Para
ulama fiqih mendifinisikan shalat sebagai tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan
yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan itu selanjutnya dinamakan rukun dan
pemenuhannya menjadi satu keharusan. Berarti, bila tidak dikerjakan
mengakibatkan shalatnya batal. Atau disebut sunnah jika berfungsi sebagai
pelengkap dan penyempurnaan saja. Sehingga, kalau ditinggalkan, tidak sampai
berakibat membatalkan shalat.
Rukun
shalat secara keseluruhan ada tujuh belas, yang merupakan satu kesatuan utuh,
sehingga pelaksanaannya harus berkesinambungan. Akibatnya, bila ada salah satu
saja dari rukun itu ditinggalkan atau dilaksanakan secara terpisah, seseorang
belum dianggap melaksanakan shalat. Dalam bahasa ahli ushul fikih, belum bebas
dari uhdatul wujub, atau belum bisa mengugurkan at-ta’abbud.
Setiap
rukun mempunyai aturan dan cara-cara tertentu. Mulai dari cara membaca fatihah,
ruku’, sujud, I’tidal dan seterusnya semua itu berdasar pada cara shalat
Rasulullah saw semasa hidup. Sebagaimana perintah beliau dalam sebuah hadits:
صلوا
كما رأيتموني أصلي. رواه البخاري –
“Shalatlah
kamu seperti yang kamu lihat saat aku mengerjakannya.” (HR. Bukhari, Muslim dan
Ahmad)
Cara
dan aturan-aturan tersebut telah diterangkan oleh ulama dengan panjang lebar,
melalui proses ijtihad secara serius, dalam karya mereka berupa kitab-kitab
fiqih.
Dalam
berijtihad mereka senantiasa berpedoman pada al-qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas
serta metode-metode istinbath yang lain. Karena itu dengan berpedoman pada
kitab-kitab fiqih, bukan berarti kita tidak atau kurang mengamalkan al-Qur’an
dan hadits seperti anggapan minor sebagian kalangan tertentu.
Dengan
demikian shalat yang dipraktikkan umat Islam, secara umum sama, karena
berangkat dari sumber yang sama pula. Semua berdiri, membaca fatihah, ruku’ dan
sbagainya. Tapi di balik kesamaan-kesamaan tersebut, ada perbedaan-perbedaan
kecil yang tidak begitu prinsip . Jangan sampai terjadi, perbedaan kecil itu
merusak ukhuwah islamiyah di kalangan muslimin.
Misalnya
dalam hal sujud, para ulama sendiri terbagi dalam dua elompok, antara yang
mendahulukan tangan dan yang mengakhirkannya setelah meletakkan lutut. Keduanya
memiliki dasar masing-masing. Kalau ditelusuri perbedaan pendapat tersebut
berpangkal pada dua hadits yang termaktub dalam bulughul maram, karangan Ibnu
hajar al-Asqalani.Hadits pertama riwayat dari sahabat Abu Hurairoh ra yang
menyatakan bahwasannya rasulullah saw bersabda;
إذا
سجد أحدكم فلايبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه - رواه أبوداود والترمذي
والنسائي
“Jika
salah satu dari kalian bersujud, janganlah menderum seperti unta menderum,
letakkanlah kedua tangan sebelum lutut.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Dalam
hadits tersebut jelas kita diperintahkan untuk mendahulukan tangan. Sebuah
pengertian yang berlawanan dengan hadits kedua riwayat sahabat Wail bin Hajar
ra yang mengatakan:
رأيت
النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه ركبتيه -رواه أبوداود
والترمذي والنسائي وابن ماجه
“Saya melihat Rasulullah saw ketika sujud meletakkan (menjatuhkan)
lutut sebelum tangannya.” (HR. abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah)
Ketika
ada dua hadits yang tampak bertentangan seperti itu, para ulama akan memilih
mana yang lebih kuat; yang sahih didahulukan dari pada yang dhaif. Kalau
kedudukannya sama, sebisa mungkin dikompromikan agar sejalan dan tidak saling
bertentangan . Jika langkah tersebut tidak mungkin dicapai, hadist yang
terdahulu dirombak (dinasikh) oleh yang terakhir. Dengan catatan sejarah
keduanya diketahui. Bila waktunya tidak jelas, sikap yang mereka ambil adalah
al-waaf. Maksudnya kedua hadits tersebut tidak diamalkan, lalu beralih pada
dalil lain. Solusi seperti itu diketemukan dalam kitab-kitab ushul fikih,
seperti tashit Thuraqat, Irsayadul Fukhul dan al-Luma’. Yang menjadi permasalahan
adalah para ulama sering berbeda menilai sebuah hadits. Hadits yang dianggap
shahih oleh seorang ahli (muhadditsun) tertentu, pada saat yang sama kadang
diklaim tidak sahih oleh ulama lain. Pada gilirannya, mereka cenderung
berpendapat sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.
Pada
kasus sujud Imam Malik dan Imam Auzai memilih hadits yang pertama. Sedangkan
madzhab Syafi’I dan Hanafi cenderung mengamalkan hadits kedua. Dalam kaitan
itulah mengapa khiaf tidak terelakkan. Apalagi jika hadits hanya diketahui oleh
satu pihak saja. Namun yang pasti, ulama terdahulu telah berupaya semaksimal
mungkin mendekati setiap kebenaran. Yang benar memporel dua pahala yang salah
memperoleh satu pahala. Dengan syarat mereka benar-benar mempunyai kompetensi
untuk berijtihad. Dalam arti, melengkapi diri dengan berbagai disiplin keilmuan
yang diperlukan untuk tugas mulia yang sangat berat itu. Sekarang kita tinggal
pilih sesuai dengan kemnatapan dan keyakinan masing-masing. Kalangan pesantren
yang akrab dengan kitab-kitab Imam syafi’I dalam hal sujud mungkin mendahulukan
lutut. Tetapi kalangan yang lain bisa saja mendahulukan tangan.
Sujud
yang dilakukan adalah bersujud pada tujuh anggota tubuh.
Dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ
أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ
عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku
diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk
juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan
kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan
kiri. ” (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)
Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa dahi dan hidung itu seperti satu anggota tubuh. Untuk
lima anggota tubuh lainnya wajib bersujud dengan anggota tubuh tersebut.
Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh tersebut tidak menyentuh
lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun jika kita katakan wajib bukan
berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk
telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah
sebagaimana dahi demikian. Namun yang lebih tepat, tidaklah wajib terbuka untuk
dahi dan kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 185)
Sedang
menurut Muslim (494) dari al-Barra’ RA, dia berkata: Sabda Rasulullah SAW:
اِذَا
سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ
Apabila
kamu bersujud, maka letakkanlah kedua telapak tanganmu dan renggangkan kedua
sikumu.
Dan
al-Bukhari (383), dan Muslim (594) juga meriwayatkan dari Abdullah bin Malik
bin Buhainah RA;
اَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا صَلَّى صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ، حَتَّى يَبْدُ وَبَيَاضُ اِبْطَيْهِ
Bahwa
Nabi SAW apabila melakukan shalat, beliau merenggangkan kedua tangannya, sampai
keihatan ketiaknya yang putih.
Sementara
itu, menurut Abu Daud (734), dan at-Tirmidzi (270), dari Abu Humaid RA:
وَنَحَّى
يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَمَنْكِبَيْهِ
.....Dan beliau merenggangkan kedua tangannya dari lambungnya,
serta meletakkan kedua telapak tangannya setentang dengan pundaknya.
Dan
Abu Daud (735) meriwayatkan dari Abu Humaid RA pula, mengenai sifat shalat
Rasulullah SAW, dia berkata:
اِذَا
سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ، غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَيْئٍ مِنْ
فَخِذَيْهِ
Apabila
bersujud, beliau merenggangkan kedua pahanya, tanpa menempelkan perutnya pada
salah satu pahanya.
Al-Baihaqi
(2/223) telah meriwayatkan:
اَنَّهُ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى اَمَرَأَتَيْنِ تُصَلِّيَانِ
فَقَالَ: اِذَا سَجَدْتُمَا فَضُمَّا بَعْضَ الّلَحْمِ اِلَى الاَرْضِ، فَاِنَّ
الْمَرْاَةَ لَيْسَتْ فِى ذَلِكَ كَالرَّجُلِ
Bahwasanya
Nabi SAW pernah melewati dua orang perempuan yang sedang shalat, maka beliau
menegur: “Apabila kalian bersujud, maka rapatkanlah sebagian tubuh ke lantai,
karena dalam hal itu wanita tidaklah sama dengan lelaki.
Hal
ini disebutkan oleh hadits Abu Humaid,
فَإِذَا
سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرُ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهُمَا
“Apabila sujud, Nabi meletakkan kedua tangan beliau tanpa
meletakkan (kedua lengan bawahnya) dan tidak pula mengepitnya/menempelkannya
(ke rusuk).” (HR. al-Bukhari no. 828)
Selain
itu, ada pula hadits yang menyatakan larangan berbuat demikian. Di antaranya
adalah hadits Anas bin Malik ra, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
وَلاَ
يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
“Janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua lengan
bawahnya sebagaimana anjing meletakkan (dua kaki depannya).” (HR. al-Bukhari
no. 822 dan Muslim no. 1102)
Sejumlah
sahabat meriwayatkannya seperti Abdullah bin Malik ibnu Buhainah ra, ia
berkata,
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ إِذَا صَلَّى فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ
بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
“Apabila Nabi shalat, beliau menjauhkan kedua lengannya (dari
rusuk) hingga tampak putihnya kedua ketiak beliau.” (HR. al-Bukhari no. 390 dan
Muslim no. 1105)
Demikian
pula riwayat Maimunah bintu al-Harits rah, ia berkata,
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا سَجَدَ خَوَّى بِيَدَيْهِ حَتَّى يُرَى وَضَحُ إِبْطَيِهْ
مِنْ وَرَائِهِ
“Apabila Rasulullah sujud, beliau menjauhkan kedua lengannya
hingga tampak dari belakang putihnya kedua ketiak beliau.” (HR. Muslim no.
