MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Sabtu, 27 Februari 2016

KAJIAN TENTANG "MENABUR BUNGA DI KUBURAN", SALAHKAH?


Banyak sekali ragam tradisi yang berhubungan dengan ziarah kubur. Mulai dari mengaji al-Qur’an, tahlil, yasinan hingga menyirami pusara dengan air dan bunga. Tentang dasar hukum berbagai tradisi tersebut telah sering disebutkan. Diantaranya dasar hukum menyiram kuburan dengan air dingin ataupun air wewangian (bunga). Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatu az-Zain menerangkan bahwa hukum menyiram kuburan dengan air dingin adalah sunnah. Tindakan ini merupakan sebuah pengharapan (tafa’ul) agar kondisi mereka yang dalam kuburan tetap dingin.

Sementara dari kelompok Gg tidak menyukai tabur bunga di kuburan sebagaimana paham salafi wahai mengatakan hal itu adalah perbuatan bid’ah dan tidak boleh dianalogikan dengan apa Gg dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam.

Hal ini sebenarnya pernah pula dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

” أن النبي ( صلى الله عليه وسلم ) رش على قبر ابراهيم ابنه ووضع عليه حصباء ”

“Sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiram (air) di atas kubur Ibrahim, anaknya, dan meletakkan kerikil diatasnya.”

Begitu juga dengan meletakkan karangan bunga ataupun bunga telaseh yang biasanya diletakkan di atas pusara ketika menjelang lebaran. Hal ini dilakukan dalam rangka Itba’ (mengikuti) sunnah Rasulullah saw. sebagaimana diterangkan dalam hadits 

حَدثَناَ يَحْيَ : حَدَثَناَ أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الأعمش عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طاووس عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذِّباَنِ فَقاَلَ: إِنَّهُمَا لَـيُعَذِّباَنِ وَماَ يُعَذِّباَنِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ باِلنَّمِيْمَةِ . ثُمَّ أَخُذِ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشْقِهَا بِنَصْفَيْنِ، ثُمَّ غُرِزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالُوْا: ياَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هٰذَا ؟ فقاَلَ: ( لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْـبِسَا)

Dari Ibnu Umar, ia berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat “Kedua orang (yang ada dalam kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai penutup ketika kencing, sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu domba”. Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering. (HR. Bukhari dari kitab Sahih al-Bukhari, hlm. 1361)

Terkait apa yg dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tersebut Imam Bukhori membikin bab dalam shahihnya dengan judul:

بَاب الْجَرِيدِ عَلَى الْقَبْرِ

Bab pelepah kurma di kuburan.

وَأَوْصَى بُرَيْدَةُ ْالأَسْلَمِيُّ أَنْ يُجْعَلَ فِي قَبْرِهِ جَرِيدَانِ

Dan Buraidah al-Aslami berwasiat agar kuburannya di beri dua pelepah kurma [Shahih Bukhori]

Para ulama berbeda pendapat di dalam menanggapi hadist di atas,

Pendapat
Pertama; mengatakan bahwa hadits di atas bersifat mutlak dan umum, sehingga dibolehkan bagi siapa saja untuk meletakkan pelepah kurma atau pun bunga2 dan semua tumbuh2 yg masih basah di atas kuburan. Bahkan sebagian dari mereka mengatakan hal itu dianjurkan. Ini pendapat sebagian ulama Syafi’iyah.

Bagaimana dengan ulama Ahlussunnah bal Jama’ah ala Aswaja?

وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِ (نهاية الزين, ص.  ۱٥٤)

Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena malaikat senang pada aroma yang harum. (Kitab Nihayatuz Zain hal. 154)

Begitu pula yg termaktub dalam kitab al-Bajuri sebagai berikut:

...ويندب أن يرش القبر بماء والأولى أن يكون طاهرا باردا لأنه صلى الله عليه وسلم فعله بقبرولده إبراهم وخرج بالماء ماء الورد فيكره الرش به لأنه إضاعة مال لغرض حصول رائحته فلاينافى أن إضاعة المال حرام وقال السبكى لا بأس باليسير منه إن قصد به حضور الملائكة فإنها تحب الرائحة الطيبة...

Disunnahkan menyiram kubur dengan air, terutama air dingin sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah saw. terhadap pusara anaknya, Ibrahim. Hanya saja hukumnya menjadi makruh apabila menyiraminya menggunakan air mawar dengan alasan menyia-nyiakan (barang berharga). Meski demikian, menurut Imam Subki tidak mengapa kalau memang penyiraman air mawar itu mengharapkan kehadiran malaikat yang menyukai bau wangi.

Lebih ditegaskan lagi dalam kitab I’anah at-Thalibin;

يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ

Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad saw. dan dapat meringankan beban si mayat karena barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan basah atau yang masih segar.

Berkata Imam ar-Ramli di dalam Nihayah al-Muhtaj ( 8/374):

وَيُسْتَحَبُّ وَضْعُ الْجَرِيْدِ الْأَخْضَرِ عَلَى الْقَبْرِ لِلِاتِّبَاعِ ، وَكَذَا الرَّيْحَانُ وَنَحْوُهُ مِنْ الْأَشْيَاءِ الرَّطْبَة

“Dianjurkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kubur, karena mengikuti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Kwa sallam. Begitu pula bunga yg harum dan lainnya, yg terdiri dari tumbuh2 yg basah”

Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari ( 3/223  ) :

أَوْصَى بُرَيْدَة أَنْ يُوضَع فِي قَبْره جَرِيدَتَانِ ، وَمَاتَ بِأَدْنَى خُرَاسَانَ

“Buraidah berwasiat agar di kuburnya diletakkan dua pelepah kurma.
Iawafat di dekat Khurasan”

Pendapat
Kedua: mengatakan bahwa hadist di atas hanya berlaku bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan merupakan kekhususan beliau. Dan Allah meringankan adzab kedua orang tersebut berkat berkah dan syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jadi bukan karena pelepah kurma yang basah. Oleh karena itu beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kuburan2 yg lain.
         
Berkata al-Khattabi di dalam
Ma’alim as-Sunan( 1/27 ) ketika mengomentari hadits di atas :

وأما غرسه أو شق العسيب على القبر وقوله ( ولعله يخفف عنهما ما لم ييبسا ) فإنه من ناحية التبرك بأثر النبي صلى الله عليه وسلم ودعائه بالتخفيف عنهما ، وكأنه جعل مدة بقاء النداوة فيهما حدا لما وقعت به المسألة من تخفيف العذاب عنهما ، وليس ذلك من أجل أن في الجريد الرطب معنى ليس في اليابس ، والعامة في كثير من البلدان تغرس الخوص في قبور موتاهم ، وأراهم ذهبوا إلى هذا ، وليس لما تعاطوه من ذلك وجه . أهـ
         
“Adapun menanam pelepah Kurma atau mematahkan menjadi dua dan sabdanya (mudah-mudahan ini bisa meringankan keduanya selama pelepah ini belum kering), maka ini bagian dari mengambil berkah dari apa yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan begitu juga dari doanya agar diringankan adzab keduanya. Seakan-akan beliau menjadikan masa kelembaban kedua pelepah kurma tersebut sebagai batas bagi keringanan adzab. Itu bukan karena pelepah kurma yang basah mempunyai kelebihan dibanding pelepah yang kering. Adapun orang2 awam di banyak negara Islam yang menanam pelepah kurma di kuburan, saya kira mereka berpendapat seperti itu, tetapi apa yang mereka kerjakan sebenarnya tidak mempunyai dasar.”
         
Berkata Sayid Sabiq di dalam Fiqh Sunnah ( 1/556 ) :

وما قاله الخطابي صحيح ، وهذا هو الذي فهمه أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، إذ لم ينقل عن أحد منهم أنه وضع جريدا ولا أزهارا على قبر سوى بريدة الأسلمي ، فإنه أوصى أن يجعل في قبره جريدتانويبعد أن يكون وضع الجريد مشروعا ويخفى على جميع الصحابة ما عدا بريدة
    
“Apa yang dikatakan al-Khattabi benar adanya, dan inilah yang dipahami oleh sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena tidak pernah ada riwayat dari seorang sahabatpun, bahwa mereka meletakkan pelepah kurma dan bunga-bungaan di atas kuburan, kecuali dari Buraidah al-Aslami radhiyallahu 'anhu, yang mewasiatkan agar ditanam dua pelapah kurma di atas kuburannya. Dan sangat jauh, kalau meletakkan pelepah kurma ini menjadi hal yg disyariatkan, sedang seluruh sahabat tidak mengetahuinya kecuali Buraidah. “

Pendapat ini dikuatkan dengan hadist Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda,

إِنِّى مَرَرْتُ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ فَأَحْبَبْتُ بِشَفَاعَتِى أَنْ يُرَفَّهَ عَنْهُمَا مَا دَامَ الْغُصْنَانِ رَطْبَيْنِ

“Saya melewati dua buah kuburan yang penghuninya tengah diadzab.Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.”
(HR. Muslim, no: 7705 ).

Hadist di atas menunjukkan bahwa penyebab diringankan adzab dari kedua orang tersebut adalah syafa’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan karena pelepah kurma, dan kelembaban pelepah kurma hanya dijadikan patokan tenggang waktu untuk keringanan dari adzab kubur.

Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari
(3/223) :

 قال بن رشيد ويظهر من تصرف البخاري أن ذلك خاص بهما فلذلك عقبه بقول بن عمر إنما يظله عمله

“Berkta Ibnu Rasyid : “Apa yang dilakukan oleh al-Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu al-Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu Umar (Sesungguhnya seseorang hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya). “

Komentar Albani terkait hadits diatas sebagai berikut:

هُوَ أَوْصَى بِوَضْعِ جَرِيْدَتَيْنِ فِي قَبْرِهِ عَلَى أَنَّ اْلاَثَرَ لاَ يَصِحُّ إِسْنَادُهُ، فَقَدْ أَخْرَجَهُ الْخَطِيْبُ فِي تَارِيْخِ (بَغْدَادَ) (1 / 183 182) وَمِنْ طَرِيْقِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ عَسَاكِرَ فِي (تَارِيْخِ دِمَشْقَ) فِي آخِرِ تَرْجَمَةِ نَضْلَةَ بْنِ عُبَيْدٍ بْنِ أَبِي بَرْزَةَ اْلاَسْلَمِي عَنِ الشَّاهِ بْنِ عَمَّارٍ قَالَ: ثَنَا أَبُو صَالِحٍ سُلَيْمَانُ بْنُ صَالِحٍ اللَّيْثِي قَالَ: أَنْبَأَنَا النَّضَرُ بْنُ اْلمُنْذِزِ بْنِ ثَعْلَبَةَ اْلعَبْهَدِي عَنْ حَمَّادٍ بْنِ سَلْمَةَ بِهِ.

Dia berwasiat untuk meletakkan dua pelepah kurma di kuburnya. Pada hal atsar itu tidak benar. Ia juga diriwayatkan oleh al-Khatib dalam sejarah (Baghdad) (1 / 183 182) Dari jalur Al Khathib, Ibn Asakir juga meriwayatkannya di dalam (Sejarah Damaskus) dalam riwayat hidup yang terakhir Nadhlah bin Obaid bin Abi Barzah Aslami dari Shah bin Ammar berkata: Bercerita kepada kami Abu Saleh – Sulaiman bin Saleh Al-Laitsi berkata: "Bercerita kepada kami An-Nadhar bin Al-Mundz bin Tsa`labah Alabahdi dari Hammad bin Salamah.

قُلْتُ: فَهٰذَا إِسْنَادٌ ضَعِيْفٌ، وَلَهُ عِلَّتَانِ: اْلاُوْلَى: جَهَالَةُ الشَّاهِ وَالنَّضَرُ فَإِنِّي لَمْ أَجِدْ لَهُمَا تَرْجَمَةً.
وَاْلاُخْرَى: عَنْعَنَةُ قَتَادَةَ فَإِنَّهُمْ لَمْ يَذْكُرُوا لَهُ رِوَايَةً عَنْ أَبِي بَرْزَةَ، ثُمَّ هُوَ مَذْكُوْرٌ بِالتَّدْلِيْسِ فَيُخْشَى مِنْ عَنْعَنَتِهِ فِي مِثْلِ إِسْنَادِهِ هٰذَا.

Aku berkata: "Ini adalah sanad lemah, memiliki dua illat: Pertama: Syah dan Nadhar tidak di kenal, saya tidak menemukan kisah riwayat hidup untuk mereka.
Dan yang lainnya: An`anah Qatada, mereka tidak menyebutkan riwayatnya dari Abu Barzeh yg mudallis. Ada rasa takut dari an`anah nya dalam sanad yang seperti ini. [Kitab Ahkamul janaiz 201/1]

Sebenarnya tidak harus bunga, pelepah atau ranting2 pun boleh, yg penting masih basah atau segar. Hal ini senafas dengan ayat al-Qur'an surat At-Taghabun ayat 1:

يُسَبِّحُ لِلّهِ مَا فِي السَّموَاتِ وَ مَا فِي اْلأَرْضِ

Bahwa semua makhluk, termasuk hewan dan tumbuhan, bertasbih kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Akan tetapi, mengenai cara masing2 membaca tasbih, hanya Allah saja yg mengetahuinya. Dan terkait dengan tabur bunga tadi, sebaiknya memilih bunga­2 yg masih segar agar bisa memberi “manfaat” bagi si mayit, sebab bunga2 tadi akan bertasbih kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hal ini berdasar pada, pertama penjelasan dari kitab Kasyifatus Syubhat hlm. 131: Bahwa disunnahkan meletakkan pelepah daun yang masih hijau di atas kubur/makam karena mengikuti sunnah Nabi (hadits ini sanadnya shahih). Dijelaskan bahwa pelapah seperti itu dapat meringankan beban si mayit berkat bacaan tasbihnya. Untuk memperoleh tasbih yang sempurna, sebaiknya dipilih daun yang masih basah atau segar.

Analog dengan meletakkan pelepah tadi ialah mencucurkan bunga atau sejenisnya. Pelepah atau bunga yang masih segar tadi haram diambil karena menjadi hak si mayit. Akan tetapi, kalau sudah kering, hukumnya boleh lantaran sudah bukan hak si mayit lagi (sebab pelapah, bunga, atau sejenisnya tadi sudah tidak bisa bertasbih).

Hadits Ibnu Hibban dari Abu Hurairah yang mengatakan:

“ Kami berjalan bersama Nabi melewati dua makam, lalu beliau berdiri di atas makam itu, kami pun ikut berdiri. Tiba-tiba beliau menyingsingkan lengan bajunya, kami pun bertanya: ‘Ada apa ya Rasul? Beliau menjawab: ‘Apakah kau tidak mendengar?’ Kami menjawab heran: Tidak, ada apa ya Nabi? Beliau pun menerangkan: ‘Dua lelaki sedang disiksa di dalam kuburnya dengan siksa yang pedih dan hina.’ Kami pun bertanya lagi: Kenapa bisa begitu ya RasuI? Beliau menjelaskan: ‘Yang satu, tidak bersih kalau membasuh bekas kencing; dan satunya lagi suka mencaci orang lain dan suka mengadudomba.’ "Rasulullah lalu mengambil dua pelapah kurma, diletakkan di atas kubur dua lelaki tadi. Kami kembali bertanya Apa gunanya ya Rasul? Beliau menjawab: ‘Gunanya untuk meringankan siksa mereka berdua selagi masih basah.’ Demikian seperti dijelaskan dalam kitab I’anatut Thalibin Juz II hlm 119.

Para ulama menjadikan kasus Rasulullah menancapkan dua pelepah kurma yang ditancapkan di atas dua kubur tadi dengan menanam pohon atau bunga, sayang para ulama tidak menjelaskan caranya.

Akan tetapi, di dalam hadits shahih disebutkan: Rasulullah menancapkan di masing-masing kuburan itu dan tetap memberi manfaat pada semua ruang. Maksudnya, pelapah itu dapat ditancapkan dimana saja. Abd bin Humaid dalam Musnad-nya mengatakan: Rasulullah menancapkan pelapah itu tepat di arah kepala si mayit dalam kuburnya. Demikian penjelasan dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyah hal 196.

Kesimpulannya, menabur bunga dukuburan memang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, karena yg dicontohkan Rasul hanyalah menancapkan pelepah kurma. Terkait hadits pelepah kurma para ulama masing2 memiliki penafsiran tersendiri.

Oleh karenanya sebagai muslim yg bijak seyogyanya mengikuti penjelasan ulama yg diikuti penjelasannya terkait hadits pelepah kurma karena jika kita memaksakan orang lain untuk mengikuti ulama yg kita sepaham dengannya tentu tidak mungkin. Apalagi jika mendapat tersebut hanya mengikuti pemahaman kita sendiri yg jauh dari wawasan keilmuan agama. Wallahu a’lam

Demikaian Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dan semoga bermanfa’at. Aamiin

والله الموفق الى اقوم الطريق







Rabu, 24 Februari 2016

KAJIAN TENTANG "KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH"


Prinsip “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yg mengaku beragama Islam. Tetapi yg harus diperhatikan adalah, apa yg benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur’an & Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur’an atau Sunnah yg dihasilkan oleh seorang ‘alim yg menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yg menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yg dihasilkan oleh orang awam yg mengandalkan buku2 “terjemah” al-Qur’an atau Sunnah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى {123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja yg membaca Al--Qur'an dan mengikuti apa2 yg ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath Thabari, 16/225].
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jg bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya." (H.R. Malik, al-Hakim dan al-Baihaqi)
Al-Qur’an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yg memiliki keahlian yg sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yg empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa’ ulama aqidah ahussunnah wal Jama’ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur’an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yg hidup dikemudian hari.
Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur’an dan Sunnah di dalam kitab2 mereka kepada umat sebagai sebuah “hasil jadi”. Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yg rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yg keliru terhadap al-Qur’an dan Sunnah yg sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yg mumpuni seperti yg dimiliki para ulama tersebut.
Boleh dibilang, kemampuan yg dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup para ulama yg masih dekat dengan masa hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam & para Shahabat yg tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yg shaleh, wara’ (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan “makanan siap saji” yg siap disantap oleh umat tanpa repot2 meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yg diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba2. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang2 mengangkat pemimpin dari kalangan orang2 bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yg banyak.” (HR. Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunannya (1/98), Abu Dawud no. 3641, dan Ibnu Majah)
Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,
سيأتي زمان على أمتي يفرّون من العلماء والفقهاء فيبتليهم الله بثلاث بليّات ألاها يرفع الله البركة من كسبهم والثانية يسلّط الله تعالى صلطانا ظالما والثالثة يخرجون من الدنيا بغير إيمان
“Akan datang suatu masa pada umatku, mereka lari (jauh) dari ulama’ dan fuqaha’ (orang2 yg paham mengenai agama), maka Allah akan menurunkan tiga macam adzab kepada mereka; Pertama, Allah mencabut keberkahan dari usaha mereka. Kedua, Allah memberikan kekuasaan kepada pemimpin yg kejam (di dunia). Ketiga, mereka keluar dari dunia ini (mati) tanpa membawa iman.” (kitab Nashaihul Ibad karangan Syaikh Nawawi al-Bantani dengan sedikit tambahan)
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang yg “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yg telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis bila karya para ulama yg jelas2 lebih mengerti tentang al-Qur’an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum minoritas (Salafi Wahabi) sebagai kumpulan pendapat manusia yg tidak berdasar pada dalil, sementara mereka sendiri yg jelas2 hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yg paling sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Wallahu a'lam
Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan dan semoga bermanfa'at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق
🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏

KAJIAN TENTANG "MANHAJ SALAF" BUKAN MILIK SALAFI WAHABI


Kata salaf sering dikaitkan dengan masa/waktu/jaman. Kadang dikaitkan dengan generasi. Kadang dikaitkan dengan keadaan. Semua itu merujuk ke masa lalu.
Adapun Salaf yg dimaksud dalam Islam, dalam kajian dakwah, akidah, maupun fikih, merujuk kepada hadits Nabi sbb:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ، وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ ) . روه البخاري ومسلم
Dari Andullah bin Mas'ud (Ibnu Mas'ud) ra dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah jaman (sesudah) ku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya kemudian akan datang suatu kaum yg persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya (orang2 yg banyak berdusta dan tidak bisa dipercaya)". (HR. Bukhari Muslim).
Para ulama menjelaskan bahwa “qarniy” (jamanku) adalah era kehidupan Nabi dan para Shahabat radhiyallahu 'anhum. Kadang disebut, “Jaman Shahabat.” Adapun jaman sesudah itu adalah para Pengikut (Tabi’in) dari para Shahabat, kemudian jaman sesudahnya adalah para pengikut Tabi’in (Tabi’ut Tabi’in).
Itulah 3 generasi awal perintis ajaran Islam. Itulah jaman SALAF yg dikehendaki. Ada yg menyebut istilah, 3 abad pertama hijriah. Atau abad 1, 2, dan 3 setelah hijrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah.
Keutamaan 3 generasi terbaik
طُوْبَى لِمَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي وَطُوْبَى لِمَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي وَلِمَنْ رَأَى مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي وَأَمَنَ بِي طُوْبَى لَهُمْ وَحُسْنَ مَآبٍ
Beruntunglah bagi orang yg melihatku dan beriman kepadaku (para sahabat), dan beruntunglah bagi orang yg melihat orang yg melihatku (tabi'in) dan orang yg melihat orang yg melihat orang yg melihatku dan beriman kepadaku (tabi'ut tabi'in). Beruntung bagi mereka dan tempat kembali yg baik." (HR. At-Thabrani)
لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَآنِي وَصَاحَبَنِي , وَاللهِ لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ , مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي , وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِي , وَاللهِ لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ , مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي , وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِي
"Kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yg melihatku dan menjadi sahabatku. Demi Allah kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yg melihat orang yg melihatku dan menjadi Sahabat dari Sahabatku. Demi Allah, kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yg melihat orang yg melihat orang yg melihatku dan menjadi Sahabat dari Sahabat para Sahabatku (HR. Ibnu Abi Syaibah dan al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan sanadnya hasan dalam Fathul Bari')
Definisi Manhaj
Manhaj menurut bahasa artinya jalan yg jelas dan terang. Allah Ta’ala berfirman:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al-Maidah : 48)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, "Maksudnya, jalan dan syari’at"
Sedang menurut istilah, manhaj ialah kaidah2 dan ketentuan2 yg digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiah, seperti kaidah2 bahasa Arab, ushul ‘aqidah, ushul fiqih, dan ushul tafsir dimana dengan ilmu2 ini pembelajaran dalam Islam beserta pokok2nya menjadi teratur dan benar.
Definisi Salaf
Salaf berasal dari kata: سلف، يسلف، سلفا (salafa-yaslufu-salafan), artinya adalah: telah lalu. Kalimat yang berbunyi سلف الصالح (salafussholih), artinya kaum terdahulu yg shalih. Kata Salaf juga bermakna orang2 yg telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman, keutamaan, dan kebaikan.
Adapun menurut istilah, Salaf adalah sifat yg khusus dimutlakkan kepada para Shahabat. Ketika disebutkan Salaf, maka yg dimaksud pertama kali adalah para Shahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.
AllahTa’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم
ُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah : 100)
Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan generasi pertama umat ini adalah para Shahabat radhiyallahu 'anhum dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah orang2 yg diridhai Allah, dan mereka dijamin masuk Surga. Dan orang2 setelah mereka, yg mengikuti mereka dengan baik dalam ‘aqidah, manhaj, dan lainnya, maka mereka pun akan mendapatkan ridha Allah dan akan masuk Surga.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُم
ْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29)
Dan yg dimaksud “orang2 yg bersama dia”, adalah para Shahabat.
Para ulama lain dari berbagai firqah pun mengatakan dan mengakui bahwa yg dimaksud dengan Salaf adalah para Shahabat dan dua generasi sesudahnya.
Imam Ghazali rahimahullah berkata ketika beliau mendefinisikan kata Salaf, “Yang saya maksud adalah mazhab Shahabat dan Tabi’in.”
Al-Baijuri rahimahullah berkata, “Maksud dari orang2 terdahulu (Salaf) adalah orang2 terdahulu dari kalangan para Nabi, para Shahabat, Tabi’in, dan pengikutnya.”
Jadi, klaim kelompok salafi wahabi pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab dewasa ini sebagai firqah najiyah (kelompok yg selamat) sebagai pengikuti salafusshalih dan menafikan kelompok ahlussunnah wal jama'ah yg lainnya adalah suatu KESALAHAN. Karena Muhammad bin Abdul Wahhab sesungguhnya bukan termasuk orang yg hidup di zaman salaf, meski tetap bermanhaj salaf. Dia seorang yg katanya sangat menekankan dalam aspek pembersihan aqidah, bukan seorang yg secara khusus mendalami ilmu fiqih dan perbedaan pendapat di dalamnya. Setidaknya, kita tidak pernah mendapatkan karya2nya di bidang fiqih, tidak juga di bidang kritik hadits. Kitabnya yg dikenal luas adalah kitab tauhid.
Satu hal lagi, janganlah kita mencampur aduk pandangan fiqih dan perbedaan pendapat yg ada pada generasi salaf dengan pendapat2 syeikh Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam urusan fiqih. Apalagi kita tahu bahwa keduanya justru hidup jauh setelah lewatnya generasi salaf.
Jangan kita salah duga bahwa kita merasa sedang mendakwahkan manhaj salaf, ternyata yg kita sampaikan hanyalah pendapat fiqih dari syeikh Ibnu Taimiyah yg hidup jauh setelah generasi salaf. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau sebagai ulama, namun jangan disalah persepsikan bahwa pandangan fiqih salaf hanyalah yg sesuai dengan pandangan fiqih beliau.
Jangan pula kita beranggapan bahwa yg salaf itu hanya Imam Ahmad bin Hanbal saja, sedangkan Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i yg hidupnya lebih dahulu dari mereka dianggap bukan salaf. Padahal Imam Ahmad adalah murid langsung Al-Imam Asy-Syafi’i. Bagaimana mungkin Al-Imam As-Syafi’i dan pengikutnya khususnya muslim indonesia dikatakan tidak bermanhaj salaf?
Jangan pula manhaj salaf itu berubah menjadi semua pendapat fiqih Nashiruddin Al-Albani. Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepadanya, namun dia pun seringkali menyelisihi pendapat para ulama di masa salaf dalam urusan furu’. Itu sekali lagi membuktikan bahwa di kalangan orang yg mengaku bermanhaj salaf sendiri pun juga tidak lepas dari perbedaan pendapat atau khilafiyah.
Bukankah pendapat syeikh Abdullah bin Baz seringkali menyelisihi pendapat syeikh Shaleh Al-‘Utsaimin dan Albani?
Apakah kita masih saja berprinsip bahwa siapa saja yg tidak sependapat dengan pendapat golonganku, berarti dia sesat, ahlu bid’ah, penyembah kubur, musyrik dan masuk neraka? Emang surga punya siapa?
Oleh karenanya untuk ikhwan wa akhwat salafi wahabi, janganlah klaim surga dan kebenaran hanya milik kalian. Kebenaran yg haqiqi hanya milik Allah Ta'ala, kita semua hanya menuju jalan yg benar sesuai Al-Qur'an dan As-Sunnah yg telah dijelaskan oleh para ulama. Wallahu a'lam
Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan dan semoga bermanfa'at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق

KAJIAN TENTANG SUNNAH MEMELIHARA JENGGOT


Jenggot (lihyah) adalah rambut yg tumbuh pada kedua pipi dan dagu. Jadi, semua rambut yg tumbuh pada dagu, di bawah dua tulang rahang bawah, pipi, dan sisi2 pipi disebut lihyah (jenggot) kecuali kumis.
Perintah Nabi Agar Memelihara Jenggot
Hadits pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Muslim)
Hadits kedua, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Selisilah orang2 musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim)
Hadits ketiga, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot.” (HR. Muslim)
Hadits keempat, dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (HR. Muslim)
Hadits kelima, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Bukhari)
Hadits keenam, dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisilah orang2 musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari)
Di samping hadits2 yg menggunakan kata perintah di atas, memelihara jenggot juga merupakan sunnah fithroh. Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
“Ada sepuluh macam fitroh, yaitu memendekkan kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” (HR. Muslim)
Dewasa ini banyak muncul tulisan (terutama kalangan salafi wahabi) yg membahas tentang kewajiban memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya. Sebenarnya isi tulisan tersebut tidak perlu dipersoalkan selama masih dalam koridor ijtihad masing2 umat Islam dan itu didukung oleh argumentasi yg dapat dipertanggung jawabkan, meskipun kita tidak sependapat dengan kesimpulan argumentasi yg dikemukakannya. Namun ini menjadi masalah ketika orang yg berpendapat wajib memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya mengklaim bahwa pendapat tersebut merupakan ijma' ulama, dimana konsekuensinya, maka barangsiapa yg menyalahinya, maka ia telah menyalahi ijma', pelaku bid’ah dan kemungkaran yg wajib dicegah serta merupakan pendapat sesat dan menyesatkan. Ini tentu sangat berbahaya bagi akidah umat Islam, karena itu, melalui tulisan ini sy mencoba menempatkan masalah ini (hukum memelihara dan mencukur jenggot) pada posisi yg sebenarnya dengan mengutip pendapat ulama2 mazhab dan ahli ilmu.
Pendapat para ulama mengenai hukum mencukur jenggot
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mencukur jenggot. Dr. Wahbah Zuhaili memaparkan bahwa ulama Malikiyah dan Hanabilah mengharamkan mencukur jenggot, sedangkan Hanafiyah menganggapnya sebagai makruh tahrim dan makruh tanzih di sisi Syafi’iyah. Pernyataan Wahbah Zuhaili tersebut dapat dilihat dalam kitabnya, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, sebagai berikut:
اما إرخاء أو إعفاء اللحية: فهو تركها وعدم التعرض لها بتغيير، وقد حرم المالكية والحنابلة حلقها، ولا يكره أخذ ما زاد على القبضة، ولا أخذ ما تحت حلقه، لفعل ابن عمر ويكره حلقها تحريماً عند الحنفية، ويكره تنزيهاً عند الشافعية، فقد ذكر النووي في شرح مسلم عشر خصال مكروهة في اللحية، منها حلقها، إلا إذا نبت للمرأة لحية، فيستحب لها حلقها.
ِAdapun menurunkan dan membiarkan jenggot, yaitu membiarkannya serta tidak melakukan perubahan, maka ulama Malikiyah dan Hanabilah mengharamkan mencukurnya dan tidak memakruhkan memotong yg lebih dari genggaman dan juga tidak memakruhkan memotong yg dibawah halqum seseorang, karena mengikuti perbuatan Ibnu Umar. Di sisi ulama Hanafiyah makruh tahrim mencukurnya dan makruh tanzih di sisi ulama Syafi’iyah. Al-Nawawi dalam Syarh Muslim telah menyebut sepuluh perkara yg makruh pada jenggot, sebagiannya mencukurnya kecuali apabila tumbuh jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya. [Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 308]
Kesimpulan Wahbah Zuhaili di atas dapat pula ditelusuri dalam kitab2 mazhab empat, yaitu sebagai berikut :
Ulama Hanafiyah:
1. Kitab Radd al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin :
وَلِذَا يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ قَطْعُ لِحْيَتِهِ
Karena itu, haramlah atas laki2 memotong jenggotnya. [Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar]
2. Kitab Badaa-i’ al-Shanaa-i’ fi Tartib al-Syara-i’, karangan Abu Bakar al-Kasany
أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مِنْ بَابِ الْمُثْلَةِ
Sesungguhnya mencukur jenggot termasuk dalam bab mutslah. [Abu Bakar al-Kasany, Badaa-i’ al-Shanaa-i’ fi Tartib al-Syara-i’, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 437]
Ulama Malikiyah :
1. Kitab Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir, karya Muhammad al-Dusuqi :
يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ حَلْقُ لِحْيَتِهِ
Haram atas laki2 mencukur jenggot. [Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir]
2. Kitab Bulghah al-Saalik li Aqrab al-Masalik, karya Syekh Ahmad al-Shawi :
قوله : ( بحلق لحيته و لا تسخيم وجهه ) : أي يحرم ذلك
Perkataan Mushannif : (Tidak dita’zir dengan mengukur jenggot dan tidak menghitamkan mukanya) artinya haram yg demikian itu. [Ahmad Shawi, Bulghah al-Saalik li Aqrab al-Masalik, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 81]
Qadhi ‘Iyazh, salah seorang ulama terkemuka dari kalangan Malikiyah berpendapat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan makruh, bukan haram sebagaimana pendapat yg masyhur dikalangan Malikiyah. Hal ini sebagaimana disebut dalam kitab Tharh al-Tatsrib karangan al-Hafizh al-‘Iraqi sebagai berikut :
قال القاضي عياض يكره حلقها وقصها وتحريقها
Qadhi ‘Iyazh mengatakan : makruh mencukur, memotong dan membakar jenggot. [Al-Hafizh al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Juz. II, Hal. 83]
Ulama Hanabilah
1. Kitab al-Furu’, karangan Ibnu Muflih :
وَيُعْفِي لِحْيَتَهُ ، وَفِي الْمَذْهَبِ مَا لَمْ يُسْتَهْجَنْ طُولُهَا وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا ذَكَرَهُ شَيْخُنَا
Dibiarkan jenggotnya, di dalam mazhab selama tidak dikuatirkan buruk panjangnya dan haram mencukurnya, itu disebut oleh guru kami. [Ibnu Muflih, al-Furu’]
2. Kitab Kasyf al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’ :
( وَيُحَرَّمُ ) التَّعْزِيرُ ( بِحَلْقِ لِحْيَتِهِ ) لِمَا فِيهِ مِنْ الْمُثْلَةِ
Haram ta’zir dengan cara mencukur jenggotnya, karena hal itu termasuk mutslah. [Mansur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali, Kasyf al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 492]
Ulama Syafi’iyah
Sedangkan ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dalam menentukan hukum mencukur jenggot, namun yg mu’tamad yg dianggap sebagai mazhab adalah pendapat yg menyatakan makruh, sebagaimana terlihat dalam kutipan kitab2 Syafi’iyah di bawah ini :
a. Kitab Fathul Mu’in karangan Zainuddin al-Malibari :
ويحرم حلق لحية، وخضب يدي الرجل ورجليه بحناء، خلافا لجمع فيهما. وبحث الاذرعي كراهة حلق ما فوق الحلقوم من الشعر.وقال غيره إنه مباح.
Haram mencukur jenggot dan mewarnai dua tangan seorang laki2 dan dua kakinya dengan inai, khilaf dengan sekelompok ulama pada masalah keduanya. Al-Azra’i telah membahas makruh mencukur bulu di atas halqum, sedangkan lainnya mengatakan mubah. [Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340]
b. Al-Nawawi dalam Syarah Muslim telah menyebut perkara2 yg makruh pada jenggot, sebagiannya yaitu:
الثانية عشر حلقها الا إذا نبت للمرأة لحية فيستحب لها حلقها
Yang kedua belas adalah mencukurnya kecuali apabila tumbuh jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya. [Al-Nawawi, Syarh Muslim]
c. Kitab I’anah al-Thalibin, karangan al-Bakri al-Dimyathi dalam mengomentari pernyataan pengarang Fathul Mu’in di atas menyebutkan :
المعتمد عند الغزالي وشيخ الإسلام وابن حجر في التحفة والرملي والخطيب وغيرهم: الكراهة
Pendapat yg mu’tamad di sisi al-Ghazali, Syekh Islam, Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib dan lainnya adalah makruh. [Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340]
d. Kitab Asnaa al-Mathalib, karangan Zakariya al-Anshari :
(وَ) يُكْرَهُ (نَتْفُهَا) أَيْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ وَحُسْنِ الصُّورَةِ
Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yg baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus. [Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib]
e. Kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy:
ذَكَرُوا هُنَا فِي اللِّحْيَةِ وَنَحْوِهَا خِصَالًا مَكْرُوهَةً مِنْهَا نَتْفُهَا وَحَلْقُهَا
Mereka (ulama) telah menyebut di sini berkenaan dengan jenggot dan seumpamanya tentang perkara2 yg dimakruhkan, di antaranya mencabut dan mencukur jenggot. [Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 375-376]
f. Kitab Mughni al-Muhtaj, karangan Khatib Syarbaini :
و يُكْرَهُ نَتْفُْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ
Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yg baru tumbuh jenggot. [Khatib Syarbaini,Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. IV, Hal. 397]
g. Kitab Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj:
(قَوْلُهُ أَوْ يَحْرُمُ كَانَ خِلَافَ الْمُعْتَمَدِ إلَخْ) قَالَ فِي شَرْحُ الْعُبَابِ فَائِدَةٌ قَالَ الشَّيْخَانِ يُكْرَهُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ وَاعْتَرَضَهُ ابْنُ الرِّفْعَةُ فِي حَاشِيَةِ الْكَافِيَةِ بِأَنَّ الشَّافِعِيَّ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - نَصَّ فِي الْأُمِّ عَلَى التَّحْرِيمِ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَكَذَا الْحَلِيمِيُّ فِي شُعَبِ الْإِيمَانِ وَأُسْتَاذُهُ الْقَفَّالُ الشَّاشِيُّ فِي مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ
(Perkataan mushannif : “atau haram, maka pendapat yg menyalahi yg mu’tamad”), dikatakan dalam Syarh al-‘Ubab : “Faedah : Kedua Syekh (yaitu Nawawi dan Rāfi'ī) menganggap makruh mencukur jenggot. Ibnu Ar-Rifa'ah menentang pendapat mereka dalam Hasyiyah al-Kāfiyah karena ada nash dari Imam Syafi'i r.a. dalam kitabnya, al-Umm haram mencukur jenggot. Az-Zarkasyī menyatakan bahwa hal yg sama dinyatakan oleh Al-Hulaimi dalam kitabnya, Syu'ab Al-Iman, serta gurunya Al-Qaffāl Ash-Syasyi dalam Mahasin Asy-syari'ah. [Syarwani, Hawasyi al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 376]
Apabila kita perhatikan kutipan2 di atas, maka dapat diterangkan di sini bahwa kebanyakan ulama Syafi’iyah berpendapat makruh mencukur jengggot, bukan haram, yaitu al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib, dan lainnya. Sedangkan yg menyatakan haram adalah Ibnu al-Rifa’ah, al-Hulaimy dan al-Qafal al-Syasyi. Kita berkesimpulan bahwa pendapat makruh mencukur jengggot, yaitu pendapat al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib merupakan pendapat mu’tamad dalam mazhab Syafi’i karena berdasarkan kesepakatan ulama Syafi’iyah mutaakhiriin bahwa yg menjadi ikutan dalam mazhab Syafi’i adalah pendapat yg dipegang oleh al-Nawawi dan al-Rafi’i, kemudian Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, Zakariya al-Anshari, al-Khatib dan kemudian ulama2 lainnya yg berada di bawahnya. Dalam Fathul Mu’in disebutkan:
