهو تركها وعدم التعرض لها بتغيير، وقد حرم المالكية والحنابلة حلقها، ولا يكره أخذ ما زاد على القبضة، ولا أخذ ما تحت حلقه، لفعل ابن عمر ويكره حلقها تحريماً عند الحنفية، ويكره تنزيهاً عند الشافعية، فقد ذكر النووي في شرح مسلم عشر خصال مكروهة في اللحية، منها حلقها، إلا إذا نبت للمرأة لحية، فيستحب لها حلقها.
ِAdapun menurunkan dan membiarkan jenggot, yaitu membiarkannya serta tidak melakukan perubahan, maka ulama Malikiyah dan Hanabilah mengharamkan mencukurnya dan tidak memakruhkan memotong yg lebih dari genggaman dan juga tidak memakruhkan memotong yg dibawah halqum seseorang, karena mengikuti perbuatan Ibnu Umar. Di sisi ulama Hanafiyah makruh tahrim mencukurnya dan makruh tanzih di sisi ulama Syafi’iyah. Al-Nawawi dalam Syarh Muslim telah menyebut sepuluh perkara yg makruh pada jenggot, sebagiannya mencukurnya kecuali apabila tumbuh jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya. [Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 308]
Kesimpulan Wahbah Zuhaili di atas dapat pula ditelusuri dalam kitab2 mazhab empat, yaitu sebagai berikut :
Ulama Hanafiyah:
1. Kitab Radd al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin :
وَلِذَا يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ قَطْعُ لِحْيَتِهِ
Karena itu, haramlah atas laki2 memotong jenggotnya. [Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar]
2. Kitab Badaa-i’ al-Shanaa-i’ fi Tartib al-Syara-i’, karangan Abu Bakar al-Kasany
أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مِنْ بَابِ الْمُثْلَةِ
Sesungguhnya mencukur jenggot termasuk dalam bab mutslah. [Abu Bakar al-Kasany, Badaa-i’ al-Shanaa-i’ fi Tartib al-Syara-i’, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 437]
Ulama Malikiyah :
1. Kitab Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir, karya Muhammad al-Dusuqi :
يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ حَلْقُ لِحْيَتِهِ
Haram atas laki2 mencukur jenggot. [Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir]
2. Kitab Bulghah al-Saalik li Aqrab al-Masalik, karya Syekh Ahmad al-Shawi :
قوله : ( بحلق لحيته و لا تسخيم وجهه ) : أي يحرم ذلك
Perkataan Mushannif : (Tidak dita’zir dengan mengukur jenggot dan tidak menghitamkan mukanya) artinya haram yg demikian itu. [Ahmad Shawi, Bulghah al-Saalik li Aqrab al-Masalik, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 81]
Qadhi ‘Iyazh, salah seorang ulama terkemuka dari kalangan Malikiyah berpendapat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan makruh, bukan haram sebagaimana pendapat yg masyhur dikalangan Malikiyah. Hal ini sebagaimana disebut dalam kitab Tharh al-Tatsrib karangan al-Hafizh al-‘Iraqi sebagai berikut :
قال القاضي عياض يكره حلقها وقصها وتحريقها
Qadhi ‘Iyazh mengatakan : makruh mencukur, memotong dan membakar jenggot. [Al-Hafizh al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Juz. II, Hal. 83]
Ulama Hanabilah
1. Kitab al-Furu’, karangan Ibnu Muflih :
وَيُعْفِي لِحْيَتَهُ ، وَفِي الْمَذْهَبِ مَا لَمْ يُسْتَهْجَنْ طُولُهَا وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا ذَكَرَهُ شَيْخُنَا
Dibiarkan jenggotnya, di dalam mazhab selama tidak dikuatirkan buruk panjangnya dan haram mencukurnya, itu disebut oleh guru kami. [Ibnu Muflih, al-Furu’]
2. Kitab Kasyf al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’ :
( وَيُحَرَّمُ ) التَّعْزِيرُ ( بِحَلْقِ لِحْيَتِهِ ) لِمَا فِيهِ مِنْ الْمُثْلَةِ
Haram ta’zir dengan cara mencukur jenggotnya, karena hal itu termasuk mutslah. [Mansur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali, Kasyf al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 492]
Ulama Syafi’iyah
Sedangkan ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dalam menentukan hukum mencukur jenggot, namun yg mu’tamad yg dianggap sebagai mazhab adalah pendapat yg menyatakan makruh, sebagaimana terlihat dalam kutipan kitab2 Syafi’iyah di bawah ini :
a. Kitab Fathul Mu’in karangan Zainuddin al-Malibari :
ويحرم حلق لحية، وخضب يدي الرجل ورجليه بحناء، خلافا لجمع فيهما. وبحث الاذرعي كراهة حلق ما فوق الحلقوم من الشعر.وقال غيره إنه مباح.
Haram mencukur jenggot dan mewarnai dua tangan seorang laki2 dan dua kakinya dengan inai, khilaf dengan sekelompok ulama pada masalah keduanya. Al-Azra’i telah membahas makruh mencukur bulu di atas halqum, sedangkan lainnya mengatakan mubah. [Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340]
b. Al-Nawawi dalam Syarah Muslim telah menyebut perkara2 yg makruh pada jenggot, sebagiannya yaitu:
الثانية عشر حلقها الا إذا نبت للمرأة لحية فيستحب لها حلقها
Yang kedua belas adalah mencukurnya kecuali apabila tumbuh jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya. [Al-Nawawi, Syarh Muslim]
c. Kitab I’anah al-Thalibin, karangan al-Bakri al-Dimyathi dalam mengomentari pernyataan pengarang Fathul Mu’in di atas menyebutkan :
المعتمد عند الغزالي وشيخ الإسلام وابن حجر في التحفة والرملي والخطيب وغيرهم: الكراهة
Pendapat yg mu’tamad di sisi al-Ghazali, Syekh Islam, Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib dan lainnya adalah makruh. [Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340]
d. Kitab Asnaa al-Mathalib, karangan Zakariya al-Anshari :
(وَ) يُكْرَهُ (نَتْفُهَا) أَيْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ وَحُسْنِ الصُّورَةِ
Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yg baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus. [Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib]
e. Kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy:
ذَكَرُوا هُنَا فِي اللِّحْيَةِ وَنَحْوِهَا خِصَالًا مَكْرُوهَةً مِنْهَا نَتْفُهَا وَحَلْقُهَا
Mereka (ulama) telah menyebut di sini berkenaan dengan jenggot dan seumpamanya tentang perkara2 yg dimakruhkan, di antaranya mencabut dan mencukur jenggot. [Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 375-376]
f. Kitab Mughni al-Muhtaj, karangan Khatib Syarbaini :
و يُكْرَهُ نَتْفُْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ
Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yg baru tumbuh jenggot. [Khatib Syarbaini,Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. IV, Hal. 397]
g. Kitab Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj:
(قَوْلُهُ أَوْ يَحْرُمُ كَانَ خِلَافَ الْمُعْتَمَدِ إلَخْ) قَالَ فِي شَرْحُ الْعُبَابِ فَائِدَةٌ قَالَ الشَّيْخَانِ يُكْرَهُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ وَاعْتَرَضَهُ ابْنُ الرِّفْعَةُ فِي حَاشِيَةِ الْكَافِيَةِ بِأَنَّ الشَّافِعِيَّ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - نَصَّ فِي الْأُمِّ عَلَى التَّحْرِيمِ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَكَذَا الْحَلِيمِيُّ فِي شُعَبِ الْإِيمَانِ وَأُسْتَاذُهُ الْقَفَّالُ الشَّاشِيُّ فِي مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ
(Perkataan mushannif : “atau haram, maka pendapat yg menyalahi yg mu’tamad”), dikatakan dalam Syarh al-‘Ubab : “Faedah : Kedua Syekh (yaitu Nawawi dan Rāfi'ī) menganggap makruh mencukur jenggot. Ibnu Ar-Rifa'ah menentang pendapat mereka dalam Hasyiyah al-Kāfiyah karena ada nash dari Imam Syafi'i r.a. dalam kitabnya, al-Umm haram mencukur jenggot. Az-Zarkasyī menyatakan bahwa hal yg sama dinyatakan oleh Al-Hulaimi dalam kitabnya, Syu'ab Al-Iman, serta gurunya Al-Qaffāl Ash-Syasyi dalam Mahasin Asy-syari'ah. [Syarwani, Hawasyi al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 376]
Apabila kita perhatikan kutipan2 di atas, maka dapat diterangkan di sini bahwa kebanyakan ulama Syafi’iyah berpendapat makruh mencukur jengggot, bukan haram, yaitu al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib, dan lainnya. Sedangkan yg menyatakan haram adalah Ibnu al-Rifa’ah, al-Hulaimy dan al-Qafal al-Syasyi. Kita berkesimpulan bahwa pendapat makruh mencukur jengggot, yaitu pendapat al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib merupakan pendapat mu’tamad dalam mazhab Syafi’i karena berdasarkan kesepakatan ulama Syafi’iyah mutaakhiriin bahwa yg menjadi ikutan dalam mazhab Syafi’i adalah pendapat yg dipegang oleh al-Nawawi dan al-Rafi’i, kemudian Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, Zakariya al-Anshari, al-Khatib dan kemudian ulama2 lainnya yg berada di bawahnya. Dalam Fathul Mu’in disebutkan:
إعلم أن المعتمد في المذهب للحكم والفتوى ما اتفق عليه الشيخان، فما جزم به النووي فالرافعي فما رجحه الاكثر فالاعلم فالاورع.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya yg mu’tamad dalam mazhab untuk penetapan hukum dan fatwa adalah apa yg menjadi kesepakatan dua syaikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i), kemudian yg dipastikan oleh al-Nawawi, kemudian oleh al-Rafi’i, kemudian hukum yg ditarjih oleh kebanyakan, kemudian yg lebih ‘alim dan kemudian yg lebih wara’. [Zainuddin al-malibari, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 233-234]
Al-Bakri al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin (kitab hasyiah bagi kitab Fathul Mu’in di atas) menjelaskan :
واعلم أنه إذا اختلف كلام المتأخرين عن الشيخين - كشيخ الاسلام وتلامذته - فقد ذهب علماء مصر إلى اعتماد ما قاله الشيخ محمد الرملي، خصوصا في نهايته، لانها قرئت على المؤلف إلى آخرها في أربعمائة من العلماء فنقدوها وصححوها. وذهب علماء حضرموت وأكثر اليمن والحجاز إلى أن المعتمد ما قاله الشيخ أحمد بن حجر في كتبه، بل في تحفته لما فيها من الاحاطة بنصوص الامام مع مزيد تتبع المؤلف فيها، ولقراءة المحققين لها عليه الذين لا يحصون، ثم إذا لم يتعرضا بشئ فيفتي بكلام شيخ الاسلام، ثم بكلام الخطيب، ثم بكلام الزيادي، ثم بكلام ابن قاسم، ثم بكلام عميرة، ثم بكلام ع ش، ثم بكلام الحلبي، ثم بكلام الشوبري، ثم بكلام العناني، ما لم يخالفوا أصول المذهب.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila khilaf kalam muatakhirin mengenai pendapat dua syeikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i) seperti Syeikh Islam dan murid-muridnya, maka ulama Mesir berpegang kepada pendapat yg dipegang oleh Syeikh Muhammad al-Ramli, terutama dalam kitab al-Nihayah, karena kitab tersebut sudah dibaca kepada pengarangnya hingga akhirnya pada empat ratus ulama dimana mereka mengkritik dan mentashihnya. Ulama Hazramaut dan kebanyakan ulama Yaman dan Hijaz berpedapat bahwa yg mu’tamad adalah pendapat Syeikh Ahmad Ibnu Hajar dalam semua kitabnya, bahkan terutama dalam Tuhfah, karena dalamnya diperhatikan nash2 imam serta lebih teliti pengarangnya serta juga karena telah dibaca para ulama muhaqiqin yg tidak terbatas banyaknya. Kemudian apabila keduanya (Ibnu Hajar dan al-Ramli) tidak mengemukakan pendapat apapun, maka difatwakan dengan kalam Syeikh Islam, kalam al-Khatib, al-Ziyadi, Ibnu Qasim, ‘Amirah, ع ش (‘Ali Syibran al-Malusi), al-Halabi, al-Syaubari, dan kemudian kalam al-‘Inaani, selama mereka itu tidak menyalahi ushul mazhab. [Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 234]
Kemudian timbul pertanyaan benarkah jenggot mengurangi kecerdasan, sehingga makin panjang jenggot maka makin goblok?
Ada yg mengatakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam kitabnya Akhbarul Hamqa wal Mughaffalin menukil sebuah keterangan di dalam kitab Taurat :
إن اللحية مخرجها من الدماغ فمن أفرط عليه طولها قل دماغه ومن قل دماغه قل عقله ومن قل عقله كان أحمق
"Sesungguhnya jenggot itu tempat keluarnya dari otak. Barang siapa lebai dalam memanjangkannya maka sedikitlah otaknya, barang siapa sedikit otaknya maka sedikitlah akalnya dan barang siapa sedikit akalnya maka dia itu KOPLAK….!!!."
Ungkapan diatas sebenarnya bukanlah ungkapan Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H) dalam kitabnya Akhbarul Hamqa wal Mughaffalin, namun ucapan Al Ma’mun dalam kitab Ghararul Khôshôis al Wâdhihah hal 156 karya Abu Ishaq Burhanuddin Muhammad (w. 718 H).
[ لكتاب: غرر الخصائص الواضحة، وعرر النقائض الفاضحة
المؤلف: أبو إسحق برهان الدين محمد بن إبراهيم بن يحيى بن علي المعروف بالوطواط (المتوفى: 718هـ]
Dan kalau diterjemahkan:
"Sesungguhnya jenggot itu tempat keluarnya dari otak. Barang siapa y g ekstrim (berlebihan/afratha) dalam memanjangkannya maka sedikitlah otaknya, barang siapa sedikit otaknya maka sedikitlah akalnya dan barang siapa sedikit akalnya maka dia itu dungu/tolol…"
Ungkapan tersebut bukan mencela berjenggot, namun mencela “ekstrim (berlebihan/afratha) dalam memanjangkannya perhatikan frase (فمن أفرط عليه طولها) maka akan jelas maksudnya.
Bagaimana sikap berlebihan yg mereka cela? Salah satunya adalah memanjangkannya lebih dari satu genggaman, Imam Ibnul Jauzi, dalam Akhbarul Hamqa wal Mughaffalin hal 23 menyatakan:
قال زياد ابن أبيه: ما زادت لحية رجل على قبضته، إلا كان ما زاد فيها نقصاً من عقله
"Telah berkata Ziyâd: Tidaklah lelaki yg jenggotnya bertambah (panjang) melebihi genggamannya, kecuali bertambah pula kekurangan akalnya.
Imam as Syafi’i sendiri juga membiarkan jenggotnya hingga segenggam, dalam Syadzaratudz Dzahab juz 2 hal 204, al Muzani, murid beliau, berkata:
ما رايت احسن وجها من الشافعى، اذا قبض على لحييه ﻻ تفضل عن قبضته
"Tidaklah pernah kulihat wajah yg lebih tampan daripada As-Syafi’i, jika beliau menggenggam jenggotnya tidaklah (jenggotnya) melebihi genggamannya…"
Kesimpulan
1. Masalah mencukur jenggot bukanlah merupakan ijmak ulama sebagaimana dakwaan sebagian umat Islam dewasa ini, bahkan hanya merupakan masalah furu’iyah dan khilafiyah sehingga tidak boleh sebagian umat Islam menuduh sesat yg lainnya hanya karena tidak menyetujui pendapatnya.
2. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat haram mencukur jenggot
3. Ulama Malikiyah berpendapat haram mencukur jenggot, namun Qadhi ‘Iyazh salah seorang ulama Malikiyah berpendapat makruh
4. Pendapat kebanyakan dan yg mu’tamad di kalangan Syafi’iyah adalah makruh, sebagiannya berpendapat haram.
5. Jenggot adalah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika berjenggot hendaklah yg proporsional biar terlihat tdk berlebihan dan menakutkan. Wallahu a'lam
Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan dan semoga bermanfa'at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق

Tidak ada komentar:

Posting Komentar