Bukan hal yang aneh kalau sebelum shalat, pak imam mengingatkan
para jamaah sambil memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat dan diluruskan”.
Tapi pernahkan berdiri di samping Anda jamaah yang suka
memepet-mepetkan kakinya ke kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda atau kaki
jamaah lain?
Kalau Anda pernah mengalaminya, dan agak merasa risih, terus terang
Penulis juga pernah mengalaminya. Dan ternyata tidak sedikit mereka yang
mengalami dipepet-pepet seperti itu.
Sampai ada seorang jamaah di satu masjid curhat kepada
penulis,”Pokoknya saya tidak mau shalat di samping dia!”, katanya. ”Kenapa?”
tanya Penulis. ”Kakinya itu lho, masak saya dipepet-pepet terus sampai mau
diinjak. Shalat saya malah jadi tidak khusyu’.”
Beberapa hari yang lalu, Penulis ditanya seseorang tentang hadits
keharusan saling menempelnya mata kaki, sebagai bentuk
kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya shahih diriwyatkan oleh Al-Bukhari dalam
kitab Shahihnya. Dan ternyata memang hadits inilah yang disinyalir menjadi
pijakan teman-teman yang beranggapan bahwa kaki harus benar-benar nempel dengan
kaki jamaah lain.
Masalah ini mari kita bahas dengan kepala dingin, dengan merujuk
ke kitab-kitab para ulama yang muktamad. Mari kita telusuri dan dengan seksama
apa komentar para ulama dalam hal ini.
A. Nash Hadits
Tidak keliru kalau dikatakan bahwa keharusan menempel itu
berdasarkan hadits-hadits yang shahih, bahkan diriwayatkan oleh Bukhari. Dan
jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak kita temukan.
Namun kalau kita teliti di hulunya, rata-rata semuanya kembali
kepada dua di level shahabat; yaitu riwayat Anas bin Malik dan An-Nu’man
bin Basyir radhiyallahuanhuma.
Sampai disini, kita semua sepakat bahwa urusan menempel ini memang
ada haditsnya dan statusnya adalah hadits yang shahih.
Tetapi apakah kalau suatu hadits itu shahih, lantas bisa langsung
menjadi dipastikan hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa kalau tidak
diamalkan?
Jawabnya tentu tidak sekedar bilang iya. Kita perlu lihat dulu apa
dan bagaimana penjelasan dari para fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian
hadits ini.
Sebab kajian yang ilmiyah adalah kajian yang berciri hati-hati dan
tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Mari kita bahas dahulu analisa
para ulama.
1. Hadits Riwayat Anas bin Malik
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ
حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ
بِقَدَمِهِ»
Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallaAllah alaih wasallam:
”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.”
ada diantara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan
telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari)
Al-Imam Al-Bukhari mencantumkan teks hadits ini dalam kitab
As-Shahih, pada Bab Merapatkan Pundak Dengan Pundak dan Telapak Kaki
dengan Telapak Kaki, hal. 1/146.
Catatan
Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu menggunakan
redaksi [القدم],
sehingga Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan judul merapatkan pundak
dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki.
2. Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir
وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ
كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki diantara kami
ada yang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya(HR.
Bukhari)
Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam
kitab As-Shshahih, pada bab yang sama dengan hadits di atas.
Catatan
Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini
lengkapnya adalah:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ
الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا
زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ
النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ,
ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ
بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia,
lalu berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf
kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu
an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki menempelkan mata kakinya
dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.
Selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits-hadits ini
juga diriwayatkan oleh para ulama hadits, diantaranya
- Al-Imam Abu Daud
dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178,
- Al-Imam Ahmad
bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378,
- Al-Imam
Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28,
- Al-Imam
Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123]
Catatan
Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama
An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhu melihat seorang
laki-laki yang menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada temannya.
B. Kajian dan Pembahasan Hadits
Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan kemukakan dahulu
komentar para ulama terkait implementasi hukum dari hadits ini.
Memang para ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta
menarik kesimpulan hukum. Ada yang cenderung agak galak mengharuskan kita
melihat tektualnya, dan dan ada juga yang melihat maqashidnya. Kita mulai dari
yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini.
1. Komentar Nashiruddin Al-Albani
Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya, Silsilat
al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77 menuliskan :
وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة
زائدة على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على
سد الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل الصفات
الإلهية, بل هذا أسوأ منه
Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq
(menempelkan mata kaki, dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan
dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah
anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut
merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah,
persis sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih
jelek dari itu.
Al-Albani secara tegas memandang bahwa yang dimaksud ilzaq dalam
hadits adalah benar-benar menempel. Artinya, sesama mata kaki, sesama dengkul
dan sesama bahu harus benar nempel dengan orang di sampingnya. Dan itulah yang
dia katakan sebagai SUNNAH Nabi.
Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.
Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu dianggap telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari itu.
Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.
Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu dianggap telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari itu.
Untuk itu pendapat Al-Albani ini didukung oleh murid-murid
setianya. Dimana-mana mereka menegaskan bahwa ilzaq ini
disebut sebagai sunnah mahjurah, yaitu sunnah yang telah banyak ditinggalkan
oleh orang-orang. Oleh karena itu perlu untuk dihidup-hidupkan lag di masa
sekarang.
Wah, pedas juga komentarnya. Kira-kira siapakah penulis abad ini
yang dimaksud al-Albani ya?
2. Syeikh Bakr Abu Zaid : Imam Masjid An-Nabawi
Anggota Hai'at Kibar Ulama Saudi Arabia
Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi
yang pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah
Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang berjudul La Jadida fi
Ahkam as-Shalat(Tidak Ada Yang Baru Dalam Hukum Shalat), hal. 13.
Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat Al-Albani :
وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة
مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذروالتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به
في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.
Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf
(memberat-beratkan) yang nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah
sesuatu yang mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang
susah dilakukan.
Bakr Abu Zaid melanjutkan:
فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد
الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل
واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق
Inilah yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah,
menutup sela-sela. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud
sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan
benar-benar menempelkan.
Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan
berarti dipahami harus benar-benar menempelkan mata mata kaki, dengkul dan
bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf.
Haditsnya sama, tapi berbeda dalam memahaminya. Pendapat Bakr Abu
Zaid ini berseberangan dengan pendapat Al-Albani. Hanya saja al-Albani cukup
”galak”, dengan mengatakan bahwa yang berbeda dengan pemahaman dia, dianggap
lebih jelek daripada ta’thil/ inkar terhadap sifah Allah.
3. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Mari kita telusuri lagi pendapat yang lain, kita temui ulama besar
Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga
pernah ditanya tentang menempelkan mata kaki. Dan beliau pun menjawab saat itu
dengan jawaban yang agak berseberangan dengan pendapat Al-Albani.
أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف,
فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت
الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس
معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.
Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan
jamaah sampingnya, agar shaf benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu
bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna
shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki
dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus menempel
sampai selesai shalat.
Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan
al-Iman, hal. 1/ 311
Ternyata Syiekh Al-Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan
mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana
bagaimaan agar shaf shalat bisa benar-benar lurus.
Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat
saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka
tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkna
kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya.
4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali
Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yang menulis
kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan:
حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام.
Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yang dimaksud meluruskan shaf
adalah lurusnya bahu dan telapak kaki. (Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/
282.)
Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas
adalah meluruskan barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki.
Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H)
Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan:
الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ
خَلَلِهِ
Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan
shaf dan menutup celah. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Memang disini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus
menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk
berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya.
C. Point-Point Penting
Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah
mata kaki selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf.
Sekarang mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita
sendiri. Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi
SAW atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari Nabi
SAW atau bentuk perintah yang secara nash beliau SAW menyebut : HARUS MENEMPEL,
kalau tidak nanti masuk neraka?
1. Menempelkan Mata Kaki Dalam Shaf Bukan Tindakan Atau Anjuran
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud?
Iya sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yang benar
terhadap hadits shahih.
Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati
bahwa ternyata yang Nabi SAW anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan
redaksinya :
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
Tegakkah barisan kalian
Itu yang beliau SAW katakan. Sama sekali beliau SAW tidak berkata,
”Tempelkanlah mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yang
tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat-sifat Allah.
Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman
tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid-murid pendukungnya saja.
Dan Nabi SAW sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan
hal itu.
2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat
Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya
disebutkan:
- [وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari kami
- [رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari kami
- [فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang
laki-laki
Meskipun dengan redaksi yang berbeda, tetapi kesemuanya merujuk
pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yang melakukan hal itu. Maka hal
itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya
setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah
seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan:
ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في
معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن
فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi
hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian
tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain. (Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal.
2/99)
Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan
semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki
dilakukan oleh seorang laki-laki pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah
lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?
3. Anas tidak melakukan hal itu
Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin
Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya
melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yang mereka lihat.
Kenapa?
Karena yang melakukannya bukan Rasulullah SAW sendiri. Dan para
shahabat yang lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang
saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.
Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852
H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik:
وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ
بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu
saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan
lari sebagaimana keledai yang lepas. [Ibnu Hajar, Fathu
al-Bari, hal. 2/211]
Jika menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh anjuran Nabi, maka
mereka sebagai salaf yang shalih tidak akan lari dari hal itu dan
meninggalkannya.
Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan
sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.
4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?
Barangkali para pembela pendapat tempe-menempel matakaki itu
berhujjah, jika ada suatu perbuatan yang dilakukan di hadapan Nabi SAW, sedang
beliau SAW diam saja dan tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah
taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga.
Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah
taqririyah. Tapi perlu diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan
dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya
hal itu.
Contoh sunnah taqririyyah adalah makan daging dhab dan ’azl
yaitumengeluarkan sperma diluar kemaluan istri. Meskipun keduanya sunnah
taqririyyah, tapi secara hukum berhenti sampai kita sekedar dibolehkan
melakukannya.
Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah
yang dianjurkan, dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main
ancam bahwa orang yang tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada
sifat-sifat Allah. Ini adalah sebuah fatwa yang agak emosional dan memaksakan
diri. Dan yang pasti fatwa seperti ini sifatnya menyendiri tanpa ada yang
pernah mendukungnya.
Tidak bisa kita bayangkan, cuma gara-gara ada shahabat makan
daging dhab dan melakukan azal, dan kebetulan memang Nabi SAW tidak
melarangnya, lantas kita berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia
sepanjang zaman sering-sering makan daging biawak. Yang tidak doyan makan
daging biawak divonis telah ingkar kepada sifat-sifat Allah.
5. Susah Dalam Prakteknya
Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai
anjuran, tak ada diantara kita yang bisa mempraktekannya.
Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata
kaki, dengkul dan bahu dalam shaf.
D. Kesimpulan
Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel
dalam shaf shalat?
Ada dua pendapat; pertama yang mengatakan harus menempel. Ini
adalah pendapat Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan beliau mengatakan
bahwa yang mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari faham
ta’thil sifat Allah.
Pendapat kedua, yang mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu
bukan tujuan utama dan tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf.
Jikapun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus
menerus dalam shalat. Ini adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat
Bakr Abu Zaid.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan pendapat ulama madzhab
empat yang mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat.
Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika
dengan menempelkan mata kaki, malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu
tetangga shaf juga tidak baik.
Wallahu a’lam dan
semoga bermanfa’at. Aamiin
mantaaaap
BalasHapus