Madrasah Salafiyah ada di berbagai Negara Muslim, bukan hanya di Yaman dan Indonesia saja. Bahkan di Yaman sendiri, saya yakin garis Salafiyah itu tidak satu warna, tetapi beragam. Hanya saja, dibandingkan madrasah-madrasah Salafiyah lainnya, maka madrasah Salafiyah di Yaman terkenal paling keras sikapnya terhadap ahli bid’ah dan kelompok-kelompok menyimpang.
Jika berbicara dalam konteks internasional, maka yang dituju dengan istilah Salafy Yamani itu ialah Markaz Ilmiyah (Madrasah) Darul Hadits Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah, di Kota Sa’adah, desa Dammaz, Yaman; Beserta murid-murid Syaikh Muqbil bin Hadi dan majlis-majlis ilmu yang mereka bina sesuai metode dakwah beliau, di dalam negeri Yaman maupun di luar Yaman. Namun ketika berbicara dalam konteks realitas di Indonesia, dan itu yang dikehendaki dalam tulisan ini, maka istilah Salafy Yamani itu ditujukan untuk menyebut para dai Salafy alumni Madrasah Salafiyah Syaikh Muqbil bin Hadi di atas, yang melaksanakan dakwah di Indonesia, beserta pihak-pihak lain dari kalangan da’i atau penuntut ilmu, yang sepakat dengan metode dakwah Syaikh Muqbil bin Hadi.
Salafy Yamani di Indonesia dulu ditokohi oleh Ustadz Ja’far Umar Thalib, seorang ustadz dari Malang yang kemudian menjadi pimpinan Pondok Pesantren Ihya’us Sunnah, di Degolan, Yogyakarta. Dialah pelopor dakwah Salafy Yamani di Indonesia di awal tahun 90-an sampai Laskar Jihad dibubarkan. Waktu itu Pesantren Ihya’us Sunnah Yogyakarta menerbitkan majalah Salafy dengan direkturnya Ja’far Umar sendiri. Tetapi kini Ja’far Umar sudah dianggap bukan komunitas Salafy Yamani lagi, dan majalah Salafy yang coba dia terbitkan setelah era Laskar Jihad juga tidak diakui sebagai bagian dari media Salafy Yamani.
Salafy Yamani saat ini ditokohi oleh Ustadz Muhammad Umar As Sewed, yang dulu dikenal sebagai orang nomor dua setelah Ja’far Umar. Dia adalah pimpinan Pondok Pesantren Dhiya’us Sunnah di Kecapi Cirebon. As Sewed menjadi tokoh penting yang terus memandu dan memantau perkembangan dakwah Salafiyah dengan 86 jaringan ustadz di seluruh Indonesia. Mungkin, jika diperhitungkan juga peran individu-individu, lingkup jaringannya bisa lebih luas lagi. Meskipun As-Sewed tidak ditokohkan secara formal, namun dia memiliki kedudukan penting dalam majlis musyawarah di kalangan ustadz-ustadz Salafy Yamani.
Mungkin Anda dan umumnya masyarakat bertanya-tanya, mengapa Syaikh Muqbil bin Hadi bersikap sangat keras sehingga beberapa kali beliau diancam pembunuhan? Hanya Allah yang tahu hakikatnya, sedangkan kita hanya bisa menduga-duga. Sebagai perbandingan, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Nashiruddin Al Albani, juga Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahumullah, tiga orang ulama yang dikenal sebagai Imam Ahlus Sunnah di jaman modern, beliau tidak bersikap seperti itu.
Menurut saya, sebagaimana yang saya ketahui dari berita-berita yang ada, baik lisan atau tulisan, khususnya buku Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak oleh Abu Abdirrahman Al-Thalibi paling tidak ada tiga alasan yang bisa dianggap sebagai latar-belakang sikap keras Syaikh Muqbil bin Hadi, yaitu: Pertama; Tradisi sosial masyarakat Yaman sendiri yang memang keras. Di tengah masyarakat Yaman, melihat seorang laki-laki bukan militer memanggul AK 47 adalah sesuatu yang biasa. Kabilah-kabilah di Yaman sering berseteru satu sama lain, sedangkan senjata api merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kepentingan kelompok. Bukan hanya suku-suku, tetapi juga konflik politik antar partai-partai dan ideologi. Perlu dicatat, pada 23 Mei 1990 bangsa Yaman baru mengalami penyatuan setelah sebelumnya terbelah antara Yaman Utara (Muslim) dan Yaman Selatan (Komunis). Tahun 1994 terjadi perang saudara antara orang-orang Muslim dan Komunis, berakhir dengan kekalahan Komunis. Kedua; Konflik antar aliran-aliran agama di tengah masyarakat Yaman berlangsung keras. Sebelum Salafiyah memiliki basis yang kokoh di Yaman, disana sudah ada kaum tradisional, harakah Islam, Syi’ah, Shufi, dll. Masuknya Salafiyah (atau menurut bahasa sederhana orang-orang Yaman dikenal sebagai kaum Wahhabi), menambah keras konstelasi konflik. Bahkan kemudian berbagai kelompok itu seolah sepakat bersatu untuk menentang dai-dai Salafy. Ketiga; Proses pribadi yang dialami oleh Syaikh Muqbil bin Hadi sendiri. Syaikh Muqbil memiliki kebencian besar terhadap Syi’ah, sebab dalam salah satu proses hidupnya, beliau pernah mengalami konflik dengan komunitas Syi’ah di tingkat masyarakat maupun pemerintahan. Beliau pernah dipaksa belajar di madrasah Masjid Jami’ Al Hadi selama beberapa tahun dengan tujuan untuk membersihkan pengaruh ajaran Salafiyah dalam dirinya. Tetapi upaya itu justru semakin menambah besar kebencian Syaikh Muqbil bin Hadi kepada mereka. (Biografi Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, www.salafy.or.id).
Pertentangan dengan kelompok-kelompok menyimpang terjadi di berbagai Negara. Ulama-ulama Sunnah di Iran banyak yang terbunuh ketika regim Revolusi Khomeini menguasai Iran, sampai saat ini. Di Pakistan, misalnya di Kota Karachi, sudah biasa ada konflik bersenjata antara Sunni dengan kelompok Syi’ah. Dr. Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah termasuk ulama Salafiyah Pakistan yang dibunuh musuh-musuhnya karena perlawanan keras beliau terhadap paham dan gerakan Syi’ah dan Shufi. Persilangan pendapat antara ulama-ulama Salafiyah di Arab Saudi, Yordania, Syria, dan lainnya sudah bukan rahasia lagi. Contohnya, persilangan pendapat antara Syaikh Nashiruddin Al Albani dengan Syaikh Hamud bin Abdillah Al Tuwaijiri. Persilangan itu begitu tajamnya, tetapi masih dalam konteks ilmiyah dan usaha mencari dalil yang paling kuat, serta tidak merembet kearah kekerasan. Tahun-tahun terakhir terjadi konflik antara Sunni dan Syi’ah di Irak, namun hal ini terjadi setelah invasi Amerika. Dari contoh-contoh ini terlihat bahwa ada sesuatu yang berbeda jika kita bicara tentang Salafy Yamani di Indonesia, yang sebenarnya sikap keras mereka hanya cocok di Yaman atau ditempat lain bukan di Indonesia yang seharusnya memiliki sikap lemah lembut, sopan dan beradap. Wallahu A’lam Bish-Shawab Wallahul Musta’an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar