Jumat, 05 September 2014

JUNUN AL-‘UQALA’ IBRAHIM BIN ADHAM (Evaluasi Buat Negeri Para Penyamun)




Dalam istilah tasawuf disebut Jununul Uqala’ yakni orang-orang yang berakal (menjalankan agama dengan benar) tapi dianggap tidak waras. Kebanyakan manusia di setiap masa memilih menjadi orang gila tapi dianggap waras. Sedikit yang memilih sebaliknya. Hal demikian terjadi di setiap generasi.

Rasulullah Saw memerintahkan,

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ اللهِ حَتىّ يَقُوْلُوْا مَجْنُوْنَ

“Hendaklah kalian berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya sehingga orang-orang mengatakan gila”. (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, Hakim)

Berdzikir itu tidak sebatas menyebut. Berdzikir yang komprehensif (menyeluruh) adalah jiwanya selalu menghadap kepada Allah. Jika jiwa sudah menghadap kepada Allah, segala pekerjaan akan dijalankan dengan baik. Usahanya mencari rizki dilakukan dengan cara yang halal walaupun kebanyakan orang sudah tidak mempedulikan cara mendapatkannya, apakah halal atau haram. Inilah yang disebut banyak dzikir kepada Allah (dzikron katsiiroo).

Tandanya adalah banyak latihan dzikir di masjid, mendapatkan dampak psikologis jiwanya terus menghadap kepada Allah, memilih pekerjaan yang halal, ia bersikap jujur sementara banyak orang menyuarakan ketidakjujuran, ia tidak melakukan korupsi ketika banyak orang telah melakukannya. Resikonya adalah disebut gila.

Jabatan yang tidak naik-naik jika tidak kong kali kong (menyuap), ditekan bos agar mark-up anggaran, adalah resiko kehidupan. Semuanya memiliki konssekuensi yang mesti ditanggung. Pilihannya hanya dua saja, menjadi orang gila dianggap waras atau menjadi orang waras tapi dianggap gila. Dan kebanyakan manusia memilih menjadi orang gila yang dianggap waras oleh kebanyakan manusia. Walaakinna aktsaron naasi laa ya’lamuun.[ Q.S. As-Saba: 28] Manusia kebanyakan mengikuti aturan yang ada dan tidak mau mengambil resiko.

Agama bukan sekedar jargon dan platform. Agama adalah pengusung perubahan mikro dan makro. Perubahan sikap individu dan sosial. Perubahan dari skala kecil hingga kepada skala besar menuju cahaya Allah (An-Nur). Oleh karenanya mesti siap menanggung resiko. Bagi para Kekasih Allah menghadapi resiko adalah merupakan kebahagiaan tersendiri, lebih baik dianggap orang gila daripada gila sebenarnya (jununul ’uqala).

Ingat kisah Ibrahim bin Adham? Dia adalah raja di Balkh satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurasan, menggantikan ayahnya yang telah wafat. Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, Ibrahim bin Adham juga bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana ia selalu di kawal 80 orang pengawal. 40 orang berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.

Suatu malam, ketika sedang terlelap tidur di atas dipannya, tiba tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki dari atas genteng, seperti seseorang yang hendak mencuri. Ibrahim menegur orang itu, “Apa yang tengah kamu lakukan di atas sana?” Orang itu menjawab, “Saya sedang mencari ontaku yang hilang.” “Apa kamu sudah gila, mencari onta di atas genteng,” sergahnya. Namun orang itu balik menyerang, “Tuan yang gila, karena tuan mencari Allah di istana.”

Ia gelisah, kedua matanya tidak dapat terpejam, terus menerus menerawang merenungi kebenaran kata kata itu. Hingga adzan Shubuh berkumandang Ia tetap terjaga. Esok harinya, keadaannya tidak berubah. la gelisah, murung, dan sering menyendiri. la terus mencari jawaban di balik peristiwa malam itu.

Ibrahim bin Adham rela menukar pakaiannya kepada seorang penggembala kambing dengan pakaian yang penggembala pakai. Setelah mengenakan pakalan usang itu, ia berangkat menuju Makkah untuk mensucikan dirinya. Dari sinilah drama kesendirian Ibrahim bermula. Istana megah ia tinggalkan dan tanpa seorang pengawal ia berjalan kaki menyongsong kehidupan barunya.

Berbulan bulan mengembara, Ibrahim tiba di sebuah kampung bernama Bandar Nishafur. Di sana ia tinggal di sebuah gua, menyendiri, berdzikir dan memperbanyak lbadah. Hingga tidak lama kemudian, keshalihan, kezuhudan dan kesufiannya mulai dikenal banyak orang. Banyak di antara mereka yang mendatangi dan menawarkan bantuan kepadanya, tetapi Ibrahim selalu menolak.

Pernah satu ketika, di suatu kampung Ibrahim kehabisan bekal. Untungnya, ia bertemu dengan seorang kaya yang membutuhkan penjaga untuk kebun delimanya yang sangat luas. Ibrahim pun diterima sebagai penjaga kebun, tanpa disadari oleh orang tersebut kalau lelaki yang dipekerjakannya adalah Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang sudah lama ia kenal namanya. Ibrahim menjalankan tugasnya dengan baik tanpa mengurangi kuantitas ibadahnya.

Satu hari, pemilik kebun minta dipetikkan buah delima. Ibrahim melakukannya, tapi pemilik kebun malah memarahinya karena delima yang diberikannya rasanya asam.
"Apa kamu tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam," tegumya.
"Aku belum pernah merasakannya, Tuan," jawab Ibrahim.
Pemilik kebun menuduh Ibrahim berdusta. Ibrahim lantas shalat di kebun itu, tapi pemilik kebun menuduhnya berbuat riya dengan shalatnya.
"Aku belum pernah melihat orang yang lebih riya dibanding kamu."
"Betul tuanku, ini baru dosaku yang terlihat. Yang tidak, jauh lebih banyak lagi," jawabnya. Dia pun dipecat, lalu pergi.

Di perjalanan, ia menjumpai seorang pria sedang sekarat karena kelaparan. Buah delima tadi pun diberikannya. Sementara itu, tuannya terus mencarinya karena belum membayar upahnya. Ketika bertemu, Ibrahim meminta agar gajinya dipotong karena delima yang ia berikan kepada orang sekarat tadi. "Apa engkau tidak mencuri selain itu?" tanya pemilik kebun. "Demi Allah, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu," tegas Ibrahim.

Setahun kemudian, pemilik kebun mendapat pekerja baru. Dia kembali meminta dipetikkan buah delima. Tukang baru itu memberinya yang paling manis. Pemilik kebun bercerita bahwa ia pernah memiliki tukang kebun yang paling dusta karena mengaku tak pernah mencicipi delima, memberi buah delima kepada orang yang kelaparan, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada orang kelaparan itu. "Betapa dustanya dia," kata pemilik kebun.

Tukang kebun yang baru lantas berujar, "Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang lantas meninggalkan istananya karena zuhud." Pemilik kebun pun menyesali tindakannya, "Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak pernah aku temui."

Menjelang kedatangannya di Kota Makkah, para pemimpin dan ulama bersama sama menunggunya. Namun tak seorang pun yang mengenali wajahnya. Ketika kafilah yang diikutinya memasuki gerbang Kota Makkah, seorang yang diutus menjemputnya bertanya kepada Ibrahim, "Apakah kamu mengenal Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang terkenal itu?" "Untuk apa kamu menanyakan si ahli bid’ah itu?" Ibrahim balik bertanya.

Mendapat jawaban yang tidak sopan seperti itu, orang tersebut lantas memukul Ibrahim, dan menyeretnya menghadap pemimpin Makkah. Saat diinterogasi, jawaban yang keluar dari mulutnya tetap sama, "Untuk apa kalian menanyakan si ahli bid’ah itu?" Ibrahim pun disiksa karena dia dianggap menghina seorang ulama agung. Tetapi, dalam hatinya Ibrahim bersyukur diperlakukan demikian, ia berkata, "Wahai Ibrahim, dulu waktu berkuasa kamu memperlakukan orang seperti ini. Sekarang, rasakanlah olehmu tangan-tangan penguasa ini."

Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan seorang bekas penguasa seperti Ibrahim bin Adham, dari pengalamannya memperbalki diri, dari kesendiriannya menebus segala kesalahan dan kelalaian, dari keikhlasan, kezuhudan, dan ketawadhuannya yang tak ternilai.

Subhanalloh, alangkah mulianya jika ada seorang hamba di negeri ini yang rela menukar kemegahan kehidupan dunia dengan kehinaan hanya demi kemuliaan dan keridhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala di alam akhirat

Referensi: http://www.darulfatwa.org.au/ar/أئمة-الهدى/الصوفي-إبراهيم-بن-أدهم

إبراهيم بن أدهم الصوفي الذي ترك الملك لأجل الآخرة

نسبه
أَبُو إِسْحَاقَ ابْرَاهِيْمُ بنُ أَدْهَمَ بنِ مَنْصُوْرِ بنِ يَزِيْدَ بنِ جَابِرٍ العِجْلِيُّ القُدْوَةُ، الإِمَامُ، العَارِفُ، الزاهد.
ولد ببلخ وهي المدينة العظيمة التي شهدت أكبر حركة تنزع نحو التصوف والإقبال على الآخرة، وكان مَوْلِدُهُ: فِي حُدُوْدِ المائَةِ.

جملة من مناقبه
لقد كان إبراهيم بن أدهم واحدًا من هؤلاء الصالحين الذين كانوا من أبناء الملوك، إذ كان والده ملكًا من ملوك خراسان وكان سبب زهده أنه خرج مرة إلى الصيد فسمع هاتفًا يقول له: يا إبراهيم، ما لهذا خُلِقْتَ ولا بذا أُمرتَ، فحلف ألا يعصي الله تعالى، وترك ملك أبيه فأكثر من السفر في طلب العلم والازدياد من الطاعات.
ففِي رِسَالَةِ القُشَيْرِيِّ، قَالَ: هُوَ مِنْ كُوْرَةِ بَلْخٍ، مِنْ أَبْنَاءِ المُلُوْكِ، أَثَارَ ثَعْلَباً أَوْ أَرْنَباً، فَهَتَفَ بِهِ هَاتِفٌ: أَلِهَذَا خُلِقتَ؟ أَمْ بِهَذَا أُمِرتَ؟

فَنَزَلَ، وَصَادفَ رَاعِياً لأَبِيْهِ، فَأَخَذَ عَبَاءتَه، وَأَعْطَاهُ فَرَسَه، وَمَا مَعَهُ، وَدَخَلَ البَادِيَةَ، وَصَحِبَ الثَّوْرِيَّ، وَالفُضَيْلَ بنَ عِيَاضٍ، وَدَخَلَ الشَّامَ، وَكَانَ يَأْكُلُ مِنَ الحَصَادِ وَحِفْظِ البَسَاتِيْنِ، وَرَأَى فِي البَادِيَةِ رَجُلاً، عَلَّمَهُ الاسْمَ الأَعْظَمَ فَدَعَا بِهِ، فَرَأَى الخَضِرَ، وَقَالَ: إِنَّمَا عَلَّمَكَ أَخِي دَاوُدُ.

هذه الحادثة وغيرها دعته إلى الإعراض عن الدنيا والإقبال على الطاعات، ومما جاء في تفصيل هذه الحادثة أيضا ماورد في سير أعلام النبلاء على لسانه أنه قَالَ: كَانَ أَبِي مِنَ المُلُوْكِ المَيَاسِيْرِ، وَحُبِّبَ إِلَيْنَا الصَّيْدُ، فَرَكِبتُ، فَثَارَ أَرْنَبٌ أَوْ ثَعْلَبٌ، فَحرَّكتُ فَرَسِي، فَسَمِعْتُ نِدَاءً مِنْ وَرَائِي: لَيْسَ لِذَا خُلِقْتَ، وَلاَ بِذَا أُمِرْتَ.
فَوَقَفتُ أَنظُرُ يَمنَةً وَيَسْرَةً، فَلَمْ أَرَ أَحَداً، ثُمَّ حَرَّكتُ فَرَسِي، فَأَسْمَعُ نِدَاءً أَجْهَرَ مِنْ ذَلِكَ: يَا إِبْرَاهِيْمُ! لَيْسَ لِذَا خُلِقتَ، وَلاَ بِذَا أُمِرتَ.

فَوَقَفتُ أَنظُرُ فَلاَ أَرَى أَحَداً، فَأَسْمَعُ نِدَاءً مِنْ قَرَبُوْسِ سَرجِي بِذَاكَ، فَقُلْتُ: أُنْبِهْتُ، أُنْبِهْتُ، جَاءنِي نَذِيرٌ، وَاللهِ لاَ عَصَيتُ اللهَ بَعْدَ يَوْمِي مَا عَصَمنِي اللهُ.
فَرَجَعْتُ إِلَى أَهْلِي، فَخَلَّيتُ فَرَسِي، ثُمَّ جِئْتُ إِلَى رُعَاةٍ لأَبِي، فَأَخَذتُ جُبَّةً كِسَاءً، وَأَلقَيْتُ ثِيَابِي إِلَيْهِ، ثُمَّ أَقْبَلتُ إِلَى العِرَاقِ، فَعَمِلتُ بِهَا أَيَّاماً، فَلَمْ يَصْفُ لِي مِنْهَا الحَلاَلُ، فَقِيْلَ لِي: عَلَيْكَ بِالشَّامِ.

زهده وأمانته
ترك إبراهيم بن أدهم المُلك والجاه فكان يلبس في الشتاء فروًا ليس تحته قميص، وفي الصيف شقة بدرهمين، ولم يكن يلبس خفين ولا عمامة، وكان كثير الصيام في السفر والحضر، قليل النوم كثير التفكر، وكان يأكل من عمل يده في حصاد الزرع وحراسة البساتين.

وروى أبو نعيم عن أبي إسحٰق الفزاري أنه قال: كان إبراهيم بن أدهم في شهر رمضان يحصد الزرع بالنهار ويصلي بالليل، فمكث ثلاثين يومًا لا ينام بالليل ولا بالنهار.
وعن ضَمْرَةُ: سَمِعْتُ ابْنَ أَدْهَمَ، قَالَ: أَخَافُ أَنْ لاَ أُؤْجَرَ فِي تَرْكِي أَطَايِبَ الطَّعَامِ، لأَنِّيْ لاَ أَشْتَهِيهِ.
وَكَانَ إِذَا جَلَسَ عَلَى طَعَامٍ طَيِّبٍ، قَدَّمَ إِلَى أَصْحَابِهِ، وَقَنَعَ بِالخُبْزِ وَالزَّيْتُوْنِ…………………….الى أخره

Tidak ada komentar:

Posting Komentar