إعلم أن المعتمد في المذهب للحكم والفتوى ما اتفق عليه الشيخان، فما جزم به النووي فالرافعي فما رجحه الاكثر فالاعلم فالاورع.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya yg mu’tamad dalam mazhab untuk penetapan hukum dan fatwa adalah apa yg menjadi kesepakatan dua syaikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i), kemudian yg dipastikan oleh al-Nawawi, kemudian oleh al-Rafi’i, kemudian hukum yg ditarjih oleh kebanyakan, kemudian yg lebih ‘alim dan kemudian yg lebih wara’. [Zainuddin al-malibari, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 233-234]
Al-Bakri al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin (kitab hasyiah bagi kitab Fathul Mu’in di atas) menjelaskan :
واعلم أنه إذا اختلف كلام المتأخرين عن الشيخين - كشيخ الاسلام وتلامذته - فقد ذهب علماء مصر إلى اعتماد ما قاله الشيخ محمد الرملي، خصوصا في نهايته، لانها قرئت على المؤلف إلى آخرها في أربعمائة من العلماء فنقدوها وصححوها. وذهب علماء حضرموت وأكثر اليمن والحجاز إلى أن المعتمد ما قاله الشيخ أحمد بن حجر في كتبه، بل في تحفته لما فيها من الاحاطة بنصوص الامام مع مزيد تتبع المؤلف فيها، ولقراءة المحققين لها عليه الذين لا يحصون، ثم إذا لم يتعرضا بشئ فيفتي بكلام شيخ الاسلام، ثم بكلام الخطيب، ثم بكلام الزيادي، ثم بكلام ابن قاسم، ثم بكلام عميرة، ثم بكلام ع ش، ثم بكلام الحلبي، ثم بكلام الشوبري، ثم بكلام العناني، ما لم يخالفوا أصول المذهب.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila khilaf kalam muatakhirin mengenai pendapat dua syeikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i) seperti Syeikh Islam dan murid-muridnya, maka ulama Mesir berpegang kepada pendapat yg dipegang oleh Syeikh Muhammad al-Ramli, terutama dalam kitab al-Nihayah, karena kitab tersebut sudah dibaca kepada pengarangnya hingga akhirnya pada empat ratus ulama dimana mereka mengkritik dan mentashihnya. Ulama Hazramaut dan kebanyakan ulama Yaman dan Hijaz berpedapat bahwa yg mu’tamad adalah pendapat Syeikh Ahmad Ibnu Hajar dalam semua kitabnya, bahkan terutama dalam Tuhfah, karena dalamnya diperhatikan nash2 imam serta lebih teliti pengarangnya serta juga karena telah dibaca para ulama muhaqiqin yg tidak terbatas banyaknya. Kemudian apabila keduanya (Ibnu Hajar dan al-Ramli) tidak mengemukakan pendapat apapun, maka difatwakan dengan kalam Syeikh Islam, kalam al-Khatib, al-Ziyadi, Ibnu Qasim, ‘Amirah, ع ش (‘Ali Syibran al-Malusi), al-Halabi, al-Syaubari, dan kemudian kalam al-‘Inaani, selama mereka itu tidak menyalahi ushul mazhab. [Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 234]
Kemudian timbul pertanyaan benarkah jenggot mengurangi kecerdasan, sehingga makin panjang jenggot maka makin goblok?
Ada yg mengatakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam kitabnya Akhbarul Hamqa wal Mughaffalin menukil sebuah keterangan di dalam kitab Taurat :
إن اللحية مخرجها من الدماغ فمن أفرط عليه طولها قل دماغه ومن قل دماغه قل عقله ومن قل عقله كان أحمق
"Sesungguhnya jenggot itu tempat keluarnya dari otak. Barang siapa lebai dalam memanjangkannya maka sedikitlah otaknya, barang siapa sedikit otaknya maka sedikitlah akalnya dan barang siapa sedikit akalnya maka dia itu KOPLAK….!!!."
Ungkapan diatas sebenarnya bukanlah ungkapan Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H) dalam kitabnya Akhbarul Hamqa wal Mughaffalin, namun ucapan Al Ma’mun dalam kitab Ghararul Khôshôis al Wâdhihah hal 156 karya Abu Ishaq Burhanuddin Muhammad (w. 718 H).
[ لكتاب: غرر الخصائص الواضحة، وعرر النقائض الفاضحة
المؤلف: أبو إسحق برهان الدين محمد بن إبراهيم بن يحيى بن علي المعروف بالوطواط (المتوفى: 718هـ]
Dan kalau diterjemahkan:
"Sesungguhnya jenggot itu tempat keluarnya dari otak. Barang siapa y g ekstrim (berlebihan/afratha) dalam memanjangkannya maka sedikitlah otaknya, barang siapa sedikit otaknya maka sedikitlah akalnya dan barang siapa sedikit akalnya maka dia itu dungu/tolol…"
Ungkapan tersebut bukan mencela berjenggot, namun mencela “ekstrim (berlebihan/afratha) dalam memanjangkannya perhatikan frase (فمن أفرط عليه طولها) maka akan jelas maksudnya.
Bagaimana sikap berlebihan yg mereka cela? Salah satunya adalah memanjangkannya lebih dari satu genggaman, Imam Ibnul Jauzi, dalam Akhbarul Hamqa wal Mughaffalin hal 23 menyatakan:
قال زياد ابن أبيه: ما زادت لحية رجل على قبضته، إلا كان ما زاد فيها نقصاً من عقله
"Telah berkata Ziyâd: Tidaklah lelaki yg jenggotnya bertambah (panjang) melebihi genggamannya, kecuali bertambah pula kekurangan akalnya.
Imam as Syafi’i sendiri juga membiarkan jenggotnya hingga segenggam, dalam Syadzaratudz Dzahab juz 2 hal 204, al Muzani, murid beliau, berkata:
ما رايت احسن وجها من الشافعى، اذا قبض على لحييه ﻻ تفضل عن قبضته
"Tidaklah pernah kulihat wajah yg lebih tampan daripada As-Syafi’i, jika beliau menggenggam jenggotnya tidaklah (jenggotnya) melebihi genggamannya…"
Kesimpulan
1. Masalah mencukur jenggot bukanlah merupakan ijmak ulama sebagaimana dakwaan sebagian umat Islam dewasa ini, bahkan hanya merupakan masalah furu’iyah dan khilafiyah sehingga tidak boleh sebagian umat Islam menuduh sesat yg lainnya hanya karena tidak menyetujui pendapatnya.
2. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat haram mencukur jenggot
3. Ulama Malikiyah berpendapat haram mencukur jenggot, namun Qadhi ‘Iyazh salah seorang ulama Malikiyah berpendapat makruh
4. Pendapat kebanyakan dan yg mu’tamad di kalangan Syafi’iyah adalah makruh, sebagiannya berpendapat haram.
5. Jenggot adalah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika berjenggot hendaklah yg proporsional biar terlihat tdk berlebihan dan menakutkan. Wallahu a'lam
Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan dan semoga bermanfa'at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق