Senin, 15 September 2025

KAJIAN TENTANG KARAMAH IMAM AHMAD AR-RIFA'I MENCIUM TANGAN NABI


Begitu banyak kita temukan kisah karomah Imam Ahmad Rifa'i mencium tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berziarah ke makam beliau.

Diantaranya sebagaimana dalam video seorang habib mengkisahkan tentang hal itu meski kenyataannya sedikit berbeda dengan kisah aslinya di dalam keterangan kitab karya Imam Izuddin Abu Abbas Ahmad bin Ibrahim bin Umar bin Al-Faraj bin Ahmad Al-Farutsi Al-Wasithi Asy-Safi'i yang dikenal dengan nama Imam Ahmad Izzuddin Al-Farutsi (614 - 694 H) yaitu kitab Irsyad Al-Muslimin Li Thariqah Syaikh Al-Muttaqin,   hal.88

Beliau adalah seorang pembaca, penceramah, dan khatib sufi, meninggal di Wasith pada bulan Dzulhijjah tahun 694 H, dalam usia sekitar delapan puluh tahun. Ia belajar dan mendengarkan dari Ibnu Az-Zubaidi dan Asy-Syihab Al-Suhrawardi, dan disana ia mengenakan jubah sufi di Baghdad. Ia juga mengajar di dua tempat suci dan di Irak serta tinggal di Mekkah, di mana ia belajar dari Qadi Al-Haram dan gurunya Muhammad Ath-Thabari. Kemudian ia menjabat sebagai guru dan khatib di Damaskus sebelum kembali ke Wasith, ia dikenal sebagai seorang fakih sufi. As-Subki dan lainnya telah menyebutkan namanya.

*كرامة تقبيل يد النبي صلى الله عليه وسلم للامام الرفاعي رضي الله عنه*

وكان جدّي الإمام الفقيه أبو الفرج عمر الفاروقي من حجاج ذلك العام، أخبرني الحافظ محي الدين عبد الإسحاق إبراهيم عن أبيه الشيخ عمر أنه قال له: كنت مع سيّدنا ومقرئنا، وشيخنا السيّد أحد الكبراء الزُهّاد أبي الحسن الحسيني رحمه الله عام حجّه الأول، وذلك سنة خمس وتسعين وخمسمائة، وقد دخل المدينة المنوّرة يوم دخوله إليها أوائل الزُوّار من الشام والعراق واليمن والمغرب والحجاز وبلاد العجم، وقد زادوا على سبعين ألفاً، فأشرف على المدينة المنوّرة، وترجل عن مطيّته ومشى حافياً إلى أن وصل الحرم الشريف المحمدي، ولا زال حتى وقف تجاه الحجرة المطهّرة النبوية، فقال: **السلام عليك يا جدّي.**  

فقال له – عليه أفضل الصلوات وأزكى التسليمات –: **وعليك السلام يا ولدي.**  

سمع كلامه الشريف كل مَن في الحرم النبوي، فتهادوا هذه المنحة العظيمة، والنعمة الكبرى، فرحاً وأنساً وبكى وجداً حتى ارتعد، ثم قام، وقال غائباً عن نفسه، حاضراً مع أنسه:  

في حالة البُعد روحي كنت أرسلها ** تُقبِّل الأرض عنّي فهي نائبةُ  

وهذه الدولة الأشراف قد حضرت ** فامدد يمينك كي تحظى بها الشَّرَفُ **  

ثم دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم من القبر الأكرم بكماله وطفوليته ونظره، وقد قام في الحرم الشريف، وكان أوّل من خرج بيده الطاهرة المصافحة بها، وكان أكبر الجماعة حين حضر الشيخ حيات بن سعيد الحَرّاني.  

*Karamah Imam Rifa'i Mencium Tangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam*

Dan kakekku, imam ahli fikih Abu Al-Farj Umar Al-Farutsi, termasuk jamaah haji pada tahun itu. Telah mengabarkan kepadaku Al-Hafizh Muhyiddin ‘Abdul Isḥaq Ibrahim, dari ayahnya, Syekh ‘Umar, bahwa ia berkata kepadanya:  

Aku bersama tuan kita, guru qira’ah kita, dan syekh kita, Sayyid yang agung lagi ahli zuhud, Abu Al-Hasan Al-Husaini rahimahullah pada tahun haji pertamanya, yaitu tahun 595 H.  

Beliau memasuki kota Madinah Al-Munawwarah pada hari ketika rombongan peziarah dari Syam, Irak, Yaman, Maghrib, Hijaz, dan negeri-negeri Ajam datang berbondong-bondong, hingga jumlahnya lebih dari tujuh puluh ribu orang. Beliau memandang kota Madinah, lalu turun dari tunggangannya, berjalan tanpa alas kaki sampai memasuki Masjid Nabawi yang mulia, terus berjalan hingga berdiri di hadapan makam suci Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.   

Beliau berkata: “Salam sejahtera untukmu, wahai kakekku.”

Lalu terdengar suara beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam  menjawab: “Dan salam sejahtera atasmu, wahai anakku.”  

Semua orang di Masjid Nabawi mendengar kalam yang mulia itu, dan mereka saling menyampaikan kabar karunia agung yang penuh keberkahan itu, hingga mereka menangis karena rindu, dan larut dalam suasana haru. Beliau pun berdiri, dalam keadaan fana dari dirinya, dan berkata dengan ungkapan cinta:  

“Saat jauh, jiwaku kucurahkan pada utusan risalah, Mencium bumi, menjadi wakilku sebagai pengganti. Kini kerajaan mulia telah hadir di hadapanku, Maka ulurkan tangan kananmu agar mendapat kehormatan.” 

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam muncul dari makam sucinya dengan sempurna, dengan kelembutan beliau, dengan pandangan beliau. Beliau berdiri di dalam Masjid Nabawi, dan yang pertama kali disalami dengan tangan beliau yang suci adalah orang yang hadir pada momen itu: Syekh Hayat bin Sa’id Al-Ḥarrani, yang merupakan orang tertua di antara jamaah yang ada. (Irsyad Al-Muslimin Li Thariqah Syaikh Al-Muttaqin, Imam Ahmad Izzuddin Al-Faruqi [614] hal.88.

Besar harapan, setelah membaca keterangan diatas, kita semakin meyakini dan tidak mengingkari karomah para wali Allah, hanya saja jika karomah para wali dijadikan referensi dalam setiap ceramah dan tidak lebih mengedepankan kisah yang tercatat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah hanya membuat mundurnya cara berpikir ummat karena hanya dapat suguhan kisah-kisah keajaiban di luar nalar manusia. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 10 September 2025

KAJIAN TENTANG LARANGAN MEMBANGGAKAN NASAB DAN LELUHUR


Dalam Al-Qur’an dengan tegas memberikan peringatan kepada semua umat Islam bahwa derajat dan kemuliaan seseorang tidak diukur dengan keturunan, nasab, ras maupun bangsa, namun ketakwaan. Hal ini sebagaimana tertulis dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang menjadi penegas larangan membanggakan keturunan. Ahmad bin Musthafa Al-Farran dalam Tafsirul Imami Asy-Syafi’i, mengatakan,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ: أي اِنَّ أَرْفَعَكُمْ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ، وَفِي هَذِهِ الْأَيَةِ نَهْيٌ عَنِ التَّفَاخُرِ بِالنَّسَبِ

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (QS Al-Hujurat, [49]: 13). Maksudnya, bahwa yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah adalah yang paling bertakwa dari kalian. Dan dalam ayat ini juga merupakan larangan untuk berbangga-bangga dengan keturunan.” (Ahmad bin Musthafa Al-Farran, Tafsirul Imami Asy-Syafi’i, [Dar At-Tadmuriyah: tanpa tahun], juz III, hal.1281).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan teladan abadi. Semua tingkah laku, perbuatan dan ucapannya menjadi contoh yang harus diteladani. Ia merupakan insan sempurna yang tidak memiliki kekurangan sama sekali. Karenanya, tidak heran jika Allah SWT menjadikannya sebagai nabi terbaik dari yang lainnya, makhluk termulia melebihi para malaikat-Nya.

Salah satu contoh yang harus dipetik oleh setiap orang saat ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagaimana ia mengajarkan putra-putrinya untuk tidak bangga dengan nasab keturunannya. Ia tidak pernah mengajarkan putra-putrinya untuk bangga dan sombong karena sudah terlahir menjadi anaknya. Bahkan ia murka andaikan ada dari salah satu keturunannya yang membanggakan diri karena sudah menjadi keturunannya.

Hal ini bisa kita lihat bersama, bagaimana Rasulullah mendidik keluarganya untuk tidak bangga dengan tingginya nasab. Bahkan Rasulullah juga memperingati Sayyidah Fatimah untuk tidak bangga sekalipun terlahir sebagai putrinya. Hal itu tidak lain selain untuk menunjukkan bahwa garis keturunan sama sekali tidak memiliki nilai apa-apa di sisi Allah swt, yang bisa menyelamatkan seseorang hanyalah amal ibadah dan ketakwaan.

Pelajaran di atas bisa kita lihat dalam salah satu hadits berasal dari Sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا

“Wahai golongan orang Quraisy! Peliharalah diri kalian karena aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Bani Abdi Manaf! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muthalib! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Fatimah putri Muhammad! Mintalah kepadaku apa saja yang kamu mau (dari hartaku), sungguh aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah.” (HR Bukhari dalam Sunan Al-Kubra).

Syekh Badruddin Al-Aini dalam Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari menjelaskan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak memberikan nasihat kepada keluarganya, ia memanggil semuanya lengkap dengan nasab mereka satu persatu sebagaimana hadits di atas. Hal itu untuk menunjukkan bahwa nasab atau keturunan Rasulullah sekalipun jika tidak berlandaskan iman dan takwa, maka tidak akan memiliki nilai dan jaminan apa-apa di hadapan Allah SWT kelak di hari kiamat. Karena itu, Rasulullah mengajarkan keluarga-keluarganya untuk tidak mengandalkan keturunan, namun lebih pada amal ibadah.

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah juga dengan tegas melarang orang-orang untuk tidak membanggakan nasab keturunan, bahkan orang yang biasa melakukan hal itu akan menjadi manusia yang sangat hina. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamb ersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَام يَفْتَخِرُونَ بِآبَائِهِمْ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْم جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونَنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّه مِنْ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءُ بِأَنْفِهِ

“Hendaklah mereka segera berhenti dari membangga-banggakan nenek-moyang mereka yang telah wafat. Mereka itu hanyalah arang neraka jahanam, atau mereka lebih hina di sisi Allah dari hewan yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR At-Tirmidzi, dan bernilai hadits Hasan dalam Jami’ul Kabir).

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ وَبِيَدِي لِوَاءُ الْحَمْدِ وَلَا فَخْرَ وَمَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلَّا تَحْتَ لِوَائِي وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الْأَرْضُ وَلَا فَخْرَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْحَدِيثِ قِصَّةٌ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Abu Nadhrah dari Abu Sa'id dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Saya adalah penghulu bani Adam pada hari kiamat, bukannya untuk membanggakan diri. Di tanganku terdapat bendera pujian, bukannya untuk membanggakan diri, dan tidak ada seorang Nabi pun pada hari itu, baik Adam maupun yang lain kecuali berada di bawah benderaku. Akulah orang yang pertama kali di bangkitkan (dari kubur) bukannya untuk membanggakan diri." Dan di dalam redaksi hadits terdapat kisah, Abu Isa berkata, "Hadits ini derajatnya hasan shahih. (HR. At-Tirmidzi no.3548)

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ رَجُلًا اعْتَزَى بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعَضَّهُ وَلَمْ يُكَنِّهِ فَنَظَرَ الْقَوْمُ إِلَيْهِ فَقَالَ لِلْقَوْمِ إِنِّي قَدْ أَرَى الَّذِي فِي أَنْفُسِكُمْ إِنِّي لَمْ أَسْتَطِعْ إِلَّا أَنْ أَقُولَ هَذَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا إِذَا سَمِعْتُمْ مَنْ يَعْتَزِي بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوهُ وَلَا تَكْنُوا

Dari Ubay bin Ka'b, bahwa ada seorang laki-laki membanggakan nasabnya seperti perbuatan orang-orang jahiliah, namun ia menahan dan tidak menyatakannya secara fulgar. Orang-orang pun memandang ke arahnya, maka laki-laki itu pun berkata, "Sesungguhnya aku bisa memahami apa yang ada pada kalian, dan tiada yang bisa saya lakukan kecuali ini, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami, "Jika kalian mendengar seseorang membanggakan nasabnya seperti orang jahiliah, maka tahanlah dan jangan kalian tampakkan dengan fulgar." (HR. Ahmad no.20284).

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ

dari Anas sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak terjadi hari kiamat sehingga orang membanggakan diri di masjid." (HR. Ahmad no.12079)

Imam Ahmad meriwayatkan di Musnadnya dari Ubay bin Kaab berkata, 

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ انْتَسَبَ رَجُلَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا أَنَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ فَمَنْ أَنْتَ لَا أُمَّ لَكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْتَسَبَ رَجُلَانِ عَلَى عَهْدِ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ أَحَدُهُمَا أَنَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ حَتَّى عَدَّ تِسْعَةً فَمَنْ أَنْتَ لَا أُمَّ لَكَ قَالَ أَنَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ ابْنُ الْإِسْلَامِ قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام أَنَّ هَذَيْنِ الْمُنْتَسِبَيْنِ أَمَّا أَنْتَ أَيُّهَا الْمُنْتَمِي أَوْ الْمُنْتَسِبُ إِلَى تِسْعَةٍ فِي النَّارِ فَأَنْتَ عَاشِرُهُمْ وَأَمَّا أَنْتَ يَا هَذَا الْمُنْتَسِبُ إِلَى اثْنَيْنِ فِي الْجَنَّةِ فَأَنْتَ ثَالِثُهُمَا فِي الْجَنَّة

“Ada dua orang yang menyebutkan nasabnya pada zaman Rasulullah. Salah seorang dari keduanya berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan. Lalu kamu siapa, tidak ada ibu bagimu?’ Lalu Rasulullah bersabda, “Ada dua orang yang menyebut nasab mereka pada zaman Musa. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan (sampai dia menyebut sembilan orang leluhurnya) lalu kamu siapa tidak ada ibu bagimu?’ Yang lain menjawab, ‘Aku adalah fulan bin fulan bin Islam’.” Nabi bersabda, “Lalu Allah mewahyukan kepada Musa tentang dua orang yang membanggakan nasab mereka berdua, ‘Kamu wahai orang yang menisbatkan dirimu kepada sembilan leluhur, mereka semuanya di Neraka dan kamu orang yang kesepuluh. Adapun kamu wahai orang yang menisbatkan dirimu kepada dua orang, mereka di Surga, maka kamu adalah orang ketiga yang di Surga.” (HR. Ahmad no.20241)

Dengan demikian, maka tentu membanggakan keturunan sama sekali bukanlah contoh meneladani akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat anti dengan kepopuleran nasab. Ia merupakan tipikal manusia yang memandang semua manusia sama saja, tidak ada yang lebih mulia dan lebih sempurna hanya dengan bermodalkan keturunan.

Bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemuliaan sejati hanyalah dengan ketakwaan dan ketaatan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam satu haditsnya, yaitu,

أَيُّهَا النَّاسُ! أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ وَلاَ أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

“Wahai manusia! Ketahuilah bahwa Tuhan kalian adalah satu, dan bahwa nenek moyang kalian adalah satu. Ingatlah bahwa tidak ada keunggulan bagi seorang Arab atas non-Arab, atau sebaliknya, dan tidak ada keunggulan bagi orang yang berkulit putih atas kulit hitam, atau sebaliknya, kecuali dengan ketakwaan.” (HR Ahmad dalam Jami’ul Hadits).

Beberapa penjelasan di atas memberikan pelajaran bagi kita bahwa nasab keturunan memang benar-benar tidak layak untuk dibanggakan. Bahkan orang seperti Rasulullah sekali pun memberikan peringatan kepada keluarganya, terkhusus kepada putrinya Sayyidah Fatimah, bahwa menjadi putri atau putra siapa saja tidak menjamin keselamatan baginya, termasuk keturunan para nabi.

Oleh karena itu, salah satu nasihat penting yang disampaikan oleh Sayyid Abdullah Al-Haddad dalam kitab an-Nashaihud Diniyah adalah bahwa membanggakan keturunan termasuk dari perbuatan-perbuatan yang tercela, dan itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang agama Islam. Dalam kitabnya ia mengatakan,

وَمِنْهَا تَزْكِيَةُ النَّفْسِ وَالثَّنَاءُ عَلَيْهَا وَالْفَخْرُ بْالْأَبَاءِ مِنْ أَهْلِ الدِّيْنِ وَالْفَضْلِ وَالتَّبَجُّجِ بِالنَّسَبِ وَذَلِكَ مَذْمُوْمٌ وَمُسْتَقْبَحٌ جِدًّا وَقَدْ يبْتَلىَ بِهِ بَعْضُ أَوْلاَدِ الْأَخْيَارِ مِمَّنْ لاَبَصِيْرَةَ لَهُ وَلَا مَعْرِفَةَ بِحَقَائِقِ الدِّينِ

“Termasuk dari sifat sombong adalah menganggap dirinya suci, menyombongkan diri karena menjadi keturunan orang-orang saleh dan mulia, membanggakan diri dengan keturunan. Hal-hal tersebut termasuk akhlak yang tercela, dan sangat jelek sekali. Sungguh hal itu terkadang menimpa sebagian keturunan orang-orang yang terpandang, yang mana mereka tidak memiliki pandangan batin dan tidak mengetahui hakikat ajaran Islam.” (Sayyid Abdullah Al-Haddad, An-Nashaihud Diniyah wal Washayal Imaniyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tanpa tahun], hal.189). Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 09 September 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM MENOLAK ATAU MEMBUANG BARANG PEMBERIAN ORANG (HADIAH)

Hukum membuang barang pemberian pada dasarnya tidak ada larangan eksplisit dalam agama Islam, namun membuangnya adalah bentuk perbuatan yang sangat tidak terpuji karena menyalahi etika dan nilai kesyukuran. Perbuatan tersebut hanya dihalalkan jika barang pemberian itu sudah diketahui atau diduga kuat merupakan barang haram, atau jika tujuan pemberian itu tidak jelas dan hanya basa-basi. 

Islam mengatur soal pemberian orang lain seperti termaktub dalam kitab berjudul Risalatul Mu‘awanah wal Mudhaharah wal Muwazarah dari Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad.

وعَلَيْك إذا أسدى إليك مسلم معروفًا بقبوله منه وشكره ومكافأته عليه، فإن لم تقدر عليها أو كان ممن توحشه المكافأة فعيّضك بالدعاء له. وقد قال عليه الصلاة والسلام: «لو أُهدي إليّ ذراع أو كُراع لقبلت، ولو دُعيت إلى ذراع أو كُراع لأجبت». وقال: «من أُصطنع إليكم معروفًا فكافئوه، فإن لم تقدروا على ذلك فادعوا له حتى تعلموا أنكم قد كافأتموه»

"Dan atasmu (yakni kewajibanmu) ketika seorang muslim memberikan suatu kebaikan kepadamu, maka terimalah darinya, ucapkanlah terima kasih, dan balaslah kebaikannya. Jika engkau tidak mampu membalasnya atau ia termasuk orang yang menjadi sungkan bila dibalas, maka balaslah dengan mendoakannya.  

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seandainya diberikan kepadaku hadiahnya berupa lengan (kambing) atau kaki (kambing), niscaya aku akan menerimanya. Dan seandainya aku diundang (makan) dengan hidangan lengan atau kaki (kambing), niscaya aku akan memenuhi undangannya.’

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa diberi kebaikan oleh kalian, maka balaslah ia. Jika kalian tidak mampu, maka doakanlah dia hingga kalian merasa bahwa kalian telah membalasnya.’ (Risalah Al-Mu'awanah hal.139)

Dalam beberapa riwayat hadits disebutkan,

عَنْ عُمَرَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ 

Dari Umar berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah memberiku suatu pemberian lalu aku berkata kepada Beliau: "Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku". Maka Beliau bersabda: "Ambillah! Jika datang kepadamu dari harta (pemberian) sedangkan kamu bukan orang yang suka menghambur-hamburkannya dan tidak pula meminta-mintanya, maka ambillah. Selain dari itu maka janganlah kamu perturutkan nafsumu". (HR Bukhari)

وَعَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ, عَنْ أَبِيهِ; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُعْطِي عُمَرَ اَلْعَطَاءَ, فَيَقُولُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ مِنِّي, فَيَقُولُ: “خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ, أَوْ تَصَدَّقْ بِهِ, وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا اَلْمَالِ, وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ, وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ” )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Salim Ibnu Abdullah Ibnu Umar, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ pernah memberikan sesuatu kepada Umar Ibnu Khattab. Lalu ia berkata: “Berikanlah pada orang yang lebih membutuhkan daripada diriku.” Beliau bersabda: “Ambillah, lalu simpanlah atau bersedekahlah dengannya. Dan apa yang datang kepadamu dari harta semacam ini, padahal engkau tidak membutuhkannya dan tidak meminta, maka ambillah. Jika tidak demikian, maka jangan turuti nafsumu.” (HR. Muslim)

Dari hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita menolak pemberian orang lain. Dianjurkan menerimanya meski kita tak membutuhkannya. Kita boleh menyimpan pemberian itu, atau menyedekahkan dengan memberikannya pada orang lain. Dengan sikap seperti ini maka kita terhindar dari menyakiti hati orang yang memberi tersebut.

ومما كان النبي صلى الله عليه وسلم يقبله ولا يرده: الطيب، فقد جاء في حديث ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ -رضي الله عنه- قَالَ: كَانَ أَنَسٌ لاَ يَرُدُّ الطِّيبَ، وَقَالَ أَنَسٌ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرُدُّ الطِّيبَ. رواه البخاري، والترمذي، وبوّب عليه الترمذي بابًا، فقال: بَابُ مَا جَاءَ فِي كَرَاهِيَةِ رَدِّ الطِّيبِ.

وأمر النبي صلى الله عليه وسلم بقبول ما يأتي للمسلم من رزق عمومًا، ونهاه عن رده، ما دام قد ساقه الله إليه من غير سؤال، ففي مسند أحمد، وصحيح ابن حبان، ومستدرك الحاكم عَنْ خَالِدِ بْنِ عَدِيٍّ الْجُهَنِيِّ -رضي الله عنه- قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ بَلَغَهُ مَعْرُوفٌ عَنْ أَخِيهِ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ، وَلَا إِشْرَافِ نَفْسٍ، فَلْيَقْبَلْهُ، وَلَا يَرُدَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ.

Di antara hal yang diterima Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ditolaknya adalah parfum. Dalam hadits Thumamah bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: "Anas tidak menolak parfum, dan Anas berkata: 'Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menolak parfum.'" (HR. Bukhari dan At-Tirmidzi)

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Tirmidzi, dan Tirmidzi menambahkan bab tentang "Apa yang datang dalam kebencian menolak parfum."

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk menerima apa yang datang kepada seorang Muslim dari rizki secara umum, dan melarang untuk menolaknya, selama itu datang dari Allah tanpa diminta. Dalam Musnad Ahmad, Shahih Ibn Hibban, dan Mustadrak Al-Hakim, dari Khalid bin Adi Al-Juhani radhiyallahu 'anhu ia berkata: "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: 'Siapa yang mendapatkan kebaikan dari saudaranya tanpa meminta dan tanpa mengintip, hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena itu adalah rezeki yang Allah berikan kepadanya." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

Para ulama membolehkan menolak pemberian orang lain ketika pemberian itu berupa barang haram, baik haram secara zat misal daging babi, saren (makanan terbuat dari darah hewan), minuman keras, dan sebagainya. Begitu juga pemberian barang haram karena sebab, yakni hasil curian dan kita mengetahuinya.

Pemberian yang boleh ditolak selanjutnya adalah pemberian zakat tapi kita tak termasuk golongan yang berhak menerima zakat. Ulama mempersilakan kita untuk menolak karena itu memang bukanlah hak kita.

Selain itu, kita juga boleh menolak pemberian orang zalim, yang tujuan pemberiannya agar kita tunduk pada perintahnya atau menjadi bagian dari kezalimannya. Pemberian seperti ini harus ditolak sekaligus untuk menjaga kehormatan kita.

Pemberian semacam uang tutup mulut atas keburukan yang dilakukan seseorang dengan tujuan agar ia bebas melakukannya tanpa ada yang menghalangi, juga harus kita tolak. Termasuk di dalamnya adalah suap dalam politik, wajib bagi kita untuk menolaknya. Islam tidak membenarkan menerima uang suap seperti itu.

Sudah jelas bahwa dalam keseharian kita, saat ada tetangga memberi sesuatu maka kita tak boleh menolaknya. Penolakan boleh dilakukan untuk pemberian yang memang tak sepantasnya kita terima sebagaimana disebutkan di atas.

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 08 September 2025

KAJIAN TENTANG AJARAN AKAN KEMULIAAN DAN KEBERKAHAN MAKAM SYARIF BA'ALAWI


Ziarah kubur adalah salah satu amalan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain untuk mengingat kematian, ziarah juga bertujuan mendoakan ahli kubur dan mengambil pelajaran dari kehidupan mereka. Dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja), ziarah kubur memiliki tata cara yang benar sesuai ajaran para ulama. Namun, harus diwaspadai praktik menyimpang yang sering diajarkan oleh Klan Ba’alwi, seperti meminta hajat kepada penghuni kubur dan menganggap wali yang sudah wafat memiliki kuasa juga  doa yang dipanjatkan.

Sayangnya, dewasa ini sering dipertontonkan video melalui medsos mengenahi adegan penyimpangkan makna ziarah kubur dengan cara-cara berikut:

1. Meminta hajat kepada ahli kubur seolah-olah mereka memiliki kuasa penuh untuk mengabulkan doa.

2. Menganggap wali yang sudah wafat bisa mengabulkan doa tanpa izin Allah.

3. Meyakini bahwa doa akan terkabul jika ditujukan langsung kepada wali, bukan kepada Allah.

Padahal, dalam Islam, doa hanya boleh ditujukan kepada Allah SWT, bukan kepada manusia, jin, atau makhluk lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah meminta sesuatu kepada penghuni kubur, melainkan hanya berdoa kepada Allah.

Eronisnya, maaf sebagian dari kalangan habaib maupun non habaib yang justru memberi contoh dan mengajarkan penyimpangan saat berziarah bahkan menyeru kepada pemilik makam saat berdoa dan bukan kepada Allah semata. Hal seperti itu ternyata juga diterangkan oleh Syeikh Ali bin Abu Bakar As-Sakran dalam kitabnya,

فصل

في شيء من فضل قبره الشريف وضريحه المنيف . أقوال المشايخ في ذلك كثيرة ، ولكنا نقتصر على ذكر خمسة أقوال الحمسة من المشايخ الكبار على طريق الاختصار ، كان الشيخ الكبير العارف بالله وبأيام الله

وأحكامه عبد الله بن الشيخ وحيد عصره ، وفريد دهره ، علوي بن القطب النقيه المشهور ، اذا وقف على قبر جده قطبه الاولياء الاصفياء الفقيه المذكور يقول برفع صوته : الصيد كل الصيد في جوف القراء وأشد لسان حاله ..

يادار ان غزالا فيك تيمني # 

الله درك ما تحويه يادار

وقال الشيخ فصل بن عبد الله كان الفقيه العالم العامل مجموع أنواع المحاسن و الفضائل الشيخ محمد ابن علوي بن الشيخ احمد بن القطب الفقيه المشكور يقول أحب قعدة الي في الدنيا قعدة عند قبر جدي الفقيه محمد بن علي علوي رضي الله عنهم ونفع بهم وأنشد لسان حاله خليلي هـذا ربع عزة فاعقلا قلوصيكما تم أحالا حيث حلت

ولا تيأسا ان يقبل الله منكما اذا أنها صليتها حيث صلت

حكي عن بعضهم انه قال من زار قبر جده قبل قبر الشيخ الفقيه محمد بن على بطلت زيارته وقال بعضهم رأيت حال الحرير تنشر عند قبر الفقيه محمد بن علي وكثيراً ما يروى الاخيار نزول الرحمة عند قبره على زواره واستجابة الدعاء عند ضريحه الشريف مشهورة ، فكم من مريض ببركته قد يبرى ، وسقيم قد يشفى ، ولا يزوره زائر مصدق الا ويرجع ينجح مطلوبه ، ويعود بفوز مرغوبه ، فسقما الله ذلك الضريح الشريف وقدس ذلك الروح اللطيف وبارك في تلك الاسرار وعظم في تلك الانوار ، ورفع درجاته وأعلى مقاماته مع النبي المصطفى المختار ، وأصحابه الابرار ، وأشدوا شعراً أمر على الديار ديار ليلى اقبل ذا الجدار وذا الجدار وما حب الديار شغفن قلبي ولكن حب من سكن الديار

*Bab (Pasal)*

"Tentang keutamaan makamnya yang mulia dan kuburannya yang agung. Pendapat para ulama mengenai hal ini sangat banyak, tetapi kami akan membatasi pada penyebutan lima pendapat dari para ulama besar secara singkat. Salah satu ulama besar yang mengenal Allah dan hari-hari-Nya serta hukum-hukum-Nya adalah Abdullah bin Syeikh Wahid, yang merupakan satu-satunya di zamannya dan unik di masanya, Alawi bin Qutb yang suci dan terkenal. Ketika ia berdiri di makam kakeknya, Qutb para wali yang suci, ia berkata dengan suara keras: "Buruan yang sesungguhnya ada di dalam diri para pembaca." 

Dan lebih lanjut ia berkata:

"Wahai rumah, di dalam dirimu seorang rusa terpesona, Semoga Allah memberkatimu, wahai rumah yang kau miliki."

Dan Syeikh Fashl bin Abdullah berkata, bahwa ulama yang berilmu dan beramal, yang merupakan kumpulan segala macam keutamaan dan kebaikan, Syekh Muhammad bin Alawi bin Syeikh Ahmad bin Qutb, yang terpuji, berkata: "Tempat yang paling aku cintai di dunia adalah duduk di samping makam kakekku, ulama Muhammad bin Ali Alawi, semoga Allah meridhoi mereka dan memberi manfaat melalui mereka." Ia melantunkan:

"Temanku, ini adalah tempat kebanggaan, Maka ingatlah unta kalian, saat ia pergi, Dan janganlah putus asa jika Allah menerima dari kalian, Karena ia telah aku lakukan di tempat yang telah dilakukan."

Diceritakan bahwa ada di antara mereka yang berkata, "Barang siapa yang mengunjungi makam kakeknya sebelum makam Syekh ulama Muhammad bin Ali, maka kunjungannya akan batal." Dan ada yang berkata, "Aku melihat keadaan sutra yang terbentang di makam ulama Muhammad bin Ali." Seringkali terdengar bahwa rahmat turun di makamnya kepada para pengunjungnya, dan doa-doa yang diterima di kuburannya yang mulia sangat terkenal. Betapa banyak orang sakit yang disembuhkan karena berkahnya, dan yang lemah dipulihkan. Tidak ada pengunjung yang percaya kecuali mereka kembali dengan berhasil mendapatkan keinginannya, dan kembali dengan kesuksesan yang diharapkan. Semoga Allah memuliakan makam yang mulia tersebut, dan menguduskan ruh yang lembut itu, serta memberkati rahasia-rahasia tersebut, dan mengagungkan cahaya-cahaya itu, serta mengangkat derajatnya dan mengangkat kedudukannya bersama Nabi yang terpilih dan sahabat-sahabat yang mulia. Dan nyanyikanlah puisi:

"Biarkan aku melewati rumah-rumah, rumah-rumah Layla, Mendekati dinding ini dan dinding itu, Bukan cinta pada rumah yang menyita hatiku, Tetapi cinta kepada yang menghuni rumah-rumah itu." (Al-Burqah Al-Musyiqah, Syeikh Ali bin Abu Bakar As-Sakran hal.211-212). 

Ziarah kubur adalah amalan sunnah yang dianjurkan dalam Islam, terutama dalam ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Berziarah di makam wali Allah memang merupakan tempat yang mustajab untuk berdoa, tetapi doa tetap harus ditujukan kepada Allah SWT, bukan kepada ahli kubur.

Waspadai ajaran yang sering menyesatkan umat dengan mengajarkan praktik yang berlebihan, seperti meminta langsung kepada wali yang sudah wafat dan menganggap mereka memiliki kuasa untuk mengabulkan doa. Kita harus tetap berpegang pada ajaran yang lurus sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama shalih, agar terhindar dari praktik yang menyimpang. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini  menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN KITAB AL-BURQAH AL-MUSYIQAH TENTANG KISAH HIJRAHNYA AHMAD BIN ISA (Karya Syeikh Ali bin Abu Bakar As-Sakran)



Mengawali kajian saya ini permohonan maaf kepada sahabat fillah semuanya atas kesalahan yang mungkin terjadi dalam pemaparan terkait kisah hijrahnya Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir dari Basrah Irak hingga sampai ke Tarim Hadhramaut Yaman sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Ali bin Abu Bakar As-Sakran dalam kitab karyanya Al-Burqah Al-Musyiqah mulai halaman 30-32 sebagai berikut,

ومنهم السيد الامام والحبر الهمام ذو العقل الكبير والقلب المستنير والعلم العزيز شهاب الدين أبو الشيوخ ومعدن الكرم والفتوح الشيخ احمد بن عيسى بن محمد بن على بن جعفر الصادق ذكره ارباب التواريخ واثنوا عليه كان ممن فاق في الفضائل والمحاسن وعلا اقرانه وسما في انواع المجد شانه وارتفع فى محل الكرم والسخاء مقامه كان له بالعراق موطن ومدينة البصرة له محل ومنزل كان صاحب بصيرة بسيطة ومعرفة واسعة عزيرة فلما كمل في الطاعة والمعرفة محله وانصقلت بنور خصوصية الولاية عين بصيرة جنانه وكان له في العراق الجاء الواسع والعيش الرمحميد النافع ولكنه كان له بعقله المستنير وعلمه البسيط الغزير نظر عظيم في العواقب وفكر جسيم في سموم الشهوات المواطب وفيما يحصل به السعادة العظمى والدرجات العلى والفوز في العقبى واللذة العظيمة الكبرى التي هي النظر الى وجه الله المليك الاعلى فحين اشرق في عين سويداء بصيرته وجوهر مرآة مجلى حقيقته عواقب الامور ومحصول زبد الخيرات واالسرور وحقايق الدنيا والآخرة وما في بر از خما من منافع وشرور وغم وترح وفرح وسرور ، وما اطلاع عليه بنور فراسته وشهود عين بصيرته ما يحصل في العراق من الفتن الدينية والدنيوية فامتثل امر الله تعالى حيث يقول في كتابه العزيز وفروا الى الله الآية. 

"Di antara mereka adalah Sayyid Imam dan ahli ilmu yang agung, yang memiliki akal yang besar, hati yang bercahaya, dan ilmu yang berharga, Syihabuddin Abu Asy-Syuyukh, sumber kemurahan dan keberkahan, Syeikh Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja'far Ash-Shadiq. Nama beliau disebutkan oleh para ahli sejarah dan mereka memujinya. Ia termasuk orang yang unggul dalam keutamaan dan kebaikan, melebihi rekan-rekannya, serta mengangkat derajatnya dalam berbagai jenis kemuliaan. Ia memiliki kedudukan yang tinggi dalam kemurahan hati dan dermawan. Ia memiliki tempat tinggal di Irak, yaitu kota Basrah, di mana ia memiliki rumah dan tempat tinggal. Ia adalah orang yang memiliki wawasan sederhana dan pengetahuan yang luas. 

Ketika ia menyempurnakan ketaatan dan pengetahuannya, cahaya khusus dari wilayah menyinari mata batinnya, dan ia memiliki pandangan yang luas tentang masa depan serta pemikiran yang mendalam mengenai racun syahwat yang berbahaya. Ia memikirkan apa yang akan mendatangkan kebahagiaan abadi, derajat yang tinggi, kemenangan di akhirat, dan kenikmatan yang agung, yaitu melihat wajah Allah Yang Maha Tinggi. Ketika cahaya kebijaksanaan menyinari mata batinnya dan ia melihat dengan jelas esensi dari berbagai perkara, hasil dari kebaikan dan kebahagiaan, serta hakikat dunia dan akhirat, beserta apa yang ada di dalamnya berupa manfaat, keburukan, kesedihan, kesenangan, dan kebahagiaan, ia menyaksikan dengan cahaya ketajaman pandangannya apa yang terjadi di Irak berupa berbagai fitnah, baik yang bersifat agama maupun duniawi.

Ia pun melaksanakan perintah Allah SWT yang berfirman dalam kitab-Nya yang mulia: 'Lari lah kepada Allah' (QS. Al-Zariyat: 50). (Al-Burqah Al-Musyiqah hal.30)

وحيث أمر الله ورسوله بالهجرة فقر بنفسه ودينه وأهله وأولاده ومن يقبل مشورته من عشيرته وأصحابه وقرابته عن الاوطان مهاجراً في رضا الرحمن واحتمل المشقة وتعب النقلة في ذات الله الكريم المنان ورغبته فها عند الله من جزيل الثواب وحسن المآب وزهدا في الحظوظ العاجلة والشهوات الزائلة وبذل النفس والمال والجاه وفراراً الى حضرة الرحمن وطلباً للسعادات الاخروية والمعالي العلوية والدرجات الرضوانية فرحل من البصرة بمن معه الى المدينة الشريفة ثم الى مكة المشرفة ثم تنقل في قرى اليمن ثم الى حضرموت متنقلا من بلد الى بلد الى ان استوطن بحضرموت ثم استقر بتريم المحروس واولاده وذريته واستوطنوا بها وكان في كل اموره ومجامع احواله وشانه يطلب من الله تعالى الخيرة ويكرر الاستخارة وكل ذلك بامر من الحق له واذن ربانى واشارة رحمانية اعني إيداع هذه السلالة النبوية والعصبة الشريفة العلوية في البلد المبارك والمدينة الشريفة تريم المصانة المحروسة ببركة المصطفى وقد بلغنى عن بعض الاخيار انه رأى المصطفى المختار بأعلى مكان من تريم وهو يقول يا اهل هذه البلدة ان لنا عندكم وديعة من أغضبها أغضبنا ومن أرضاها أرضانا هذا معنى كلامه أو قريب من لفظه. ورأى الشيخ المحقق العارف بالله المدقق أبو العباس المريني المغربي فاطمة البتول بنت محمد المصطفى الرسول كشفا وهي تقول له في أشراف يبغضون الشيخين ومذهبهم باطل انفك منك وان كان أجدع والنسب لا ينقطع بالمعصية .

فكيف بهؤلاء السادة بني علوي الذين أدناهم والمقصر منهم في أموره هو الشريف السني وهو في غير جهة حضرموت أغرب من عنقا مغرب.

"Dan karena perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah, ia pun meninggalkan tanah airnya demi Allah, agama, keluarga, anak-anaknya, dan siapa pun yang menerima nasihatnya dari kerabat dan sahabatnya. Ia hijrah menuju keridhaan Sang Maha Pengasih, menanggung kesulitan dan kepenatan berpindah demi Allah Yang Maha Pemurah. Ia berharap akan ganjaran yang besar dari Allah dan tempat kembali yang baik, serta menjauhkan diri dari kenikmatan yang sementara dan syahwat yang fana. Ia rela mengorbankan jiwa, harta, dan kedudukan, serta berlari menuju kehadiran Allah Yang Maha Pengasih, mencari kebahagiaan di akhirat, kemuliaan yang tinggi, dan derajat keridhaan. Maka ia berangkat dari Basrah bersama rombongannya menuju kota suci Madinah, kemudian ke Mekkah yang mulia, lalu berpindah-pindah di desa-desa Yaman, kemudian ke Hadhramaut, berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga akhirnya menetap di Hadhramaut, lalu tinggal di Tarim yang terjaga. Ia dan anak-anaknya tinggal di sana, dan dalam setiap urusannya serta segala hal yang dihadapinya, ia selalu meminta kepada Allah SWT agar diberikan kebaikan dan mengulangi shalat istikharah. Semua itu adalah perintah dari Tuhan dan izin Ilahi, serta petunjuk rahmat, yaitu memasukkan keturunan nabi ini dan golongan mulia Alawi ke dalam negeri yang diberkati dan kota suci Tarim yang terpelihara dengan berkah Muhammad. Saya (Abu Bakar Sakran) mendengar dari beberapa orang baik (orang terpilih) bahwa mereka (bermimpi) melihat Muhammad Al-Musthafa (yang terpilih) di tempat tertinggi di Tarim, dan beliau bersabda, 'Wahai penduduk negeri ini, sesungguhnya kami memiliki titipan di antara kalian; siapa yang membuat marahnya, maka kami akan marah, dan siapa yang membuatnya senang, maka kami akan senang.' Ini adalah makna ucapannya atau yang mendekati kata-katanya. Dan Syekh Al-Muhaqqiq (seorang peneliti) Al-'Arif Billah Al-Mudaqqiq (seorang yang mumpuni ilmunya) Abu Abbas Al-Murini Al-Maghribi (bermimpi) melihat Fathimah Al-Batul, putri Muhammad Al-Mustafa Rasulullah, yang mengungkapkan kepadanya tentang orang-orang terhormat yang membenci kedua syeikh tersebut, dan bahwa mazhab mereka adalah batil, mereka terputus dari nasab, meskipun mereka adalah orang-orang yang paling hina, dan nasab tidak akan terputus karena kemaksiatan. Lalu bagaimana dengan para sultan ini, keturunan Alawi, yang paling dekat dengan kita, dan yang kurang dalam hal urusannya, padahal dia adalah seorang yang mulia dan sunni, sementara dia berada di luar wilayah Hadhramaut, lebih asing dari pada unta yang datang dari arah barat." (Al-Burqah Al-Musyiqah hal.31-32)

Dari penjelasan kitab tersebut ada dua hal yang musykil menurut pemahaman saya, sehingga perlu penguat argumentasi dari statement Syeikh Ali bin Abu Bakar As-Sakran tersebut dengan hujjah ilmiah sebagai landasannya.

Pertama; Syeikh Abu Bakar Sakran berkata pernah mendengar dari beberapa orang baik (orang terpilih) bahwa mereka (bermimpi) melihat (Nabi) Muhammad Al-Musthafa (yang terpilih) di tempat tertinggi di Tarim, dan beliau bersabda, 'Wahai penduduk negeri ini, sesungguhnya kami memiliki titipan di antara kalian; siapa yang membuat marahnya, maka kami akan marah, dan siapa yang membuatnya senang, maka kami akan senang."

Kedua; Syeikh Abu Bakar As-Sakran mengatakan bahwa Syekh Al-Muhaqqiq (seorang peneliti) Al-'Arif Billah Al-Mudaqqiq (seorang yang mumpuni ilmunya) Abu Abbas Al-Murini Al-Maghribi (bermimpi) melihat Fathimah Al-Batul, putri Muhammad Al-Mustafa Rasulullah, yang mengungkapkan kepadanya tentang orang-orang terhormat yang membenci kedua syeikh tersebut, dan bahwa mazhab mereka adalah batil, mereka terputus dari nasab, meskipun mereka adalah orang-orang yang paling hina, dan nasab tidak akan terputus karena kemaksiatan." Wallahu a’lam 

Oleh karenanya, besar harapan saya buat sahabat fillah semuanya berkenan memberikan penjelasan dan pencerahan demi mencari pemahaman dan kebenaran untuk umat manusia. 

Demikianlah Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 07 September 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGECOR JALAN DIATAS KUBURAN ORANG LAIN


Berawal dari beredarnya video di TikTok dan FB diperlihatkan diatas makam umum warga dibangun sebuah jalan khusus menuju sebuah makam lainnya dengan di cor beton kemudian saya di tag untuk menanggapi hal tersebut. Baiklah kalau begitu!

Dalam Islam menghormati jenazah di dalam kuburan mirip dengan saat kita menghormati orangnya dikala masih hidup. Bila saat hidup kita dilarang berlaku tidak sopan kepada seseorang, demikian pula ketika orang tersebut sudah meninggal dunia. Ini bagian dari prinsip memuliakan manusia sebagaimana firman Allah dalam Al-Isra' ayat 70,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

"Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna." (QS. Al-Isra' : 70)

Lebih dari itu, kuburan juga memiliki fungsi lain bagi orang hidup. Memang, kuburan adalah tempat dikebumikannya orang mati. Namun, kuburan juga merangkap peran sebagai pengingat kepada orang-orang yang masih hidup. Ia adalah tempat untuk kita merenungi akan kehidupan setelah kematian nanti: apakah kita sudah siap menghadap kepada Allah subhanahu wata’ala atau tidak. Karena itulah anjuran berziarah muncul, dan kuburan tak bisa disamakan dengan lapangan atau padang rumput biasa. Kuburan adalah tempat sakral.

Diantara bentuk ajaran dalam penghormatan Islam terhadap kuburan adalah larangan duduk di atasnya. Terkait hal yang demikian, terdapat hadits yang tercantum dalam kitab Shahîh Muslim, 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seandainya seseorang duduk di atas bara api sehingga membakar pakaiannya sampai kulitnya, itu lebih baik baginya dibandingkan duduk di atas kuburan’,” (HR. Muslim).

Dari hadits ini jelas sekali bahwa duduk di atas kuburan adalah haram. Hal itu tampak dari cara Nabi membuat perumpamaan bahwa orang yang duduk di atas bara api yang panas membara lebih baik ketimbang duduk di atas kuburan. Tentu ini indikasi larangan keras dalam hadits ini.

Saat mengurai hadits tersebut, Imam Al-‘Adzim Al-Abadi dalam kitab ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud mengatakan,

فيه دليل على أنه لا يجوز الجلوس على القبر، وذهب الجمهور إلى التحريم

“Di dalam hadits di atas terdapat dalil atas ketidakbolehan duduk di atas kuburan, dan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, duduk di atas kuburan adalah haram” (Al-‘Adzim Al-Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, cetakan ke-2, 1415 H, juz 9, hal. 35).

Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menyebutkan,

قَالَ أَصْحَابُنَا تَجْصِيصُ الْقَبْرِ مَكْرُوهٌ وَالْقُعُودُ عَلَيْهِ حَرَامٌ وَكَذَا الِاسْتِنَادُ إِلَيْهِ وَالِاتِّكَاءُ عَلَيْهِ

“Ulama dari kalangan kami (Syafi’iyyah) berpendapat, hukum memplester (membangun) kuburan adalah makruh, sedangkan duduk di atas kuburan adalah haram, begitu juga bersandar dan bertumpu kepada kuburan.” (Imam an-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, Beirut: Dar Ihya At-Turats, cetakan ke-2, 1392 H, juz 7, hal. 27).

Selain dalam Syarah Shahîh Muslim, Imam An-Nawawi juga menyebutkan dalam kitab Al-Majmu’,

ذكر الماوردي وغيرهأنه يكره إيقاد النار عند القبر

Al-Mawardi dan selainnya menyebutkan, bahwa hukum menyalakan api di sisi kuburan itu adalah makruh. 

وأما الجلوس على القبر والمشي عليه فمنهي عنهما، لما في الحديث: لا تجلسوا على القبور. رواه مسلم.

وفي الحديث: لأن يجلس أحدكم على جمرة فتحرق ثيابه فتخلص إلى جلده خير له من أن يجلس على قبر. رواه مسلم.

وظاهر كلام الفقهاء أن التحريج إنما يعنى به المكان الذي يوجد به الميت، فقد قال خليل في المختصر: والقبر حبس لا يمشي عليه ولا ينبش ما دام به

"Adapun duduk di atas kubur dan berjalan di atasnya adalah dilarang, seperti dalam hadits: 'Janganlah kalian duduk di atas kubur.' Diriwayatkan oleh Muslim.

Dan dalam hadits: 'Lebih baik bagi salah satu di antara kalian duduk di atas bara api yang membakar pakaiannya hingga mencapai kulitnya, daripada duduk di atas kubur.' Diriwayatkan oleh Muslim.

Dan jelas bahwa ucapan para ulama fiqh menunjukkan bahwa larangan tersebut berkaitan dengan tempat di mana mayat berada. Seperti yang dikatakan Khalil dalam kitab ringkasnya: 'Kubur adalah tempat terlarang, tidak boleh berjalan di atasnya dan tidak boleh menggali selama mayat masih ada di dalamnya.'"

Al-Imam Al-Khatib Asy-Syarbini menyebutkan dalam kitab Mughni Al-Muhtaj,

ولا يجلس على القبر المحترم ولا يتكأ عليه ولا يستند إليه ولا يوطأ عليه إلا لضرورة

“Dan jangan duduk di atas kuburan yang dihormati, jangan bersandar dan bertumpu di atasnya, dan tidak boleh diinjak kecuali karena keadaan yang darurat.” (Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj, Dar Al-Fikr, juz 2, hal. 48)

Imam Abu Ishaq Asy-Syairazi dalam At-Tanbih menyebutkan,

ولا يجلس على قبر ولا يدوسه إلا لحاجة. ويكره المبيت في المقبرة.

“Tidak boleh duduk di atas kuburan, tidak boleh menginjak-injak kuburan kecuali karena ada kebutuhan, dan makruh hukumnya bermalam di pemakaman” (Abu Ishaq Asy-Syairazi, At-Tanbih fi Al-Fiqh asy-Syafi’i, Beirut: ‘Alam Al-Kutub, cetakan pertama, 1983, juz 1, hal. 52)

Pendapat-pendapat ulama di atas menegaskan ketidakbolehan: duduk di atas kuburan, menginjak, melangkahi, bersandar, berjalan, dan tindakan-tindakan sejenis yang tidak menghormati kuburan. Namun jika dalam keadaan darurat, maka dapat dijadikan pengecualian. Menurut Al-Imam Syihabuddin Ar-Ramli dalam Nihayah, larangan tersebut merupakan langkah bijaksana dari upaya pengormatan penghormatan terhadap orang meninggal. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*