1108)
Sahabat
lain yang meriwayatkan tata cara seperti ini adalah Ibnu Abbas, al-Bara’ ibnu
Azib, Abdullah ibnu Arqam al-Khuza’i, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu
Sa’id al-Khudri, ‘Adi bin Umairah, dan Abu Humaid as-Sa’idi g.
Karena
tingginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan kedua lengannya
dari tanah dan menjauhkannya dari rusuknya sampai-sampai apabila ada seekor
anak kambing ingin lewat di bagian bawah kedua lengan beliau yang diangkat
tersebut niscaya bisa lewat. Maimunah bintu al-Harits rah, istri beliau, yang
menyampaikan hal ini. Katanya,
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا سَجَدَ لَوْ شَاءَتْ بَهْمَةٌ أَنْ تَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
لَمَرَّتْ
“Apabila Nabi sujud, beliau mengangkat dan menjauhkan kedua
lengan beliau (dari perut/rusuk beliau) hingga jika ada seekor anak kambing
ingin lewat di bagian bawah kedua lengan beliau yang diangkat tersebut niscaya
bisa lewat.” (HR. Muslim no. 1107)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh melakukan hal ini sehingga
sebagian sahabatnya mengatakan,
إِنْ
كُنَّا لَنَأْوِي لِرَسُوْلِ اللهِ n مِمَّا يُجَافِي بِيَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ
إِذَا سَجَدَ
“Sungguh, kami merasa iba melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam karena beliau begitu menjauhkan kedua lengan beliau dari kedua
rusuknya di saat sujud.” (HR. Abu Dawud no. 900 dan Ibnu Majah no. 886, hadits
ini dinyatakan hasan sahih dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih Ibni Majah)
Rasulullah
shallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang shalat untuk berbuat
demikian,
إِذَا
سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ
“Apabila engkau sujud, letakkanlah kedua telapak tanganmu (di
tanah/tempat sujud) dan angkatlah kedua sikumu.” (HR. Muslim no. 1104 dari
al-Bara’ ibnu Azib ra)
نْ
أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِىِّ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا
سَجَدَ أَمْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتَهُ مِنَ الأَرْضِ وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ
جَنْبَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ
“Abu Humaid “radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam jika sujud beliau mengenakan hidung dan dahinya
dari tanah dan melebarkan kedua lengannya dari kedua samping tubuhnya dan
meletakkan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua bahunya”. (HR. Tirmidzi)
Catatan:
Jika
Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa salam melakukan hal yang demikian mengangkat
sikunya sampai terlihat ketiak beliau karena beliau adalah imam salat, tentu
berbeda jika kita sebagai makmum karena hal itu tentunya siku kita akan
mengenahi kepala jama’ah yang disebelah kanan dan kiri.
Sebagian
saudaraku salafi wahabi saat sujud dengan cara memanjangkan badannya melebihi
sajadah, hal itu tentu tidak sesuai dengan penjelasan ulama salafi wahai sbb:
Berkata
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
أي:
اجعلوه سجوداً معتدلاً ، لا تهصرون فينزل البطن على الفخذ، والفخذ على الساق ولا
تمتدون أيضاً كما يفعل بعضُ النَّاس إذا سجد، يمتد حتى يقرب مِن الانبطاح، فهذا لا
شكَّ أنَّه مِن البدع وليس بسنَّةٍ، فما ثبت عن النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم ولا
عن الصحابة فيما نعلم أنَّ الإنسانَ يمدُّ ظهره في السجود ، إنَّما مَدُّ الظهر في
حال الركوع ، أما السجود فإنَّه يرتفع ببطنه ولا يمده
.
Berkata:
“Sujudlah dengan tegak, jangan merunduk sehingga menurunkan perut di atas paha
dan paha di atas betis, dan juga jangan terlalu memanjang sebagaimana yang
dilakukan sebagian orang jika dia sujud, memanjang sampai mendekati dalam
keadaan merebahkan diri, maka tidak diragukan ini adalah perbuatan bid’ah dan
bukan dari sunnah, tidak tetap rwayatnya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasalalm dan para shahabatnya, sebagaimana yang kami ketahui bahwa seorang
tidak merentangkan punggungnya ketika sujud tetpi merentangkannya ketika ruku,
adapun ketika sujud dia mengangatkan perutnya dan tidak merentangkannya”.
(Lihat Kitab Asy Syarh Al Mumti’, 3/168.)
Wallohu
a’lam bis-Showab dan semoga bermanfa’at. Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar