Kamis, 10 September 2015

ADAKAH SHOLAT REBO WEKASAN (DI BULAN SHOFAR)?



Berawal sebuah pertanyaan terkait sholat lidaf'il bala' yg biasa dilakukan oleh sebagian umat islam di Indonesia yg dilaksanakan di hari Rabu terakhir di bulan Shofar. Adakah ajaran mengenai hal tersebut?

Berikut sumbernya:

Dalam Kitab Sunanun Mardhiyah ini karya Syekh Abdul Ghaust Saefullah Al-Maslul hal 50;
Barang siapa yg melaksanakan shalat sunat Lidafil bala pada hari rabu akhir di bulan shafar (guna terhindar dari bala), Dilaksanakan sesudah shalat isroq (sekitar jam 06.00 lebih atau 06.30) ba'da membaca Al-Fatihah, baca Al-Kautsar 17 kali, kemudian Al-Ihklas 5 kali, Al falak 1 kali, Annas 1 kali. Dilaksanakan sebanyak 4 rakaat dengan 2 kali salam... dan dilanjutkan dengan pembacaan shalawat.

Dalam Kitab Makanatut Dzikri, Allah menurunkan musibah atau bala pada akhir bulan shafar jumlah 320.000 ini tersimpan dalam kekuasaan Allah untuk satu tahun ini turun ke bumi tanpa mengenal waktu, tempat, hari dan bulan. Bisa jadi pada bulan rajab, mulud, bulan Sya’ban dan lain sebagainya.

Dalam Kitab “Kanzun Najah” karangan Syekh Abdul Hamid Kudus yg pernah mengajar di Makkatul Mukaramah. Dalam buku tersebut diterangkan bahwa telah berkata sebagian ulama ‘arifin dari ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi), bahwa setiap hari Rabu di akhir bulan Shafar diturunkan ke bumi sebanyak 360.000 malapetaka dan 20.000 macam bencana. Bagi orang yang melaksanakan shalat Rebo Wekasan atau shalat tolak bala pada hari tersebut sebanyak 4 raka’at satu kali salam atau 2 kali salam dan pada setiap raka’at setelah membaca surat Al Fatihah dilanjutkan dengan membaca surat Al Kautsar 17 kali, surat Al Ikhlas 5 kali, surat Al Falaq 2 kali dan surat An Nas 1 kali. Setelah selesai shalat dilanjutkan membaca do’a tolak bala, maka orang tersebut terbebas dari semua malapetaka dan bencana yg sangat dahsyat tersebut.

Ada baiknya jika hal diatas dicocokkan dgn penjelasan berikut ini:

Hadits terkait rebo terakhir setiap bulan

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ  قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).

“Dari Ibn Abbas , Nabi  bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” (HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).

Keterangan hadits shahih berikut ini:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ  قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ  قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.

“Dari Abu  Hurairah ra, Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shofar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yg terbang.” (HR. Bukhari Muslim).

أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ  ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).

“Maksud hadits di atas, orang2 Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shofar adalah bulan sial. Maka Nabi  membatalkan hal tersebut.

Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yg mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yg paling benar. Banyak orang awam yg meyakini datangnya sial pada bulan Shofar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yg dilarang.”

(Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148)

Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari pernah menjawab pertanyaan tentang  Rebo Wekasan dan beliau menyatakan bahwa semua itu tidak ada dasarnya dalam Islam (ghairu masyru’).

Umat Islam juga dilarang menyebarkan atau mengajak orang lain untuk mengerjakannya. Berikut naskah lengkap dari beliau:

بسم الله الرحمن الرحيم وبه نستعين على أمور الدنيا والدين وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.

أورا وناع فيتوا أجاء – أجاء لن علاكوني صلاة ربو وكاسان لن صلاة هدية كاع كاسبوت إع سؤال، كرنا صلاة لورو إيكو ماهو دودو صلاة مشروعة في الشرع لن أورا أنا أصلي في الشرع. والدليل على ذلك خلو الكتب المعتمدة عن ذكرها، كيا كتاب تقريب، المنهاج القويم، فتح المعين، التحرير لن سأ فندوكور كيا كتاب النهاية، المهذب لن إحياء علوم الدين. كابيه ماهو أورا أنا كع نوتور صلاة كع كاسبوت.

ومن المعلوم أنه لو كان لها أصل لبادروا إلى ذكرها وذكر فضلها، والعادة تحيل أن يكون مثل هذه السنة وتغيب عن هؤلاء وهم أعلم الدين وقدوة المؤمنين. لن أورا وناع أويه فيتوا أتوا عافيك حكوم ساكا كتاب مجربات لن كتاب نزهة المجالس. كتراعان سكع كتاب حواشى الأشباه والنظائر للإمام الحمدي قال: ولا يجوز الإفتاء من الكتب الغير المعتبرة، لن كتراعان سكع كتاب تذكرة الموضوعات للملا على القاري: لا يجوز نقل الأحاديث النبوية والمسائل الفقهية والتفاسير القرآنية إلا من الكتب المداولة (المشهورة) لعدم الإعتماد على غيرها من ودع الزنادقة والحاد الملاحدة بخلاف الكتب المحفوظة انتهى. لن كتراعان سكع كتاب تنقيح الفتوى الحميدية: ولا يحل الإفتاء من الكتب الغريبة. وقد عرفت أن نقل المجربات الديربية وحاشية الستين لاستحباب هذه الصلاة المذكورة يخالف كتب الفروع الفقهية فلا يصح ولا يجوز الإفتاء بها. لن ماليه حديث كع كاسبات وونتن كتاب حاشية الستين فونيكا حديث موضوع. كتراعان سكع كتاب القسطلاني على البخاري: ويسمى المختلف الموضوع ويحرم روايته مع العلم به مبينا والعمل به مطلقا. انتهى…. …… إلى أن قال: وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَسْتَدِلَّ بِمَا صَحَّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: الصَّلاَةُ خَيْرُ مَوْضُوْعٍ، فَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَكْثِرْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَقْلِلْ، فَإِنَّ ذَلِكَ مُخْتَصٌّ بِصَلاَةٍ مَشْرُوْعَةٍ. سكيرا أورا بيصا تتف كسنتاني صلاة هديه كلوان دليل حديث موضوع، مك أورا بيصا تتف كسنتاني صلاة ربو وكاسان كلوان داووهي ستعاهي علماء العارفين، مالاه بيصا حرام، سبب إيكي بيصا تلبس بعبادة فاسدة. والله سبحانه وتعالى أعلم. (هذا جواب الفقير إليه تعالى محمد هاشم أشعري جومباع).


Tradisi Rebo Wekasan  memang bukan bagian dari Syariat Islam, akan tetapi merupakan tradisi yg positif karena
(1) menganjurkan shalat dan doa;
(2) menganjurkan banyak bersedekah;
(3) menghormati para wali yang mukasyafah (QS. Yunus : 62).

Karena itu, hukum ibadahnya sangat bergantung pada tujuan dan teknis pelaksanaan. Jika niat dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan syariat, maka hukumnya boleh. Tapi bila terjadi penyimpangan (baik dalam keyakinan maupun caranya), maka hukumya haram.

Bagi yg meyakini silahkan mengerjakan tapi harus sesuai aturan syariat dan tidak perlu mengajak siapapun. Bagi yg tidak meyakini tidak perlu mencela atau mencaci-maki.

Mengenai indikasi adanya kesialan pada akhir bulan Shofar, seperti peristiwa angin topan yg memusnahkan Kaum ‘Aad (QS. Al-Qamar: 18-20), maka itu hanya satu peristiwa saja dan tidak terjadi terus-menerus. Karena banyak peristiwa baik yg juga terjadi pada Rabu terakhir Bulan Shofar, seperti penemuan air Zamzam di Masjidil Haram, penemuan sumber air oleh Sunan Giri di Gresik, dll.

Kemudian, betapa banyak orang yg selamat (tidak tertimpa musibah) pada Hari Rabu terakhir bulan Shafar, meskipun mereka tidak sholat Rebo Wekasan. Sebaliknya, betapa banyak musibah yg justru terjadi pada hari Kamis, Jum’at, Sabtu, dll (selain Rabu Wekasan) dan juga pada bulan2 selain Bulan Shofar. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya musibah atau malapetaka adalah urusan Allah, yg tentu saja berkorelasi dengan sebab2 yg dibuat oleh manusia itu sendiri.

Mengenai cuaca ekstrim yg terjadi di bulan ini (Shofar/Desember 2012-Januari 2013 yg lalu), maka itu adalah siklus tahunan. Itu adalah fenomena alam yg bersifat alamiah (Sunnatullah) dan terjadi setiap tahun selama satu bulanan (bukan hanya terjadi pada Hari Rabu Wekasan saja). Intinya, sebuah hari bernama “Rebo Wekasan” tidak akan mampu membuat bencana apapun tanpa seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Wallohu a’lam bis-Showab dan semoga bermanfa'at. Aamiin

ALLAH MEWAJIBKAN HAJI



Khutbah Pertama:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ، شَرَعَ لِعِبَادِهِ التَزَاوَجَ لِإِنْجَابِ الْأَوْلَادِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، شَهَدَتاً أَدخَرَهَا لِيَوْمِ المَعَادِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَخِيْرَتُهُ مِنْ سَائِرِ العِبَادِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ البَرَرَةِ اَلْأَمْجَادِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ:

أَيُّهَا النَّاسُ، اِتَّقُوْا اللهَ حق تقاته وﻻتموتن اﻻ وانتم وسلمون

Ibadallah,

Pada suatu hari, di kota Nabi, Kota Madinah al-Munawwarah, kira-kira 10 bulan sebelum wafatnya Nabi ﷺ, beliau berkhotbah di tengah sahabat:

“Wahai manusia, Allah telah mewajibkan kepada kalian haji, maka tunaikanlah haji!”

Ada seorang yang menanggapi, “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?”

Beliau ﷺ diam tidak menanggapi. Orang tersebut mengulang pertanyaannya hingga tiga kali. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, “Seandainya kukatakan iya, niscaya diwajibkan (setiap tahun). Dan kalian tidak akan mampu (mengerjakannya).” Kemudian beliau melanjutkan, “Biarkanlah aku tentang sesuatu yang kulapangkan untuk kalian. Sesungguhnya sebab binasa orang-orang sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan mereka menyelisihi nabi-nabi mereka. apabila kuperintahkan sesuatu, lakukanlah semampu kalian. Namun apabila kularang, maka tinggalkanlah.” (HR. Muslim).

Hadits ini sangat jelas menerangkan tentang wajibnya menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Ibadah haji bagi seseorang yang memiliki kemampuan finansial dan kesehatan. Itulah panggilan haji untuknya. Allah ﷻ berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS:Ali Imran | Ayat: 97).

Demikianlah wajibnya ibadah haji. Hingga Umar bin al-Khattab berkata,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنَّ أَبْعَثَ رِجَالًا إِلَى هَذِهِ الْأَمْصَارِ فَيَنْظُرُوا كُلَّ مَنْ كَانَ لَهُ جَدَّةٌ فَلَمْ يَحُجَّ، فَيَضْرِبُوا عَلَيْهِمُ الْجِزْيَةَ مَا هُمْ بمسلمين، ما هم بمسلمين

“Saya bertekad untuk mengutus beberapa orang ke berbagai penjuru negeri ini, untuk memeriksa siapa diantara mereka yang memiliki harta, namun dia tidak berhaji, kemudian mereka diwajibkan membayar fidyah. Mereka bukan bagian dari kaum muslimin.. mereka bukan bagian dari kaum muslimin.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/85)

Ibadallah,

Bagaimana akan baik pribadi seorang muslim ketika ia meninggalkan ibadah haji, padahal ia mampu secara finansial dan kesehatan. Ia mampu mengeluarkan hartanya untuk sesuatu yang ia inginkan. Ia suka jalan-jalan dan traveling. Ketika dihadapkan kepada ibadah haji ia beralasan capek. Padahal dalam urusan dunianya ia tidak mengenal lelah.

Bagaimana bisa ibadah haji itu terasa berat baginya, padahal haji hanya diwajibkan satu kali seumur hidupnya. Ia sengaja menunda-nundanya, padahal ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Apakah ketika menunda itu ia yakin bisa berhaji di tahun depan ataukah tidak.

Ada seseorang yang bertanya tentang seseorang yang mampu menunaikan ibadah haji. Akan tetapi ia malas untuk menunaikan hingga berlalu 20 tahun, ia belum juga menunaikan ibadah haji. Akhirnya ia pun mengalami kepikunan. Apakah ia tetap diwajibkan untuk berhaji atau tidak?

Perhatikanlah wahai hamba Allah, bagaimana ia bisa menunda-nunda untuk berangkat haji hingga ia ditimpa kepikunan. Kemudian kematian pun menjemputnya.

Tidakkah orang-orang yang demikian pernah mendengar sebuah hadits shahih dari Nabi ﷺ tentang keutamaan dan keagungan ibadah haji? Tidakkah mereka pernah mendengan sabda Nabi ﷺ,

« مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّه »

“Barangsiapa berhaji ke Baitullah kemudian ia tidak berbuat rafats dan tidak berbuat fasik maka ia kembali seperti pada hari dilahirkan oleh ibunya (bersih dari dosa).” (HR. al-Bukhari).

Apakah mereka belum pula mendengar sabdanya ﷺ,

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

“Haji yang mabrur tiada balasan baginya kecuali surge.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Tidakkah mereka merasa tergerak dan berkeinginan kuat termasuk orang yang dibebaskan dari api neraka? Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

“Tidak ada hari di mana Allah membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah. Dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata: ‘Apa yang mereka inginkan’?” (HR. Musim).

Orang yang mampu secara finansial sementara tidak berhaji hingga mati, maka dia dihajikan orang lain, dengan biaya yang diambilkan dari warisannya. Meskipun selama hidup, dia tidak pernah berwasiat.

Al-Buhuti mengatakan,

وإن مات من لزماه أي الحج والعمرة أخرج من تركته من رأس المال ـ أوصى به أو لا ـ ويحج النائب من حيث وجبا على الميت، لأن القضاء يكون بصفة الأداء

Apabila ada orang yang wajib haji atau umrah meninggal dunia, maka diambil harta warisannya (untuk badal haji), baik dia berwasiat maupun tidak berwasiat. Sang badal melakukan haji dan umrah sesuai keadaan orang yang meninggal. Karena pelaksanaan qadha itu sama dengan pelaksanaan ibadah pada waktunya (al-Ada’). (ar-Raudh al-Murbi’, 1/249)

Apakah mereka tidak menginginkan maaf dan ampunan dari Allah?

Tidak hati-hati mereka bergetar dan muncul rasa keinginan ketika melihat pemandangan jamaah haji. Orang-orang berpakaian sama, semua mengenakan pakaian ihram. Semua mengucapkan kalimat talbiyah. Mereka memanjatkan berbagai macam doa dan melafadzkan dzikir-dzikir. Mereka memutari Baitullah. Mereka memohon tentang perkaran dunia dan agama mereka kepada Allah. Mereka diridhai dan dicintai Allah ﷻ.

Kemudian mereka berkurban. Mereka merendahkan diri dan tunduk di hadapan Allah.

Tentu pemandangan ini layak untuk diperhatikan bagi mereka yang mau berpikir. Mohonlah taufik dan petunjuk kepada Allah agar diberikan kemudahan. Sungguh Allah lah yang mengabulkan doa dan permintaan.

Bertakwalah wahai hamba Allah,

Bertakwalah wahai orang-orang yang telah Allah ﷻ berikan kemudahan kepada mereka. Tunaikanlah ibadah haji. Seandainya raja atau presiden di dunia ini mengirim utusannya untuk memanggil mereka, untuk memberikan sesuatu dari dunia ini, atau untuk menjalin kedekatan dengan mereka, pastinya mereka akan segera memenuhinya. Baik berjalan mapun berkendaraan. Mereka bersegera mendatanginya. Padahal dunia yang ia berikan adalah sedikit dan fana.

Adapun Allah sang Maharaja, Dia memanggil mereka untuk memperbaiki mereka, memuliakan mereka, mengampuni dosa-dosa mereka, menghilangkan duka dan masalah mereka, melimpahkan kebaikan yang banyak, memenuhi harapan-harapan mereka, dan memperbaiki agama mereka, mengapa mereka menunda-nudanya?

Semoga Allah ﷻ memberi taufik kepada kita untuk bersegera memenuhi panggilannya. Menunaikan ibadah haji di Baitullah al-haram.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعْنَا بِمَا فِيْهِ مِنَ البَيَانِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِجَمِيْعِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.

Khutbah Kedua:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ تَعْظِيْماً لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَلدَّاعِيْ إِلَى رِضْوَانِهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:

أَيُّهَا النَّاسُ، اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى، ان امركم بأمر بداء فيه بنفسه وثنى بمﻻئكته وايهاباالمؤمنين من عباده. وقال تعالى :
(إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا) اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَاشِدِيْنَ، اَلْأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ، أَبِيْ بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِّلَّ الشِّرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِناً مُطْمَئِنّاً وَسَائِرَ بِلَادِ المُسْلِمِيْنَ عَامَةً يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ، اَللَّهُمَّ مَنْ أَرَادَ الْإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ بِسُوْءٍ فَأَشْغَلَهُ بِنَفْسِهِ، وَرُدَّدْ كَيْدَهُ فِي نَحْرِهِ، وَكِفْنَا شَرَّهُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ، اَللَّهُمَّ وَلِّي عَلَيْنَا خِيَارَنَا، وَكَفِيْنَا شَرَّ شِرَارَنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَا لَا يَخَافُكَ وَلَا يَرْحَمُنَا، اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ إِمَامَنَا وَفِّقْهُ لِمَا فِيْهِ الخَيْرَ وَالصَلَاحَ لِلْإِسْلَامِ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ المُسْلِمِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ بِطَانَتَهُمْ وَجُلَسَائِهِمْ وَمُسْتَشَارِيْهِمْ وَمَنْ حَوْلَهُمْ، اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ جُلَسَاءَ السُّوْءِ وَبِطَانَةَ السُّوْءِ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ، (رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ).

عِبَادَ اللهِ، (إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ)، (وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلا تَنقُضُوا الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمْ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ)، فَاذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أكبر َ.

Minggu, 06 September 2015

WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN WANITA HAMIL


Jujur sy tidak menghendaki dan tentu jg yg bersangkutan tdk menginginkan hal ini terjadi. Sudah kesekian kalinya sy dimintai tolong unt menyelamatkan janin yg terlanjur tertanam dlm rahim perempuan dgn cara MENIKAHKANNYA. Mulai dari yg usia belia, remaja dan dewasa. Ada yg blm punya KTP sampai yg laki2nya sdh beristri, kasusnya sama HAMIL diluar nikah.
Sebagai pelayan masyarakat tentunya sulit menghindar jika diminta tolong terkait kasus ini. Jika tdk ditolong demi keberlangsungan janin biar ada yg tanggung jawab terabaikan dan jg beban moril bagi keluarganya tentunya. Dan jika ditolong sdh pasti banyak khilafiyah pendapat ulama tentangnya. Meskipun akhirnya sy kabulkan permintaan tersebut dgn menikahkannya.
Jika dilihat dari kacamata agama kasus tersebut disinggung oleh Alloh sbb:
الزَّاني لا يَنْكِحُ إِلاَّ زانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّ زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَ حُرِّمَ ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمنينِ
“laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3)
Memang ada sebagian pendapat yg mengharamkan menikahi wanita yg pernah dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat QS. An-Nuur: 3 tersebut.
Namun kalau kita teliti, rupanya yg mengharamkan hanya sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkannya.
Pendapat Ulama
Jumhurul fuqaha’ (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yg dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yg pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yg pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yg zahirnya mengharamkan itu?
Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz ‘hurrima‘ atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci). Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yg khusus saat ayat itu diturunkan. Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٣٢)
"Dan kawinkanlah orang-orang yg sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur: 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata, "Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yg berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yg haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Thobroni dan Daruquthuni)
Ulama 4 Imam Madzab Fikih hanya Madzhab Hambali (Imam Ahmad bin Hambal) yg mengatakan melarang dan TIDAK SAH pernikahan yg dilakukan saat wanita telah hamil sampai dia melahirkan. Adapun madzhab yg lain membolehkannya sbb:
Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki2 yg menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yg menikahinya itu bukan laki2 yg menghamilinya, maka laki2 itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
Madzhab Maliki dan Hanbali
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki2 yg tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yg hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun. (Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An- Nawawi, jus XVI halaman 253)
Madzhab Syafi'i
Imam Syafi'i menurut pendapat beliau adalah bahwa baik laki2 yg menghamili atau pun yg tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. (Kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy- Syairazi juz II halaman 43.)
UU Perkawonan RI Dalam Kompilasi Hukum Islam
Dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut:
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Itulah landasan yg menjadi rujukan sy berani melakukan dan membantu pelaksanaan pernikahan wanita yg terlanjur hamil.
Perempuan hamil di luar nikah berbeda dengan perempuan hamil dalam masa iddah karena cerai atau ditinggal mati suaminya. Untuk mereka yg hamil dalam masa iddah atau ditinggal mati suami, pernikahan mereka tidak sah. Mereka boleh menikah lagi setelah melahirkan dan habis masa nifas.
Sedangkan perempuan hamil di luar nikah, tidak memiliki iddah. Karena, masa iddah hanya milik mereka yg menikah. Jadi pernikahan perempuan hamil di luar nikah TETAP SAH. Demikian diterangkan Syekh M Nawawi Banten dalam karyanya, Qutul Habibil Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib.
ولو نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح
"Kalau seorang pria menikahi perempuan yg tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yg lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa kehamilan."
Meskipun demikian, Islam secara keras mengharamkan persetubuhan di luar nikah. Hamil, tidak hamil, atau dicegah hamil sekalipun. Karena, perbuatan keji ini dapat merusak berbagai aspek. Jangan sampai ada lagi bayi2 suci teronggok bersama lalat dan sampah.

Masalah Bertahkim (Wali Hakim)

Wali hakim juga dapat menjadi wali nikah apabila wali dekat (bapak) menolak menikahkan dengan alasan yg tidak sesuai syariah. Wali ini disebut wali adhol (menghalangi pernikahan). Dalam QS Al-Baqarah: 233 Allah berfirman:

فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن إذا تراضوا بينهم بالمعروف

"Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka nikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yg ma'ruf." (QS. Al-Baqarah: 233)

Dalam mazhab Syafi'i, apabila bapak (wali dekat/aqrob) menolak menikahkan putrinya tanpa alasan syar'i, maka hak menikahkan berpindah ke wali hakim, bukan ke wali lain yg jauh (wali ab'ad) seperti paman, saudara, dll. Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 30/144 dijelaskan sbb:

ذهب الفقهاء إلى أنه إذا تحقق العضل من الولي وثبت ذلك عند الحاكم , أمره الحاكم بتزويجها إن لم يكن العضل بسبب مقبول , فإن امتنع انتقلت الولاية إلى غيره .

لكن الفقهاء اختلفوا فيمن تنتقل إليه الولاية : فعند الحنفية , والشافعية ، والمالكية - عدا ابن القاسم - وفي رواية عن أحمد أن الولاية تنتقل إلى السلطان ؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له ) ; ولأن الولي قد امتنع ظلما من حقٍّ توجه عليه فيقوم السلطان مقامه لإزالة الظلم , كما لو كان عليه دين وامتنع عن قضائه . والمذهب عند الحنابلة أنه إذا عضل الولي الأقرب انتقلت الولاية إلى الولي الأبعد

"Ulama ahli fiqih berpendapat apabila wali menolak menikahkan putrinya, maka hakim memerintahkannya untuk menikahkan. Apabila menolak, maka perwalian pindah pada yg lain. ... Menurut mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki (selain Ibnu Al-Qasim) dan Ahmad (menurut sebagian riwayat) bahwa perwalian berpindah ke sulthon (yakni, wali hakim) berdasarkan hadits Nabi "Apabila wali menolak maka sultan adalah wali bagi perempuan yg tidak punya wali". Dan karena wali menolak secara zholim atas kewajiban yg diamanahkan padanya maka sulthon mengganti posisinya untuk menghilangkan kezholiman itu sebagaimana apabila ia punya hutang dan tidak mau melunasinya. Pendapat utama dalam mazhab Hanbali apabila wali utama menolak, maka pindah ke wali jauh." ( Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33).

عن عروة ، يقول :سمعت عائشة - رضي الله عنها - ، تقول : سمعت رسول الله - صلى الله عليه وآله وسلم - يقول : " أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فإن أصابها ، فلها مهرها بما أصابها ، وإن تشاجروا فالسلطان ولي من لا ولي له " 

Dan Urwah berkata, aku mendengar dari ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja wanita yg menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil (Rasulullah mengucapkannya 3x), jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farjinya; dan jika mereka (para wali) berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yg mewakilinya) adalah wali bagi orang yg tidak memiliki wali.” (HR. Ahmad (4250), Abu Daud (2083), Ibnu Majah (1839), Ibnu Hibban (4074), Hakim (2182). Lihat juga kitab Subulus Salam (III/118), kitab Fathul Bari (IX/191).

Wallohu a’lam bish-Showab dan semoga bermanfaat. Aamiin
________
Kelengkapan hadits diatas sbb:

أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ الْمَحْبُوبِيُّ بِمَرْوَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُعَاذٍ. وَأَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ حَمْدَانَ الْجَلابُ بِهَمْدَانَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْجَهْمِ السَّمُرِيُّ، قَالا: ثنا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، ثنا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُلَيْمَانَ بْنَ مُوسَى، يَقُولُ: ثنا الزُّهْرِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ عُرْوَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، تَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَهَا، وَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbas Muhammad bin Ahmad Al-Mahbubi di negeri Marwi : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mu’adz. Dan telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahman bin Hamdan Al-Jalab di negeri Hamdan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Jahm As-Samuri; mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim Adl-Dlahhak bin Makhlad : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata : Aku mendengar Sulaiman bin Muusaa berkata : Telah menceritakan kepada kami Az-Zuhri, ia berkata : Aku mendengar ‘Urwah berkata : “Aku mendengar ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wanita mana saja yg menikah tanpa ijin dari walinya, maka pernikahannya itu baathil, pernikahannya itu baathil, pernikahannya itu baathil. Akan tetapi jika ia telah digauli, baginya mahar sebagai ganti apa yg telah dihalalkan atas kemaluannya. Namun jika mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi orang yg tidak mempunyai wali” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 2/169, dan ia berkata : “Hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Syaikhaan, namun mereka berdua tidak meriwayatkannya”]
Wallahu a’lam dan semoga bermanfaat. Aamiin

Jumat, 04 September 2015

ADZAN SAAT MENGUBURKAN JENAZAH


Pada dasarnya Adzan dan iqamat adalah dua hal yg hanya disunnahkan untuk dikumandangkan dalam rangka menyambut shalat lima waktu.
Akan tetapi ada waktu2 tertentu yg disunnahkan mengumandangkan adzan sebagaimana keterangan berikut:
وقد يسن الأذان لغير الضلاة كما فى أذن المهموم والمصروع والغضبان ومن سأ خلقه من انسان اوبهيمة وعند الحريق وعند تغول الغيلان أى تمرد الجن وهو والإقامة فى أذن المولود وخلف المسافر
"Dan sesungguhnya disunnahkan adzan pada selain shalat seperti untuk orang yg bingung, pingsan, sedang marah, jelek kelakuannya baik dari manusia atau dari hewan, ketika terjadi kebakaran, dan ketika menghindarkan gangguan jin dengan mengumandangkan adzan dan iqomat bayi yg baru dilahirkan dan orang yg (musafir) mau bepergian (semisal haji dan umroh-pen)." (Kitab Tuhfatul muhtaz juz 1 hal 461).
Demikianlah halnya keterangan tersebut jg terdapat dalam kitab I’anah At-Thalibin yg menjadi dasar pelaksanaan adzan ketika seorang bayi baru dilahirkan, maupun ketika seseoranh hendak pergi haji (musafir).
Adapun terkait mengumandangkan adzan saat jenazah mau dikuburkan terdapat sebuah hadits yg menyatakan,
لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ يَسْمَعُ الْأَذَانَ مَا لَمْ يُطَيَّنْ قَبْرُهُ
“Mayit masih mendengar adzan selama kuburnya belum diplester dengan tanah.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no. 7587)
Namun hadits ini menurut para ulama ahli hadits sebagai hadits dho'if (lemah) bahkan ada yg mengatakan maudhu' (palsu).
Komentar ulama tentang adzan ketika memakamkan jenazah
Para ulama dari berbagai madzhab sepakat bahwa sama sekali tidak terdapat anjuran untuk melakukan adzan ketika memakamkan jenazah. Berikut beberapa keterangan mereka
Pertama, Madzhab Hanafi dari Ibnu Abidin mengatakan,
أنه لا يسن الاذان عند إدخال الميت في قبره كما هو المعتاد الآن، وقد صرح ابن حجر في فتاويه بأنه بدعة.
“Tidak dianjurkan untuk adzan ketika memasukkan mayit ke dalam kuburnya sebagaimana yg biasa dilakukan sekarang. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan dalam kumpulan fatwanya bahwa itu bid’ah.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2:255)
Barangkali yg dimaksud Ibnu Hajar dalam keterangan Ibnu Abidin di atas adalah Ibnu Hajar Al-Haitami. Disebutkan dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra,
مَا حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ .
Tanya: Apa hukum adzan dan iqamah ketika menutup liang lahad?
Jawaban Ibnu Hajar Al-Haitami: Itu bid’ah. Siapa yg meyakini itu disunahkan ketika menurunkan jenazah ke kubur, karena disamakan dengan anjuran adzan dan iqamah untuk bayi yg baru dilahirkan, menyamakan ujung akhir manusia sebagaimana ketika awal ia dilahirkan, adalah keyakinan yg salah. Apa yg bisa menyamakan dua hal ini. Semata-mata alasan, yg satu di awal dan yg satu di ujung, ini tidaklah menunjukkan adanya kesamaan. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, 3:166).
Kedua, Madzhab Maliki sebagaimana disebutkan dalam kitab Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, sy mengutip keterangan di Fatawa Al-Ashbahi:
هَلْ وَرَدَ فِي الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ إدْخَالِ الْمَيِّتِ الْقَبْرَ خَبَرٌ ؟ فَالْجَوَابُ : لَا أَعْلَمُ فِيهِ وُرُودَ خَبَرٍ وَلَا أَثَرٍ إلَّا مَا يُحْكَى عَنْ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَلَعَلَّهُ مَقِيسٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ فَإِنَّ الْوِلَادَةَ أَوَّلُ الْخُرُوجِ إلَى الدُّنْيَا وَهَذَا أَوَّلُ الْخُرُوجِ مِنْهَا وَهَذَا فِيهِ ضَعْفٌ فَإِنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَثْبُتُ إلَّا تَوْقِيفًا .
Apakah terdapat khabar (hadits) dalam masalah adzan dan iqamat saat memasukkan mayit ke kubur?
Jawab: Sy tidak mengetahui adanya hadits maupun atsar dalam hal ini kecuali apa yg diceritakan dari sebagian ulama belakangan. Barangkali dianalogikan dengan anjuran adzan dan iqamat di telinga bayi yg baru lahir. Karena kelahiran adalah awal keluar ke dunia, sementara ini (kematian) adalah awal keluar dari dunia, namun ada yg lemah dalam hal ini. Karena kasus semacam ini (adzan ketika memakamkan jenazah), tidak bisa dijadikan pegangan kecuali karena dalil shahih.” (Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, 3:319)
Ketiga, Madzhab Syafi’i menurut Imam Abu Bakr Ad-Dimyathi menegaskan,
واعلم أنه لا يسن الأذان عند دخول القبر، خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها .
“Ketahuilah, sesungguhnya tidak disunahkan adzan ketika (mayit) dimasukkan ke kubur. Tidak sebagaimana anggapan orang yg mengatakan demikian karena menyamakan keluarnya seseorang dari dunia (mati) dengan masuknya seseorang ke dunia (dilahirkan).” (I’anatuth Thalibin, 1:268)
Hal senada juga dinyatakan Al-Bajirami:
وَلَا يُنْدَبُ الْأَذَانُ عِنْدَ سَدِّهِ خِلَافًا لِبَعْضِهِمْ
“Tidak dianjurkan mengumandangkan adzan ketika menutup lahad, tidak sebagaimana pendapat sebagian mereka.” (Hasyiyah Al-Bajirami ‘ala Al-Manhaj, 5:38)
Keempat, Madzhab Hambali menurut Ibnu Qudamah berkata,
أجمعت الأمة على أن الأذان والإقامة مشروع للصلوات الخمس ولا يشرعان لغير الصلوات الخمس لأن المقصود منه الإعلام بوقت المفروضة على الأعيان وهذا لا يوجد في غيرها .
“Umat sepakat bahwa adzan dan iqamat disyariatkan untuk shalat lima waktu dan keduanya tidak disyariatkan untuk selain shalat lima waktu, karena maksudnya adalah untuk pemberitahuan (masuknya) waktu shalat fardhu kepada orang2. Dan ini tidak terdapat pada selainnya.” (Asy-Syarh Al-Kabir, I:388)
Semua keterangan di atas mengerucut pada satu kesimpulan bahwa mengumandangkan adzan ketika memakamkan jenazah adalah perbuatan yg TIDAK DISUNNAHKAN. Namun perlu diketahui bahwa segala sesuatu awalnya mubah selama belum adanya larangan syar'i.
Mungkin referensi bagi yg melakukan mengumandangkan adzan saat jenazah dikuburkan adalah sbb:
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ يُسَنُّ الأَذَان عِنْدَ دُخُولِ القَبْرِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ بِنِسْبَتِهِ قِيَاسًا لِخُرُوجِهِ مِنَ الدُنْيَا عَلَى دُخُولِهِ فِيْهَا. قَالَ إبنُ حَجَرٍ: وَرَدَدْتُهُ فِى شَرْحِ العُبَابِ، لَكِنْ إِذَا وَافَقَ إِنْزَالُهُ القَبْرَ أَذَانٌ خَفَّفَ عَنْهُ فِى السُّؤَالِ.
إِعَانَةُ الطَّالِبِيْن جُزْ 1ص 230)
"Ketahuilah bahwasanya tidak disunnahkan ADZAN ketika masuk kubur, berbeda dengan orang yg menishbatkan azan karena meng-qiyas-kan meninggal dunia dengan lahir ke dunia.
Ibn Hajar berpendapat "Saya menolak pendapat ini dalam kitab Syarah al-'Ubab. Tetapi ketika jenazah diturunkan ke dalam kubur bersamaan dengan dikumandangkannya adzan maka jenazah tersebut diringankan dari pertanyaan kubur" (I'anath at-Tholibin juz 2 hal. 230)
N/B: Menurut sy sungguh senang sekali jika membantu shohibul musibah sebagai amil jenazah mengurus jenazah yg tidak diadzankan, tidak dibacakan talqin dan do'a karena mempercepat tugas sy cepat selesai biar segera berganti tugas dengan Malaikat Munkar dan Nakir. Demikian !
Wallahu a’lam bis-Shawab dan smg manfaat. Aamiin