Rabu, 11 Juli 2018

EDISI KHUTHBAH JUM'AT (Potret Haji Antara Cita-Cita Dan Fakta)


*Khutbah Pertama*

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وأصحابه أجمعين. اما بعد :
فيا عباد الله اوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فازاالمتقون.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَآأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

*Jama'ah shalat Jum'at yang berbahagia*

Marilah kita tingkatkan Iman dan takwa kepada Allah karena hanya dengan takwa kita akan mendapatkan ampunan, pertolongan, dan surga-Nya yang agung.

Kita sekarang berada pada bulan Dzul Qa’dah bulan kesebelas dari bulan Qamariyah, satu dari empat bulan yang disebut dengan bulan-bulan haram اشهر الحرم dan satu dari tiga bulan haji yang disebut dengan أشهر معلومات di sebut Dzul Qa’dah karena mereka,

يَقْعُدُوْنَ فِيْهِ عَنِ اْلأَسْفَارِ وَالْقِتَالُ اِسْتِعْدَادًا لإِحْرَامٍ بِالْحَجِّ.

“Mereka duduk (tinggal di rumah) tidak melakukan perjalanan maupun peperangan sebagai persiapan untuk melakukan ihram haji”.

Pada hari ini kita saksikan bersama persiapan dan pemberangkatan para jamaah calon haji. Kita rasakan bersama betapa kebahagiaan telah menghiasi wajah mereka dan sejuta harapan telah tertanam di dalam lubuk hati mereka, manakala saudara-saudara kita tadi meninggalkan kampung halamannya terbang menuju kiblat umat Islam sedunia, memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tidak ada ibadah seagung ibadah haji, tidak ada suatu agama pun yang memiliki konsep ibadah seperti konsep ibadah haji agama Islam. Haji mengandung seribu makna, merangkum sejuta hikmah. Karena itu haji merupakan tiang kelima dari kelima pilar utama dalam Islam.

Di lihat dari sebutannya saja, ibadah ini sudah unik. Betapa tidak, al-Allamah Abu Abdillah Muhammad bin Abdir Rahman al-Bukhari al-Hanafi al-Zahid (546 H) menjelaskan, “Haji adalah bermaksud (berkeinginan dan bersengaja), sementara maksud dan niat, keduanya menghantarkan seseorang menuju cita-cita, niat adalah amal yang paling mulia karena ia adalah pekerjaan anggota tubuh yang paling utama yaitu hati, manakala ibadah ini adalah ibadah yang paling besar dan ketaatan yang paling berat maka disebut ibadah yang paling utama” yaitu al-haj yang berarti al-qashdu (tujuan)."

Tatkala seorang haji tiba di Ka’bah, dan sebelumnya dia sudah mengetahui bahwa pemilik rumah (Ka’bah) tidak berada di sana, maka dia berputar mengelilingi rumah: Thawaf mengisyaratkakn bahwa Ka’bah bukanlah maksud dan tujuan. Tetapi tujuannya adalah pemilik rumah رب الكعبة.

Begitu pula mencium hajar aswad, bukan berarti dan bukan kerena menyembah batu, melainkan karena mengikuti sunnah rasul. Karena beliaulah yang mencontohkan kita untuk melakukan yang demikian. Inilah pembeda antara musyrik dan muslim. Dulu orang musyrik mencium batu karena dengan tujuan menyembah batu. Tetapi sekarang Muslim mencium batu demi mengikuti sunnah rasul yang diantara hikmahnya adalah seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallaahu anhu, “Hajar Aswad adalah bagaikan tangan kanan Allah di muka bumi ini. Maka barangsiapa yang menjabatnya (menyentuhnya) atau menciumnya maka seolah-olah ia menjabat (tangan) Allah dan mencium tangan kanan-Nya.”

Karena itu, ketika menyentuhnya seorang haji harus mengingat bahwa ia sedang berbaiat kepada Allah (pencipta dan pemilik batu yang telah memerintah untuk menyentuhnya). Berbai’at untuk selalu taat dan tunduk kepada-Nya, dan harus ingat barang siapa yang menghianati bai’at maka ia berhak mendapatkan murka dan adzab Allah.

*Ma’asyiral muslimin rahimakumullah*

Karena maksud kita bukan البيت tetapi رب البيت dan karena unsur niat begitu utama dan penting maka Allah berfirman,

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ.

“Dan sempurnakanlah haji dan umrah itu karena Allah”

Karena itu pulalah para ulama menganjurkan bahwa kewajiban pertama bagi calon haji adalah bertaubat. Bertaubat dari semua dosa dan maksiat, baik calon haji itu seorang petani, pegawai, polisi, artis, dokter, menteri maupun seorang kiyai, laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda.

Inilah yang disyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,

وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah taqwa” (QS.Al-Baqarah: 197).

Tentu saja kita sudah memaklumi bahwa takwa itu tidak bisa dicapai kecuali dengan bertaubat dan meninggalkan segala jenis perbuatan maksiat.
Kalau calon haji sudah bertaubat, maka ia akan mampu memahami dan menjiwai syiar haji yang teramat indah itu.

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ.

Ia akan menghayati seolah-olah berucap, "Ya Allah aku datang, aku datang, memenuhi panggilan-Mu, lalu aku berdiri di depan pintu-Mu. Aku singgah di sisi-Mu. Aku pegang erat kitab-Mu, aku junjung tinggi aturan-Mu, maka selamatkan aku dari adzab-Mu, kini aku siap menghamba kepada-Mu, merendahkan diri dan berkiblat kepada-Mu. Bagi-Mu segala ciptaan, bagi-Mu segala aturan dan perundang-undangan, bagi-Mu segala hukum dan hukuman tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku tidak peduli berpisah dengan anak dan istriku, meninggalkan profesi dan pekerjaan, menanggalkan segala atribut dan jabatan, karena tujuanku hanyalah wajah-Mu dan keridhaan-Mu bukan dunia yang fana dan bukan nafsu yang serakah, maka amankan aku dari adzab-Mu."

*Ma’asyiral muslimin rahimakumullah*

Jika calon haji sudah bertaubat, maka ia pasti akan mampu mencapai hakikat haji yang telah digariskan oleh Allah, dalam firman-Nya, artinya, “Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (QS.Al-Baqarah: 197)

Seorang yang beribadah haji tidak boleh melakukan rafats yaitu jima’ (bersenggama) dan segala ucapan dan perbuatan yang behubungan dengan seksual. Tidak boleh melakukan fusuq yaitu segala bentuk maksiat dan tidak boleh melakukan jidal yaitu perdebatan yang mengikuti hawa nafsu, bukan untuk mencari kebenaran.
Maka, barang siapa yang telah sukses memenuhi perintah Allah tersebut ia akan mendapatkan haji yang mabrur, yang di antara tandanya adalah sepulang haji ia tidak akan mengulang maksiat dan dosa-dosa yang lalu. Ia akan tampil sebagai muslim yang shalih dan muslimah yang shalihah. Maka sekembalinya mereka, bertambah banyaklah muslim dan muslimah yang taat di sebuah negara, negara itu juga akan semakin aman, makmur, dan sentosa.

*Ma’asyiral muslimin rahimakumullah*

Demikianlah sekelumit tentang makna haji, haji mabrur dan potret haji kita. Semoga Allah menjadikan haji kita yang dahulu dan yang akan datang menjadi haji yang mabrur dan semoga dijauhkan dari haji yang maghrur (tertipu) dan mabur.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

*Khutbah Kedua*

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.  أما بعد :

ثُمَّ اعْلَمُوْا فَإِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَى رَسُوْلِهِ فَقَالَ: {إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا}.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ.
اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

Sabtu, 07 Juli 2018

KAJIAN TENTANG ISLAM RAHMATAN LIL 'ALAMIN ADALAH ISLAM TOLERAN


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arti kata toleransi berarti sifat atau sikap toleran,yaitu menghargai, membiarkan, dan membolehkan pendirian, pandangan yang berbeda dengan pendirian sendiri.

Adapun dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah سماحة atau تسامح. Kata ini pada dasarnya berarti al-Jud (kemuliaan). atau sa’at al-Shadr (lapang dada) dan Tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/ terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia.

Islam Toleran adalah Islam Nusantara yang mencerminkan Islam Rahmatan Lil 'Alamin yang memiliki motto *Tasammuh* (toleran), *Tawassuth* (pertengahan), *Tawazun* (seimbang) dan *I'tidal* (adil).

Berikut ini adalah penafsiran rahmatan lil ‘alamin yang termaktub dalam Al Quran Surat Al-Anbiya’ ayat 107, sebagaimana ditafsirkan secara ma’tsur oleh Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya,

وَمَآ أَرْسَلْنَـكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَـلَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.

Rahmat secara bahasa,

الرَّحْمة: الرِّقَّةُ والتَّعَطُّفُ

rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur).

Adapun bentuk rahmat (kasih sayang) dalam islam adalah tidak dibenarkannya melaknat atau mendoakan kecelakaan/kebinasaan buat siapapun. Sebagaimana Asbabun Nuzul QS. Ali Imran : 128 berikut,

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْر، حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ -قَالَ أَحْمَدُ: وَهُوَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَقِيلٍ، صَالِحُ الْحَدِيثِ ثِقَةٌ-قَالَ: حَدَّثَنَا عُمَر بْنُ حَمْزَةَ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ الْعَنْ فَلَانَا، اللَّهُمَّ الْعَنِ الْحَارِثَ بْنَ هِشامِ، اللَّهُمَّ الْعَنْ سُهَيلَ بنَ عَمْرو، اللَّهُمَّ الْعَنْ صَفْوانَ بْنَ أُمَيَّةَ". فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ} فَتِيبَ عَلَيْهِمْ كُلِّهِمْ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Aqil (Abdullah ibnu Aqil yang haditsnya baik lagi tsiqah), telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Hamzah, dari Salim, dari ayahnya, bahwa ia telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ya Allah, laknatilah si Fulan dan si Fulan. Ya Allah, laknatilah Al-Haris ibnu Hisyam. Ya Allah, laknatilah Suhail ibnu Amr. Ya Allah, laknatilah Safwan ibnu Umayyah." Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim." (QS. Ali Imran: 128) Pada akhimya Allah menerima taubat mereka semua. (HR. Ahmad)

وعن أبي هريرة ، قال : قيل يا رسول الله ادع على المشركين قال : إني لم أبعث لعانا ، وإنما بعثت رحمة . (رواه مسلم) .

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, bahwa telah dikatakan,  “Wahai Rasulullah, berdo'alah (kebinasaan) untuk kaum Musyrikin.” Beliau berkata,

إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَة

“Saya tidak dikirim sebagai kutukan, melainkan sebagai rahmat.” (HR. Muslim)

حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أحب الى الله قال الحنيفيَّةُ السمحة. (رواه البخاري)

Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?” maka beliau bersabda: “Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran).” (HR. Bukhari).

حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلاَمِ بْنُ مُطَهَّرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْغِفَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ. (رواه البخاري)

Telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Muthahhar berkata, telah menceritakan kepada kami Umar bin Ali dari Ma’an bin Muhammad Al Ghifari dari Sa’id bin Abu Sa’id Al Maqburi dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolonglah dengan al-Ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-Ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-Duljah (berangkat di waktu malam)” (HR. Bukhari).

Ibn Hajar al-‘Asqalâni berkata bahwa makna hadits ini adalah larangan bersikap tasyaddud (keras) dalam agama yaitu ketika seseorang memaksa-kan diri dalam melakukan ibadah sementara ia tidak mampu melaksana-kannya itulah maksud dari kata : “Dan sama sekali tidak seseorang berlaku keras dalam agama kecuali akan terkalahkan” artinya bahwa agama tidak dilaksanakan dalam bentuk pemaksaan maka barang siapa yang memaksakan atau berlaku keras dalam agama, maka agama akan mengalahkannya dan menghentikan tindakannya. (Ibnu Hajar Al-Asqalany, Fath al Bari', juz 1, hal 143).

Islam sebagaimana dimaklumi dari referensi yang saya paparkan diatas adalah agama yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk seluruh umat manusia sebagai rahmat untuk alam semesta (rahmatan lil 'alamin). Awal-mula Islam diturunkan di wilayah Arab yang kemudian disebarluaskan oleh para juru dakwah ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke wilayah Nusantara. Oleh karena itu, pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara Islam yang diturunkan di wilayah Arab dengan Islam yang sampai ke Nusantara. Artinya, eksistensi konsep Islam Nusantara tidak dimaksudkan untuk mengubah Islam yang pernah diturunkan di Arab dan tidak pula anti-Arab.

Substansi Islam Nusantara diantaranya menyoroti gagasan tentang pentingnya nasionalisme religius yang di dalam terimplementasikan dua tugas pokok negara yakni menjaga eksistensi agama dan mengatur kehidupan dunia agar lebih aman, damai (tidak saling menumpahkan darah), harmonis dan makmur.

Selain itu, juga menyoroti ajaran Islam yang secara moderat menghargai dan akomodatif terhadap adat istiadat dan budaya setempat terutama di wilayah Nusantata selama tidak dilarang dalam ajaran Islam, sesuai kaidah fikih yang dikemukakan oleh Ibn 'Aqil,

وقال ابن عقيل: لا ينبغي الخروج عن عادات الناس إلا في الحرام

Ibnu Aqil berkata, "Tidak perlu melanggar adat istiadat orang kecuali di tanah haram." (Lihat http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=194743)

Pendek kata, Islam Nusantara adalah prototype ajaran Islam moderat yang ramah, yang rahmatan li al-'alamin dalam bingkai paham Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah yang berurat berakar di bumi Nusantara lagi patut menjadi teladan bahkan bagi umat Islam di wilayah Arab dan Timur Tengah yang hingga kini terus menerus bertikai dan berpecah belah. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 04 Juli 2018

KAJIAN TENTANG HAKIKAT DAN ASAL MULA HALAL BIHALAL


Secara bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jama’ah haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.

Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia”

Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbaga bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

Dengan demikian, jika kita memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimugnkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturrahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.

Menurut tinjauan Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim harus merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya. Allah Ta'ala berfirman,

وَسارِعُوا إِلى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّماواتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134) وَالَّذِينَ إِذا فَعَلُوا فاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (135)

"Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengumpuni dosa selain dari Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui." (QS. Ali Imran : 133-135).

Halal bihalal merupakan kegiatan silaturahmi atau silaturahim [صِلَةُ الرَّحِمِ] dan saling bermaafan. Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi (shilaturrahim) merupakan bagian dari Risalah Islam dan tidak terbatas saat Idul Fitri.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh" (QS. Al-A'raf:199)

Penggagas istilah “halal bi halal” ini adalah KH. Wahab Chasbullah. Ceritanya begini: Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.

Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Romadlon, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kyai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. “Itu gampang”, kata Kyai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’”, jelas Kyai Wahab.

Dari saran kyai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kyai Wahab menggerakkan warga dari bawah.

Jadilah Halal bi Halal sebagai kegaitan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.Kalau kegiatan halal bihalal sendiri, kegiatan ini dimulai sejak KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Setelah Idul Fitri, beliau menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.

Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian budaya seperti ini ditiru oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah.akan tetapi itu baru kegiatannya bukan nama dari kegiatannya. kegiatan seperti dilakukan Pangeran Sambernyawa belum menyebutkan istilah “Halal bi Halal”, meskipun esensinya sudah ada.

Tapi istilah “halal bi halal” ini secara nyata dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl) adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua (halâl “yujza’u” bi halâl) adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik kesan bahwa halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar menyambungkan hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, serta berbuat baik secara berkelanjutan. Kesan yang berupaya diejawantahkan Kiai Wahab Chasbullah di atas lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antara anak bangsa tercipta untuk peneguhan negara. Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif. Wallahu ‘alam bis-Showab.

*والله الموفق الى أقوم الطريق*