Telah menjadi agenda tahunan bangsa indonesia, polemik penentuan awal bulan ramadhan atau awal bulan syawal. Hampir tidak kita jumpai, kaum muslimin melakukan puasa atau hari raya secara serempak. Terlebih pemerintah negara kita sangat permisif terhadap berbagai perbedaan yang berkembang di tanah air. Selagi tidak ada konflik atau masalah, semua orang bebas menyebarkan pemikirannya. Sehingga akan selalu terjadi perbedaan dalam penentuan awal ramadhan dan idul fitri.
Di tahun ini 2023 ada 5 hari raya lebaran Idul Fitri 1444 H secara berurutan yaitu Jama'ah Al-Muhdhar Tulungagung Jawa Timur berhari raya pada hari Rabu, Jama'ah Tariqat An-Naqsabandiyah Sumatera Utara pada hari Kamis, yang memakai hitungan hisab pada hari Jum'at dan yang menggunakan cara rukyat dan keputusan Pemerintah menetapkan hari raya jatuh pada hari Sabtu, 22 April 2023.
Setidaknya ada dua ormas besar yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (MD) yang menentukan aktivitas masyarakat dalam beribadah di bulan ramadhan dan syawal. Ketika dua ormas ini memberikan keputusan yang seragam, setidaknya kita bisa berharap, mayoritas kaum muslimin akan berpuasa dan berhari raya dalam waktu yang bersamaan. Namun sayangnya, dua ormas ini memiliki pendekatan yang sama sekali berbeda. Hisab dan rukyah. Lebih dari itu, dalam menentukan awal bulan dan agenda ibadah, masyarakat lebih cenderung menaruh kepercayaan kepada keputusan ormas, ketimbang kepada keputusan lembaga resmi pemerintah.
Sejatinya, pemerintah telah berupaya menjembatani dua pendekatan yang berbeda ini. Dalam hal ini, pemerintah kita menggunakan metode pendekatan yang disebut Imkanur Rukyah yang sesuai dengan sunnah. Disinilah pentingnya ketegasan dari pemerintah dalam masalah ini, sehingga siapapun yang berbeda dengan ketentuan pemerintah dalam penetapan ramadhan dan syawal tidak diperbolehkan mempublikasikan keputusannya ke masyarakat luas, kecuali keputusan dari pemerintah.
Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189) (Majmu’ Al Fatawa, 25/115-116)
Imam Ahmad bin Hanbal -dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama (yaitu memberi pertolongan) pada orang yang berpegang teguh dengan jama’ah”. (Majmu’ Al Fatawa, 25/117). Yang dimaksud jama’ah adalah pemerintah dan mayoritas manusia.
Ulama' Salaf Sahl bin Abdullah Al Tustariy yang di tulis dalam kitab Tafsir Al-Qurthubiy Juz 5 Hal 249 :
أطيعوا السلطان في سبعة : ضرب الدراهم والدنانير ، والمكاييل والأوزان ، والأحكام والحج والجمعة والعيدين والجهاد
"Taatilah Pemimpin pada Tujuh Perkara : 1. Pencetakan uang (dirham/dinar). 2. Takaran dan Timbangan. 3. Hukum. 4. Haji. 5. Jum'at. 6. Hari Raya, dan 7. Jihad." (Tafsir Al-Qurthubiy Juz 5 Hal 249)
Harus diketahui bahwa Itsbat (penetapan) itu hak-nya Pemerintah, bukan golongan manapun juga (baik NU, Muhammadiyah, HTI, Persis, Al Irsyad atau golongan lain), maka ikutilah keputusan pemerintah. Selama pemerintah memutuskan masih menggunakan cara-cara yang sesuai dengan islam (baik dengan hisab atau rukyah) maka Wajib Mengikuti Pemerintah.
Di dalam kitab Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu disebutkan,
إذا رجح الحاكم رأيا ضعيفا صار هو الحكم الأقوى
"Ketika hakim (pemerintah) mengunggulkan sebuah Qaul Dhoif maka Qaul tersebut justru malah naik status menjadi pendapat yang Aqwa (paling kuat)."
Apalagi endingnya adalah kebijakan pemerintah untuk suatu kemaslahatan maka pamungkasnya,
حكم الحاكم يرفع الخلاف
"Keputusan pemerintah itu menghapus semua perbedaan pendapat."
Al-'Allamah KH. Maimun Zubair menjelaskan,
وَمَعْلُومٌ قَطْعًا أَنَّ إِثْبَاتَ أَوَّلَ شَهْرٍ مِنَ الشُّهُورِ لاَسِيَّمَا رَمَضَانَ وَالشَّوَّالِ حَقٌّ مِنْ حُقُوقِ الْقَاضِي أَوْ وَزِيْرِ الشُّؤُونِ الدِّيْنِيَّةِ فَلَيْسَ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ وَلاَهَيْئَة مِنَ الْهَيْئَاتِ حَقُّ اْلإِثْبَاتِ وَإِنْ سَمُّوهُ بِاسْمِ اْلإِخْبَارِ، وَلاَ يَجُوزُ لِأَحَدٍ مُخَالَفَةُ ذَلِكَ لِمَا فِيْهِ مِنْ إِيْقَاعِ الْفِتْنَةِ وَالتَّفَرُّقِ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِي أُمُورِ دِيْنِيْهِمْ. (رسالة في موقفنا حول الصوم والإفطار،ص.5)
Dan sudah diketahui secara pasti bahwa mengitsbathkan (menetapkan) awal salah satu bulan dari bulan-bulan terutama bulan Ramadhan dan Syawal adalah hak Qadhi (Pemerintah) atau Menteri Agama, maka tidak ada satu orangpun atau tidak ada satu organisasi pun yang memiliki haqqul itsbat (hak menetapkan awal bulan tersebut), meskipun mereka menamainya dengan istilah ikhbar (menginformasikan). Dan tidak boleh seorangpun menyalahi ketetapan pemerintah tersebut, karena dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan kaum muslimin dalam perkara agama mereka. (lihat Risalah Fi Mauqifina Haulash Shaum wal Ifthar, karya al-Syaikh Maimun Zubair, hal. 5).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan acuan waktu puasa berikut hitungan harinya, Idul Fitri, dan Idul Adha harus berdasarkan rukyatul hilal (melihat hilal) dan dengan berdasarkan kesepakatan masyarakat.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa (tanggal 1 Ramadhan) adalah pada hari dimana kalian semua berpuasa. Hari fitri (tanggal 1 Syawal) adalah pada hari dimana kalian semua melakukan hari raya, dan hari Idul Adha adalah pada hari dimana kalian semua merayakan Idul Adha.” (HR. Turmudzi 697, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2181)
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ قَيْسٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Telah menceritakan kepada kami [Adam] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] telah menceritakan kepada kami [Al-Aswad bin Qais] telah menceritakan kepada kami [Sa'id bin 'Amru] bahwa dia mendengar [Ibnu'Umar radliallahu 'anhuma] dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabd, "Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah dua puluh sembilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari". (HR. Bukhari)
عَن ابْن عُمَرَ – رضى الله عنهما قَالَ قَالَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم : إنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا – وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِى الثَّالِثَةِ – وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا. يَعْنِى تَمَامَ ثَلاَثِينَ.
Hadits Ibnu ‘Umar ra, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kami umat yang ummi, di mana kami tidak bisa menulis maupun berhitung. Kami tidak mampu melakukan hisab. Satu bulan itu demikian, demikian, dan demikian.” Pada kali yang ketiga beliau melipat ibu jarinya. “Satu bulan itu demikian, demikian, dan demikian.” Maksudnya genap tiga puluh hari." (HR. Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم : صومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Hadits Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Puasalah kalian bila melihat hilal. Berhentilah puasa bila melihat hilal. Bila hilal itu tidak nampak oleh kalian, maka genapkanlah Sya’ban itu tiga puluh hari.” (HR. Bukhari)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : إذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا
Hadits Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bila kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Lalu bila kalian melihat hilal lagi, maka berhentilah puasa. Bila hilal itu tidak nampak oleh kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari.” (HR. Muslim)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : صومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ
Hadits Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah kalian bila melihat hilal. Berhentilah berpuasa bila melihat hilal. Bila hilal itu tidak nampak oleh kalian, maka sempurnakanlah hitungannya.” (HR. Muslim)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : صومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ
Hadits Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah kalian bila melihat hilal. Berhentilah berpuasa bila melihat hilal. Bila bulan itu tidak terlihat oleh kalian, maka jadikanlah tiga puluh hari.” (HR. Muslim)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْهِلاَلَ فَقَالَ إذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ أُغْمِىَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ
Hadits Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bila kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Lalu bila kalian melihat hilal, maka berhentilah puasa. Bila hilal itu tidak nampak oleh kalian, maka jadikanlah tiga puluh hari.” (HR. Muslim)
Kesimpulannya, setiap muslim harus mengikuti keputusan pemerintah dalam memulai awal ramadhan, idul fitri, idul adha dan lainnya dan bukan mengikuti pihak lain. Dalam kitab Al-Wajiz fi Aqidati Ahlis Sunah wal Jamaah dikatakan,
وأَهل السنة والجماعة : يرون الصلاة والجُمَع والأَعياد خلف الأُمراء والولاة ، والأَمر بالمعروف والنهي عن المنكر والجهاد والحج معهم أَبرارا كانوا أَو فجارا
"Ahlussunah wal jama'ah memiliki prinsip: Shalat (di masjid negara), jum'atan, hari raya harus dilakukan di atas komando pemimpin (pemerintah). Amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan pelaksanaan manasik haji harus dilakukan bersama pemimpin. Baik dia pemimpin yang jujur maupun pemimpin yang fasik…" (Al-Wajiz fi Aqidati Ahlis Sunah, Hal. 130)
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله ألموفق الى أقوم الطريق*